Jumat, 22 Oktober 2010

Art-Living Sos 2010 (A-10 SEBENTAR

Dear Allz....

Hmmh...apakabaaarrr ? Semoga semua teman dan sahabatku sehat-sehat di akhir pekan ini, yaaaa...Sehat dan gembira, agar hidup kita menjadi lebih bermakna.

Mumpung sekarang hari Jum’at....akhir pekan...saya mau menyajikan sepotong kata saja, yang pendek dan sederhana, yaitu : SEBENTAR...

Nggak usah berpanjang kata seperti biasanya...hehehe...kita langsung saja, ya... Namanya juga sebentar....

Sebelumnya, ijinkan saya mengutip sedikit anekdot pendek mengenai kata ‘Sebentar’ atau ‘entar’, yang saya peroleh beberapa waktu lalu dari seorang sahabat ( terima kasih, ya...inspiratif banget).


Selamat menikmatiiiiiiiiii....have a nice day....


Jakarta, 22 Oktober 2010

Salam hangat,



Ietje S. Guntur


♥♥


Art-Living Sos 2010 (A-10
Selasa, 19 Oktober 2010
Start : 19/10/2010 15:12:11
Finish : 19/10/2010 17:33:15


SEBENTAR


Pertanyaan menggelitik : Berapa lamakah sebentar itu ?

Ide dari sebuah email seperti ini :
Mas Karjo jalan2 ke Mangga Dua mau melihat pameran komputer.
Mas Karjo penasaran dengan tulisan "ENTER" disalah satu komputer terus dia tanya ke SPG yang lagi membagikan brosur.

"Mbak mau nanya dong "ENTER" ini maksudnya apaan sih?"
Ternyata SPG-nya juga gaptek.
"Kayaknya untuk mempercepat program aja Mas!"

"Mempercepat gimana maksudnya Mbak?"
"Ya mempercepat aja, Mas . Kan kalau tulisannya 'ENTAR' jadinya lama!"


Cerita berikutnya.

Saya sudah berjanji dengan seorang teman, untuk bertemu di suatu sore. Saya sudah berada di tempat yang dijanjikan, ketika ponsel saya bergetar lembut. Sebuah pesan singkat alias SMS masuk. “ Sabar, ya. Sebentar lagi. Kena macet nih.”

Saya membalas cepat. “ Tidak apa-apa. Aku cari tempat dulu. Kira-kira berapa lama lagi ?” tekan tombol . Kirim.

Dalam hitungan detik, ponsel saya bergetar lagi. “ Wah, ndak tahu nih. Macetnya nyaris nggak bergerak.”

Saya memperkirakan, paling tidak yang dimaksud ‘sebentar’ oleh teman saya adalah sekitar 15 menit hingga setengah jam. Di sore hari Jum’at seperti ini, apalagi ditambah dengan hujan , maka kemacetan bisa terjadi dimana-mana. Urusan sebentar, tidak bisa lagi diukur dengan semenit atau lima menit. Sebentar itu pun bisa mulur, menjadi paling cepat 15 menit, dan paling lama ....ya, tidak terbatas...hmmm...



Di tempat lain. Di saat yang lain. Seorang teman mengeluh. Dia kehilangan tas berisi barang belanjaan yang diletakkan di dekatnya ketika sedang berjalan-jalan di pusat keramaian yang padat pengunjung.

“ Baru saja aku menoleh sebentar, tas jinjinganku sudah lenyap. Waduuuh...sial banget.” Wajahnya tampak jengkel dan gemas.
“ Lha, memangnya nggak dijaga ?” tanya saya. Prihatin.
“ Ya, dijaga. Aku Cuma bergeser beberapa senti meter, untuk melihat situasi. Eeeh, malah si tangan panjang lebih cepat dari kedipan mata. Gesit banget.”
“ Iyalah...mereka kan bekerja efisien. Secepat kilat.” Sahut saya lagi.
“ Hmmh...emang lagi apes. Untung aja, isinya bukan barang berharga. Tapi memang jengkel banget. Astagaaaa...kok bisa, ya...”.

Itulah. Sebentar yang terjadi kali ini memang sebentar yang sangat singkat. Mungkin hanya sekitar beberapa menit. Mungkin hanya beberapa detik. Ketika terjadi kelengahan, maka orang yang lebih gesit akan bergerak cepat .



Sebentar.

Itu memang hanya sebuah kata yang pendek. Tetapi seperti keadaan yang terjadi di sekitar kita. Sebentar itu bisa sangat relatif rentang waktunya.

Ketika kita menunggu seseorang, maka tidak ada waktu yang sebentar. Lima menit sudah lebih dari cukup untuk menguji kesabaran. Urusan ‘sebentar’ ini bisa menjadi dua bentar, tiga bentar...bahkan bisa menjadi seratus bentar kalau kita sedang menunggu sesuatu atau seseorang.

Gara-gara urusan sebentar ini , tidak jarang kita pun bisa berselisih pendapat dan bertengkar. Masing-masing orang akan mempergunakan ukuran sebentar, sesuai dengan kepentingannya. Sulit sekali untuk mengakurkan arti sebentar dalam satuan detik, menit atau jam. Belum pernah ada peraturan dan undang-undang, yang menyebutkan satuan ‘sebentar ‘ ini...heh heh..

Memang, dipikir-pikir, urusan sebentar ini erat kaitannya dengan waktu dan nafsu....hmmh...ssttt...tunggu dulu. Jangan murka.

Konon, orang yang bisa menahan nafsu, maka waktu ‘sebentar’nya bisa mulur menjadi lebih panjang. Contohnya, kalau kita sedang berpuasa menahan lapar, maka waktu sebentar kita adalah tidak makan dan minum selama sehari penuh. Kita akan bersabar sepanjang hari, dan menghitung waktu satu jam hingga lima jam sebagai bagian yang pendek dan hanya sebentar dibandingkan dengan waktu berpuasa seharian.

Tapi coba , kalau kita sedang kebelet mau buang air...( uuppss...maaf). Jangankan satu jam. Satu menit pun sangat berarti untuk kita. Siapa yang kuat menahan dorongan berkolaborasi...eh, bukan...dorongan untuk mengeluarkan isi perut dalam hitungan jam ? Kalau kebutuhan biologis akibat metabolisme usus sudah begitu mendesak, maka urusan sebentar benar-benar hanya dalam hitungan detik. Lewat dari detik itu, maka urusannya bisa gawat...hehehe...

Jadi memang nyata. Bahwa nafsu dan sebentar itu seperti saudara sepupu.

Kalau kita sedang menahan nafsu, maka semua seakan terasa lama. Tapi begitu nafsu dilampiaskan, maka waktu pun seakan bergulir sangat cepat. Setelah puas, biasanya kita bisa berkomentar ,” Aah...Cuma sebentar inilah !”



Selain tidak ada peraturannya, kata ‘sebentar’ ini juga bisa digunakan kapan saja, kalau kita mau menghindar dari sesuatu. Ibaratnya, kata ‘sebentar’ bisa dijadikan tameng untuk melindungi diri dari satu situasi yang gawat.

Misalnya kita mengatakan begini ,” Waduuuh...maaf, ya. Tadi saya ketemu dengan teman jaman sekolah . Jadi ngobrol sebentar. Keasyikan deh. Maklum sudah lama nggak berjumpa.” Bweeeh...basi banget...hih...hiiih...

Sebaliknya, kata ‘sebentar’ ini pun bisa dijadikan senjata untuk menyerang, kalau kita sedang memiliki kekuatan dan keperluan. Contoh-contoh di dalam komunikasi pemaksaan bisa dilakukan dengan kata ‘sebentar’. Misalnya begini ,” Pinjam mobilmu sebentar. Saya mau ke luar kota !” Dengan wajah galak dan mata membelalak.

Dari mana kita bisa mengukur, bahwa keluar kota bisa sebentar saja ? Hikks...tapi bukan karena kata ‘sebentar’ itu yang membuat kita mau meminjamkan mobil kita. Melainkan gaya dan wajah menakutkan dari orang yang menyemburkan kata ‘sebentar ‘ tadi.

Oya...kata sebentar juga belakangan sudah beranak-pinak dalam berbagai dialek daerah, terutama dalam pergaulan sehari-hari. Contohnya di Jakarta, kata sebentar telah berubah menjadi : Entar atau ntar. Penggunaannya pun bisa lebih fleksibel. Kita sering mendengar ucapan seperti ini ,” Iye...ntar-ntar aje !”. Yang kurang lebih artinya nanti saja. Bisa ditunda.

Contoh lain ,” Ntar dululah...gue lagi sibuk nih.” Artinya, nanti saja, bisa dikerjakan atau dilakukan lain waktu.

Bisa juga untuk ajang rayu merayu, seperti ini : “Ntar nih, kalo abang punya duit, adik akan abang belikan emas berlian dan sepatu kaca !” Huuu...gubrak banget deh. Hari gini pakai sepatu kaca ? Bukannya bisa belah dan luka tuh kaki ? Heh heh...



Kembali pada kata ‘sebentar’.

Setelah saya renung-renungkan, kata sebentar ini mengandung unsur subyektivitas yang sangat tinggi dan mengusung nilai-nilai yang sangat pribadi.

Kita jarang bisa mengakurkan nilai atau arti sebentar dengan seseorang. Bahkan dengan saudara kembar sekalipun, yang konon sering sehati dan sepikiran ( bener gak sih, kan kepalanya dua, dan jantungnya juga berbeda ?).

Itu sebabnya, karena nilai subyektivitas dari kata ‘sebentar’ ini begitu tinggi, maka seyogyanya kita harus berhati-hati dalam penggunaannya. Ketika kita berhadapan dengan orang yang memiliki kepentingan mendesak, maka kita dapat menenangkannya dengan kata ‘sebentar’. Tentunya dengan nada penghiburan. Tetapi hati-hati, bila kita menggunakan nada yang agak tinggi, bisa-bisa orang yang kita ajak bicara malah marah-marah karena merasa dipermainkan.

Masih ada lagi.

Sekarang coba perhatikan. Apakah ada di dalam komunikasi formal, seperti di dalam surat-surat perusahaan yang menggunakan kata ‘sebentar’. Misalnya di dalam sebuah proposal : “Dengan hormat. Sebentar lagi kami akan menerbitkan sebuah buku. Mohon bantuannya untuk sumbangan dana.”

Pihak penerima proposal pasti akan bertanya :” Sebentar itu, berapa lama ? Apakah ada kepastian ?”

Bahkan di dalam surat non-formal, kecuali sebagai bagian dari cerita, kita jarang menggunakan kata sebentar. Kata ini lebih banyak digunakan di dalam bahasa lisan yang bersifat pribadi. Kadang-kadang, kata sebentar yang bersayap ini juga digunakan oleh para politikus atau pengumbar janji untuk menyampaikan pesan-pesannya. Misalnya ,” Sebentar lagi daerah ini akan aman dari banjir.”...atau “ Sebentar lagi anak-anak kita tidak usah membayar biaya pendidikan .” ...eheem...



Itulah. Hanya dari sebuah kata, kita bisa mengambil banyak maksud dan tujuan. Kata yang kita pikir hanya sebuah kata sederhana, tetapi bila salah tempat dan salah waktu, akan runyam akibatnya.

Sebetulnya, saya masih ingin membahas mengenai kata sebentar ini lebih lanjut. Tapi..hmmh...tunggu sebentar, ya...saya mau mikir dulu...hehehehehe....

Sampai jumpa di episode berikutnya...Sebentaaaaaar lagi...



Jakarta, 20 Oktober 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk Edo yang telah mengirimkan joke yang inspiratif. Terima kasih kepada penulis joke yang telah saya kutip tulisannya...

Sabtu, 09 Oktober 2010

Art-Living Sos 2010 (A-10 Akar Mengakar

Dear Allz...

Hmmmh...sudah seminggu lagi berlalu...cepat beneeeerrr....Waktu rasanya seperti bergulung-gulung...Baru beberapa hari lalu kita ngobrol soal lain, sekarang sudah muncul lagi hal baru yang bisa diramu menjadi hidangan yang lezat...hehe...

Ngobrol dan temu kangen memang bagian dari kehidupan kita...entah itu ngobrol di udara, maupun ngobrol di sebuah pojok warung langganan. Semuanya serba sedap dan nikmat, bila hati kita ringan dan ceria. Itulah...hidup memang perlu keseimbangan dan keceriaan. Saya berdoa dan berharap, semoga teman sahabatku juga dalam keadaan seimbang, lahir dan batin di akhir pekan dan hari libur ini...

Memang...hari ini adalah saatnya kita mengevaluasi beban pikiran dan emosi... beristirahat sejenak dua jenak...merenung-renung...Waah..asyik banget. Ini semua perlu kita lakukan, agar kita tahu kapasitas diri kita. Sudah sepenuh apa, atau sudah sekosong apa ? Bila ingin diisi, maka diisi dengan apa, dan kapan mengisinya ?

Sebetulnya banyak kesempatan di dalam hidup kita, untuk mengisi kembali tangki kehidupan. Sayangnya, entah kita lupa, entah kita merasa begitu sibuk, sehingga tangki itupun tidak sempat terisi. Tangki emosi, tangki energi, tangki spiritual...bisa kosong melompong kalau tidak diisi ulang.

Seperti pohon, selalu mengisi tangki kehidupannya melalui akar yang giat berkelana di dalam tanah. Kita pun bisa seperti pohon, yang selalu segar karena dukungan akar yang kuat.

Hmmh...mumpung hari ini adalah hari mengisi tangki mind, body and soul...boleh dong kita ngobrol sejenak tentang AKAR ...Mau khaaannn ?

Oke deeeh...selamat menikmati...semoga berkenan...


Pojok Bintaro, 9 Oktober 2010
Salam hangat, dimalam yang sejuk...


Ietje S. Guntur

♥♥
Art-Living Sos 2010 (A-10
Start : 09/10/2010 20:34:50
Finish : 09/10/2010 21:57:54

A.K.A.R

Saya sedang rajin...hmmh...biasanya juga rajin sih...tapi ini lagi rajin mengecek kondisi tanaman di halaman rumah...hehe..Beberapa tanaman sudah gondrong daunnya, sehingga perlu dipotong. Pohon di depan rumah juga sudah rimbun dan rantingnya sebagian sudah mengering, akan mudah rontok bila tertiup angin kencang. Jadi mesti dirapikan.

Bunga-bunga...walaaah...hanya satu dua yang menunjukkan keceriaannya. Rupanya musim hujan yang tidak menentu membuat bunga-bunga sulit berkembang. Banyak yang berguguran sebelum mekar sempurna...hikks...

Saya mulai celingukan lagi. Eeeh...ternyata ada tanaman yang terjungkal dari potnya. Akarnya yang sudah tebal tampak mencuat, tidak cukup lagi di tempat yang lama. Wadduuhhh...ini harus dipindahkan. Barangkali sama juga dengan pohon mangga di depan rumah, yang akarnya sudah menembus wadah tempatnya bertumbuh selama ini. Mau tidak mau, pohon mangga terpaksa menetap di situ. Akarnya pasti sudah tumbuh memanjang dan mencengkeram tanah dengan kuat. Padahal dulu ketika saya pertama kali membelinya di sebuah pameran tanaman, dia termasuk tanaman kecil Tambulampot...alias tanaman buah di dalam pot...hhmh..

Sambil berkeliling halaman dan sisi luar halaman, saya menarik-narik dan menggoyang batang pohon yang ada. Ada dua pohon yang tumbuh besar dan kuat, dan dua pohon lagi tinggal bonggol dan sisa akarnya. Pohon yang masih tumbuh dan membesar, saya perhatikan ujung akarnya yang mengintip sedikit dari dalam tanah . Masih cukup kuat untuk menopang kehidupan pohonnya. Bahkan saya perkirakan, bila angin bertiup kencang, dia tetap dapat bertahan. Hanya rantingnya saja nanti yang akan saya rapikan, agar beban batang dan akar tidak terlalu berat.

Sementara itu, pohon yang tinggal bonggol belum bisa dibongkar, karena akarnya sudah melekat kuat. Saya kuatir, bila dibongkar paksa, bekas akarnya akan menimbulkan lubang cukup besar yang berbahaya. Jadi biarlah, akar itu menetap di sana. Semoga masih bermanfaat untuk penyangga tanah dan tempat bermukim hewan kecil yang pernah tinggal di bawahnya .



Ngomong-ngomong soal akar. Sejak jaman SD sampai hari ini umumnya kita mengetahui ada dua macam akar, sesuai dengan jenis tanamannya. Akar serabut, yang berasal dari tanaman berbiji keping tunggal atau monokotil , dan akar tunjang atau akar tunggang dari tanaman berbiji keping dua atau dikotil . Dan dari pertumbuhan pengakarannya, akar tunggang akan tumbuh jauh sekali dari batangnya, dan memiliki percabangan di bawah tanah yang banyak sekali. Sementara akar serabut, seperti sebutannya, ya mirip dengan serabut. Pertumbuhan pengakarannya tidak terlalu jauh, tapi tetap mantap surantap...alias kuat sekali.

Boleh kita lihat jenis tanaman berkeping tunggal seperti kelapa. Pohon kelapa bisa menjulang kurus tinggi dengan daunnya melambai-lambai di tepi pantai, mengalahkan ketinggian pohon berkeping dua. Seharusnya pohon kelapa, di pantai maupun di gunung, tidak sekuat pohon yang akarnya merambat jauh kemana-mana. Tapi memang luar biasa...pohon kelapa tetap dapat berdiri kukuh walaupun angin kencang selalu menerpanya siang dan malam.

Sistem pengakaran akar serabut, walaupun hanya seperti jari-jari kecil, ternyata memiliki daya cengkeram yang hebat. Jarang sekali kita melihat pohon kelapa tumbang mendadak, apalagi di usia produktif. Bahkan ketika tsunami melanda sebagian besar pantai Aceh, kita menyaksikan bahwa masih banyak pohon kelapa yang berdiri dengan gagahnya walaupun batangnya sudah dihantam air bah dengan kekuatan yang mampu menyeret sebuah kapal ke darat.

Akan halnya pohon berkeping dua dengan akar tunggang yang menjalar jauh dari pohonnya, umumnya memang kuat dan kokoh. Kita bisa melihat contoh pohon di sekitar kita. Di depan rumah saya ada pohon kersen atau disebut juga pohon ceri, dan pohon tanjung. Pohon itu tumbuh tinggi dengan daun yang sangat lebat. Dan mereka, kita tahu memiliki akar tunjang yang kuat.

Tidak heran kalau daunnya begitu lebat dan batangnya begitu kokoh. Akar tunjang, umumnya rajin sekali berkelana di dalam tanah. Ujung-ujung akarnya yang halus dapat mencari tempat air yang tersembunyi jauh di dalam tanah, dan dengan sistem metabolisme yang luar biasa membawanya ke batang, untuk kemudian dipergunakan dalam proses masak memasak di daun yang jauh dari permukaan tanah.

Kita bisa menebang batang pohon, dan membiarkan akarnya di dalam tanah. Suatu saat, dengan kekuatan yang dimilikinya, maka akar akan mendorong tumbuhnya ranting muda, yang kemudian menjadi batang, dan akhirnya pohon tumbuh kembali. Yang penting, pasokan makanan untuk akar cukup tersedia. Maka tanaman pun dapat hidup dan berproses kembali seperti semula.

Apa pun, baik akar serabut maupun akar tunjang, memiliki fungsi yang sama. Mencari bahan makanan dan air, dan menyalurkannya kepada batang pohon. Mereka dalam diamnya terus bergerak, memberi makanan, menjadi tempat cadangan atau gudang logistik dan menghidupkan pohon secara keseluruhan. Mereka memang tinggal diam di dalam tanah, tetapi apa jadinya pohon tanpa akar ?

Tak hanya itu.

Akar, selain memberi kehidupan kepada pohon, juga memberi identitas. Kita selalu berkata ,” Cari akarnya dulu !” . Betul, dengan mengetahui akar pohon, maka kita pun dapat mengetahui asal muasal, dari mana pohon itu bertumbuh dan berkembang.



Menilik sebatang pohon dengan akarnya, saya lalu melihatnya dalam kehidupan manusia.
Sebagai mahluk sosial, manusia juga perlu akar . Perlu akar, dari mana dia berasal dan dari mana dia mendapat dukungan kehidupan. Manusia perlu memiliki keluarga. Perlu memiliki keluarga besar. Perlu memiliki tetangga. Perlu memiliki teman dan sahabat. Perlu memiliki lingkungan sosial.

Tanpa akar keluarga, manusia seperti alien, yang melayang-layang di angkasa luar. Tidak memiliki tempat berpijak, tidak memiliki lingkungan yang menjadikannya memiliki identitas.

Bila kita mengenal pohon kelapa dan pohon kersen dari akarnya, maka kita mengenal manusia dari keluarganya. Tidak ada orang yang dilahirkan tanpa keluarga dan tanpa budaya.

Sekarang, ada kecenderungan orang untuk melupakan akarnya. Melupakan keluarga dan asal usulnya. Apakah mungkin ? Secara fisik, kita sudah memiliki ciri dan identitas. Secara psikologis dan sosial, kita membawa budaya yang melekat pada perilaku kita.
Barangkali globalisasi telah menembus batas-batas negara. Barangkali globalisasi telah membuat percampuran budaya dari banyak bangsa. Barangkali, karena berasal dari tempat dan budaya tertentu, kita jadi malu pada asal usul kita. Tetapi tetap saja, setiap orang memiliki akar yang tidak bisa dicabut dari tanahnya. Kita tidak dapat mengingkari akar kita.

Bayangkan, sebuah pohon tanpa akar. Dia akan kering dan mati. Bayangkan seseorang tanpa identitas dan budaya, maka dia akan menjadi orang yang mengawang seakan-akan tanpa roh . Apa yang harus kita jawab bila ada orang yang bertanya : “ Kamu siapa ? “

Bila ada pepatah mengatakan : Jangan lupa kacang akan kulitnya. Maka untuk pohon, barangkali bisa ada pepatah : Jangan pohon lupa pada akarnya.

Sedangkan sebatang pohon tunduk pada hukum alam, dan menjaga akarnya agar dia tetap hidup. Apakah kita, manusia, tidak dapat belajar dari sebatang pohon ?



Jakarta, 9 Oktober 2010

Salam hangat,

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih buat Pa & Ma, yang tetap mengajarkan nilai-nilai budaya dan tradisi yang mengakar, dengan asimilasi terhadap lingkungan di mana pun berada...terima kasih atas bimbingan dan inspirasinya...I love U...forever.. Terima kasih juga untuk sahabat-sahabatku, yang tumbuh bersama dalam lingkungan akar-akar yang kuat...Terima kasih atas dukungan di dalam perjalanan hidup ini...

Rabu, 06 Oktober 2010

Art-Living Sos 2010 (A-6 Seragam...

Dear Allz....

Hellloww...heeelllloooow....lagi ngapain ? Menjelang week end niiih...sudah ada rencana-rencana untuk berlibur ?

Biasanya sih...kalau menjelang liburan, kita sudah bersiap-siap untuk membebaskan diri dari keterikatan selama seminggu...hehehe...Iya, Senin sampai Jum’at biasanya kan kita terikat pada prosedur dan hal-hal lain yang berkaitan dengan aktivitas kerja. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu...untuk bebas sejenak dari rutinitas...

Rutinitas itu sebetulnya diperlukan juga, terutama dalam kegiatan yang membutuhkan keteraturan. Bahkan orang-orang kreatif sekalipun harus memiliki rutinitas tertentu, agar kreativitasnya terasah...hehehe...

Rutin, di satu sisi memang membuat kita terpasung. Tetapi kelepasan yang tidak terkendali membuat kita tidak nyaman. Entah kenapa, manusia kadang-kadang suka mencari rasa aman dengan sebuah kesamaan, dengan rutinitas, atau keseragaman...hmm....

Saya jadi ingat tentang seragam...Terutama pakaian seragam...Ahaaaa...Bila hari Senin sampai Jum’at kita sudah terikat dengan keseragaman, di hari libur seyogyanya kita membebaskan diri dari keseragaman itu...tapiiiiiii...kalau pas hari Minggu ada acara olahraga bareng lagi...dan kita merupakan sebuah team yang akan bertanding melawan team lainnya ? Dijamin...kita pun tetap menggunakan pakaian atau kaos seragam...hahahaha....

Oke deeeh...sambil menunggu saatnya akhir pekan...sambil menunggu waktu berlibur...kita bincang-bincang saja sedikit tentang ‘seragam’....Mau khaaan ??

Selamat menikmati...dan selamat berseragam....
Cheeeerrssssss......


Jakarta, 6 Oktober 2010
Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Art-Living Sos 2010 (A-6
Selasa, 22 Juni 2010
Start : 22/06/2010 10:21:59
Finish : 22/06/2010 14:03:59


SERAGAM...OHH...SERAGAM


Saya dan sahabat-sahabat jaman SMA sedang merencanakan sebuah pertemuan dan perjalanan tahunan...hehehe...Begitulah. Setelah waktu bergulir, dan usia bertambah, ternyata urusan pertemuan dan reunian menjadi acara yang penting. Agar kerinduan itu terasa maksimal, jadinya pertemuan dilakukan setahun sekali saja. Padahal siiiiih...pengennya tiap bulan...hahahaha....

Tanpa perlu ditunjuk, para sahabat sudah membagi tugas masing-masing . Si A bagian tranportasi. Si B bagian akomodasi. Si C bagian konsumsi. Ada lagi bagian acara, bagian gedor-gedor pintu dan rayu merayu untuk sumbangan tambahan, bagian kordinasi dan kirim sms ke sana ke mari...hmmh...pokoknya lengkap deh. Tinggal urusan pelaksanaan dan susunan acara yang lebih detail. Tiba-tiba ada yang nyeletuk.

“ Eeeeh, nanti kita pakai baju apa, ya ?” tanya seorang sahabat.
“ Baju ? Ya, baju biasa ajalah .” Sahut yang lain. Beberapa pasang mata sama-sama melirik.
“ Kenapa kita nggak bikin seragam. Biar seru .” Usul yang lainnya.
“ Seragam ? Waaww...boleh juga. Biar kelihatan kalau ini acara tahunan.” Sambut yang lain dengan gembira.
“ Waddduuuh...belum apa-apa udah mikirin seragam. Dari jaman sekolah, kita sudah pakai baju seragam. Masa sekarang pakai baju seragam lagi ?” Yang satu mempertanyakan.
“ Oke...okeee...kereeen...Seragam kaos aja, ya...Biar bisa dipakai semua.” Dukungan bertambah.
“ Iya...yang warnanya ngejreng...jadi kita kelihatan muda lagi... hahahaha...”..
“ Jadiiiii...??? Seragam yaaa....seragam...Ayooo...hitung budgetnya...”

Urusan pertemuan dan pakaian seragam pun tuntas. Hanya perlu beberapa menit waktu untuk mengumpulkan suara. Ternyataaaaa... masih banyak yang suka berseragamria...hehehehehehe...



Tak hanya dalam acara tahunan sekolah urusan pakaian seragam ini menjadi topik yang menarik. Di balik pakaian seragam ini juga ada perwujudan nilai-nilai yang sama, yang direpresentasikan di dalam keseragaman. Entah sejak kapan, manusia ini suka sekali mengikat diri di dalam balutan pakaian yang sama model dan warnanya...hmm...

Saya ingat. Semasa masih SD dulu, sekolah kami adalah sekolah biasa. Boro-boro pakai baju seragam. Beberapa teman saya bahkan harus bergantian baju dengan saudara-saudaranya agar memiliki satu pakaian seragam putih di hari Senin. Itu sebabnya, pihak sekolah juga mengambil kebijaksanaan tidak memaksakan kehendak agar semua murid menggunakan seragam yang sama. Yang penting setiap anak bisa belajar dengan baik, walaupun bajunya beraneka bentuk dan warna.

Ketika masuk SMP, ketentuan sekolah saya lain lagi. Berhubung saya mendapat kelas di sore hari, jadinya kami tidak pernah upacara bendera di hari Senin. Kami pun bebas berpakaian apa saja kecuali hari Sabtu, kami harus memakai baju seragam berwarna putih. Modelnya sesuka hati. Yang penting warnanya sama. Mungkin saja, ada yang putih kinclong dan putih tua agak bluwek karena sudah lama. Tapi tidak apa. Secara umum namanya tetap seragam putih...hehe...

Tahun kedua, saya pindah sekolah. Di sekolah baru ini kami harus memakai pakaian seragam putih setiap hari. Bayangkan ! Setiap hari.

Sebetulnya ada enaknya berseragam putih setiap hari. Jadi sebagai pelajar, kami tidak usah pusing memikirkan pakaian yang akan dipakai. Atas bawah putih. Model boleh apa saja. Bagi wanita boleh pakai atasan blus dan padanan rok. Boleh juga baju terusan yang saat itu disebut sack dress. Sedangkan siswa yang laki-laki, ya terima nasib, atas bawah putih. Kemeja lengan pendek atau panjang, dan celana berkaki pendek. Hanya pada saat olahraga boleh pakai celana warna biru tua dari bahan drill atau keeper. Itu juga seragam...hmm...

Terbiasa memakai pakaian seragam putih setiap hari, membuat saya agak syok juga ketika masuk SMA. Hanya hari Senin dan Sabtu kami pakai seragam putih-putih. Hari lainnya bebas. Boleh pakai baju warna apa saja. Dan model apa saja. Jaman awal tahun tujuhpuluhan itu, sekolah kami kadang mirip panggung pagelaran mode di hari Selasa hingga Jum’at. Dari mulai rok mini yang memang sedang ngetrend saat itu, hingga rok yang panjang selutut bagi wanita. Saya sendiri mengikuti semua aliran...hihiiii...dan pernah juga rok saya termasuk yang paling panjang di sekolah...hehehe...Bukan apa-apa, saya selalu bergerak cepat kian kemari. Dengan ukuran rok yang mini, akan sulit berlarian. Jadi saya memilih rok panjang, dengan celana pendek di dalamnya...hahaaa..

Ketika saya menjadi pengurus OSIS di tahun kedua. Program saya yang pertama adalah mengusulkan pakaian seragam untuk sekolah. Alasannya sederhana saja. Agar kami tidak pusing memikirkan model baju setiap hari. Apalagi saya, dan beberapa teman yang terbiasa menggunakan baju seragam putih setiap hari, akan sangat tertolong kalau ada pakaian seragam sekolah. Sekaligus untuk menunjukkan identitas sekolah.

Akhirnya, setelah berembuk lama antara OSIS dan pihak sekolah, pada tahun kedua itu pun kami memiliki seragam sekolah yang baru. Atasan putih, dengan bawahan warna abu-abu. Belakangan hampir semua sekolah SMA di Medan menggunakan pakaian seragam sesuai dengan pilihan warna masing-masing. Ada yang putih-hijau, ada yang putih-coklat, ada yang putih-biru, dan lain-lain. Tanpa dapat dipungkiri, kami cukup bangga dengan warna seragam putih dan abu-abu yang menjadi identitas sekolah kami. Dan beberapa tahun kemudian, secara nasional pakaian seragam SMA ini ditetapkan berwarna putih dengan bawahan abu-abu....horeeeee...paling tidak kami sudah maju selangkah dalam bidang perseragaman...hahahahaha...



Ngomong-ngomong soal seragam, bukan hanya di sekolah saja kita melihat orang berpakain seragam.

Ada instansi atau lembaga pemerintah yang memang wajib berpakaian seragam. Misalnya ABRI dan polisi. Kan bisa lucu juga kalau tentara tidak pakai baju seragam, terutama dalam urusan-urusan formal. Apalagi di lingkungan ABRI, pakaian seragam dan atributnya itu menunjukkan kepangkatan atau jabatan tertentu. Dan untuk keseragaman itu ada aturan yang baku dan sangat ketat. Tidak sembarang orang boleh memakai baju seragam dengan atribut-atributnya.

Selain ABRI dan polisi, rupanya ibu-ibu atau isteri ABRI juga perlu diseragamkan. Ini tentunya untuk mengimbangi para bapak yang menjabat suatu jabatan tertentu di instansinya. Selain untuk meningkatkan rasa memiliki, juga untuk meningkatkan rasa kebanggaan karena mereka merupakan bagian dari korps angkatan bersenjata dan POLRI itu. Kadang menjadi pertanyaan saya ( yang agak nakal), kalau para isteri atau ibu-ibu berseragam mengikuti pekerjaan suami, bagaimana dengan para suami atau bapak yang isterinya menjadi ABRI ? Sampai sejauh ini saya belum pernah melihat barisan bapak-bapak berseragam sesuai dengan jabatan isterinya di lingkungan ABRI... hehehe...piiiiiisss....

Tak hanya ABRI dan polisi yang jelas kasat mata menggunakan seragam. Para dokter dan suster di rumahsakit juga wajib menggunakan seragam tertentu ketika akan berpraktek. Entah ini termasuk kode etik atau prosedur, tetapi melihat dokter dan suster berseragam ketika menjalankan tugas memang membuat hati pasien lebih tenang dan nyaman.

Sekarang banyak perusahaan yang membuat pakaian seragam untuk karyawannya. Ada yang untuk jabatan dan level tertentu saja, seperti seragam Customer Service di bank atau di jasa layanan lain. Ada juga yang menyeragamkan seluruh karyawan di perusahaan itu, agar mudah diidentifikasi dan dalam hitungan biaya juga menjadi lebih efisien.

Pakaian seragam pun ternyata tidak hanya berfungsi sebagai identitas korporasi atau organisasi. Beberapa jenis pakaian seragam memang dirancang untuk fungsi tertentu dengan mengutamakan kenyamanan dan keselamatan. Sebagai contoh, kita lihat, juru las kapal atau di pabrik pesawat terbang menggunakan pakaian khusus yang melindungi tubuh mereka dari kemungkinan percikan api ketika bekerja. Juga para pekerja laboratorium harus menggunakan seragam tertentu untuk mengurangi dampak radiasi ketika sedang melakukan penelitian.

Sssttt...jangan dikira hanya pekerjaan formal saja yang membutuhkan seragam sebagai identitas. Tukang sulap atau magician, membuat pakaian ‘seragam’ yang menunjukkan identitasnya. Warna dan bentuk serta atribut tambahan, dibuat sedemikian rupa berbeda dari yang lainnya . Mereka juga sering memakai pakaian berwarna hitam atau warna gelap lainnya, agar menimbulkan impresi atau kesan tertentu. Bayangkan kalau magician menggunakan baju warna pink atau oranye yang ngejreng dengan bunga-bunga atau bola-bola...bisa-bisa orang menduga mereka adalah badut atau clown...hehe...



Kembali pada seragam....terutama pakaian seragam...

Kadang manusia ini memang aneh...sekaligus lucu. Ketika manusia ini bebas merdeka, sendirian, sebetulnya dia juga bebas mau memakai pakaian apa saja. Tapi kemudian, karena adanya rasa ingin menjadi anggota sebuah kelompok, maka mereka pun bersepakat untuk membuat pakaian seragam.

Kenapa pakaian ? Tidak lain, karena pakaian adalah bagian dari diri seseorang yang mudah dilihat dan menjadi identitasnya.

Memakai pakaian yang sama, membuat orang merasa memiliki keterikatan dengan tata nilai dan cara pandang kelompoknya. Rasa memiliki ini secara tidak disadari juga membuat orang merasa kuat dan memiliki kekuasaan dibandingkan dengan kelompok yang lain. Keakraban, dukungan dan solidaritas karena kesamaan pakaian membuat orang menjadi pribadi yang berbeda dan lebih percaya diri bila kelompok itu kuat. Atau justru sebaliknya. Ketika kelompoknya terpuruk atau kalah, maka orang yang menggunakan seragam itu akan merasa terkucil serta ketakutan bila berada di lingkungan yang berbeda.

Melihat seragam yang beraneka....saya jadi merenung...

Saya sendiri kadang suka keseragaman. Terutama bila hal itu berdasarkan fungsi dan kepraktisan. Namun di lain kesempatan, saya lebih suka menjadi diri sendiri, dan memiliki warna dan bentuk yang berbeda.

Hidup memang pilihan. Berseragam atau tidak, semua memiliki konsekwensi masing-masing. Kenyamanan dan kesamaan nilai adalah hal yang utama. Tanpa rasa nyaman dan rasa memiliki, kita akan tersiksa karena memakai baju yang tidak kita suka.

Jadiiiiiii...masih mau berseragam-ria ? Hehehehe...sapa takuuuuuttt...



Jakarta, 22 Juni 2010
Salam hangat yang ceria....


Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk sahabat-sahabatku di SMANSA 74 yang menjadi inspirasi tulisan ini...Juga teman-teman di BCA yang suka sekali membuat seragam di dalam kedinamikaan...

Minggu, 03 Oktober 2010

Art-Living Sos 2010 (A-9 Si Pussy...Sang Kucing

Dear Allz...

Ahaaaaaaaayyyy....halllooooww....ceria niiiih...ceriaaaaa....Kan hari libur lagi...hari Sabtu dan Minggu...hehe...Mau malas-malasan sejenak, atau mau rajin-rajinan membereskan rumah...yiiipppiieee....Apa pun...semoga yang teman dan sahabatku lakukan pada hari ini diiringi dengan keceriaan dan semangat yaaa...

Terasa nggak sih...waktu semakin cepat bergulir. Rasanya baru kemarin saya berseru-seru, menyerukan tentang Body, Mind and Soul...edisi hari minggu lalu...Eeeh, sekarang sudah nyaris hari Minggu lagi...Waktu seperti roller coaster...cepaaaat sekali berputar... penuh dinamika dan gejolak...

Bersyukurlah kita, seandainya masih berada di dalam lingkaran waktu dan dapat menepati janji-janji yang terukir di dalam jalinan waktu. Bersyukur juga kita, karena begitu banyak kesempatan dan peluang yang sudah kita miliki untuk diwujudkan. Dan itu menjadi catatan perjalanan yang membuat hidup kita semakin kaya.

Banyak kejadian yang kita lihat dan kita alami selama hari-hari ini...Ada hujan, ada panas...ada lancar, ada macet...ada suka, ada duka...ada hitam, ada putih...semua menjadi warna kehidupan...Semua itu akan menjadi berkah bagi kita, bila hati kita terbuka dan pikiran kita bisa memberi ruang untuk mencerna pengalaman itu sebagai bagian dari anugerah yang kita miliki...

Memang, tidak semua orang beruntung memiliki perasaan yang gembira dan ceria selalu...tapi sebenarnya itu kembali berpulang kepada diri kita sendiri. Memutuskan, apakah kita mau gembira dan bahagia, atau mau sedih dan bermuram durja. Sama dengan pilihan-pilihan hidup kita yang lain...mau menerima atau mau menolak...

Seperti pilihan kita tentang seekor kucing...mau menerima atau tidak. Mau memeluknya atau menyingkirkannya...hiyyaaaahhh....Apa hubungannya perasaan menerima dengan kucing ? hehehehe....Mari kita lihat saja...mari kita nikmati saja..

Mumpung teman dan sahabatku sedang bertanya-tanya...Mumpung hari ini kita sedang merenung untuk menyelaraskan body, mind and soul ...Saya sajikan saja cerita ringan tentang kucing....

Selamat mengeoooongg...ehh...Semoga berkenan...

Jakarta, 2 Oktober 2010


Ietje S. Guntur


♥♥♥


Art-Living Sos 2010 (A-9
Start : 28/09/2010 17:38:56
Finish : 29/09/2010 17:56:19
Edit : 02/10/2010 7:23:10



SI PUSSY...SANG KUCING

Saya baru tiba di rumah. Saat melangkah menapak anak tangga yang menuju ke pintu, saya melihat beberapa ekor kucing berbaring santai di situ. Halaaaah...kucing siapa ini ? Pikir saya. Selama ini saya memang tidak memelihara kucing.

“ Pus...enak bener, ya...pinggir dulu sana. Saya mau masuk .” Kata saya sambil membuka pintu. Kucing-kucing itu menatap saya sejenak, lalu berdiri dengan malas. Bergeser sedikit. Memberikan celah bagi saya untuk lewat.
“ Kucing siapa itu ?” tanya Pangeran Remote Control, suami saya, yang menyusul di belakang .
“ Nggak tahu, mungkin kucing liar atau kucing tetangga.” Sahut saya.
“ Wadduuuh...tiap hari di sini, lama-lama si kucing merasa tempat ini jadi rumahnya juga. “ Sambung Pangeran sambil mengibaskan koran, mengusir kucing yang sudah siap-siap selonjor lagi. Halaaah....

Saya masuk ke dalam rumah, dan membiarkan urusan si Kucing dan Pangeran di depan pintu. Sudah lama saya melihat kucing-kucing itu berkeliaran setiap pagi di depan rumah. Warnanya bermacam-macam, kelabu, kuning kecoklatan, belang tiga, hitam dengan bercak putih, dan putih bercak hitam ( eeeh...beda, kan ?).

Kadang kucing-kucing itu berjemur di teras rumah saya. Kadang bersantai di bawah pohon mangga di depan rumah. Tidak jarang, mereka pun iseng mengintai kolam ikan saya....dan menyantap ikan yang asyik berenang di situ. Saya beberapa kali memergoki kucing yang agak besar, duduk mencangkung di pinggir kolam, lalu dengan kecepatan seperti elang menyambar ayam, mereka pun menyambar ikan yang lengah di dalam kolam...hiiiksss....



Urusan saya dengan kucing tidaklah terlalu mesra. Sering on-off. Putus sambung. Mau dijauhi, dia datang mendekat. Mau didekati, ada perasaan enggan. Jadi deh...hubungannya seperti malu-malu mau...alias malu-malu kucing...hehehe...

Di keluarga saya, kucing termasuk hewan favorit yang nyaris selalu ada sepanjang jaman. Entah itu kucing liar, ataupun kucing peliharaan. Saya ingat, sejak saya kecil, berbagai jenis hewan ada di dalam dan di luar rumah. Menjadi peliharaan atau sekedar numpang lewat. Termasuk para kucing ini.

Ibu dan adik saya adalah penggemar kucing. Sementara ayah saya dan adik saya yang lain adalah musuh besar kucing...hihi...Dulu di rumah kami begitu banyaknya kucing, sampai setiap sudut ada kucing yang berbaring atau berlari-larian. Bahkan ibu saya selalu memberi nama panggilan bagi setiap kucing, dan menyediakan tempat makan khusus bagi kucing-kucingnya.

Adik saya malah lebih parah lagi. Dia bukan sekedar menyukai kucing, tetapi juga jadi pemulung kucing. Tidak boleh ada kucing terlantar di pinggir jalan, pasti dibawanya pulang ke rumah dan dirawat dengan baik. Tidak heran, rumah kami menjadi lebih mirip peternakan kucing...he he...

Berbeda dengan ibu dan adik , saya sendiri tidak pernah lagi memelihara kucing sejak kucing kesayangan saya dibuang oleh ayah saya. Ceritanya, semasa saya masih SD, saya pernah punya sekeluarga kucing. Salah satu anak kucing itu adalah peliharaan saya. Namanya Petra. Warnanya kuning belang bergaris-garis. Suatu ketika Petra dan saudara-saudaranya ketahuan oleh ayah saya sedang naik ke atas meja makan. Tanpa ampun lagi, mereka pun terpaksa dihukum, dan dibuang karena sudah mengganggu stabilitas di rumah kami.

Sebetulnya saya ingin agar Petra tetap di rumah. Tetapi kata ayah saya, lebih baik kucing-kucing itu dibuang bersama-sama, supaya ada saudaranya. Jadi sambil berlinang airmata, saya memasukkan Petra ke dalam mobil. Lalu mengantarkannya ke tempat di mana mereka akan mendapatkan makanan yang lebih banyak dan lebih baik.



Pengalaman saya dengan kucing di rumah ternyata tidak berhenti sampai di situ. Entah karena ada magnitnya, atau karena lingkungan rumah yang cukup menyenangkan . Seringkali rumah kami menjadi pangkalan tempat nongkrong para kucing dan keluarganya. Entah kenapa, banyak sekali kucing yang datang dan kemudian beranak-pinak di rumah kami. Kadang-kadang sebel juga sih...terutama kalau mereka sudah berkelahi dengan ributnya di pagar dan atap rumah. Kadang genteng rumah pun ikut bergeser dan menimbulkan kebocoran saat hujan turun.

Dari beberapa generasi kucing yang pernah mangkal di rumah kami, ada juga satu dua yang cukup berkesan. Salah satu diantaranya adalah tentang kucing yang bisu tuli...hehehe...bener lhooo...

Ceritanya begini...Suatu ketika , ada beberapa ekor kucing yang mangkal di rumah kami. Mereka kami beri makan agar tidak nyelonong masuk dan mencuri ke dalam rumah. Setelah kami perhatikan, ternyata salah seekor dari kucing itu tuli dan tidak bisa mengeong. Setiap kali kami masuk ke halaman rumah, dan dia membelakangi kendaraan, dia selalu diam tidak bereaksi. Walaupun sudah diklakson dan diteriaki dengan keras, dia tidak akan pernah menepi.

Suatu kali, entah bagaimana, tiba-tiba si Kucing yang berwarna hitam legam dengan garis putih mirip pita di bagian depan tubuhnya ini menjerit. Sungguh. Dia menjerit dengan suara yang aneh. Dan sejak itu, dia belajar mengeong dengan berbagai nada dan suara. Kadang sember, kadang cempreng seperti kaleng, kadang serak...Pokoknya heboh banget deh ! Bagusnya, sejak bisa mengeong, ia pun jadi lebih sigap melompat bila mendengar suara kendaraan atau orang yang datang mendekat . Rupanya selama ini dia tidak bisa mengeong karena dia tidak pernah mendengar suara meong-meong kucing lain, jadi dia tidak bisa meniru suara...Ahaaaa....

Masih cerita keluarga si Kucing yang ini. Suatu ketika kami pergi ke luar kota dan meninggalkan rumah tanpa ada yang menjaga. Ketika kami kembali dari perjalanan, dan saat saya membuka pintu, baru ketahuan bahwa salah satu pintu rumah kami tidak terkunci. Para kucing itu telah menjaga pintu rumah kami dengan berselonjor di sana sepanjang hari. Sejak itu, mereka pun resmi menjadi penghuni rumah kami, dan diterima dengan tangan terbuka. Tapi tetap dengan catatan : Kucing dilarang masuk ke rumah...hmmh....



Cerita tentang kucing barangkali tidak ada habisnya. Maklum, hewan berkaki empat ini telah begitu akrab dengan manusia. Sejak ribuan tahun lalu. Kucing malah dipercaya sebagai hewan suci bangsa Mesir kuno. Itu bisa kita lihat di dalam lukisan-lukisan dan ukiran yang tertera di berbagai piramid yang berhasil dibuka. Salah satu dewi kucing yang terkenal di Mesir adalah Dewi Bast. Dewi ini dianggap sebagai pelindung rumah dan pelindung ladang dari gangguan tikus.

Perjalanan kucing, yang semula adalah kucing liar menjadi kucing peliharaan juga membutuhkan waktu sangat panjang. Sekarang, kucing ini tidak sekedar menjadi kucing liar penghuni jalanan seperti kucing di sekitar rumah saya. Banyak orang yang memelihara berbagai jenis kucing dengan berbagai bentuk dan ketebalan bulu. Adik saya malah pernah punya kucing yang matanya berbeda antara mata kiri dan mata kanan. Unik ya...

Oya, kucing juga hewan yang inspiratif. Ingat film dan kartun Felix The Cat yang pernah populer beberapa tahun lalu ? Nama Felix itu memang diambil dari sebutan latin untuk kucing, yaitu Felix cattus. Si Felix kucing hitam yang jenaka itu tidak hanya lucu, tapi juga sangat cerdas dengan berbagai pemecahan masalah yang sering out of topic. Selain Felix the cat yang inspiratif, banyak lagi cerita-cerita tentang kucing. Bahkan ada iklan yang menggunakan simbol suara kucing sebagai pengingat...halaaah...ada-ada saja...

Kucing memang bisa menjadi sahabat, bila kita merawatnya dengan baik. Walaupun beberapa orang alergi terhadap bulu-bulu kucing, dan dapat mengakibatkan gangguan pernafasan, tapi tetap masih banyak orang yang menyukai kucing.

Belakangan, menurut beberapa penelitian mengenai hewan peliharaan, kucing termasuk salah satu hewan yang dapat mengurangi gangguan emosional pada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Dengan memiliki dan memelihara hewan ini, mereka dapat menyalurkan emosinya, sehingga lebih sabar dan lebih bertanggungjawab.




Kembali kepada kucing...kembali kepada hubungan antara manusia dan hewan...Mengapa kita menyukai atau tidak menyukai kucing ?

Sama seperti pilihan hidup, kucing adalah salah satu pilihan. Kucing bisa berguna dan bermanfaat bila kita menggali potensi yang dimilikinya. Tapi dia pun bisa menyebalkan dan menjadi pengganggu di rumah bila kita tidak memperlakukannya dengan baik. Kucing bisa menjadi sahabat dan obat penyembuh luka hati, penghibur di kala sepi...tapi kucing pun bisa bikin jengkel kalau dia sudah mengeong-ngeong dengan suara sopran yang cempreng...

Hidup kitapun seperti itu...Apakah kita mau menjadi sahabat kehidupan yang dirindukan ? Atau kita harus menerima nasib dikibas-kibas dengan koran atau direlokasi ke tempat yang jauh agar tidak mengganggu stabilitas lingkungan....aaacchhh...




Jakarta, 2 Oktober 2010

Salam hangat,



Ietje S. Guntur


Special note :
Terima kasih untuk sahabatku Adith...kucing-mania...hehe...Juga adikku Bud & Titun - pemulung kucing...serta Mama, yang luar biasa dan sangat akrab dengan kucing...Terima kasih atas inspirasinya...Tapi aku belum bisa memelihara kucing lagi...hiiikss...cukup cerita ajalah...



♥♥♥

Jumat, 01 Oktober 2010

Art-Living Sos 2009 (A-6 Coklat...tak selalu Coklat

Dear Allz…

Hallloooooowwwww…..yeelllloooowww….apakabaaarrr ??? Aaaaahhh…senangnya, mendengar kabar teman dan sahabatku dalam keadaan sehat semua… Eheemmh…menjelang akhir pekan...hari libur…pasti dong segar dan semangat…hehe…

Sudah ada rencana untuk berlibur atau menikmati hari akhir pekan ? Syukurlah, bila sudah ada jadwal…Tetapi bila belum ada rencana apa-apa, juga tidak mengapa…Kita bisa kok menikmati keseharian kita di rumah. Menikmati segala sudut di rumah kita. Menikmati kicauan burung yang beterbangan di pohon-pohon di sekitar rumah kita. Bahkan menikmati sarang laba-laba dengan laba-labanya sekalian…karena pojok gelap itu sudah agak lama tidak tersentuh pasukan pembersih…hhhggh…

Saat seperti ini memang saat yang ditunggu. Sendirian atau bersama dengan keluarga. Atau bersama dengan sahabat-sahabat. Semua akan menyenangkan, kalau hati kita sedang senang atau mood kita sedang baik. Rasanya dunia akan kinclong dan bersinar cemerlang…seperti cawan perak yang digosok hingga mengkilap…

Suasana hati…keadaan emosi…memang sangat berpengaruh terhadap hidup kita sehari-hari. Emosi yang tenang dan stabil, emosi yang bergairah penuh semangat akan membuat kita lebih mudah menerima kondisi apa pun yang kita alami. Sebaliknya, emosi yang goncang atau tidak stabil, emosi yang layu dan tak bergairah….membuat kita malas melihat dunia…atau bawaannya jadi pengen marah-marah melulu…

Konon katanya, untuk mengatasi emosi atau mood yang tidak menentu itu banyak caranya. Selain berolahraga, meditasi, berjalan santai di tempat yang nyaman dengan udara yang bersih, kita juga dapat mengatasinya dengan menyantap makanan-makanan tertentu. Di antaranya adalah coklat…hehe..iya,…coklat atau yang kita kenal sebagai chocolate…

Saya doyan makan coklat…dan saya harap teman dan sahabatku juga menyukainya…hehe… Jadi boleh dong kali ini kita ngobrol tentang coklat dulu, ya ?

Mumpung hati lagi senang…mumpung semangat sedang elok dan penuh gairah…saya hidangkan coklat ini untuk teman dan sahabatku semua…Semoga berkenan…

Jakarta, 1 Oktober 2010
Salam hangat,


Ietje S . Guntur
♥♥♥


Art-Living Sos 2009 (A-6
Selasa, 28 September 2010
Start : 28/09/2010 14:12:36
Finish : 28/09/2010 16:17:23


COKLAT...tak selalu COKLAT...


Jam makan siang. Saya baru selesai bersantap dengan sahabat-sahabat di kantor. Siang itu kami menikmati makan siang di pusat jajan di sekitar kantor. Jam makan siang yang pendek selain untuk mengisi energi fisik, juga untuk mengisi energi batin. Ngobrol dan curhat termasuk untuk mengisi baterai emosi...hehehe...

Sambil berjalan kembali ke ruang kerja, saya celingak-celinguk ke toko-toko yang berjajar di kompleks pertokoan seputar kantor. Inilah salah satu keuntungan bekerja di lingkungan yang dekat dengan pusat perbelanjaan. Lebih mudah memenuhi kebutuhan logistik. Tentu saja harganya lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan harga di warung dekat rumah. Tapi demi alasan kepraktisan, ya mau tidak mau sesekali belanja di pusat perbelanjaan itu harus dilakoni juga. Sekalian cuci mata ala ibu-ibu...hahahaha...bisa saja....

“ Aku pengen makan coklat deh !” tiba-tiba saya nyeletuk.
“ Haaah...baru saja makan nasi, kok sudah mau makan coklat ,” sahut seorang sahabat.
“ Hmmh...pengen ada yang manis-manis sedikit, untuk mengimbangi rasa yang asin pedas tadi .” Kilah saya. Sahabat saya Cuma mengangguk-angguk. Entah setuju, atau tidak. Tapi akhirnya dia pun mengikuti saya mampir di toko yang menjual berbagai keperluan rumahtangga, termasuk coklat batangan kegemaran saya.

Jadi deh...sebatang coklat dengan rasa pahit dan sedikit rasa kacang di dalamnya menjadi penutup makan siang tadi. Dan sambil mengemut potongan coklat yang meleleh di lidah, dengan hati senang saya melangkah kembali ke ruangan kerja...hmmhh...



Tak hanya sekali itu saya mendadak kepengen coklat.

Walaupun bukan tergolong penggemar berat alias Chocolate-Mania, tetapi sesekali saya suka juga mengemut si Coklat dengan aneka rasa. Coklat dengan butiran kacang atau mete, coklat dengan isi kismis, coklat dengan isi strawberry...bahkan coklat yang sekedar beraroma jeruk atau mint saya juga doyan.

Sebetulnya kalau ditanya, kenapa saya suka coklat, ya saya sendiri kurang tahu. Rasanya tradisi memamah...eeeh, memakan dan mengemut coklat ini sebenarnya ‘warisan’ dari ibu saya. Sejak kecil saya sudah diiming-imingi ibu saya dengan aneka coklat. Bila ibu saya sedang punya uang belanja lebih...( ini sih rahasia kaum ibu...), beliau sering membelikan kami coklat yang enak dan cukup mahal harganya untuk jaman itu. Coklat batangan itu biasanya dibagi beberapa kepingan, dan dibagi untuk saya dan adik-adik. Biasanya sih...saya mendapat potongan paling besar...hihi... Jadi kebiasaan mengemut terbawa hingga saat ini. Kata ibu saya, coklat tak hanya untuk cemilan selingan, tapi juga bisa membuat perasaan jadi tenang dan santai...hehe...

Duluuuuuu....ketika saya masih kanak-kanak, saya pernah jadi coklat-mania yang tergolong rakus...hahahaha...ngakuuuuuu.....ngakuuuu....!!! Di masa itu, saya mendingan nggak makan nasi dari pada nggak makan coklat batangan...terutama yang ada tulisannya ‘voolmelk’...halaaaah...!! Tapi karena rada-rada malas sikat gigi, akibatnya gigi saya menjadi geripis, dan sisa coklat menimbulkan caries dan infeksi pada gusi saya. Jadi deh...saya sering menderita sakit gigi gara-gara memamah coklat tidak berhenti...hiks hiks...

Ada satu pengalaman saya yang sangat menyedihkan dan tidak terlupakan dengan coklat. Yaitu, ketika lebaran saya tidak bisa keluar rumah. Pipi saya tembam seperti bapao, dan seluruh mulut berdenyut-denyut, nyeri tidak karuan. Saya hanya bisa menangis, dan melihat teman-teman bergembira di hari raya yang meriah itu. Sementara itu, demi alasan keamanan dan kenyamanan, ibu saya tidak mengijinkan saya keluar dari rumah...huaaaa... huaaaaa....Pokoknya hari itu jelek banget deh. Baju baru, sepatu baru, tapi pipi tembam kemerahan dan wajah seperti kue bapao yang salah kukus...Suatu kombinasi yang tak enak dilihat di depan kaca !

Sejak saat itu, saya – dengan kesadaran sendiri – mulai membatasi mengemut coklat. Saya pun tidak berebutan lagi dengan adik-adik saya bila ibu atau ayah saya membelikan coklat. Ini memang agak mengherankan bagi ibu saya, tapi beliau bersyukur juga. Sejak saya mengalami kisah sedih di hari lebaran itu tidak ada lagi tawuran massal di rumah gara-gara coklat...hihihi...



Ngomong-ngomong soal coklat, terutama coklat makanan. Dulu, kebanyakan coklat makanan ini hanya berbentuk batangan yang dibungkus satu persatu. Ada juga coklat berbentuk pensil yang berisi wafer di dalamnya, atau coklat bundar-bundar tipis mirip uang logam. Belakangan, dengan aneka kreasi, maka banyak coklat-coklat makan yang rasanya manis berbentuk aneka rupa.

Coklat, yang berasal dari biji buah cacao, kemudian diolah menjadi cocoa butter. Kita biasa menyebut pohon cacao , atau nama latinnya Theobroma cacao ini sebagai pohon coklat saja. Cocoa butter yang berasal dari pohon cacao inilah kemudian yang diolah menjadi - sebagian besar - untuk bahan makanan dan farmasi. Iya, lho...coklat yang cocoa butter itu tidak hanya enak diemut-emut, tapi juga bermanfaat untuk bahan baku obat-obatan ataupun kosmetika. Ingat saja ada lulur dan masker wajah dari coklat...hehe...

Berdasarkan beberapa penelitian, coklat ini tak hanya enak disantap. Tetapi kandungan coklat juga berpengaruh terhadap mood atau kondisi emosi seseorang. Itu sebabnya, orang yang sedang tidak stabil emosinya dianjurkan untuk menyantap coklat atau meminum sajian coklat yang hangat. Sayangnya, banyak orang yang kebablasan...Setiap kali mood-nya tidak enak, mereka tidak sekedar icip-icip coklat. Mereka malah melampiaskan nafsu makannya kepada coklat ini...hmmh...nyaaam...

Coklat untuk lulur dan masker juga memiliki khasiat yang kurang lebih sama. Selain membersihkan kulit, kandungan coklat di dalam lulur atau bahan masker itu diyakini akan menenangkan dan menyehatkan kulit. Luar biasa, ya...

Sekarang coklat yang kita kenal pun beragam merek dan rasanya. Dulu kita hanya mengenal coklat-coklat buatan luar negeri yang notabene justru tidak memiliki pohon dan kebun coklat di negaranya. Swiss , Jerman, Italia, Perancis, Belgia termasuk negara-negara penghasil makanan coklat yang terkenal di seluruh dunia. Sedangkan sekarang sudah mulai banyak coklat lokal yang beredar di pasaran, antara lain coklat dengan isi kacang mete, coklat susu, coklat isi buah dan kismis, dan lain-lain.

Tidak hanya itu. Coklat pun sekarang banyak ragam warnanya. Walaupun namanya coklat, tetapi coklat tidak selalu berwarna coklat...Sekarang ada ‘coklat’ yang warnanya putih, ada coklat yang warnanya pink dan orange, ada juga coklat yang warnanya hijau dan agak ungu...wwooowww...

Itu tentu berbeda dengan coklat jaman saya SD dulu. Dulu itu ada coklat kegemaran anak-anak dengan gambar ayam yang rasanya agak pahit. Coklat cap ayam ini cukup populer, karena harganya murah meriah dan rasa coklatnya manis menggigit. Buat sekedar kemut-kemutan rasa, si coklat cap ayam ini lumayan banget untuk bekal ke sekolah dan jajan iseng di saat santai.



Cerita tentang coklat, sebetulnya kita boleh miris dan prihatin. Bagaimana tidak ?

Coklat Indonesia, terkenal sangat baik mutunya. Kondisi alam dan iklim di Indonesia sangat baik bagi pertumbuhan tanaman coklat. Semasa masih kecil dan tinggal di Sumatra, saya sering diajak oleh ayah saya ke perkebunan coklat yang ada di sekitar kota Medan. Dulu saya pernah berpikir, bahwa makanan coklat batangan itu akan menjuntai dari ujung-ujung tangkai pohon coklat. Tapi ternyata tidak . Ketika melihat buah coklat yang mirip buah belimbing dalam ukuran lebih besar, saya sempat kecewa....ohh lala...betapa naifnya saya...hehe...

Berdasarkan sejarahnya, coklat atau cacao yang berasal dari Amerika Selatan banyak ditanam dalam skala besar dan perkebunan di daerah-daerah Indonesia Timur seperti Sulawesi dan beberapa daerah di pulau Jawa. Belakangan tidak hanya di wilayah Timur Indonesia dan sekitar Medan saja banyak pohon coklat yang ditanam untuk industri. Saya pernah melihat kebun-kebun coklat yang menghampar luas di kiri kanan jalan, di daerah Nias, pulau yang pernah dilanda gempa besar dan tsunami. Konon kualitas cocoa dari daerah Nias ini termasuk yang terbaik di Indonesia. Dan sekarang menjadi salah satu komoditi ekspor yang diperhitungkan dari daerah Sumatra Utara.

Melihat buah coklat yang bergelantungan di pohonnya, dan melihat bungkusan coklat di dalam kotak-kotak kemasan bermerek luar negeri, hati saya seperti diiris-iris.

Kita, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa. Tetapi kenapa, kita tidak tergerak untuk meningkatkan produksi coklat atau tepatnya cocoa butter untuk keperluan industri dalam negeri. Kita merasa sudah cukup puas hanya dengan menyantap coklat cap ayam, yang hanya berupa aroma coklat, bukan dari cocoa butter yang berkualitas. Sementara negara pengimpor coklat dari Indonesia dapat menikmati devisa dengan memproduksi dan menjajakan coklat papan atas dengan cita rasa lezat yang harganya berpuluhkali lipat.

Bila di satu sisi coklat dapat menunjukkan kelas sosial dan tingkat ekonomi seseorang, apakah kita cukup puas hanya dengan menjadi kelas sosial ekonomi cap ayam saja. Tidak tergerakkah kita untuk meningkatkan diri setara dengan coklat kualitas ekspor ? Tidak inginkah kita mewarnai dan memperkaya hidup kita seperti coklat yang memperkaya kehidupan orang lain ?

Kita bisa belajar dari proses pengayaan dan peningkatan kualitas coklat...dari cacao menjadi cocoa butter. Dan dari cocoa butter menjadi coklat hidangan istimewa yang memperkaya hidup kita.

Semoga...apa pun warna coklatnya, suatu saat akan menjadikan kita lebih percaya diri dan menjadi primadona di negara sendiri.

Mau menjadi penikmat coklat ? Mariiiiiiiii......

♥♥

Jakarta, 28 September 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih buat Melia , si Coklat-Mania...yang sering mengiming-imingi coklat...hhmh...thanks buat inspirasi coklatnya...Juga buat sahabat-sahabat kecilku penggemar coklat cap ayam...hehe...serta adikku penggemar coklat satu batang bagi enam...;)



♥♥