Sabtu, 20 November 2010

Art-Living Sos 2010 (A-3 Serba-serbi Serabi


Dear Allz…

Hmmmh…apakabaaaarr ? Semoga semua kabar baik, ya…Jangan ada yang sakit, baik sakit badan maupun sakit hati…hehehe…Iya, lho…sakit hati itu bisa jadi penyakit yang berlarut-larut. Makanya cepatlah sembuhkan hati yang sakit, agar kita segar bugar kembali…

Laaaah...kenapa hari gini membicarakan soal sakit hati sich ? aaaah...tidak apa-apa...Sakit hati itu bisa terjadi karena kita merasa tersinggung atas perlakuan orang terhadap kita. Kenapa ? Bisa jadi karena perbedaan pendapat. Boleh jadi juga karena perbedaan persepsi. Nah, urusan perbedaan persepsi ini yang bikin runyam...membuat kita berprasangka ( biasanya sih prasangka buruk...heh heh...) terhadap orang lain.

Kalau urusannya sudah prasangka, barangkali bisa kita urut lebih jauh sedikit. Kenapa sih kita harus berprasangka kepada si A, tapi tidak kepada si B, walaupun mereka melontarkan ide atau pernyataan yang sama ? Di sini memang ada perbedaan nilai dan kepentingan. Ketika kita sedang berusaha menjalin hubungan dengan si B, maka apa pun yang dilakukannya akan kita anggap baik dan sesuai dengan diri kita. Tetapi sebaliknya, ketika kita tidak berkepentingan dengan si A, maka sedikit saja dia berbeda pendapat dengan kita, akan jadi prasangka buruk yang berkepanjangan.

Hidup ini memang didasari oleh pengindraan dan interpretasi. Ketika kita memasukkan pengetahuan, pengalaman, keyakinan dan nilai-nilai di dalam interpretasi itu, maka akan terjadi perbedaan. Maunya sih, pada saat terjadi perbedaan kita cepat-cepat introspeksi dan bertanya : Ada apa dengan diriku ? Kenapa saya dan dia berbeda ?

Banyak sekali hal-hal di dalam kehidupan masyarakat, yang dalam wujudnya tampak sama, tetapi ternyata memiliki makna yang berbeda. Contohnya adalah serabi. Iya...serabi, yang bundar-bundar itu. Walaupun bentuknya sederhana, tetapi begitu banyak perbedaan makna bila kita sudah membahasnya lebih mendalam...

Hmmmh...kalau serabi dapat membuat interpretasi yang berbeda, seharusnya dia pun dapat mempersatukan ide dan pendapat. Naaaaaaahhh....agar tidak berpanjang kata, mari kita cerita saja tentang serabi. Kalau teman dan sahabatku punya secangkir teh atau kopi, boleh jugalah kita menyantapnya bersama sepotong serabi hangat...Asyiiiiikkkk....

Selamat menikmati....selamat berserabi-ria...

Jakarta, 19 November 2010
Salam hangat,

Ietje S. Guntur

♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-3
Serial : Food Psychology
Start : 10/13/2010 9:18:09 AM
Finish : 10/13/2010 11:57 AM

SERBA-SERBI..SERABI

Hari Sabtu. Pagi-pagi .
Saya sedang menikmati liburan di rumah. Biasanya pagi begini saya akan mempersiapkan sarapan yang khusus untuk keluarga. Tapi kali ini, suami saya, Pangeran Remote Control ingin sarapan serabi. Hmh…boleh juga tuh. Di pasar kompleks perumahan kami ada seorang ibu yang menjual serabi tradisional, yang terbuat dari adonan tepung beras dan dimasak dengan cara tradisional .
Serabi tepung beras ini dimasak satu persatu. Menggunakan anglo berbahan bakar arang, yang di atasnya diletakkan kuali kecil dari tanah liat, sambil dikipas-kipas agar serabinya matang secara merata. Kadang-kadang, kalau apinya terlalu besar, bagian bawah serabi agak gosong. Tapi justru aroma gosong inilah yang membuat rasa serabi menjadi unik dan enak…he he…
Selain pedagang serabi yang di pasar, masih ada lagi yang menjual serabi ala Bandung. Sama-sama berbentuk bundar, tetapi serabi Bandung dibuat dari campuran tepung beras dan tepung terigu, kemudian dicampur dengan daun suji sehingga berwarna hijau segar. Dimakannya dengan kuah kinca, gula merah yang dicampur dengan santan. Rasanya manis dan gurih, beraroma daun pandan. Serabi Bandung biasanya dijual dalam kemasan satu bungkus plastik, lengkap dengan kuah kinca. Sehingga praktis dan ringkas untuk dibawa pulang.
Kali ini saya memilih serabi tradisional, yang masih hangat . Baru diangkat dari kuali tempat memasaknya. Jadi deh…pagi itu kami menikmati sarapan istimewa, bundaran-bundaran serabi aneka rasa. Ada rasa manis yang diberi kuah kinca gula merah, dan ada serabi rasa asin yang ditaburi dengan sambal oncom. Dua-duanya enaaak…hangat dan lezat…hmmhh…yuummmyyy…

Saat lain. Saya sedang mengikuti acara kongres Himpunan Psikologi di Solo. Tapi kali ini saya bukan mau cerita soal kongresnya.
Ada sisi lain sebuah Solo yang membuat saya suka kangen dengan jajanan dan plesiran ala Solo . Ini bukan kali yang pertama saya datang ke Solo dan menikmati seni kuliner di sana. Dan setiap kali….saya selalu kangen dengan nasi liwet yang khas, serta…hmmm…serabinya. Serabi Solo yang manis gurih itu memang agak beda dibandingkan dengan serabi-serabi kerabatnya yang lain…Membayangkan rasanya saja… hmmh..sudah membuat air liur menetes-netes…wuuiihh…
Serabi Solo, proses pembuatannya hampir sama dengan semua serabi yang ada di kota lain. Dengan bahan dasar tepung beras dan santan, sehingga menjadi adonan yang kalis. Kemudian cara memasaknya satu persatu di kuali terbuat dari tanah liat. Yang membuat serabi Solo ini memiliki rasa yang istimewa adalah bentuknya yang nyaris datar, dengan pinggiran yang kering krispi tetapi tengahnya tetap lembut dan agak basah. Belakangan serabi Solo tidak hanya berasa manis, tapi sudah dimodifikasi dengan topping pisang, keju, coklat dan aneka tambahan lain sesuai selera.
Karena kelezatan dan kepopulerannya, sekarang serabi Solo banyak dijual di kota-kota lain, semisal di Jakarta. Di pertokoan yang tidak jauh dari kompleks perumahan saya ada juga yang menjual serabi Solo aneka rasa. Mereka membuka gerainya sejak pagi hari hingga malam. Dan di saat-saat tertentu, pembeli harus antri untuk menunggu serabi selesai dimasak…halaah…

Urusan serabi, memang tidak hanya monopoli Solo dan Bandung. Hampir semua kota dan budaya di Indonesia mengenal serabi, atau ada yang menyebutnya surabi atau serabai . Kue bundar berbahan dasar tepung beras ini mudah dibuat, tetapi uniknya setiap daerah memiliki ciri masing-masing.
Saya sendiri juga penyuka serabi. Semasa saya masih bertempat tinggal di Medan, saya suka makan serabi yang hanya berasa manis gurih, tidak pakai kinca atau siraman saus gula merah. Serabi yang besarnya seukuran tutup gelas, bisa dicubit-cubit sambil ngobrol iseng sepulang sekolah. Memang...serabi di masa sekolah dulu lebih sering disantap sebagai jajanan iseng, tidak mengenyangkan, tetapi asyik buat dikunyah-kunyah.
Kebiasaan makan serabi tetap berlanjut hingga kini. Apalagi ketika saya tinggal di Bandung, ada serabi asin yang ditaburi sambal ebi atau udang kering, dan sambal oncom. Dulu saya tidak suka serabi asin, karena rasanya aneh…Serabi seharusnya manis…hiiikss…Tapi setelah mencicipi serabi asin ala Bandung, sekarang saya jadi doyan dan hmm…agak tergila-gila dengan serabi model seperti itu…hihi…
Tidak salah, kalau kota Bandung disebut sebagai kota wisata kuliner. Setelah urusan serabi asin yang tradisional itu, sekarang muncul kreasi-kreasi baru serabi dengan berbagai topping dan campuran. Sekarang serabi tidak terbatas asin dan manis saja, tetapi semua rasa yang diperkirakan bisa dicampur atau ditempelkan di atas adonan akan dijadikan serabi…heu heu…Jangan heran kalau kita akan menemukan serabi rasa stroberi, durian, nangka, nenas…dan semua buah-buah tropis yang disukai…Serta yang asin berasa keju, kornet, daging asap, ayam jamur, dan lain-lain.
Untuk yang agak ‘modern’ serabi bisa juga diberi topping sirup caramel, sirup maple ( ini pasti sirup import…dari sari pohon maple), dan kalau mau coba…sirup markisa atau terong belanda…hehe..Ini jadi mirip dengan pancake. Makanan dari manca Negara yang adonannya mirip dengan serabi Bandung atau serabi Solo, tapi bentuknya lebih datar , tebal dan rata dari tengah sampai ke pinggirannya.

Cerita tentang serabi, sebetulnya tidak sekedar cerita wisata kuliner dan icip-icip di saat santai.
Di dalam budaya Jawa, serabi justru erat hubungannya dengan ritual budaya yang sering digelar terkait dengan upacara tertentu. Serabi, entah sejak kapan selalu ada di dalam acara-acara adat dan keagamaan , seperti acara Upacara Sekaten dan puncak acara yang disebut Grebeg Muludan . Acara Sekaten ini, di Solo maupun di Jogyakarta dikaitkan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Serabi bersama makanan lain seperti apem merupakan salah satu sajian, atau sering disebut sajen, yang melengkapi ritual acara Hari Maulid Nabi Muhammad.
Selain memeriahkan acara Sekaten, serabi juga sering disajikan bersama dengan makanan lain dalam berbagai acara selamatan . Upacara selamatan kelahiran, syukuran rumah baru, acara-acara yang berkaitan dengan musim tanam dan musim panen, serta berbagai upacara peringatan yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa. Serabi untuk sajen ini juga biasanya serabi biasa, kadang tanpa rasa manis atau asin , hanya terdiri dari adonan tepung beras dan santan kelapa saja. Konon serabi ini juga merupakan simbol kehidupan, karena beras dan kelapa merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat kita.

Melihat serabi yang tinggal remah-remahnya di piring, saya merenung .
Sepotong makanan sederhana itu ternyata mewakili banyak kebutuhan dalam strata makan. Memang, makan tidak sekedar memenuhi kebutuhan lapar belaka. Makanan di sebagian besar masyarakat telah menjadi gaya hidup dan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Demikian pula, di dalam masyarakat yang telah memiliki kehidupan spiritual yang tinggi, makanan pun sering dihubungkan dengan tata cara pemenuhan kebutuhan spiritual ini.
Sajen atau sesajian, tidak sekedar menyediakan makanan lahir, tetapi terlebih lagi adalah makanan batin. Serabi hanya salah satu jenis makanan yang mewakili simbol spiritual tertentu. Coba saja tanyakan kepada orang-orang yang biasa melakukan upacara seperti itu, untuk mengganti serabi dengan makanan lain. Pasti mereka menolak. Bukan karena sekedar serabi, tetapi karena serabi telah menjadi simbol yang mewakili keyakinan atau kepercayaannya terhadap sesuatu.
Begitulah....
Ketika sepotong serabi telah memiliki nilai budaya dan nilai spiritual, maka dia tidak lagi sekedar makanan biasa. Dia tidak lagi sekedar memuaskan keinginan icip-icip atau mengenyangkan perut . Lebih jauh lagi, ia telah memuaskan batin dan memberikan ketenangan jiwa untuk satu masa tertentu.
Aaaah…sungguh indah. Dari sesuatu yang sederhana kita bisa belajar begitu banyak. Dari warung di dekat rumah saya hingga Acara Sekaten di Solo dan Jogyakarta.
Ada yang mau menelusuri lebih jauh lagi ?

Jakarta, 13 Oktober 2010
Salam hangat,

Ietje S. Guntur
Special note :
Terima kasih untuk Pangeran Remote Control , serabi-mania yang menjadi Inspirasi tulisan ini..Juga para penggemar serabi Solo...Rudi, Neno, mb Nuki...hmh... hidup bertambah semarak dengan serabi...heu heu...

Sabtu, 06 November 2010

Art-Living Sos 2010 (A-10 Gaya Roti

Dear Allz....

Met pagiiiiiiiiiiiiiiiii.....oooohooooooyyyyyy....hari Sabtu niiiih...week end, bagi yang sedang berlibur...dan hari beres-beres nasional, bagi yang mau membereskan segala sesuatunya...

Di tengah situasi negara dan bangsa kita yang memprihatinkan, saya berharap teman dan sahabat serta keluarga saya semua tetap dalam lindungan Yang Maha Memiliki Kehidupan...sehat wal’afiat tidak kurang suatu apa. Di dalam kelebihan dan kecukupan yang kita miliki, sudah seyogyanya kita bersyukur kepadaNya...dan mendoakan saudara-saudara serta sahabat kita di lain tempat agar mereka juga mendapatkan kecukupan dan kesehatan yang sama.

Di hari cerah ceria di seputar Jakarta ( semoga di tempat lain juga), saya ingin mengirimkan sedikit hidangan...sepotong roti, untuk santapan teman dan sahabatku sekalian. Barangkali dengan berbagi roti ini, saya juga dapat berbagi keceriaan yang akan menghangatkan hati kita semua.

Oya...jangan lupa sarapan...agar gula darah kita terjaga. Dan mari kita bersyukur, bahwa masih ada sepotong roti atau sepiring nasi yang menemani kita hari ini...

Selamat menikmati....semoga berkenan...


Jakarta, 6 November 2010
Salam sayang,


Ietje S. Guntur

♥♥♥



Art-Living Sos 2010 (A-10
Serial : Food Psychology
Start : 22/10/2010 12:06:23
Finish : 06/11/2010 7:23:31


GAYA ROTI


Di kantor. Jam makan siang. Saya sedang tidak berselera untuk menyantap makanan berat....hmmh...maksudnya nasi and the gang plus lauk-pauk...Biasanya sih, tanpa nasi hidup saya ada yang kurang.

Nggak tau nih...apa karena tadi pagi sudah menyantap nasi uduk plus tempe goreng ( hahahaha...tempe mania bangeeet), jadi perut masih terasa penuh. Saya sedang mempertimbangkan, mau makan siang sekedarnya, atau mencari pilihan lain. Sekilas melintas ide tentang segala jenis penganan yang dijual di seputar kantor. Gado-gado, ketoprak, siomay, soto mie, bakso, nasi goreng...halaaaaah...masih berat semua. Stop dulu ! Tapi, masa sih di siang hari bolong begini makan keripik doang ?

Tiba-tiba seorang teman nyeletuk. “ Makan roti aja, Mbak .”
“ Roti ? Siang hari begini ?”
“ Lha...memangnya kenapa kalau siang-siang makan roti ? Bukannya roti itu bisa dimakan kapan saja ? Pagi, siang, sore, malam ?”
“ Mhh...kalau ada roti bakar sih oke juga ,” sambut saya. Saya memang termasuk fans of roti bakar...hehe..
“ Mana ada roti bakar siang hari begini. Ada juga roti bakery . Ada tuh, di mal.” Teman saya menyebut satu merek roti yang sedang naik daun namanya. Gerainya pun tersebar di beberapa pusat perbelanjaan papan atas.
“ Aaaccch...gak doyan. Rasanya terlalu gurih. Enakan roti kampung yang agak-agak gosong ,” kilah saya. Memang saya tidak terlalu doyan makan roti, kecuali beberapa jenis yang biasa-biasa saja.
“ Mana ada roti di kampung...heh...heh..”, sambung teman saya lagi.
“ Iya...roti kan makanan orang kota.” Celetuk yang lain.
“ Hussyhh...! Kenapa jadi ada diskriminasi makanan orang kota dan orang kampung, sih ?”
“ Iyalah...dulu kan nggak ada orang kampung makan roti. Ada juga makan nasi, jagung, singkong, ubi, sagu.”
“ Orang kota kan juga makan nasi sama jagung, sama ubi.”
“ Tapi makan roti itu kan kesannya modern. Kayak makanan orang bule.”

Perbincangan jeda sejenak. Saya masih mempertimbangkan. Roti atau gado-gado ? Roti atau ketoprak ? Roti atau mie goreng ? Roti atau...???



Di saat lain. Di tempat lain.

Saya sedang berbelanja di pusat perbelanjaan di kompleks perumahan. Lumayan sih, ada mal di dekat rumah. Jadi kapan ada keperluan atau ingin rekreasi, bisa langsung nyelonong ke mal...hm...

Sambil belanja dan cuci mata melihat toko-toko yang berderet di dalam mal, saya melihat ada antrian yang mengular di sebuah gerai roti. Waduuuh...sampai segininya orang mengantri untuk membeli roti ?

Saya perhatikan, orang-orang memilih sendiri roti yang ditata indah di dalam rak-rak roti. Dengan penuh gairah dan rasa penasaran, mereka menikmati saat memilih, membalik-balik roti, dan kemudian meletakkannya di atas baki seperti mereka mengumpulkan harta karun. Wajah-wajahnya bahagia dan penuh kemenangan karena berhasil mendapatkan roti yang tampak mewah dan menguarkan aroma lezat.

Lalu ketika menjinjing bungkusan roti yang besar, mereka melangkah dengan gaya gagah dan gembira. Tidak sabar ingin segera pulang ke rumah dan mencicipi roti ala mal yang mewah itu.

Saya pernah ikut melibatkan diri, berbaur dengan antrian yang panjang. Rasanya tidak sabar, karena untuk membayar roti itu kita harus menunggu giliran. Berhubung saya tidak terlalu doyan roti, jadinya urusan antri itu menjadi pertimbangan utama untuk memilih dan membeli roti di tempat-tempat yang ramai.

Barangkali akan beda rasanya, kalau menyantap roti adalah urusan hidup dan mati, urusan lapar dan kenyang. Dalam kondisi seperti itu, maka sama seperti nasi, roti harus ada di dalam hidup ini.



Urusan roti memang tidak sekali dua kali itu saja menjadi perdebatan.

Selain roti bakar kesukaan saya, yang isinya Cuma gula pasir dan dipanggang di atas kompor, maka roti lain hanyalah sekedar selingan saja. Oya...saya juga doyan tawar , roti kelapa dan roti manis polos yang kecil-kecil, yang bisa dimakan sekali atau dua kali gigitan. Sekarang disebut roti unyil atau roti mungil. Roti manis ini bisa disantap sambil iseng, tidak harus dalam keadaan lapar. Jadi tidak ada beban untuk kenyang atau mengisi perut sampai padat...heu heu...

Tapi tiap orang kan punya selera berbeda-beda. Ada yang doyan roti manis polos ( saya juga sukaaaaa....), ada yang doyan roti pakai isi aneka rasa. Roti isian manis seperti kelapa, coklat, selai atau jam, gula, susu, kacang, buah-buahan kering . Atau juga roti isian asin seperti keju, daging olahan, ikan, abon, dan sebagainya.

Dulu roti memang serba terbatas variasinya. Sama seperti nasi, roti juga masih merupakan makanan utama dan makanan pokok bagi negara-negara empat musim atau negara penghasil gandum. Konon, sejarah roti pun sudah sangat amat panjang. Mungkin ribuan tahun lalu, ketika orang sudah dapat mengolah gandum dan membuat tepung. Tentu saja dengan bentuk dan rasa yang standar. Yang penting, roti itu mengenyangkan.

Perjalanan roti dari jenis dan rasa yang sederhana dan sekedar mengenyangkan perut semakin berkembang dari waktu ke waktu. Tidak hanya di manca negara yang memang pemakan roti, juga di negeri kita. Saya ingat. Semasa saya masih anak-anak dulu, jenis dan rasa roti memang agak terbatas. Di Medan yang paling populer adalah roti manis, roti isi kelapa, roti isi coklat dan roti isi kacang. Roti juga masih makanan terbatas yang hanya disantap oleh kalangan tertentu saja.

Roti yang dulu bisa dibuat rumahan, sebagai bagian dari pekerjaan ibu rumahtangga, semakin lama menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Mungkin, bagi bangsa pemakan roti, cukup repot bila sehari-hari harus membuat roti. Lebih baik membeli roti sesuai kebutuhan.

Rupanya peluang itu dilihat oleh para pengusaha makanan dan roti. Mereka pun berusaha memasuki pasar yang dibuka atas nama perut ini. Roti yang semula hanya sekedar mengenyangkan dan dibuat oleh ibu rumahtangga, sekarang dikembangkan menjadi lebih bervariasi. Roti pun tidak lagi hanya sebagai makanan pokok, namun sudah bergeser menjadi makanan selingan, entertaintment dan gaya hidup.

Barangkali itu juga sebabnya sekarang orang-orang mulai merasa, bahwa menyantap roti tertentu akan turut mendongkrak gengsinya. Roti merek tertentu mengambil kesempatan ini, dan menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup kelas tertentu.

Di Indonesia sendiri untuk diversifikasi pangan, presiden kita pernah mencanangkan gerakan mengganti nasi dengan roti. Sejak itulah booming roti sebagai pengganti makanan pokok. Tapi tentunya tidak mudah untuk merubah kebiasaan menyantap nasi dan menggantinya dengan roti. Salah satu cara adalah dengan merubah konsep pemasaran dan penampilan roti agar tampak berkelas.



Kembali kepada roti, kembali kepada gaya hidup.

Gaya hidup memang tegantung dari kebutuhan. Kalau mengikuti teori kebutuhan Maslow, roti memenuhi beberapa lapis kebutuhan. Mulai dari lapis paling dasar yaitu kebutuhan makan dan mengenyangkan untuk bertahan hidup. Hingga kebutuhan sosial, seperti pergaulan, dan kebutuhan pengakuan diri.

Bila sekedar untuk rasa kenyang dan memenuhi rasa lapar, bentuk roti dan rasanya hanya standar. Gurih atau tawar. Tapi sejalan dengan meningkatnya kebutuhan, maka variasi rasa dan bentuk pun mulai berkembang. Roti pun mengenal estetika atau rasa keindahan.

Bahkan di beberapa masyarakat, termasuk di Indonesia, ada yang menggunakan roti sebagai bagian dari adat istiadat. Di Jakarta, dalam masyarakat Betawi, kita mengenal adanya roti buaya – yaitu roti berbentuk buaya yang dipergunakan sebagai bagian upacara adat pernikahan. Roti buaya konon melambangkan keharmonisan buaya yang setia kepada pasangannya.

Selain dalam upacara adat, roti juga dipergunakan di dalam upacara ritual agama. Tentunya roti untuk ritual atau upacara agama berbeda dengan roti yang kita makan sehari-hari. Roti ini dikenal tanpa ragi, tetapi tetap disebut roti.

Eeeeh...ada satu lagi. Bahwa roti juga bisa mewakili kerinduan dan fanatisme. Contohnya roti isi kelapa ala orang Medan. Saking fanatiknya orang Medan dengan roti isi kelapa parut ini, di dalam setiap reuni akbar anak-anak Medan, maka Sang Roti Kelapa wajib ada. Pernah pula, ketika reuni diadakan di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta, Sang Roti Kelapa hadir dengan megahnya bersanding dengan makanan hotel internasional itu...Gubrak bangeeet deeh..!!...Hahaha...



Siang ini saya menyantap sepotong roti untuk pengganjel perut. Roti isi coklat dan sisiran keju, yang dijual di gerai dekat kantor. Melihat remah-remah roti yang tertinggal di dalam piring saji, membuat saya termenung.

Roti adalah makanan yang memiliki rentang fungsi yang cukup luas. Dari sekedar pengganjal usus hingga untuk acara-acara sosial dan upacara agama. Kadang demi sepotong roti, orang tega berebut dan berbuat suatu tindakan yang melanggar peraturan, seperti mencuri atau berbohong. Bahkan ada orang yang memaksakan diri, membeli sepotong roti demi gengsi dan status sosial.

Roti dalam skala yang lebih besar juga menjadi sebuah lahan bisnis yang memiliki rantai cukup panjang. Dari mulai gandum, menjadi tepung, dan menjadi roti. Roti semakin akrab dengan kehidupan kita, dan mewarnai banyak sisi kehidupan dengan berbagai kebutuhan dan gaya yang ditampilkan.

Dari sekedar roti tanpa ragi, hingga roti yang empuk dengan beraneka isi dan topping menggiurkan. Roti pun bisa ditemukan di sembarang tempat. Dari mulai warung pinggir jalan dan kios kecil di dekat rumah, hingga toko roti terkenal dengan jaringan internasional. Bahkan dari kantin sekolah hingga pedagang keliling yang menjajakan roti setiap pagi dan sore dan mewarnai kompleks perumahan kita.

Roti memang hanya makanan kecil. Tetapi ia telah mencukupkan kebutuhan kehidupan kita. Memenuhi kebutuhan untuk nafsu kehidupan . Membuat yang lapar menjadi kenyang. Membuat yang kurang percaya diri menjadi lebih bangga dan bergaya.

Mau belajar dari sepotong roti ? Mari sediakan secangkir teh atau kopi...Mari duduk dan menikmati sepotong roti bakar...hmmh...Semoga kita mendapat manfaat dari perut yang kenyang dan hati yang gembira...



Jakarta, 29 Oktober 2010

Salam hangat,



Ietje S. Guntur


Special note :

Terima kasih untuk tukang roti di Medan dan Jakarta, yang menjadi inspirasi cerita ini...Juga tukang roti keliling di Medan, dan roti keling di Pajak Pringgan yang rotinya sedap bukan main...oya...untuk roti di Toko Perwari yang sekarang sudah tidak ada lagi...thanks untuk kenangan indah di masa kanak-kanakku dulu...

Jumat, 22 Oktober 2010

Art-Living Sos 2010 (A-10 SEBENTAR

Dear Allz....

Hmmh...apakabaaarrr ? Semoga semua teman dan sahabatku sehat-sehat di akhir pekan ini, yaaaa...Sehat dan gembira, agar hidup kita menjadi lebih bermakna.

Mumpung sekarang hari Jum’at....akhir pekan...saya mau menyajikan sepotong kata saja, yang pendek dan sederhana, yaitu : SEBENTAR...

Nggak usah berpanjang kata seperti biasanya...hehehe...kita langsung saja, ya... Namanya juga sebentar....

Sebelumnya, ijinkan saya mengutip sedikit anekdot pendek mengenai kata ‘Sebentar’ atau ‘entar’, yang saya peroleh beberapa waktu lalu dari seorang sahabat ( terima kasih, ya...inspiratif banget).


Selamat menikmatiiiiiiiiii....have a nice day....


Jakarta, 22 Oktober 2010

Salam hangat,



Ietje S. Guntur


♥♥


Art-Living Sos 2010 (A-10
Selasa, 19 Oktober 2010
Start : 19/10/2010 15:12:11
Finish : 19/10/2010 17:33:15


SEBENTAR


Pertanyaan menggelitik : Berapa lamakah sebentar itu ?

Ide dari sebuah email seperti ini :
Mas Karjo jalan2 ke Mangga Dua mau melihat pameran komputer.
Mas Karjo penasaran dengan tulisan "ENTER" disalah satu komputer terus dia tanya ke SPG yang lagi membagikan brosur.

"Mbak mau nanya dong "ENTER" ini maksudnya apaan sih?"
Ternyata SPG-nya juga gaptek.
"Kayaknya untuk mempercepat program aja Mas!"

"Mempercepat gimana maksudnya Mbak?"
"Ya mempercepat aja, Mas . Kan kalau tulisannya 'ENTAR' jadinya lama!"


Cerita berikutnya.

Saya sudah berjanji dengan seorang teman, untuk bertemu di suatu sore. Saya sudah berada di tempat yang dijanjikan, ketika ponsel saya bergetar lembut. Sebuah pesan singkat alias SMS masuk. “ Sabar, ya. Sebentar lagi. Kena macet nih.”

Saya membalas cepat. “ Tidak apa-apa. Aku cari tempat dulu. Kira-kira berapa lama lagi ?” tekan tombol . Kirim.

Dalam hitungan detik, ponsel saya bergetar lagi. “ Wah, ndak tahu nih. Macetnya nyaris nggak bergerak.”

Saya memperkirakan, paling tidak yang dimaksud ‘sebentar’ oleh teman saya adalah sekitar 15 menit hingga setengah jam. Di sore hari Jum’at seperti ini, apalagi ditambah dengan hujan , maka kemacetan bisa terjadi dimana-mana. Urusan sebentar, tidak bisa lagi diukur dengan semenit atau lima menit. Sebentar itu pun bisa mulur, menjadi paling cepat 15 menit, dan paling lama ....ya, tidak terbatas...hmmm...



Di tempat lain. Di saat yang lain. Seorang teman mengeluh. Dia kehilangan tas berisi barang belanjaan yang diletakkan di dekatnya ketika sedang berjalan-jalan di pusat keramaian yang padat pengunjung.

“ Baru saja aku menoleh sebentar, tas jinjinganku sudah lenyap. Waduuuh...sial banget.” Wajahnya tampak jengkel dan gemas.
“ Lha, memangnya nggak dijaga ?” tanya saya. Prihatin.
“ Ya, dijaga. Aku Cuma bergeser beberapa senti meter, untuk melihat situasi. Eeeh, malah si tangan panjang lebih cepat dari kedipan mata. Gesit banget.”
“ Iyalah...mereka kan bekerja efisien. Secepat kilat.” Sahut saya lagi.
“ Hmmh...emang lagi apes. Untung aja, isinya bukan barang berharga. Tapi memang jengkel banget. Astagaaaa...kok bisa, ya...”.

Itulah. Sebentar yang terjadi kali ini memang sebentar yang sangat singkat. Mungkin hanya sekitar beberapa menit. Mungkin hanya beberapa detik. Ketika terjadi kelengahan, maka orang yang lebih gesit akan bergerak cepat .



Sebentar.

Itu memang hanya sebuah kata yang pendek. Tetapi seperti keadaan yang terjadi di sekitar kita. Sebentar itu bisa sangat relatif rentang waktunya.

Ketika kita menunggu seseorang, maka tidak ada waktu yang sebentar. Lima menit sudah lebih dari cukup untuk menguji kesabaran. Urusan ‘sebentar’ ini bisa menjadi dua bentar, tiga bentar...bahkan bisa menjadi seratus bentar kalau kita sedang menunggu sesuatu atau seseorang.

Gara-gara urusan sebentar ini , tidak jarang kita pun bisa berselisih pendapat dan bertengkar. Masing-masing orang akan mempergunakan ukuran sebentar, sesuai dengan kepentingannya. Sulit sekali untuk mengakurkan arti sebentar dalam satuan detik, menit atau jam. Belum pernah ada peraturan dan undang-undang, yang menyebutkan satuan ‘sebentar ‘ ini...heh heh..

Memang, dipikir-pikir, urusan sebentar ini erat kaitannya dengan waktu dan nafsu....hmmh...ssttt...tunggu dulu. Jangan murka.

Konon, orang yang bisa menahan nafsu, maka waktu ‘sebentar’nya bisa mulur menjadi lebih panjang. Contohnya, kalau kita sedang berpuasa menahan lapar, maka waktu sebentar kita adalah tidak makan dan minum selama sehari penuh. Kita akan bersabar sepanjang hari, dan menghitung waktu satu jam hingga lima jam sebagai bagian yang pendek dan hanya sebentar dibandingkan dengan waktu berpuasa seharian.

Tapi coba , kalau kita sedang kebelet mau buang air...( uuppss...maaf). Jangankan satu jam. Satu menit pun sangat berarti untuk kita. Siapa yang kuat menahan dorongan berkolaborasi...eh, bukan...dorongan untuk mengeluarkan isi perut dalam hitungan jam ? Kalau kebutuhan biologis akibat metabolisme usus sudah begitu mendesak, maka urusan sebentar benar-benar hanya dalam hitungan detik. Lewat dari detik itu, maka urusannya bisa gawat...hehehe...

Jadi memang nyata. Bahwa nafsu dan sebentar itu seperti saudara sepupu.

Kalau kita sedang menahan nafsu, maka semua seakan terasa lama. Tapi begitu nafsu dilampiaskan, maka waktu pun seakan bergulir sangat cepat. Setelah puas, biasanya kita bisa berkomentar ,” Aah...Cuma sebentar inilah !”



Selain tidak ada peraturannya, kata ‘sebentar’ ini juga bisa digunakan kapan saja, kalau kita mau menghindar dari sesuatu. Ibaratnya, kata ‘sebentar’ bisa dijadikan tameng untuk melindungi diri dari satu situasi yang gawat.

Misalnya kita mengatakan begini ,” Waduuuh...maaf, ya. Tadi saya ketemu dengan teman jaman sekolah . Jadi ngobrol sebentar. Keasyikan deh. Maklum sudah lama nggak berjumpa.” Bweeeh...basi banget...hih...hiiih...

Sebaliknya, kata ‘sebentar’ ini pun bisa dijadikan senjata untuk menyerang, kalau kita sedang memiliki kekuatan dan keperluan. Contoh-contoh di dalam komunikasi pemaksaan bisa dilakukan dengan kata ‘sebentar’. Misalnya begini ,” Pinjam mobilmu sebentar. Saya mau ke luar kota !” Dengan wajah galak dan mata membelalak.

Dari mana kita bisa mengukur, bahwa keluar kota bisa sebentar saja ? Hikks...tapi bukan karena kata ‘sebentar’ itu yang membuat kita mau meminjamkan mobil kita. Melainkan gaya dan wajah menakutkan dari orang yang menyemburkan kata ‘sebentar ‘ tadi.

Oya...kata sebentar juga belakangan sudah beranak-pinak dalam berbagai dialek daerah, terutama dalam pergaulan sehari-hari. Contohnya di Jakarta, kata sebentar telah berubah menjadi : Entar atau ntar. Penggunaannya pun bisa lebih fleksibel. Kita sering mendengar ucapan seperti ini ,” Iye...ntar-ntar aje !”. Yang kurang lebih artinya nanti saja. Bisa ditunda.

Contoh lain ,” Ntar dululah...gue lagi sibuk nih.” Artinya, nanti saja, bisa dikerjakan atau dilakukan lain waktu.

Bisa juga untuk ajang rayu merayu, seperti ini : “Ntar nih, kalo abang punya duit, adik akan abang belikan emas berlian dan sepatu kaca !” Huuu...gubrak banget deh. Hari gini pakai sepatu kaca ? Bukannya bisa belah dan luka tuh kaki ? Heh heh...



Kembali pada kata ‘sebentar’.

Setelah saya renung-renungkan, kata sebentar ini mengandung unsur subyektivitas yang sangat tinggi dan mengusung nilai-nilai yang sangat pribadi.

Kita jarang bisa mengakurkan nilai atau arti sebentar dengan seseorang. Bahkan dengan saudara kembar sekalipun, yang konon sering sehati dan sepikiran ( bener gak sih, kan kepalanya dua, dan jantungnya juga berbeda ?).

Itu sebabnya, karena nilai subyektivitas dari kata ‘sebentar’ ini begitu tinggi, maka seyogyanya kita harus berhati-hati dalam penggunaannya. Ketika kita berhadapan dengan orang yang memiliki kepentingan mendesak, maka kita dapat menenangkannya dengan kata ‘sebentar’. Tentunya dengan nada penghiburan. Tetapi hati-hati, bila kita menggunakan nada yang agak tinggi, bisa-bisa orang yang kita ajak bicara malah marah-marah karena merasa dipermainkan.

Masih ada lagi.

Sekarang coba perhatikan. Apakah ada di dalam komunikasi formal, seperti di dalam surat-surat perusahaan yang menggunakan kata ‘sebentar’. Misalnya di dalam sebuah proposal : “Dengan hormat. Sebentar lagi kami akan menerbitkan sebuah buku. Mohon bantuannya untuk sumbangan dana.”

Pihak penerima proposal pasti akan bertanya :” Sebentar itu, berapa lama ? Apakah ada kepastian ?”

Bahkan di dalam surat non-formal, kecuali sebagai bagian dari cerita, kita jarang menggunakan kata sebentar. Kata ini lebih banyak digunakan di dalam bahasa lisan yang bersifat pribadi. Kadang-kadang, kata sebentar yang bersayap ini juga digunakan oleh para politikus atau pengumbar janji untuk menyampaikan pesan-pesannya. Misalnya ,” Sebentar lagi daerah ini akan aman dari banjir.”...atau “ Sebentar lagi anak-anak kita tidak usah membayar biaya pendidikan .” ...eheem...



Itulah. Hanya dari sebuah kata, kita bisa mengambil banyak maksud dan tujuan. Kata yang kita pikir hanya sebuah kata sederhana, tetapi bila salah tempat dan salah waktu, akan runyam akibatnya.

Sebetulnya, saya masih ingin membahas mengenai kata sebentar ini lebih lanjut. Tapi..hmmh...tunggu sebentar, ya...saya mau mikir dulu...hehehehehe....

Sampai jumpa di episode berikutnya...Sebentaaaaaar lagi...



Jakarta, 20 Oktober 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk Edo yang telah mengirimkan joke yang inspiratif. Terima kasih kepada penulis joke yang telah saya kutip tulisannya...

Sabtu, 09 Oktober 2010

Art-Living Sos 2010 (A-10 Akar Mengakar

Dear Allz...

Hmmmh...sudah seminggu lagi berlalu...cepat beneeeerrr....Waktu rasanya seperti bergulung-gulung...Baru beberapa hari lalu kita ngobrol soal lain, sekarang sudah muncul lagi hal baru yang bisa diramu menjadi hidangan yang lezat...hehe...

Ngobrol dan temu kangen memang bagian dari kehidupan kita...entah itu ngobrol di udara, maupun ngobrol di sebuah pojok warung langganan. Semuanya serba sedap dan nikmat, bila hati kita ringan dan ceria. Itulah...hidup memang perlu keseimbangan dan keceriaan. Saya berdoa dan berharap, semoga teman sahabatku juga dalam keadaan seimbang, lahir dan batin di akhir pekan dan hari libur ini...

Memang...hari ini adalah saatnya kita mengevaluasi beban pikiran dan emosi... beristirahat sejenak dua jenak...merenung-renung...Waah..asyik banget. Ini semua perlu kita lakukan, agar kita tahu kapasitas diri kita. Sudah sepenuh apa, atau sudah sekosong apa ? Bila ingin diisi, maka diisi dengan apa, dan kapan mengisinya ?

Sebetulnya banyak kesempatan di dalam hidup kita, untuk mengisi kembali tangki kehidupan. Sayangnya, entah kita lupa, entah kita merasa begitu sibuk, sehingga tangki itupun tidak sempat terisi. Tangki emosi, tangki energi, tangki spiritual...bisa kosong melompong kalau tidak diisi ulang.

Seperti pohon, selalu mengisi tangki kehidupannya melalui akar yang giat berkelana di dalam tanah. Kita pun bisa seperti pohon, yang selalu segar karena dukungan akar yang kuat.

Hmmh...mumpung hari ini adalah hari mengisi tangki mind, body and soul...boleh dong kita ngobrol sejenak tentang AKAR ...Mau khaaannn ?

Oke deeeh...selamat menikmati...semoga berkenan...


Pojok Bintaro, 9 Oktober 2010
Salam hangat, dimalam yang sejuk...


Ietje S. Guntur

♥♥
Art-Living Sos 2010 (A-10
Start : 09/10/2010 20:34:50
Finish : 09/10/2010 21:57:54

A.K.A.R

Saya sedang rajin...hmmh...biasanya juga rajin sih...tapi ini lagi rajin mengecek kondisi tanaman di halaman rumah...hehe..Beberapa tanaman sudah gondrong daunnya, sehingga perlu dipotong. Pohon di depan rumah juga sudah rimbun dan rantingnya sebagian sudah mengering, akan mudah rontok bila tertiup angin kencang. Jadi mesti dirapikan.

Bunga-bunga...walaaah...hanya satu dua yang menunjukkan keceriaannya. Rupanya musim hujan yang tidak menentu membuat bunga-bunga sulit berkembang. Banyak yang berguguran sebelum mekar sempurna...hikks...

Saya mulai celingukan lagi. Eeeh...ternyata ada tanaman yang terjungkal dari potnya. Akarnya yang sudah tebal tampak mencuat, tidak cukup lagi di tempat yang lama. Wadduuhhh...ini harus dipindahkan. Barangkali sama juga dengan pohon mangga di depan rumah, yang akarnya sudah menembus wadah tempatnya bertumbuh selama ini. Mau tidak mau, pohon mangga terpaksa menetap di situ. Akarnya pasti sudah tumbuh memanjang dan mencengkeram tanah dengan kuat. Padahal dulu ketika saya pertama kali membelinya di sebuah pameran tanaman, dia termasuk tanaman kecil Tambulampot...alias tanaman buah di dalam pot...hhmh..

Sambil berkeliling halaman dan sisi luar halaman, saya menarik-narik dan menggoyang batang pohon yang ada. Ada dua pohon yang tumbuh besar dan kuat, dan dua pohon lagi tinggal bonggol dan sisa akarnya. Pohon yang masih tumbuh dan membesar, saya perhatikan ujung akarnya yang mengintip sedikit dari dalam tanah . Masih cukup kuat untuk menopang kehidupan pohonnya. Bahkan saya perkirakan, bila angin bertiup kencang, dia tetap dapat bertahan. Hanya rantingnya saja nanti yang akan saya rapikan, agar beban batang dan akar tidak terlalu berat.

Sementara itu, pohon yang tinggal bonggol belum bisa dibongkar, karena akarnya sudah melekat kuat. Saya kuatir, bila dibongkar paksa, bekas akarnya akan menimbulkan lubang cukup besar yang berbahaya. Jadi biarlah, akar itu menetap di sana. Semoga masih bermanfaat untuk penyangga tanah dan tempat bermukim hewan kecil yang pernah tinggal di bawahnya .



Ngomong-ngomong soal akar. Sejak jaman SD sampai hari ini umumnya kita mengetahui ada dua macam akar, sesuai dengan jenis tanamannya. Akar serabut, yang berasal dari tanaman berbiji keping tunggal atau monokotil , dan akar tunjang atau akar tunggang dari tanaman berbiji keping dua atau dikotil . Dan dari pertumbuhan pengakarannya, akar tunggang akan tumbuh jauh sekali dari batangnya, dan memiliki percabangan di bawah tanah yang banyak sekali. Sementara akar serabut, seperti sebutannya, ya mirip dengan serabut. Pertumbuhan pengakarannya tidak terlalu jauh, tapi tetap mantap surantap...alias kuat sekali.

Boleh kita lihat jenis tanaman berkeping tunggal seperti kelapa. Pohon kelapa bisa menjulang kurus tinggi dengan daunnya melambai-lambai di tepi pantai, mengalahkan ketinggian pohon berkeping dua. Seharusnya pohon kelapa, di pantai maupun di gunung, tidak sekuat pohon yang akarnya merambat jauh kemana-mana. Tapi memang luar biasa...pohon kelapa tetap dapat berdiri kukuh walaupun angin kencang selalu menerpanya siang dan malam.

Sistem pengakaran akar serabut, walaupun hanya seperti jari-jari kecil, ternyata memiliki daya cengkeram yang hebat. Jarang sekali kita melihat pohon kelapa tumbang mendadak, apalagi di usia produktif. Bahkan ketika tsunami melanda sebagian besar pantai Aceh, kita menyaksikan bahwa masih banyak pohon kelapa yang berdiri dengan gagahnya walaupun batangnya sudah dihantam air bah dengan kekuatan yang mampu menyeret sebuah kapal ke darat.

Akan halnya pohon berkeping dua dengan akar tunggang yang menjalar jauh dari pohonnya, umumnya memang kuat dan kokoh. Kita bisa melihat contoh pohon di sekitar kita. Di depan rumah saya ada pohon kersen atau disebut juga pohon ceri, dan pohon tanjung. Pohon itu tumbuh tinggi dengan daun yang sangat lebat. Dan mereka, kita tahu memiliki akar tunjang yang kuat.

Tidak heran kalau daunnya begitu lebat dan batangnya begitu kokoh. Akar tunjang, umumnya rajin sekali berkelana di dalam tanah. Ujung-ujung akarnya yang halus dapat mencari tempat air yang tersembunyi jauh di dalam tanah, dan dengan sistem metabolisme yang luar biasa membawanya ke batang, untuk kemudian dipergunakan dalam proses masak memasak di daun yang jauh dari permukaan tanah.

Kita bisa menebang batang pohon, dan membiarkan akarnya di dalam tanah. Suatu saat, dengan kekuatan yang dimilikinya, maka akar akan mendorong tumbuhnya ranting muda, yang kemudian menjadi batang, dan akhirnya pohon tumbuh kembali. Yang penting, pasokan makanan untuk akar cukup tersedia. Maka tanaman pun dapat hidup dan berproses kembali seperti semula.

Apa pun, baik akar serabut maupun akar tunjang, memiliki fungsi yang sama. Mencari bahan makanan dan air, dan menyalurkannya kepada batang pohon. Mereka dalam diamnya terus bergerak, memberi makanan, menjadi tempat cadangan atau gudang logistik dan menghidupkan pohon secara keseluruhan. Mereka memang tinggal diam di dalam tanah, tetapi apa jadinya pohon tanpa akar ?

Tak hanya itu.

Akar, selain memberi kehidupan kepada pohon, juga memberi identitas. Kita selalu berkata ,” Cari akarnya dulu !” . Betul, dengan mengetahui akar pohon, maka kita pun dapat mengetahui asal muasal, dari mana pohon itu bertumbuh dan berkembang.



Menilik sebatang pohon dengan akarnya, saya lalu melihatnya dalam kehidupan manusia.
Sebagai mahluk sosial, manusia juga perlu akar . Perlu akar, dari mana dia berasal dan dari mana dia mendapat dukungan kehidupan. Manusia perlu memiliki keluarga. Perlu memiliki keluarga besar. Perlu memiliki tetangga. Perlu memiliki teman dan sahabat. Perlu memiliki lingkungan sosial.

Tanpa akar keluarga, manusia seperti alien, yang melayang-layang di angkasa luar. Tidak memiliki tempat berpijak, tidak memiliki lingkungan yang menjadikannya memiliki identitas.

Bila kita mengenal pohon kelapa dan pohon kersen dari akarnya, maka kita mengenal manusia dari keluarganya. Tidak ada orang yang dilahirkan tanpa keluarga dan tanpa budaya.

Sekarang, ada kecenderungan orang untuk melupakan akarnya. Melupakan keluarga dan asal usulnya. Apakah mungkin ? Secara fisik, kita sudah memiliki ciri dan identitas. Secara psikologis dan sosial, kita membawa budaya yang melekat pada perilaku kita.
Barangkali globalisasi telah menembus batas-batas negara. Barangkali globalisasi telah membuat percampuran budaya dari banyak bangsa. Barangkali, karena berasal dari tempat dan budaya tertentu, kita jadi malu pada asal usul kita. Tetapi tetap saja, setiap orang memiliki akar yang tidak bisa dicabut dari tanahnya. Kita tidak dapat mengingkari akar kita.

Bayangkan, sebuah pohon tanpa akar. Dia akan kering dan mati. Bayangkan seseorang tanpa identitas dan budaya, maka dia akan menjadi orang yang mengawang seakan-akan tanpa roh . Apa yang harus kita jawab bila ada orang yang bertanya : “ Kamu siapa ? “

Bila ada pepatah mengatakan : Jangan lupa kacang akan kulitnya. Maka untuk pohon, barangkali bisa ada pepatah : Jangan pohon lupa pada akarnya.

Sedangkan sebatang pohon tunduk pada hukum alam, dan menjaga akarnya agar dia tetap hidup. Apakah kita, manusia, tidak dapat belajar dari sebatang pohon ?



Jakarta, 9 Oktober 2010

Salam hangat,

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih buat Pa & Ma, yang tetap mengajarkan nilai-nilai budaya dan tradisi yang mengakar, dengan asimilasi terhadap lingkungan di mana pun berada...terima kasih atas bimbingan dan inspirasinya...I love U...forever.. Terima kasih juga untuk sahabat-sahabatku, yang tumbuh bersama dalam lingkungan akar-akar yang kuat...Terima kasih atas dukungan di dalam perjalanan hidup ini...

Rabu, 06 Oktober 2010

Art-Living Sos 2010 (A-6 Seragam...

Dear Allz....

Hellloww...heeelllloooow....lagi ngapain ? Menjelang week end niiih...sudah ada rencana-rencana untuk berlibur ?

Biasanya sih...kalau menjelang liburan, kita sudah bersiap-siap untuk membebaskan diri dari keterikatan selama seminggu...hehehe...Iya, Senin sampai Jum’at biasanya kan kita terikat pada prosedur dan hal-hal lain yang berkaitan dengan aktivitas kerja. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu...untuk bebas sejenak dari rutinitas...

Rutinitas itu sebetulnya diperlukan juga, terutama dalam kegiatan yang membutuhkan keteraturan. Bahkan orang-orang kreatif sekalipun harus memiliki rutinitas tertentu, agar kreativitasnya terasah...hehehe...

Rutin, di satu sisi memang membuat kita terpasung. Tetapi kelepasan yang tidak terkendali membuat kita tidak nyaman. Entah kenapa, manusia kadang-kadang suka mencari rasa aman dengan sebuah kesamaan, dengan rutinitas, atau keseragaman...hmm....

Saya jadi ingat tentang seragam...Terutama pakaian seragam...Ahaaaa...Bila hari Senin sampai Jum’at kita sudah terikat dengan keseragaman, di hari libur seyogyanya kita membebaskan diri dari keseragaman itu...tapiiiiiii...kalau pas hari Minggu ada acara olahraga bareng lagi...dan kita merupakan sebuah team yang akan bertanding melawan team lainnya ? Dijamin...kita pun tetap menggunakan pakaian atau kaos seragam...hahahaha....

Oke deeeh...sambil menunggu saatnya akhir pekan...sambil menunggu waktu berlibur...kita bincang-bincang saja sedikit tentang ‘seragam’....Mau khaaan ??

Selamat menikmati...dan selamat berseragam....
Cheeeerrssssss......


Jakarta, 6 Oktober 2010
Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Art-Living Sos 2010 (A-6
Selasa, 22 Juni 2010
Start : 22/06/2010 10:21:59
Finish : 22/06/2010 14:03:59


SERAGAM...OHH...SERAGAM


Saya dan sahabat-sahabat jaman SMA sedang merencanakan sebuah pertemuan dan perjalanan tahunan...hehehe...Begitulah. Setelah waktu bergulir, dan usia bertambah, ternyata urusan pertemuan dan reunian menjadi acara yang penting. Agar kerinduan itu terasa maksimal, jadinya pertemuan dilakukan setahun sekali saja. Padahal siiiiih...pengennya tiap bulan...hahahaha....

Tanpa perlu ditunjuk, para sahabat sudah membagi tugas masing-masing . Si A bagian tranportasi. Si B bagian akomodasi. Si C bagian konsumsi. Ada lagi bagian acara, bagian gedor-gedor pintu dan rayu merayu untuk sumbangan tambahan, bagian kordinasi dan kirim sms ke sana ke mari...hmmh...pokoknya lengkap deh. Tinggal urusan pelaksanaan dan susunan acara yang lebih detail. Tiba-tiba ada yang nyeletuk.

“ Eeeeh, nanti kita pakai baju apa, ya ?” tanya seorang sahabat.
“ Baju ? Ya, baju biasa ajalah .” Sahut yang lain. Beberapa pasang mata sama-sama melirik.
“ Kenapa kita nggak bikin seragam. Biar seru .” Usul yang lainnya.
“ Seragam ? Waaww...boleh juga. Biar kelihatan kalau ini acara tahunan.” Sambut yang lain dengan gembira.
“ Waddduuuh...belum apa-apa udah mikirin seragam. Dari jaman sekolah, kita sudah pakai baju seragam. Masa sekarang pakai baju seragam lagi ?” Yang satu mempertanyakan.
“ Oke...okeee...kereeen...Seragam kaos aja, ya...Biar bisa dipakai semua.” Dukungan bertambah.
“ Iya...yang warnanya ngejreng...jadi kita kelihatan muda lagi... hahahaha...”..
“ Jadiiiii...??? Seragam yaaa....seragam...Ayooo...hitung budgetnya...”

Urusan pertemuan dan pakaian seragam pun tuntas. Hanya perlu beberapa menit waktu untuk mengumpulkan suara. Ternyataaaaa... masih banyak yang suka berseragamria...hehehehehehe...



Tak hanya dalam acara tahunan sekolah urusan pakaian seragam ini menjadi topik yang menarik. Di balik pakaian seragam ini juga ada perwujudan nilai-nilai yang sama, yang direpresentasikan di dalam keseragaman. Entah sejak kapan, manusia ini suka sekali mengikat diri di dalam balutan pakaian yang sama model dan warnanya...hmm...

Saya ingat. Semasa masih SD dulu, sekolah kami adalah sekolah biasa. Boro-boro pakai baju seragam. Beberapa teman saya bahkan harus bergantian baju dengan saudara-saudaranya agar memiliki satu pakaian seragam putih di hari Senin. Itu sebabnya, pihak sekolah juga mengambil kebijaksanaan tidak memaksakan kehendak agar semua murid menggunakan seragam yang sama. Yang penting setiap anak bisa belajar dengan baik, walaupun bajunya beraneka bentuk dan warna.

Ketika masuk SMP, ketentuan sekolah saya lain lagi. Berhubung saya mendapat kelas di sore hari, jadinya kami tidak pernah upacara bendera di hari Senin. Kami pun bebas berpakaian apa saja kecuali hari Sabtu, kami harus memakai baju seragam berwarna putih. Modelnya sesuka hati. Yang penting warnanya sama. Mungkin saja, ada yang putih kinclong dan putih tua agak bluwek karena sudah lama. Tapi tidak apa. Secara umum namanya tetap seragam putih...hehe...

Tahun kedua, saya pindah sekolah. Di sekolah baru ini kami harus memakai pakaian seragam putih setiap hari. Bayangkan ! Setiap hari.

Sebetulnya ada enaknya berseragam putih setiap hari. Jadi sebagai pelajar, kami tidak usah pusing memikirkan pakaian yang akan dipakai. Atas bawah putih. Model boleh apa saja. Bagi wanita boleh pakai atasan blus dan padanan rok. Boleh juga baju terusan yang saat itu disebut sack dress. Sedangkan siswa yang laki-laki, ya terima nasib, atas bawah putih. Kemeja lengan pendek atau panjang, dan celana berkaki pendek. Hanya pada saat olahraga boleh pakai celana warna biru tua dari bahan drill atau keeper. Itu juga seragam...hmm...

Terbiasa memakai pakaian seragam putih setiap hari, membuat saya agak syok juga ketika masuk SMA. Hanya hari Senin dan Sabtu kami pakai seragam putih-putih. Hari lainnya bebas. Boleh pakai baju warna apa saja. Dan model apa saja. Jaman awal tahun tujuhpuluhan itu, sekolah kami kadang mirip panggung pagelaran mode di hari Selasa hingga Jum’at. Dari mulai rok mini yang memang sedang ngetrend saat itu, hingga rok yang panjang selutut bagi wanita. Saya sendiri mengikuti semua aliran...hihiiii...dan pernah juga rok saya termasuk yang paling panjang di sekolah...hehehe...Bukan apa-apa, saya selalu bergerak cepat kian kemari. Dengan ukuran rok yang mini, akan sulit berlarian. Jadi saya memilih rok panjang, dengan celana pendek di dalamnya...hahaaa..

Ketika saya menjadi pengurus OSIS di tahun kedua. Program saya yang pertama adalah mengusulkan pakaian seragam untuk sekolah. Alasannya sederhana saja. Agar kami tidak pusing memikirkan model baju setiap hari. Apalagi saya, dan beberapa teman yang terbiasa menggunakan baju seragam putih setiap hari, akan sangat tertolong kalau ada pakaian seragam sekolah. Sekaligus untuk menunjukkan identitas sekolah.

Akhirnya, setelah berembuk lama antara OSIS dan pihak sekolah, pada tahun kedua itu pun kami memiliki seragam sekolah yang baru. Atasan putih, dengan bawahan warna abu-abu. Belakangan hampir semua sekolah SMA di Medan menggunakan pakaian seragam sesuai dengan pilihan warna masing-masing. Ada yang putih-hijau, ada yang putih-coklat, ada yang putih-biru, dan lain-lain. Tanpa dapat dipungkiri, kami cukup bangga dengan warna seragam putih dan abu-abu yang menjadi identitas sekolah kami. Dan beberapa tahun kemudian, secara nasional pakaian seragam SMA ini ditetapkan berwarna putih dengan bawahan abu-abu....horeeeee...paling tidak kami sudah maju selangkah dalam bidang perseragaman...hahahahaha...



Ngomong-ngomong soal seragam, bukan hanya di sekolah saja kita melihat orang berpakain seragam.

Ada instansi atau lembaga pemerintah yang memang wajib berpakaian seragam. Misalnya ABRI dan polisi. Kan bisa lucu juga kalau tentara tidak pakai baju seragam, terutama dalam urusan-urusan formal. Apalagi di lingkungan ABRI, pakaian seragam dan atributnya itu menunjukkan kepangkatan atau jabatan tertentu. Dan untuk keseragaman itu ada aturan yang baku dan sangat ketat. Tidak sembarang orang boleh memakai baju seragam dengan atribut-atributnya.

Selain ABRI dan polisi, rupanya ibu-ibu atau isteri ABRI juga perlu diseragamkan. Ini tentunya untuk mengimbangi para bapak yang menjabat suatu jabatan tertentu di instansinya. Selain untuk meningkatkan rasa memiliki, juga untuk meningkatkan rasa kebanggaan karena mereka merupakan bagian dari korps angkatan bersenjata dan POLRI itu. Kadang menjadi pertanyaan saya ( yang agak nakal), kalau para isteri atau ibu-ibu berseragam mengikuti pekerjaan suami, bagaimana dengan para suami atau bapak yang isterinya menjadi ABRI ? Sampai sejauh ini saya belum pernah melihat barisan bapak-bapak berseragam sesuai dengan jabatan isterinya di lingkungan ABRI... hehehe...piiiiiisss....

Tak hanya ABRI dan polisi yang jelas kasat mata menggunakan seragam. Para dokter dan suster di rumahsakit juga wajib menggunakan seragam tertentu ketika akan berpraktek. Entah ini termasuk kode etik atau prosedur, tetapi melihat dokter dan suster berseragam ketika menjalankan tugas memang membuat hati pasien lebih tenang dan nyaman.

Sekarang banyak perusahaan yang membuat pakaian seragam untuk karyawannya. Ada yang untuk jabatan dan level tertentu saja, seperti seragam Customer Service di bank atau di jasa layanan lain. Ada juga yang menyeragamkan seluruh karyawan di perusahaan itu, agar mudah diidentifikasi dan dalam hitungan biaya juga menjadi lebih efisien.

Pakaian seragam pun ternyata tidak hanya berfungsi sebagai identitas korporasi atau organisasi. Beberapa jenis pakaian seragam memang dirancang untuk fungsi tertentu dengan mengutamakan kenyamanan dan keselamatan. Sebagai contoh, kita lihat, juru las kapal atau di pabrik pesawat terbang menggunakan pakaian khusus yang melindungi tubuh mereka dari kemungkinan percikan api ketika bekerja. Juga para pekerja laboratorium harus menggunakan seragam tertentu untuk mengurangi dampak radiasi ketika sedang melakukan penelitian.

Sssttt...jangan dikira hanya pekerjaan formal saja yang membutuhkan seragam sebagai identitas. Tukang sulap atau magician, membuat pakaian ‘seragam’ yang menunjukkan identitasnya. Warna dan bentuk serta atribut tambahan, dibuat sedemikian rupa berbeda dari yang lainnya . Mereka juga sering memakai pakaian berwarna hitam atau warna gelap lainnya, agar menimbulkan impresi atau kesan tertentu. Bayangkan kalau magician menggunakan baju warna pink atau oranye yang ngejreng dengan bunga-bunga atau bola-bola...bisa-bisa orang menduga mereka adalah badut atau clown...hehe...



Kembali pada seragam....terutama pakaian seragam...

Kadang manusia ini memang aneh...sekaligus lucu. Ketika manusia ini bebas merdeka, sendirian, sebetulnya dia juga bebas mau memakai pakaian apa saja. Tapi kemudian, karena adanya rasa ingin menjadi anggota sebuah kelompok, maka mereka pun bersepakat untuk membuat pakaian seragam.

Kenapa pakaian ? Tidak lain, karena pakaian adalah bagian dari diri seseorang yang mudah dilihat dan menjadi identitasnya.

Memakai pakaian yang sama, membuat orang merasa memiliki keterikatan dengan tata nilai dan cara pandang kelompoknya. Rasa memiliki ini secara tidak disadari juga membuat orang merasa kuat dan memiliki kekuasaan dibandingkan dengan kelompok yang lain. Keakraban, dukungan dan solidaritas karena kesamaan pakaian membuat orang menjadi pribadi yang berbeda dan lebih percaya diri bila kelompok itu kuat. Atau justru sebaliknya. Ketika kelompoknya terpuruk atau kalah, maka orang yang menggunakan seragam itu akan merasa terkucil serta ketakutan bila berada di lingkungan yang berbeda.

Melihat seragam yang beraneka....saya jadi merenung...

Saya sendiri kadang suka keseragaman. Terutama bila hal itu berdasarkan fungsi dan kepraktisan. Namun di lain kesempatan, saya lebih suka menjadi diri sendiri, dan memiliki warna dan bentuk yang berbeda.

Hidup memang pilihan. Berseragam atau tidak, semua memiliki konsekwensi masing-masing. Kenyamanan dan kesamaan nilai adalah hal yang utama. Tanpa rasa nyaman dan rasa memiliki, kita akan tersiksa karena memakai baju yang tidak kita suka.

Jadiiiiiii...masih mau berseragam-ria ? Hehehehe...sapa takuuuuuttt...



Jakarta, 22 Juni 2010
Salam hangat yang ceria....


Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk sahabat-sahabatku di SMANSA 74 yang menjadi inspirasi tulisan ini...Juga teman-teman di BCA yang suka sekali membuat seragam di dalam kedinamikaan...

Minggu, 03 Oktober 2010

Art-Living Sos 2010 (A-9 Si Pussy...Sang Kucing

Dear Allz...

Ahaaaaaaaayyyy....halllooooww....ceria niiiih...ceriaaaaa....Kan hari libur lagi...hari Sabtu dan Minggu...hehe...Mau malas-malasan sejenak, atau mau rajin-rajinan membereskan rumah...yiiipppiieee....Apa pun...semoga yang teman dan sahabatku lakukan pada hari ini diiringi dengan keceriaan dan semangat yaaa...

Terasa nggak sih...waktu semakin cepat bergulir. Rasanya baru kemarin saya berseru-seru, menyerukan tentang Body, Mind and Soul...edisi hari minggu lalu...Eeeh, sekarang sudah nyaris hari Minggu lagi...Waktu seperti roller coaster...cepaaaat sekali berputar... penuh dinamika dan gejolak...

Bersyukurlah kita, seandainya masih berada di dalam lingkaran waktu dan dapat menepati janji-janji yang terukir di dalam jalinan waktu. Bersyukur juga kita, karena begitu banyak kesempatan dan peluang yang sudah kita miliki untuk diwujudkan. Dan itu menjadi catatan perjalanan yang membuat hidup kita semakin kaya.

Banyak kejadian yang kita lihat dan kita alami selama hari-hari ini...Ada hujan, ada panas...ada lancar, ada macet...ada suka, ada duka...ada hitam, ada putih...semua menjadi warna kehidupan...Semua itu akan menjadi berkah bagi kita, bila hati kita terbuka dan pikiran kita bisa memberi ruang untuk mencerna pengalaman itu sebagai bagian dari anugerah yang kita miliki...

Memang, tidak semua orang beruntung memiliki perasaan yang gembira dan ceria selalu...tapi sebenarnya itu kembali berpulang kepada diri kita sendiri. Memutuskan, apakah kita mau gembira dan bahagia, atau mau sedih dan bermuram durja. Sama dengan pilihan-pilihan hidup kita yang lain...mau menerima atau mau menolak...

Seperti pilihan kita tentang seekor kucing...mau menerima atau tidak. Mau memeluknya atau menyingkirkannya...hiyyaaaahhh....Apa hubungannya perasaan menerima dengan kucing ? hehehehe....Mari kita lihat saja...mari kita nikmati saja..

Mumpung teman dan sahabatku sedang bertanya-tanya...Mumpung hari ini kita sedang merenung untuk menyelaraskan body, mind and soul ...Saya sajikan saja cerita ringan tentang kucing....

Selamat mengeoooongg...ehh...Semoga berkenan...

Jakarta, 2 Oktober 2010


Ietje S. Guntur


♥♥♥


Art-Living Sos 2010 (A-9
Start : 28/09/2010 17:38:56
Finish : 29/09/2010 17:56:19
Edit : 02/10/2010 7:23:10



SI PUSSY...SANG KUCING

Saya baru tiba di rumah. Saat melangkah menapak anak tangga yang menuju ke pintu, saya melihat beberapa ekor kucing berbaring santai di situ. Halaaaah...kucing siapa ini ? Pikir saya. Selama ini saya memang tidak memelihara kucing.

“ Pus...enak bener, ya...pinggir dulu sana. Saya mau masuk .” Kata saya sambil membuka pintu. Kucing-kucing itu menatap saya sejenak, lalu berdiri dengan malas. Bergeser sedikit. Memberikan celah bagi saya untuk lewat.
“ Kucing siapa itu ?” tanya Pangeran Remote Control, suami saya, yang menyusul di belakang .
“ Nggak tahu, mungkin kucing liar atau kucing tetangga.” Sahut saya.
“ Wadduuuh...tiap hari di sini, lama-lama si kucing merasa tempat ini jadi rumahnya juga. “ Sambung Pangeran sambil mengibaskan koran, mengusir kucing yang sudah siap-siap selonjor lagi. Halaaah....

Saya masuk ke dalam rumah, dan membiarkan urusan si Kucing dan Pangeran di depan pintu. Sudah lama saya melihat kucing-kucing itu berkeliaran setiap pagi di depan rumah. Warnanya bermacam-macam, kelabu, kuning kecoklatan, belang tiga, hitam dengan bercak putih, dan putih bercak hitam ( eeeh...beda, kan ?).

Kadang kucing-kucing itu berjemur di teras rumah saya. Kadang bersantai di bawah pohon mangga di depan rumah. Tidak jarang, mereka pun iseng mengintai kolam ikan saya....dan menyantap ikan yang asyik berenang di situ. Saya beberapa kali memergoki kucing yang agak besar, duduk mencangkung di pinggir kolam, lalu dengan kecepatan seperti elang menyambar ayam, mereka pun menyambar ikan yang lengah di dalam kolam...hiiiksss....



Urusan saya dengan kucing tidaklah terlalu mesra. Sering on-off. Putus sambung. Mau dijauhi, dia datang mendekat. Mau didekati, ada perasaan enggan. Jadi deh...hubungannya seperti malu-malu mau...alias malu-malu kucing...hehehe...

Di keluarga saya, kucing termasuk hewan favorit yang nyaris selalu ada sepanjang jaman. Entah itu kucing liar, ataupun kucing peliharaan. Saya ingat, sejak saya kecil, berbagai jenis hewan ada di dalam dan di luar rumah. Menjadi peliharaan atau sekedar numpang lewat. Termasuk para kucing ini.

Ibu dan adik saya adalah penggemar kucing. Sementara ayah saya dan adik saya yang lain adalah musuh besar kucing...hihi...Dulu di rumah kami begitu banyaknya kucing, sampai setiap sudut ada kucing yang berbaring atau berlari-larian. Bahkan ibu saya selalu memberi nama panggilan bagi setiap kucing, dan menyediakan tempat makan khusus bagi kucing-kucingnya.

Adik saya malah lebih parah lagi. Dia bukan sekedar menyukai kucing, tetapi juga jadi pemulung kucing. Tidak boleh ada kucing terlantar di pinggir jalan, pasti dibawanya pulang ke rumah dan dirawat dengan baik. Tidak heran, rumah kami menjadi lebih mirip peternakan kucing...he he...

Berbeda dengan ibu dan adik , saya sendiri tidak pernah lagi memelihara kucing sejak kucing kesayangan saya dibuang oleh ayah saya. Ceritanya, semasa saya masih SD, saya pernah punya sekeluarga kucing. Salah satu anak kucing itu adalah peliharaan saya. Namanya Petra. Warnanya kuning belang bergaris-garis. Suatu ketika Petra dan saudara-saudaranya ketahuan oleh ayah saya sedang naik ke atas meja makan. Tanpa ampun lagi, mereka pun terpaksa dihukum, dan dibuang karena sudah mengganggu stabilitas di rumah kami.

Sebetulnya saya ingin agar Petra tetap di rumah. Tetapi kata ayah saya, lebih baik kucing-kucing itu dibuang bersama-sama, supaya ada saudaranya. Jadi sambil berlinang airmata, saya memasukkan Petra ke dalam mobil. Lalu mengantarkannya ke tempat di mana mereka akan mendapatkan makanan yang lebih banyak dan lebih baik.



Pengalaman saya dengan kucing di rumah ternyata tidak berhenti sampai di situ. Entah karena ada magnitnya, atau karena lingkungan rumah yang cukup menyenangkan . Seringkali rumah kami menjadi pangkalan tempat nongkrong para kucing dan keluarganya. Entah kenapa, banyak sekali kucing yang datang dan kemudian beranak-pinak di rumah kami. Kadang-kadang sebel juga sih...terutama kalau mereka sudah berkelahi dengan ributnya di pagar dan atap rumah. Kadang genteng rumah pun ikut bergeser dan menimbulkan kebocoran saat hujan turun.

Dari beberapa generasi kucing yang pernah mangkal di rumah kami, ada juga satu dua yang cukup berkesan. Salah satu diantaranya adalah tentang kucing yang bisu tuli...hehehe...bener lhooo...

Ceritanya begini...Suatu ketika , ada beberapa ekor kucing yang mangkal di rumah kami. Mereka kami beri makan agar tidak nyelonong masuk dan mencuri ke dalam rumah. Setelah kami perhatikan, ternyata salah seekor dari kucing itu tuli dan tidak bisa mengeong. Setiap kali kami masuk ke halaman rumah, dan dia membelakangi kendaraan, dia selalu diam tidak bereaksi. Walaupun sudah diklakson dan diteriaki dengan keras, dia tidak akan pernah menepi.

Suatu kali, entah bagaimana, tiba-tiba si Kucing yang berwarna hitam legam dengan garis putih mirip pita di bagian depan tubuhnya ini menjerit. Sungguh. Dia menjerit dengan suara yang aneh. Dan sejak itu, dia belajar mengeong dengan berbagai nada dan suara. Kadang sember, kadang cempreng seperti kaleng, kadang serak...Pokoknya heboh banget deh ! Bagusnya, sejak bisa mengeong, ia pun jadi lebih sigap melompat bila mendengar suara kendaraan atau orang yang datang mendekat . Rupanya selama ini dia tidak bisa mengeong karena dia tidak pernah mendengar suara meong-meong kucing lain, jadi dia tidak bisa meniru suara...Ahaaaa....

Masih cerita keluarga si Kucing yang ini. Suatu ketika kami pergi ke luar kota dan meninggalkan rumah tanpa ada yang menjaga. Ketika kami kembali dari perjalanan, dan saat saya membuka pintu, baru ketahuan bahwa salah satu pintu rumah kami tidak terkunci. Para kucing itu telah menjaga pintu rumah kami dengan berselonjor di sana sepanjang hari. Sejak itu, mereka pun resmi menjadi penghuni rumah kami, dan diterima dengan tangan terbuka. Tapi tetap dengan catatan : Kucing dilarang masuk ke rumah...hmmh....



Cerita tentang kucing barangkali tidak ada habisnya. Maklum, hewan berkaki empat ini telah begitu akrab dengan manusia. Sejak ribuan tahun lalu. Kucing malah dipercaya sebagai hewan suci bangsa Mesir kuno. Itu bisa kita lihat di dalam lukisan-lukisan dan ukiran yang tertera di berbagai piramid yang berhasil dibuka. Salah satu dewi kucing yang terkenal di Mesir adalah Dewi Bast. Dewi ini dianggap sebagai pelindung rumah dan pelindung ladang dari gangguan tikus.

Perjalanan kucing, yang semula adalah kucing liar menjadi kucing peliharaan juga membutuhkan waktu sangat panjang. Sekarang, kucing ini tidak sekedar menjadi kucing liar penghuni jalanan seperti kucing di sekitar rumah saya. Banyak orang yang memelihara berbagai jenis kucing dengan berbagai bentuk dan ketebalan bulu. Adik saya malah pernah punya kucing yang matanya berbeda antara mata kiri dan mata kanan. Unik ya...

Oya, kucing juga hewan yang inspiratif. Ingat film dan kartun Felix The Cat yang pernah populer beberapa tahun lalu ? Nama Felix itu memang diambil dari sebutan latin untuk kucing, yaitu Felix cattus. Si Felix kucing hitam yang jenaka itu tidak hanya lucu, tapi juga sangat cerdas dengan berbagai pemecahan masalah yang sering out of topic. Selain Felix the cat yang inspiratif, banyak lagi cerita-cerita tentang kucing. Bahkan ada iklan yang menggunakan simbol suara kucing sebagai pengingat...halaaah...ada-ada saja...

Kucing memang bisa menjadi sahabat, bila kita merawatnya dengan baik. Walaupun beberapa orang alergi terhadap bulu-bulu kucing, dan dapat mengakibatkan gangguan pernafasan, tapi tetap masih banyak orang yang menyukai kucing.

Belakangan, menurut beberapa penelitian mengenai hewan peliharaan, kucing termasuk salah satu hewan yang dapat mengurangi gangguan emosional pada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Dengan memiliki dan memelihara hewan ini, mereka dapat menyalurkan emosinya, sehingga lebih sabar dan lebih bertanggungjawab.




Kembali kepada kucing...kembali kepada hubungan antara manusia dan hewan...Mengapa kita menyukai atau tidak menyukai kucing ?

Sama seperti pilihan hidup, kucing adalah salah satu pilihan. Kucing bisa berguna dan bermanfaat bila kita menggali potensi yang dimilikinya. Tapi dia pun bisa menyebalkan dan menjadi pengganggu di rumah bila kita tidak memperlakukannya dengan baik. Kucing bisa menjadi sahabat dan obat penyembuh luka hati, penghibur di kala sepi...tapi kucing pun bisa bikin jengkel kalau dia sudah mengeong-ngeong dengan suara sopran yang cempreng...

Hidup kitapun seperti itu...Apakah kita mau menjadi sahabat kehidupan yang dirindukan ? Atau kita harus menerima nasib dikibas-kibas dengan koran atau direlokasi ke tempat yang jauh agar tidak mengganggu stabilitas lingkungan....aaacchhh...




Jakarta, 2 Oktober 2010

Salam hangat,



Ietje S. Guntur


Special note :
Terima kasih untuk sahabatku Adith...kucing-mania...hehe...Juga adikku Bud & Titun - pemulung kucing...serta Mama, yang luar biasa dan sangat akrab dengan kucing...Terima kasih atas inspirasinya...Tapi aku belum bisa memelihara kucing lagi...hiiikss...cukup cerita ajalah...



♥♥♥

Jumat, 01 Oktober 2010

Art-Living Sos 2009 (A-6 Coklat...tak selalu Coklat

Dear Allz…

Hallloooooowwwww…..yeelllloooowww….apakabaaarrr ??? Aaaaahhh…senangnya, mendengar kabar teman dan sahabatku dalam keadaan sehat semua… Eheemmh…menjelang akhir pekan...hari libur…pasti dong segar dan semangat…hehe…

Sudah ada rencana untuk berlibur atau menikmati hari akhir pekan ? Syukurlah, bila sudah ada jadwal…Tetapi bila belum ada rencana apa-apa, juga tidak mengapa…Kita bisa kok menikmati keseharian kita di rumah. Menikmati segala sudut di rumah kita. Menikmati kicauan burung yang beterbangan di pohon-pohon di sekitar rumah kita. Bahkan menikmati sarang laba-laba dengan laba-labanya sekalian…karena pojok gelap itu sudah agak lama tidak tersentuh pasukan pembersih…hhhggh…

Saat seperti ini memang saat yang ditunggu. Sendirian atau bersama dengan keluarga. Atau bersama dengan sahabat-sahabat. Semua akan menyenangkan, kalau hati kita sedang senang atau mood kita sedang baik. Rasanya dunia akan kinclong dan bersinar cemerlang…seperti cawan perak yang digosok hingga mengkilap…

Suasana hati…keadaan emosi…memang sangat berpengaruh terhadap hidup kita sehari-hari. Emosi yang tenang dan stabil, emosi yang bergairah penuh semangat akan membuat kita lebih mudah menerima kondisi apa pun yang kita alami. Sebaliknya, emosi yang goncang atau tidak stabil, emosi yang layu dan tak bergairah….membuat kita malas melihat dunia…atau bawaannya jadi pengen marah-marah melulu…

Konon katanya, untuk mengatasi emosi atau mood yang tidak menentu itu banyak caranya. Selain berolahraga, meditasi, berjalan santai di tempat yang nyaman dengan udara yang bersih, kita juga dapat mengatasinya dengan menyantap makanan-makanan tertentu. Di antaranya adalah coklat…hehe..iya,…coklat atau yang kita kenal sebagai chocolate…

Saya doyan makan coklat…dan saya harap teman dan sahabatku juga menyukainya…hehe… Jadi boleh dong kali ini kita ngobrol tentang coklat dulu, ya ?

Mumpung hati lagi senang…mumpung semangat sedang elok dan penuh gairah…saya hidangkan coklat ini untuk teman dan sahabatku semua…Semoga berkenan…

Jakarta, 1 Oktober 2010
Salam hangat,


Ietje S . Guntur
♥♥♥


Art-Living Sos 2009 (A-6
Selasa, 28 September 2010
Start : 28/09/2010 14:12:36
Finish : 28/09/2010 16:17:23


COKLAT...tak selalu COKLAT...


Jam makan siang. Saya baru selesai bersantap dengan sahabat-sahabat di kantor. Siang itu kami menikmati makan siang di pusat jajan di sekitar kantor. Jam makan siang yang pendek selain untuk mengisi energi fisik, juga untuk mengisi energi batin. Ngobrol dan curhat termasuk untuk mengisi baterai emosi...hehehe...

Sambil berjalan kembali ke ruang kerja, saya celingak-celinguk ke toko-toko yang berjajar di kompleks pertokoan seputar kantor. Inilah salah satu keuntungan bekerja di lingkungan yang dekat dengan pusat perbelanjaan. Lebih mudah memenuhi kebutuhan logistik. Tentu saja harganya lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan harga di warung dekat rumah. Tapi demi alasan kepraktisan, ya mau tidak mau sesekali belanja di pusat perbelanjaan itu harus dilakoni juga. Sekalian cuci mata ala ibu-ibu...hahahaha...bisa saja....

“ Aku pengen makan coklat deh !” tiba-tiba saya nyeletuk.
“ Haaah...baru saja makan nasi, kok sudah mau makan coklat ,” sahut seorang sahabat.
“ Hmmh...pengen ada yang manis-manis sedikit, untuk mengimbangi rasa yang asin pedas tadi .” Kilah saya. Sahabat saya Cuma mengangguk-angguk. Entah setuju, atau tidak. Tapi akhirnya dia pun mengikuti saya mampir di toko yang menjual berbagai keperluan rumahtangga, termasuk coklat batangan kegemaran saya.

Jadi deh...sebatang coklat dengan rasa pahit dan sedikit rasa kacang di dalamnya menjadi penutup makan siang tadi. Dan sambil mengemut potongan coklat yang meleleh di lidah, dengan hati senang saya melangkah kembali ke ruangan kerja...hmmhh...



Tak hanya sekali itu saya mendadak kepengen coklat.

Walaupun bukan tergolong penggemar berat alias Chocolate-Mania, tetapi sesekali saya suka juga mengemut si Coklat dengan aneka rasa. Coklat dengan butiran kacang atau mete, coklat dengan isi kismis, coklat dengan isi strawberry...bahkan coklat yang sekedar beraroma jeruk atau mint saya juga doyan.

Sebetulnya kalau ditanya, kenapa saya suka coklat, ya saya sendiri kurang tahu. Rasanya tradisi memamah...eeeh, memakan dan mengemut coklat ini sebenarnya ‘warisan’ dari ibu saya. Sejak kecil saya sudah diiming-imingi ibu saya dengan aneka coklat. Bila ibu saya sedang punya uang belanja lebih...( ini sih rahasia kaum ibu...), beliau sering membelikan kami coklat yang enak dan cukup mahal harganya untuk jaman itu. Coklat batangan itu biasanya dibagi beberapa kepingan, dan dibagi untuk saya dan adik-adik. Biasanya sih...saya mendapat potongan paling besar...hihi... Jadi kebiasaan mengemut terbawa hingga saat ini. Kata ibu saya, coklat tak hanya untuk cemilan selingan, tapi juga bisa membuat perasaan jadi tenang dan santai...hehe...

Duluuuuuu....ketika saya masih kanak-kanak, saya pernah jadi coklat-mania yang tergolong rakus...hahahaha...ngakuuuuuu.....ngakuuuu....!!! Di masa itu, saya mendingan nggak makan nasi dari pada nggak makan coklat batangan...terutama yang ada tulisannya ‘voolmelk’...halaaaah...!! Tapi karena rada-rada malas sikat gigi, akibatnya gigi saya menjadi geripis, dan sisa coklat menimbulkan caries dan infeksi pada gusi saya. Jadi deh...saya sering menderita sakit gigi gara-gara memamah coklat tidak berhenti...hiks hiks...

Ada satu pengalaman saya yang sangat menyedihkan dan tidak terlupakan dengan coklat. Yaitu, ketika lebaran saya tidak bisa keluar rumah. Pipi saya tembam seperti bapao, dan seluruh mulut berdenyut-denyut, nyeri tidak karuan. Saya hanya bisa menangis, dan melihat teman-teman bergembira di hari raya yang meriah itu. Sementara itu, demi alasan keamanan dan kenyamanan, ibu saya tidak mengijinkan saya keluar dari rumah...huaaaa... huaaaaa....Pokoknya hari itu jelek banget deh. Baju baru, sepatu baru, tapi pipi tembam kemerahan dan wajah seperti kue bapao yang salah kukus...Suatu kombinasi yang tak enak dilihat di depan kaca !

Sejak saat itu, saya – dengan kesadaran sendiri – mulai membatasi mengemut coklat. Saya pun tidak berebutan lagi dengan adik-adik saya bila ibu atau ayah saya membelikan coklat. Ini memang agak mengherankan bagi ibu saya, tapi beliau bersyukur juga. Sejak saya mengalami kisah sedih di hari lebaran itu tidak ada lagi tawuran massal di rumah gara-gara coklat...hihihi...



Ngomong-ngomong soal coklat, terutama coklat makanan. Dulu, kebanyakan coklat makanan ini hanya berbentuk batangan yang dibungkus satu persatu. Ada juga coklat berbentuk pensil yang berisi wafer di dalamnya, atau coklat bundar-bundar tipis mirip uang logam. Belakangan, dengan aneka kreasi, maka banyak coklat-coklat makan yang rasanya manis berbentuk aneka rupa.

Coklat, yang berasal dari biji buah cacao, kemudian diolah menjadi cocoa butter. Kita biasa menyebut pohon cacao , atau nama latinnya Theobroma cacao ini sebagai pohon coklat saja. Cocoa butter yang berasal dari pohon cacao inilah kemudian yang diolah menjadi - sebagian besar - untuk bahan makanan dan farmasi. Iya, lho...coklat yang cocoa butter itu tidak hanya enak diemut-emut, tapi juga bermanfaat untuk bahan baku obat-obatan ataupun kosmetika. Ingat saja ada lulur dan masker wajah dari coklat...hehe...

Berdasarkan beberapa penelitian, coklat ini tak hanya enak disantap. Tetapi kandungan coklat juga berpengaruh terhadap mood atau kondisi emosi seseorang. Itu sebabnya, orang yang sedang tidak stabil emosinya dianjurkan untuk menyantap coklat atau meminum sajian coklat yang hangat. Sayangnya, banyak orang yang kebablasan...Setiap kali mood-nya tidak enak, mereka tidak sekedar icip-icip coklat. Mereka malah melampiaskan nafsu makannya kepada coklat ini...hmmh...nyaaam...

Coklat untuk lulur dan masker juga memiliki khasiat yang kurang lebih sama. Selain membersihkan kulit, kandungan coklat di dalam lulur atau bahan masker itu diyakini akan menenangkan dan menyehatkan kulit. Luar biasa, ya...

Sekarang coklat yang kita kenal pun beragam merek dan rasanya. Dulu kita hanya mengenal coklat-coklat buatan luar negeri yang notabene justru tidak memiliki pohon dan kebun coklat di negaranya. Swiss , Jerman, Italia, Perancis, Belgia termasuk negara-negara penghasil makanan coklat yang terkenal di seluruh dunia. Sedangkan sekarang sudah mulai banyak coklat lokal yang beredar di pasaran, antara lain coklat dengan isi kacang mete, coklat susu, coklat isi buah dan kismis, dan lain-lain.

Tidak hanya itu. Coklat pun sekarang banyak ragam warnanya. Walaupun namanya coklat, tetapi coklat tidak selalu berwarna coklat...Sekarang ada ‘coklat’ yang warnanya putih, ada coklat yang warnanya pink dan orange, ada juga coklat yang warnanya hijau dan agak ungu...wwooowww...

Itu tentu berbeda dengan coklat jaman saya SD dulu. Dulu itu ada coklat kegemaran anak-anak dengan gambar ayam yang rasanya agak pahit. Coklat cap ayam ini cukup populer, karena harganya murah meriah dan rasa coklatnya manis menggigit. Buat sekedar kemut-kemutan rasa, si coklat cap ayam ini lumayan banget untuk bekal ke sekolah dan jajan iseng di saat santai.



Cerita tentang coklat, sebetulnya kita boleh miris dan prihatin. Bagaimana tidak ?

Coklat Indonesia, terkenal sangat baik mutunya. Kondisi alam dan iklim di Indonesia sangat baik bagi pertumbuhan tanaman coklat. Semasa masih kecil dan tinggal di Sumatra, saya sering diajak oleh ayah saya ke perkebunan coklat yang ada di sekitar kota Medan. Dulu saya pernah berpikir, bahwa makanan coklat batangan itu akan menjuntai dari ujung-ujung tangkai pohon coklat. Tapi ternyata tidak . Ketika melihat buah coklat yang mirip buah belimbing dalam ukuran lebih besar, saya sempat kecewa....ohh lala...betapa naifnya saya...hehe...

Berdasarkan sejarahnya, coklat atau cacao yang berasal dari Amerika Selatan banyak ditanam dalam skala besar dan perkebunan di daerah-daerah Indonesia Timur seperti Sulawesi dan beberapa daerah di pulau Jawa. Belakangan tidak hanya di wilayah Timur Indonesia dan sekitar Medan saja banyak pohon coklat yang ditanam untuk industri. Saya pernah melihat kebun-kebun coklat yang menghampar luas di kiri kanan jalan, di daerah Nias, pulau yang pernah dilanda gempa besar dan tsunami. Konon kualitas cocoa dari daerah Nias ini termasuk yang terbaik di Indonesia. Dan sekarang menjadi salah satu komoditi ekspor yang diperhitungkan dari daerah Sumatra Utara.

Melihat buah coklat yang bergelantungan di pohonnya, dan melihat bungkusan coklat di dalam kotak-kotak kemasan bermerek luar negeri, hati saya seperti diiris-iris.

Kita, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa. Tetapi kenapa, kita tidak tergerak untuk meningkatkan produksi coklat atau tepatnya cocoa butter untuk keperluan industri dalam negeri. Kita merasa sudah cukup puas hanya dengan menyantap coklat cap ayam, yang hanya berupa aroma coklat, bukan dari cocoa butter yang berkualitas. Sementara negara pengimpor coklat dari Indonesia dapat menikmati devisa dengan memproduksi dan menjajakan coklat papan atas dengan cita rasa lezat yang harganya berpuluhkali lipat.

Bila di satu sisi coklat dapat menunjukkan kelas sosial dan tingkat ekonomi seseorang, apakah kita cukup puas hanya dengan menjadi kelas sosial ekonomi cap ayam saja. Tidak tergerakkah kita untuk meningkatkan diri setara dengan coklat kualitas ekspor ? Tidak inginkah kita mewarnai dan memperkaya hidup kita seperti coklat yang memperkaya kehidupan orang lain ?

Kita bisa belajar dari proses pengayaan dan peningkatan kualitas coklat...dari cacao menjadi cocoa butter. Dan dari cocoa butter menjadi coklat hidangan istimewa yang memperkaya hidup kita.

Semoga...apa pun warna coklatnya, suatu saat akan menjadikan kita lebih percaya diri dan menjadi primadona di negara sendiri.

Mau menjadi penikmat coklat ? Mariiiiiiiii......

♥♥

Jakarta, 28 September 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih buat Melia , si Coklat-Mania...yang sering mengiming-imingi coklat...hhmh...thanks buat inspirasi coklatnya...Juga buat sahabat-sahabat kecilku penggemar coklat cap ayam...hehe...serta adikku penggemar coklat satu batang bagi enam...;)



♥♥

Minggu, 26 September 2010

Art-Living Sos 2010 (A-9 Kolang-kaling

Dear Allz….

Apakabar sahabatku semua ? Semoga sehat-sehat, ya…Bagaimana dengan aktivitas di hari raya kemaren ? Ada yang ikutan mudik ? Ada yang tetap tinggal di kotanya masing-masing ? Ada yang masih di kampung halaman ? Alhamdulillah….di mana pun kita berada, yang penting hati kita ada di situ…sehingga semua terasa menyenangkan dan menenteramkan….Bahagia itu konon bukan dari tempat kita berada, tetapi dari hati yang menikmati suasana…hmm….

Mumpung sekarang masih dalam suasana lebaran dan hari raya, barangkali lebih asyik kalau kita ngobrol yang ringan-ringan saja. Seputar lebaran, atau pun seputar kenangan tentang lebaran.

Saya punya secuplik cerita…tentang hidangan yang sering hadir menyelinap di hari-hari bulan Ramadhan, dan juga di hari-hari gembira pada saat lebaran. Dialah si Kolang-kaling, buah bening yang bisa beralihrupa aneka warna.

Tanpa berpanjang kata, saya kirimkan hidangan teranyar untuk sahabat semua. Semoga hidangan saya kali ini cukup menyegarkan…dan menjadi santapan yang dapat dinikmati sambil bersantai bersama keluarga….

Oya, kalau mau mencoba….saya juga menyertakan sedikit resep untuk membuat manisan kolang-kaling…

Semoga berkenan…

Jakarta, 14 September 2010
Salam hangat,


Ietje S. Guntur

- di kantor….sambil menunggu hujan dan badai mereda di seputar bundaran HI…


♥♥♥








Art-Living Sos 2010 (A-9
Selasa, 14 September 2010
Start : 14/09/2010 11:11:50
Finish : 14/09/2010 15:46:09



KOLANG-KALING...

Bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri baru saja berlalu. Saya masih sibuk berbenah rumah yang sempat amburadul selama masa lebaran. Iyalah...namanya juga kumpul keluarga, sudah pasti semua tempat dan celah diisi dengan kehangatan acara. Ada wilayah yang tetap rapi, tapi ada kawasan di dalam rumah yang malah jadi berantakan tidak karuan....hehehe....Tapi saya bahagia, karena artinya rumah saya masih memiliki kehangatan dan kasih sayang yang melimpah di setiap sudutnya.

Sambil berberes, saya pun memeriksa isi kulkas dan lemari. Mencari-cari sisa hidangan hari raya yang masih layak santap...heh heh...Ada rendang daging, yang memang tahan awet . Ada semur lidah, yang tinggal sekerat. Ada juga kue bolu yang tinggal beberapa potong. Dan ohooooo...ada manisan kolang-kaling, yang tak pernah absen dalam setiap acara lebaran. Eeeheemm... lebaran kemaren ini si Kolang-kaling pun hadir dan berkolaborasi dengan bahan lainnya , menjadi minuman lezat yang menyegarkan.

Saya intip di dalam stoples penyimpannya, masih ada kurang lebih setengah bagian. Manisan kolang-kaling yang saya buat dua hari sebelum hari raya tampak berkilau dengan warna merah jambon dari sirup yang merendamnya....hmm...jadi ngiler juga nih. Mumpung masih libur...mumpung siang panas terik, saya mau membuat minuman segar dulu ya....hehehe...

Jadi deh, saya ambil beberapa butir buah kolang-kaling yang sudah terasa manis, ditambahi dengan biji selasih yang berwarna hitam, dituangi sirup merah jambon manyala, dan ditaburi pecahan es batu....glllhh....Saya duduk santai di ruang tamu, menikmati seteguk demi seteguk es sirup dan buah kolang-kaling yang kenyal-kenyal... rasanya segaaar sekali...aaaccch.....sedaaappp ....



Ngomong-ngomong soal manisan buah kolang-kaling ini, saya jadi ingat masa kecil saya ketika orangtua saya bertugas di kota Tanjung Balai, Asahan. Di kota yang terletak di tepi sungai Asahan ini buah kolang-kaling termasuk buah yang cukup banyak dijajakan pada bulan puasa dan dibulan liburan lainnya. Banyak pedagang, terutama dari etnis Tionghoa menjual manisan kolang-kaling berwarna merah jambon atau hijau manyala di dalam stoples yang mengundang mata untuk berhenti dan mencicipinya.

Saya yang biasanya kurang suka jajan, tapi melihat buah kolang-kaling yang besar dan menggiurkan ini, mau tak mau tergoda juga. Jadinya, hampir seluruh uang saku saya yang diperoleh dari upah membantu orangtua ( hihiiii...nanti saya ceritakan di lain episode, ya...) habis untuk jajan buah kolang-kaling. Ibu saya , yang biasanya rajin membuat penganan untuk jajanan anak-anaknya , yang sedang dalam masa pertumbuhan dan doyan apa saja, mulai merasa was-was. Akhirnya, beliau pun turun tangan dan membuat sendiri manisan kolang-kaling untuk kami santap setiap hari...heh heh...

Salah satu resep manisan kolang-kaling yang saya peroleh dari ibu saya cukup praktis prosesnya. Caranya begini : pilih buah atap atau kolang-kaling yang besar dan jernih, tanpa biji atau mata yang masih menempel. Kemudian buah kolang-kaling atau buah atap dicuci bersih, boleh juga direndam dengan air cucian beras. Setelah itu direbus hingga matang, dan ditiriskan hingga benar-benar kering tanpa uap air. Setelah dingin, buah kolang-kaling ini dimasukkan ke dalam stoples selapis, kemudian ditaburi gula pasir. Setelah itu dimasukkan lagi buah kolang-kaling, dan dilapisi lagi dengan taburan gula pasir .

Begitu berlapis-lapis hingga hampir menutupi stoples. Jangan terlalu penuh, karena kolang-kaling akan mengeluarkan air. Bila ingin kolang-kaling berwarna, beri tetesan pewarna cair sedikit pada bagian atas. Tutup rapat dan masukkan ke dalam lemari pendingin atau kulkas. Biarkan selama 2 x 24 jam, tanpa dibuka, hingga kolang-kaling tampak berkilat karena rembesan gula pasir dan manisan sudah dapat disantap. Kata ibu saya, selama proses perembesan gula ini, manisan tidak boleh dibuka karena oksidasi dari udara dapat menyebabkan timbulnya jamur atau gagalnya proses pengawetan . Saya sih nurut-nurut saja, dan sejauh ini, saya sudah sukses membuat manisan kolang-kaling dengan cara tersebut selama bertahun-tahun...hehehehe...



Hmmh...cerita tentang kolang-kaling tidak berhenti hingga di situ. Sekarang, kolang-kaling atau nama Latinnya adalah Arenga Piruiata MERR yang merupakan salah satu anggota famili Falmaceae sudah menjadi komoditi ekspor yang diperhitungkan. Nah....

Sekilas tentang buah kolang-kaling barangkali bisa mengungkapkan betapa perjalanannya untuk hadir menjadi hidangan istimewa di bulan puasa dan hari-hari raya. Buah kolang-kaling ini berasal dari tandan buah yang muncul dari tengah pohon yang termasuk golongan pohon palma mirip dengan pohon kelapa .

Sejauh yang saya ketahui, pohon kolang-kaling adalah pohon yang unik dan banyak gunanya . Selain buahnya yang diproses menjadi makanan, daunnya juga dapat dianyam untuk dibuat atap atau dinding. Selain itu juga hasil ijuk dari helai seludangnya juga dapat dibuat sisipan atap atau sebagai penahan getaran pada bangunan-bangunan dan keperluan konstruksi jalan raya . Ijuk juga bisa dibuat sapu, sikat dan lainnya. Itu sebabnya di beberapa daerah, pohon yang punya banyak nama seperti pohon aren, enau atau kawung ini juga disebut pohon buah atap. Masih ada lagi. Nira dari pohon enau ini pun bisa dibuat gula, yang dikenal dengan nama gula aren yang berwarna coklat keemasan.

Proses untuk menjadikan buah kolang-kaling menjadi buah bundar yang tipis pun tidak semudah memetik kelapa. Tapi ada proses yang agak rumit dan harus membutuhkan ketekunan. Buah yang tumbuh di tandan buah, dibakar terlebih dahulu agar kulitnya mengelupas. Kulit buah kolang-kaling ini mengandung bulu-bulu halus dan sejenis getah yang membuat kulit menjadi gatal bila tersentuh. Itu sebabnya buah ini harus dibakar untuk menghilangkan unsur yang membuat gatal. Buah kolang-kaling berbentuk lonjong, dan didalamnya ada biji buah yang tipis. Biji buah yang berwarna keruh ini bila sudah dibakar akan menjadi berwarna bening. Biji buah yang bening inilah yang diolah menjadi berbagai jenis makanan, terutama manisan kolang-kaling.

Tak hanya di hari raya saja buah kolang-kaling ini menghiasi meja hidangan dan memeriahkan acara. Di berbagai daerah di Indonesia, pada saat bulan puasa, atau pun dibulan-bulan lainnya, buah kolang-kaling sering juga dicampurkan ke dalam masakan kolak pisang atau pun kolak ubi dan singkong. Dengan cita rasa yang netral, rasa kenyal-kenyil buah yang mirip agar-agar ini membuat sensasi rasa yang berbeda dan menambah selera.

Berbentuk bulat, yang kadang dipotong kecil-kecil tipis, buah kolang-kaling bisa tampil sebagai pendamping, sekaligus penghias di dalam berbagai hidangan yang disajikan. Kolak, es campur, es buah, dan aneka minuman lainnya sungguh sedap bila ditambahkan kolang-kaling. Bahkan dimakan begitu saja sebagai manisan kolang-kaling pun tetap enak dan mengenyangkan.

Belakangan, popularitas kolang-kaling semakin meningkat. Tak hanya di negeri sendiri, yang memiliki area kebun dan hutan enau terluas di kawasan Asia Tenggara. Saya pernah menemukan, makanan dalam kemasan kaleng yang bahan dasarnya adalah kolang-kaling. Dan mirisnya, buah kalengan itu ternyata made in negara tetangga yang konon tak memiliki lahan luas untuk perkebunan atau hutan enau . Halaaah...

Ini seperti kata pepatah lama : “kambing punya susu, lembu punya nama“...dan sekarang dalam kaitannya dengan kolang-kaling : “Indonesia punya enau dan kolang-kaling , negara jiran yang punya nama”...hikss...

Selama ini kita memang kurang menghargai hasil bumi sendiri, kurang menghargai sumber daya yang kita miliki. Namun ketika bangsa lain mengambil alih dan meningkatkan daya jualnya, maka kita pun ribut berteriak-teriak. Ketika kita hanya menghargai kolang-kaling di bulan Ramadhan dan pada saat hari raya, orang lain dapat menghargainya sepanjang tahun dan memetik devisa dari perdagangannya . Sungguh ironis....



Menyantap kolang-kaling yang manis segar, saya merenung...

Dari buah sederhana yang kehadirannya dinanti setiap tahun dan menyemarakkan hari-hari besar, kita bisa belajar satu hal. Sederhana itu biasa, tetapi justru kesederhanaan itulah yang membuatnya menjadi istimewa.

Seandainya saja kita bisa menghargai hal-hal sederhana di sekitar kita, dan meningkatkan harkatnya dengan memanfaatkan potensi yang sudah kita miliki sejak semula. Maka kita tidak sekedar menjadi kaya, tetapi kita pun akan lebih bermanfaat dan menjadi lebih mulia...

Semoga saja....

♥♥


Jakarta, 14 September 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Terima kasih untuk Mama yang menjadi inspirasi tulisan ini...juga encik penjual manisan di Tanjung Balai yang mengajarkan ilmu berdagang kepada saya...thanks untuk semua kenangan yang membangkitkan semangat....


♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-9 Musang-spirator

Dear Allz...

Hallloooowwww....sahabat-sahabatku....lagi ngapain ? Heeemmm....lagi santai ? Atau sedang sibuk berbenah seusai lebaran ? Apa pun yang sahabatku lakukan, semoga semuanya dalam keadaan sehat dan segar bugar ya....

Hari ini...mumpung menjelang akhir pekan, kita bersantai dulu ya...Setelah hiruk-pikuk lebaran....setelah hiruk-pikuk suasana mudik...setelah heboh karena asisten di rumah juga mudik dan pulkam...pulang kampung....barangkali sudah saatnya kita menata kembali rutinitas dan melangkah ke depan.

Naaaah, mumpung sedang dalam suasana yang lebih santai, kita ngobrol yang berbeda dulu. Biasanya kita ngobrol tentang makanan dan kehidupan sekitar kita, kali ini saya mau cerita yang lain dari yang lain. Tapi tetap berkaitan dengan kehidupan yang cukup dekat dengan kita. Ceritanya adalah tentang musang...hehehe...

Ssstttt....jangan takut. Musang memang hewan yang bagi sebagian orang merupakan mahluk aneh dan menakutkan, tapi itu semua karena kita tidak terbiasa. Tetapi kalau kita sudah tahu apa gunanya musang di dalam kehidupan kita...barangkali kita akan punya pandangan lain mengenai salah satu mahluk unik ciptaan Tuhan ini....Tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu kalau tidak ada gunanya...dan di sinilah kita belajar, bahwa musang punya peran luar biasa bagi penggemar kopi dan kolang-kaling....halaaah....

Oke deeeh....agar tidak penasaran berkepanjangan, kita duduk santai dulu...siapkan secangkir kopi atau teh...atau es manisan kolang-kaling....dan selonjorkan kaki...

Hmmm....siap berpetualang bersama si Musang ? Ayoooooooo.....c’mooonnn.....


Jakarta, 17 September 2010

Salam sayang ,


Ietje S. Guntur


♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-9
Rabu, 15 September 2010
Start : 15/09/2010 16:47:32
Finish : 16/09/2010 8:46:29



MUSANG-SPIRATOR


Sore-sore, di kantor. Mata saya terasa berat. Ibarat lampu sudah nyaris tinggal 5 watt...hiks hiks...Saya menoleh ke jam besar yang tergantung di dinding. Olala...ternyata ini memang saatnya minum kopi....hehe...

Saya lantas ingat, masih punya persediaan kopi istimewa, yang saya beli beberapa waktu lalu. Kopi luwak asli....hmmmh...Jadi deeeeh....sore yang hangat semakin nikmat dengan hidangan secangkir kopi. Sambil duduk menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan hari itu, saya menyesap kopi dengan mata merem melek...ahaaaa....sedaaapp....

Saya memang penggemar kopi. Sejak kecil saya doyan meminum kopi, dengan aneka cita rasa dan campuran. Tapi tetap saja....kopi yang paling saya sukai adalah kopi tubruk yang diseduh tanpa disaring....Apalagi minumnya sambil nongkrong melamun, dan kopi tubruk mengalir pelan melalui tenggorokan. Rasanya dunia akan berhenti berputar sejenak, lalu inspirasi pun mengalir deras ke segala penjuru...hehehe...

Saya tidak sendirian . Bagi para pencinta kopi...atau para kopi-mania, kopi memang dipercaya bisa merangsang peredaran darah dan melancarkan inspirasi. Tapi ada juga sisi lain yang membuat saya harus menahan diri. Gara-gara keranjingan minum kopi, saya pernah sakit perut kebanyakan kopi. Pernah juga melek dua hari dua malam setelah meneguk bergelas-gelas kopi ketika nonton wayang kulit semalam suntuk . Sekarang, sejalan dengan pertambahan umur, saya pun agak bertobat sedikit...Minum kopi dikurangi, tapi untuk kopi luwak tetap ada tempat khusus di hati...hmm...



Berbicara tentang kopi luwak, barangkali ada beberapa orang yang tidak tahu bahwa luwak adalah musang.

Dan kopi luwak adalah kopi yang diproses dari biji buah kopi yang sudah dimakan oleh musang, lalu dikeluarkan bersama kotorannya. Setelah dibersihkan, kopi diproses seperti biasa. Dijemur, digongso atau digongseng tanpa minyak, dan kemudian digiling atau ditumbuk sesuai selera. Karena prosesnya yang panjang dan unik, jadinya kopi luwak berharga sangat mahal.

Tidak hanya itu yang menyebabkan kopi luwak mahal harganya. Si Musang yang menjadi ‘pabrik’ biji kopi ini adalah hewan pemilih. Dia tidak mau sembarang menyantap biji kopi. Dia akan memilih yang betul-betul matang, dan tentu saja kualitasnya sangat baik. Itu sebabnya, dahulu kopi luwak hanya dihasilkan oleh daerah-daerah yang memiliki lingkungan baik dan terjaga, karena musang pun tidak suka daerah yang berisik dan tidak ada makanan yang memadai untuk kehidupannya.

Belakangan, karena tuntutan industri , terutama dari para penggemar kopi seperti saya, musang-musang ini sengaja dipelihara dan diberi makan biji kopi pilihan. Musang itu seperti kebiasaannya yang alamiah , akan menyantap biji kopi, lalu mengeluarkannya lagi bersama dengan kotorannya. Begitulah....kita sebagai konsumen tinggal duduk santai menikmati secangkir kopi luwak, yang tak lain tak bukan adalah produksi akhir dari proses metabolisme Si Musang.

Sekarang, bukan hanya di dalam negeri, kopi luwak produksi si Musang ini pun terkenal di manca negara. Bahkan dalam sebuah film, nama kopi luwak disebut-sebut sebagai kopi paling enak di dunia...ahaaa...



Cerita tentang musang atau luwak, yang nama gaulnya di dunia ilmiah adalah Paradoxurus hermaphroditus tak berhenti hingga di industri kopi.

Musang pun erat hubungannya dengan kolang-kaling atau buah atap. Bagaimana bisa ?

Begini...Musang yang bisa hidup luwes di hutan, di ladang dan diperkotaan juga suka menyantap buah dari pohon enau. Dan ternyata pohon enau atau pohon kawung yang menghasilkan buah kolang-kaling dapat berkembang-biak berkat bantuan para balatentara musang, yang gemar mengemut buah-buah dari pohon enau atau pohon kawung . Bagi musang enak saja mengemut buah tersebut, padahal bagi kita kalau tidak berhati-hati bisa menimbulkan gatal-gatal bila tidak diproses sempurna. Ingat saja cerita saya tentang kolang-kaling...hmm...

Nah, berkat musang-musang ini maka biji-biji buah enau yang sangat keras dapat tumbuh di area yang luas. Maklum saja kan, musang itu sehabis makan biasanya juga sering berlompatan kian kemari. Mereka memiliki wilayah operasional dan pergaulan yang cukup luas, sehingga dengan bantuan mereka perluasan tanaman enau pun dapat berkembang dengan cepat.



Ngomong-ngomong tentang musang...ehhh...saya mau cerita sedikit nih. Walaupun tidak lumrah, boleh dikatakan keluarga kami cukup akrab dengan hewan ini, bahkan kami pernah punya peliharaan musang. Sungguh !

Ketika ayah kami ditugaskan di Sumatra dan bertempat tinggal di Tanjung Balai, halaman rumah kami cukup luas untuk memelihara berbagai jenis hewan. Ibu saya yang memang penyayang binatang, akhirnya menerima tawaran seorang kenalan untuk menerima hibah seekor musang untuk dipelihara. Sebetulnya kasihan, karena musang biasanya lepas bebas di pohon-pohon. Di halaman rumah kami pun banyak pohon yang dihuni oleh beberapa ekor musang. Itu diketahui dengan tersebarnya aroma mirip daun pandan bila ia menandai wilayah kekuasaannya.

Si Musang peliharaan kami yang hanya sendirian , cukup lama juga terkurung di kandang. Sampai suatu hari kami melepaskannya ke halaman dan dia lari ke atas pohon, bersatu dengan teman-temannya yang lain. Sejak saat itu, si Musang selalu hilir mudik, di antara pohon-pohon dan kadang turun ke halaman. Karena sudah merasa akrab, pernah juga dia masuk ke dapur, mencari makanan...Barangkali dipikirnya , dapur juga termasuk teritori kekuasaannya...hehehe...

Ibu saya mengajarkan, bahwa hewan seperti musang juga ada gunanya. Walaupun kadang ada musang yang silap mencuri anak ayam, tetapi selainnya musang dapat hidup dari makanan yang diperolehnya di alam bebas. Dia cukup doyan makan hewan-hewan kecil – termasuk tikus, dan buah-buahan. Itu sebabnya secara alamiah ia turut melestarikan pertumbuhan pohon buah-buahan di berbagai tempat yang dilaluinya.

Di sisi lain, mungkin karena mudah menyelinap kemana-mana, dan kadang dapat mengelabui induk ayam di kandangnya, timbul pula pepatah yang menyebutkan ‘bagai musang berbulu ayam’ ...aaah.. Padahal kan bukan salah si Musang, ya ?
Oya...satu lagi. Tak lengkap kita cerita tentang musang, kalau tidak mencuplik sedikit kisah keluarganya. Keluarga besar musang ini sebetulnya banyak jenisnya. Selain famili musang luwak yang kita kenal sebagai produsen kopi kelas satu, ada lagi musang akar yang tinggal di hutan ( kita pasti jarang melihatnya, kecuali para penjelajah hutan ), musang rase yang hanya ada di Sumatra dan Jawa ( ingat cerita si Rase...nah ini dia tokohnya ), musang tenggalung yang khas semenanjung Malaya dan Kalimantan, musang galing ( ini saya belum pernah lihat , barangkali ada di koleksi Kebun Binatang Ragunan ), musang binturung yang tubuhnya lebih panjang, dan lingsang...Nah yang terakhir ini ada di Ancol, menjadi bintang panggung di pentas aneka satwa.
Tidak dapat dielakkan saya jatuh cinta pada si Musang , dan sejak itu selalu merindukan musang yang hidup di pohon-pohon. Di mana pun berada, saya selalu berharap ada musang yang hidup di sekitar rumah saya . Beruntung, ketika pertama kali tinggal di kawasan selatan Jakarta, di rumah kami ada sepasang musang yang sering berlarian di atas atap dan di pohon. Sekarang pun di halaman rumah kami , selain tokek yang setiap malam selalu berbunyi dengan riangnya, juga ada musang yang sering hilir mudik di pohon buah-buahan dan atap rumah kami.

Tidak jarang, musang di rumah saya suka iseng. Ketika saya sedang bekerja atau menulis di malam hari dan duduk di depan komputer sambil membuka jendela ruang kerja, si Musang pun mengintip sambil mendengus-dengus. Kadang saya berikan pisang atau rambutan, kadang-kadang juga buah-buahan yang lain. Awalnya si Musang agak ragu-ragu, tapi ketika dirasanya situasi cukup aman, maka hidangan buah-buahan yang saya sediakan pun akan dibawanya ke tempat persembunyiannya...hehehe...



Menyesap segelas kopi luwak yang hangat, saya jadi merenung....

Musang atau luwak hanyalah hewan yang biasa hidup di alam bebas. Tetapi di dalam kebebasannya itu, dia tetap tunduk dan patuh pada hukum alam. Dia pun memiliki selera tinggi dalam memilih makanannya, sehingga hasil metabolismenya menjadi standar tinggi untuk seni minuman kopi.

Tak hanya itu, berkat kegemarannya menyantap buah-buah yang berkualitas, termasuk buah yang sulit ditanam dengan cara biasa, maka kita dapat menikmati kolang-kaling dan hasil lain dari pohon enau., seperti ijuk, lidi, atap, bahkan minuman nira dan gula aren. Sungguh, berkat aktivitas si Musang, maka sebuah mata rantai kehidupan terus berlangsung secara berkesinambungan.

Aaaah...seandainya saja kita mau belajar dari Si Musang-spirator...dia tidak pernah menebar janji, tapi dia selalu menjalankan amanah dan berperan aktif di dalam kehidupan ini....



Jakarta, 16 September 2010
Salam sehangat kopi luwak....


Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih buat Mama yang selalu mengajarkan tentang kehidupan dari hal-hal sederhana yang nyata...terima kasih atas inspirasi dan cinta kasih sepanjang perjalanan hidup ini...I love U, Ma...

♥♥♥