Senin, 08 September 2008

Ucapan Terima kasih...Ketika kami harus memilih...

UCAPAN TERIMA KASIH..

DAN

KETIKA KAMI HARUS MEMILIH...

Dear teman-teman dan sahabat tersayang....

Mohon maaf sebelumnya, saya baru hari ini dapat menjawab email dan beberapa sms simpati yang saya terima, sehubungan dengan kejadian luar biasa yang menimpa putri tercinta kami, R.A. Granita Ramadhani, pada hari Selasa tanggal 2 September 2008 sekitar jam 18.35-18.40 di lokasi jembatan penyebarangan depan gedung DPR/MPR – Jalan Gatot Subroto Jakarta.

Kejadian itu memang di luar dugaan kami, karena seperti biasa, putri kami (panggilan sayangnya adalah Dhani) yang bertugas sebagai jurnalis Hukum-online di Gedung DPR, meliput berita-berita yang menjadi tugasnya. Sore itu, tidak seperti biasa, setelah peliputan sidang dia meliput ekstra wawancara. Dan setelah selesai, dia memutuskan untuk segera pulang ke rumah dengan menggunakan bus kota. Itu sebabnya dia memilih memintas melalui jembatan penyeberangan di depan gedung DPR/MPR. Saat itu, jembatan dalam keadaan sepi. Namun di pertengahan jembatan ada seseorang, menggunakan topi dan jaket, sedang berdiri. Dhani sudah merasa tidak enak, dan cukup aneh karena ada seseorang berdiri seperti menunggu.

Ketika dia melewati orang tersebut, Dhani sudah merasa akan terjadi sesuatu. Dan tiba-tiba orang tersebut mengikutinya ( seperti mengejar), lalu memukul bagian belakang tubuhnya. Dhani berbalik, dan menghindar, tetapi orang tersebut, yang tingginya hampir sama dengan anak saya berhasil merobohkan Dhani dan memukul serta menendang bagian perut dan dada. Lalu Dhani direbahkan di sisi jembatan, dengan kepala dibenturkan beberapa kali ke pinggiran jembatan ( sehingga terjadi luka dan memar di kiri atas kepala). Belum cukup dengan itu, pelaku masih berusaha mencekik Dhani beberapa kali sambil terus memukuli dan membenturkan kepala Dhani ke lantai dan sisi jembatan.

Kemudian, entah bagaimana, tiba-tiba Dhani merasakan sakit luar biasa di kepala, dan sesuatu yang basah mengalir di kepalanya. Lalu orang tersebut mengambil tasnya ( yang berisi handphone, voice recorder, dompet, data hasil wawancara dan dokumen penting yang diperolehnya untuk penulisan hasil liputan), sambil mengancam akan membunuhnya kalau Dhani melawan. Kelihatannya ini ancaman yang cukup serius, sehingga Dhani memutuskan untuk diam sejenak dan membiarkan pelakunya melarikan tas yang berisi data-data penting tersebut. Setelah merasa cukup kuat, Dhani baru berteriak minta tolong ( namun di situ tidak ada siapa-siapa), dan turun tangga menuju ke halte di bawah.

Pada saat itu ada beberapa orang di halte ( yang langsung berteriak panik dan berbagai reaksi kaget lainnya), dan ada yang bertanya , kenapa . Dhani hanya bisa mengatakan ,”Rampok ! Di atas”. Saat itu wajahnya sudah berlumuran darah, dan sudah membasahi pakaiannya. Melihat tidak ada yang bereaksi, Dhani mengambil inisiatif ingin membeli segelas aqua untuk membersihkan wajahnya ( terutama matanya yang sudah mulai mengabur tertutup cairan). Saat itu seorang bapak (yang kemudian kami ketahui bernama Bapak Solidri – dari Press Room DPR/MPR) mengenali Dhani dari ID-card Pers yang tergantung di lehernya, dan menegur Dhani...Atas kebaikan Bapak tersebut, Dhani berhasil menghubungi saya.

Saat itu, jam 18.45, saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah bersama suami saya. Ketika melihat nomor tidak dikenal di ponsel saya, perasaan saya sudah tidak enak. Suara Pak Solidri yang panik, dan kemudian teriakan Dhani yang bilang begini ,” Ibu...ini aku. Aku diserang...dipukuli...aku berdarah !”

Sedetik jantung saya nyaris berhenti. Lalu saya bertanya pelan (untuk tidak menimbulkan kepanikan) ,”Di mana ?”

“Di depan DPR, di jembatan penyebarangan, arah BPK”.

“Oke...kamu dengan siapa ? Ibu akan menuju ke sana sekarang.”


Telepon ditutup. Dan saya berbicara dengan suami yang duduk di sebelah saya dengan wajah gelisah.”Kenapa ?”

“Dhani diserang orang ! Di jembatan depan DPR. Kita sekarang ke sana. Yi, langsung belok ke kanan !” Saat itu kami di posisi dekat lampu merah Pondok Indah – Ciputat Raya. Seketika wajah suami saya pucat ( saya kuatir dia yang shock !).

“Siapa yang menyerang ?” suami saya bertanya panik (...dan pasti marah sekali...dia belum sekalipun menyakiti si Cantik kami..).

“Saya tidak tahu, Yah. Sekarang nggak usah dipikirin siapa yang menyerang, tapi kita ambil langkah dulu.”

Lalu saya telepon balik ke nomor tadi, dan berbicara dengan Pak Solidri. “Maaf, Pak. Bagaimana dengan kondisi anak saya ? Saya bisa minta tolong untuk menjaga anak saya ?”

Pak Solidri kedengaran panik. Dan menanyakan posisi saya, yang masih di sekitar Ciputat Raya arah Kebayoran Lama. Saat itu, waktu satu menit rasanya seperti berjam-jam. Saya hanya bisa berdoa ,”Ya, Allah...maafkan aku. Tidak bisa menjaga titipanMu. Apakah Engkau akan mengambil dia saat ini ? Seandainya Engkau berkenan, tolong jaga dia ya, Allah...Tolong jaga titipanMu. Aku tidak bisa menjaganya saat ini. Tolong kirimkan Malaikat-malaikatMu untuk menjagaNya”.

Beberapa menit kemudian, saya menelepon Pak Solidri lagi, dan mereka memutuskan untuk membawa anak saya ke rumah sakit terdekat.”Kami tidak bisa menunggu Ibu, terlalu lama. Pendarahannya luar biasa. Anak ibu ditusuk di kepala.”

“Ya, sudah...tolong dibantu Pak. Kami segera menuju ke RS Mintoharjo.”

Lalu saya menelepon seorang teman kantor , untuk minta bantuan teman yang memiliki akses di RSAL Mintoharjo, untuk persiapan di sana sebelum kami tiba. Saya juga minta bantuan teman yang memiliki akses ke Security untuk keamanan anak saya di lokasi. Suami saya meminta bantuan polsek terdekat di Tanah Abang. Dan setelahnya saya hanya bisa berdoa. Memohon kekuatan kepada Allah, terutama agar suami saya kuat menghadapi kejadian ini...(sepanjang sisa perjalanan dia panik dan sudah menduga hal-hal terburuk yang mungkin terjadi). Saya membesarkan hatinya, dan bilang ,”Tidak usah menduga-duga...kita serahkan kepada Allah. Semoga Allah masih menjaga Dhani”.

Sementara itu, suami saya terus menghubungi ponsel anak saya, dan aneh sekali, ponsel itu bisa menerima panggilan sehingga kami dapat memantau si pelaku, yang kemungkinan besar naik kendaraan umum ke arah Sudirman, dan kemudian beberapa teriakan-teriakan. Akhirnya saya mendengar suara, seseorang ( yang ternyata polisi lalulintas di daerah Tosari) yang sedang bertanya kepada si pelaku. Beberapa saat kemudian, suami saya mendapat telepon dari nomor ponsel anak saya, yang menanyakan apakah kami kehilangan sesuatu. Sungguh ajaib. Tangan Allah bermain di sini. Bagaimana mungkin dalam hitungan menit, pelaku sudah tertangkap. Jauh dari TKP, dan ditangkap oleh Polisi lalulintas yang sedang bertugas di dekat jembatan Tosari.

Saat itu saya sudah tiba di RSAL Mintoharjo, dan mendapati anak saya sedang terbaring di ruang UGD dan sedang dijahit bagian kepalanya. Saya melihat luka terbuka yang tidak rata, dan ada bagian daging / jaringan yang hilang dari keningnya. Dengan menguatkan hati (perut saya sudah sakit seperti dipilin), saya mencium anak saya dan memegang tangannya yang dingin dan tubuh yang menggigil (akibat shock kehilangan darah juga). Saya berbicara ke Dhani, “Ibu sudah di sini Cantik. Ibu jaga kamu.” Lalu saya panggil suami sebentar, dan saya lihat suami saya hanya bisa diam menahan tangis. Dia tidak lama di situ, karena kami harus berbagi tugas. Saya mendampingi anak saya, dan suami saya bertemu dengan pihak security dari kantor saya yang membantu mendampingi anak saya di RSAL bersama dengan para pengantar dari TKP.

Menit demi menit berlalu, saya tidak tahan lagi dan merasa akan pingsan. Beberapa orang menyarankan saya ke luar. Lalu saya ke luar dan terduduk di depan lobby. Saya harus kuat, agar dapat terus mendampingi anak saya. Masih banyak hal yang mesti dibereskan. Saya sempat beristirahat sebentar di ruang depan UGD, sambil mempersiapkan administrasi untuk perawatan di RS.

Tidak lama, kening anak saya sudah selesai dijahit ( dengan model seperti jahitan kasur Palembang...berkerut-kerut...karena jaringan yang robek tidak rata dan terpecah-pecah). Kami mendapat tempat di ruang rawat VIP, karena saya menginginkan anak saya dapat beritirahat dan memulihkan kondisinya.

Pada saat itu tim security dan lain-lain yang sudah berhasil menemukan pelaku, datang membawa barang bukti yang tadi sempat diambil paksa oleh pelaku. Saya mengecek barang bukti, dan semua lengkap (terutama data yang dibutuhkan anak saya), kecuali dompet yang berisi kartu identitas anak saya. Tim security dan polisi lalulintas yang menemukan pelaku, menanyakan kepada saya, mau diapakan si pelaku ?

Saat itu hati saya berperang : antara logika dan hati nurani.

Tadi saya sudah berdoa kepada Allah :” Ya, Allah...seandainya Engkau berkenan, kembalikanlah anak kami, titipanMu, dengan selamat. “ Sekarang anak saya sudah kembali dengan selamat. Bahkan barang-barang yang sangat berarti bagi pekerjaannya sudah ditemukan. Jadi saya mau menuntut apa lagi ? Mengenai cedera yang dialami anak saya, sudah ada dokter yang akan menangani. Mengenai dampak dan trauma psikologis yang dialaminya, barangkali masih bisa disembuhkan. Jadi mau apa lagi ?

Saat itu saya benar-benar dilematis. Saya harus memilih, apakah saya akan menggunakan kekuasaan dan kekuatan untuk menentukan nasib orang lain. Yang nota bene sudah menyakiti dan melukai anak saya. Apakah saya harus menjadi hakim bagi seseorang , yang mungkin tidak pernah memilih hidupnya menjadi seorang pelaku kejahatan ? Apakah saya harus menjadi algojo dan memberi vonis akhir bagi kehidupan seseorang ?

Saya hanya mampu berdoa ,”Berikan kekuatan kepadaku, ya Allah. Engkau telah mengembalikan dan mempercayakan kembali apa yang tadi aku minta. Berikan petunjukMu , ya Allah?”

Dalam hitungan detik, saya mampu mengambil keputusan. Saya katakan kepada pihak security yang mendampingi saya ,”Ya, sudahlah Pak. Saya sudah ikhlas. Saya sudah maafkan. Bawa saja dia. Lepaskan saja.”

Lalu saya berbalik kembali ke kamar perawatan anak saya. Tidak lama suami saya menyusul, dan menanyakan pendapat saya. Saya bilang ,”Yah...aku sudah ikhlas. Aku sudah maafkan. Kita sudah dapat Dhani kembali. Terserah Ayah mau bagaimana.”

Suami saya pergi ke luar. Menghadapi pelaku tersebut. Dan tidak lama kemudian kembali ke ruangan. “Sudah selesai. Sudah aku lepaskan. Tadi sudah aku kasih ongkos untuk dia pulang kampung. Jakarta sudah terlalu kejam untuk orang-orang yang tidak mampu beradaptasi. Lagi pula ini bulan Ramadhan.”

Saya memeluk suami saya. Kami sudah mendapatkan apa yang kami minta. Anak kami yang tercinta kembali dengan selamat, dengan luka di keningnya. Dengan luka di hatinya. Tapi dengan kehormatan yang tetap terjaga. Itu yang paling penting untuk kami berdua.

♥♥

Teman dan sahabat semua...

Barangkali akan banyak orang yang tidak mengerti jalan pikiran kami, teman-teman, keluarga, kenalan dan semua pihak yang mengenal kami termasuk pihak kepolisian yang sangat menyesalkan keputusan itu. Tapi kami berprinsip, ada saatnya kita menggunakan logika, dan ada saatnya kita menggunakan hati.

Kalau ditanya bagaimana hati saya, pastilah saya merasa sakit dan terluka. Tapi setelah saya merenung, saya yakin bahwa di balik semua ini pasti ada ‘pesan’ tertentu dari Allah Yang Maha Mengetahui. Apa yang harus saya dapatkan, dan bagaimana mendapatkan itu.

Satu hal yang jelas saya dapat adalah ‘keajaiban’ pertolongan Allah. Bagaimana mungkin, seluruh barang yang sangat penting bagi anak saya bisa kembali dengan utuh. Termasuk dompetnya yang ditemukan seseorang yang baik hati di dekat gedung GKBI. Juga, bagaimana tangan-tangan malaikatNya turun melalui orang-orang yang tidak kita duga. Ibu-ibu para joki 3-1 (Ibu Ana dan mbak Maya), pengemudi ojek yang langsung bereaksi mengejar pelaku, penjual aqua, staf Press Room yang kebetulan pernah melihat anak saya di ruang sidang DPR, rekan jurnalis yang kebetulan ada di dekat TKP, rekan-rekan dari Security TAG, dan banyak pihak lain yang tidak kami kenal sebelumnya.

Saya juga melihat, betapa berperannya fungsi SMS, yang pada saat diperlukan telah membantu saya mengirim informasi dan melakukan tindak lanjut yang penting. Sepanjang malam, hingga keesokan dan seterusnya...ucapan simpati, dukungan, doa...dari teman-teman, sahabat dan keluarga mengalir seperti banjir. Mengisi ruang hati saya, si Cantik kami, dan suami. Luar biasa...

Sungguh sebuah perjalanan yang menakjubkan.

Saya hanya mampu mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu anak saya dari tempat kejadian hingga di RSAL Mintohardjo...Pak Solidri (yang terus mendampingi anak saya dari TKP hingga di UGD), Ibu Ana dan mbak Maya (yang memangku dan membantu membersih darah di wajah Dhani) , mas Ikrar, Pak Darno dan rekan-rekan dari TAG (yang begitu gesit menjaga di RSAL dan membawa pelaku yang tertangkap), pengemudi taksi Putera yang iklas mobilnya terkena bercak darah anak saya, Pak Manurung dan Siburian (Polantas yang bertugas di kawasan Tosari...bapak-bapak adalah polisi luar biasa..), paramedis dan dokter di UGD RSAL Mintohardjo, pengemudi ojek yang belum kami ketahui namanya, Bapak Rubiono (yang menemukan dompet anak saya), dokter Danny ( yang melakukan operasi plastik terhadap anak saya...thanks ya Dok, Anda sangat membesarkan hati anak saya...)..

Juga terimakasih yang khusus untuk sahabat jiwa saya, Nonce yang membawakan segelas teh manis hangat untuk saya...(Loe tau gw bisa sakaw kalo gak minum teh manis...uuuuh...love U..), Yetty ( thanks banget sudah menjadi pasukan UGD buat aku...welcome back ..), Tami, Adith dan mas Tyo (sorry kalau telat ngabarin...ada masalah koneksi..thanks bangeeet sudah menempuh kemacetan untuk menemani...), my great friend Fish dan Dove yang selalu mensupport, juga Mr Terri yang mendukung dalam cuek...Sahabat-sahabat di HOS...(kalian memang luaaaaarrrrrr biasaaaaaa....!!!), terutama mbak Mega yang special mengirim suaminya untuk mengunjungi kami di RS...(wooww...it’s a great parcel...hehehe...thanksssss bangeettt)... included sahabat-sahabat para pecinta kemanusiaan...Angel’s HOS (mb Sadrah...sabar yaaa..., mb Bea..cihuyyyy...Monik, Atun, Astruth, Ary), dan para begawan...mas Bima, Iman, pakdhe Djoko-ku...(uuuh...thanks supportnya yaa....greaaat ), mas Herry, Kun-kun, Renaldi, mas Jack, mas Bakri, mas Abe, Mas Hendrawan,...Kang Asep my great guru...(support Akang sungguh menguatkan kami...)...Pak Krish...(thankss...bangeet dukungannya) Sahabat-sahabat TCI...kang Dedet, Mas Hendry, mas Harry Uncommon, mas Yunus, mb Lilla, mb Lina,...semua deeeh...

Juga sahabat-sahabat dari jaman SMP dan SMA ( Ully, Vera, Rita, Ninin...thanks sudah menemani aku menghadapi hari sulit kemaren...tawa kalian membuat aku kuat dan bersemangat lagi...kalian memang forever friend...juga Lina, Tuti, dan semuanya), juga Zulian-Datik sekeluarga yang begitu penuh kasih menguatkan aku (thanks buat supportnya setiap hari...aku dapat energi luar biasa...)...Tim Arisan HIMPSI...(Nno, Kko, Eyang Nki, mb Nke, nDaru, Eyang mBg, RI-1, mb Yus...thanks support dan doa dibalik puding dan bunga...hiks hiks...jadi pengen nangis sekarang...)..Sahabat-sahabat special dari Dago Pojok Bandung...(Tutsyeee...Unye, Jun-i, Jun-ed, Tje-h, Maya, semuanya deeeh...termasuk Mbak Hana...support kalian tak diragukan lagi...bener-bener khas Insom-Mania...)...

Dan terima kasih tak terhingga untuk teman seperjalanan selama belasan tahun ini, teman dan sahabat-sahabat BCA – rumah keduaku...very special friend Kuri, Kenyot, Dikun...(uuuh...tetap menjadi bodyguard yang cepat tanggap darurat...he he ..meniru iklan “loe tau yang kumau”...hik hik..)...teman-teman BDI (hu hu hu...P. SC, Yanto, Na, Daud, Wal, BT, SW, Umbo, Edo, Wal, Wartim, Ai, Tuti...kalian adalah orang luar biasa...like my lovely family)...dan tim olahraga Senayan (mas Spt, Rini, mb DN, en de geng..)...juga Tek-tek (..EO Forever...hi hi..), Lilik, Indah dan semua rekan DHR..dan semua-mua deeeh...

Oya....terima kasih sebesar-besarnya juga buat semua teman dan kolega-kolega Dhani...di Hukum-Online...(thanks sudah menemani pada saat yang sulit...dengan canda dan tawa yang menguatkan Dhani...), juga buat teman-teman Dhani di Fakultas Hukum – Ekstension UI (thanks atas penguatannya...), juga teman-teman di lingkar persahabatan jurnalis khususnya di komunitas jurnalis DPR/MPR yang telah mendukung Dhani...Tak lupa teman-teman jaman SD sampai SMA...(kalian benar-benar teman sejati seperjalanan...salut atas persahabatan kalian yang begitu panjang...)...

Dan special thanks buat Ferdy...yang menjadi tumpuan hati si Cantik Dhani...thanks sudah selalu mendampingi pada saat paling sulit kemaren ini dan memberikan telinga untuk mendengar luapan emosinya...

The laaaaasssstttt...semua keluarga dan sahabat di mana pun berada...kebersamaan dengan kalian membuat kami merasa begitu berharga dan dicintai...Sungguh kami merasa sangat kaya dan memperoleh kelimpahan luar biasa ... Di tengah kegalauan hati...uluran tangan kalian sungguh membuat kami menjadi kuat dan tetap bersemangat.

Kami yakin, apa pun yang terjadi bukan sebuah cobaan atau musibah, tetapi sebuah proses pembelajaran untuk kita semua. Kami beruntung, memperoleh kesempatan mendapat pembelajaran ini bersama-sama dengan sahabat-sahabat yang menemani kami. Kami yakin, bahwa ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada kami. Memberikan kami mata pelajaran pendahuluan, yang barangkali belum dipercayakan kepada orang lain. Satu hal yang menjadi pegangan saya adalah jangan pernah bertanya ,”Mengapa ?” dan menyesalinya. Tapi bersyukurlah, kita diberi kelebihan untuk menjalaninya, dan melewatinya...

Teman dan sahabat...saya percaya satu hal...

Nothing happens in God's universe by accident.
Everyone that crosses our paths, has been there
for a reason…

Jakarta, 5 September 2008

Love U Allz….

Salam sayang dari kami sekeluarga,

Ietje – Guntur – Dhani

Selasa, 19 Agustus 2008

Jejak Kecil....

Dear Allz….

Helllowww...masih penuh semangat niih ? Harusnya begitu dong ! Kan barusan merayakan dan memperingati Hari Kemerdekaan RI…Cara apa pun yang kita lakukan…kegiatan apa pun yang kita laksanakan... lakukanlah dengan penuh cinta dan rasa syukur...Itu adalah salah satu cara untuk menikmati kemerdekaan…

Tepat di hari peringatan HUT RI itu, seorang teman mengirim SMS, ”Apa yang sudah kamu lakukan untuk mengisi kemerdekaan ini ?”

“Haaah…??? Apa, ya ?”

Saya termenung sejenak. Apa yaaa ? Apa yaaa ? Saya Cuma bisa nulis dan sesekali ngobrol di depan kelas. Apa itu merupakan proses pengisian kemerdekaan ? Trus hobby saya yang suka jalan ke sana ke mari seperti orang tidak punya tujuan dan tidak punya kerjaan ( kerjaannya ya jalan ke sana ke mari itu…hehehe…)…apa itu punya makna untuk mengisi kemerdekaan ?

Aaaccch….terserah apa pun penilaian orang lain, tapi saya sudah menjalani hidup saya dengan cara saya sendiri. Mungkin sesekali bersama dengan orang lain, seiring sejalan…mungkin di lain waktu berseberangan dengan orang lain, berpapasan atau bersilangan…

Apa pun itu...satu langkah saya...adalah hidup saya...

Eheeemm...jadi pengen berbagi cerita juga niih...tentang jejak kecil yang pernah saya tempuh hingga tiba di titik tempat saya duduk dan berdiri sekarang...

Selamat menikmati...semoga berkenan...

Salam hangat di awal minggu yang penuh semangat,

Ietje

Art-Living Sos 2008 (A-8.01

Start : 8/16/2008 10:39 AM

Finish : 8/18/2008 9:35 AM

JEJAK KECIL

Hari libur.

Saya sedang tidak punya program khusus. Tadi sudah berenang, di kolam renang dekat rumah. Sudah sarapan ketupat sayur Padang yang rasanya yummy…beli di pasar Bidadari, di dekat rumah juga. Sudah baca Koran kemaren…(soalnya nggak keburu melalap Koran setiap hari, jadi sedapatnya aja…hehehe..). Sudah beres-beres kamar tidur yang menjadi tempat menelusuri inspirasi paling indah sedunia. Apalagi ya ?

Mendadak saya ingat. Kamar kerja. Waaah…sudah saatnya saya beres-beres di sana. Lalu semua harta karun saya, yang berupa segala jenis dokumen dan entah apa lagi yang tersimpan di berbagai tas seminar dan kantong plastik saya angkut semua. Tebarkan di lantai, agar saya mudah memilahnya.

Nah, sekarang mari kita mulai. Dalam sekejap saya langsung heboh sendiri. Tenggelam di dalam keasyikan memilih dan memilah. Sambil sesekali menggumam dan menyanyi mengiringi lagu-lagu yang sengaja saya putar keras melalui loudspeaker di komputer saya…(biar serasa di kafe gitu…hehehe…).

Dan beginilah gaya saya…Lirik sana, lirik sini. Lempar sana…lempar sini…Putar sana…putar sini…mengikuti irama lagu yang ceria, sambil sesekali menatap nanar ke arah dokumen yang sudah amburadul di mana-mana…( hahahaha…). Ada yang di atas meja, ada yang di atas kursi, dan tidak sedikit yang bertaburan di lantai.

Sudah ada beberapa tumpukan. Ada tumpukan brosur, ada tumpukan tiket dan bon makan ( hiii….ngapain juga masuk ke dalam dokumen ?), ada tumpukan makalah, ada guntingan suratkabar ( dengan secuil foto saya di sudutnya… hehe…narsis publik juga niiihhh..), ada tanda kepesertaan seminar dan workshop, stiker segala macam, ada materi training dan ada buku-buku panduan juga, dan eeeeh…ada foto-foto dan kartu nama yang belum sempat saya masukkan ke dalam folder kartu nama….

Tumpuk sana, tumpuk sini…aaaacchhh…gileee ! Akhirnya jadilah tumpukan bukit-bukit kertas. Saya intip-intip isinya sekilas. Entah dari tahun kapan. Eeeh…ternyata banyak juga, ya ? Apa saja sih yang sudah saya kerjakan ?

Tiba-tiba ponsel saya berdering. Tepatnya mengeluh…hehehe…(soalnya sudah seharian kemaren berbunyi-bunyi melulu).

“Heellooowww….!” Suara setengah serak di sebelah sana. Seperti orang yang baru bangun tidur. Sahabat saya, dari Bandung.

“Hmm…ada apa ?” sahut saya, sambil tetap melirik ke arah dokumen yang bertebaran.

“Nggak ada apa-apa…Kangen aja !”

“Huuuhh…aku lagi repot niih ,” saya menjawab, setengah mengeluh. Setengah sirik, membayangkan sahabat saya sedang bersenang-senang dengan kemalasannya.

“Ada kerjaan yang penting ?” nada suaranya mulai prihatin. Apalagi karena dia tahu, saya hobby melakukan kegiatan yang aneh-aneh dan nggak jelas.

“Nggak sih…lagi mau beres-beres dokumen. Sudah berantakan setinggi gunung !” Saya menjawab pasrah.

“Ha ha ha…hi hi hi…iya deeh. Aku tahu, kamu pasti heboh ya ? Ya udah…nanti aja aku telepon lagi, daripada aku ditimpuk dokumen…Byeee….”

Hhhh…syukurlah, dia tidak berpanjang lebar. Saya selalu terserang sakit perut mendadak kalau sudah berurusan dengan kegiatan beres-beres dokumen (dan harta karun lainnya…hiks hiks hiks). Jadi sekarang saya bisa kembali berkonsentrasi. Okeee…kembali ke laptop…he he…kembali ke tumpukan dokumen. Gangguan kecil tadi sempat membuyarkan pikiran saya. Dan untungnya tidak membuyarkan semangat saya…hmm…

Saya mulai lagi. Membagi-bagi tumpukan dokumen itu berdasarkan topiknya. Hmm…ada yang masih baru gress…sekitar beberapa hari dan beberapa minggu. Tapi ya ampuuunn…ada yang dari tahun-tahun lalu. Sampai pinggirannya sudah agak keriting dan berubah warna. Malah ada yang bekas fotokopian, sudah lengket satu sama lain. Rupanya fotokopi lama, yang gampang luntur..Terpaksalah dokumen yang pernah penting itu ( kalau gak penting, mana mungkin disimpan ?) direlakan ke dalam kategori ‘sampah’. Saya masih memandang sekilas, dengan rasa sayang, sebelum akhirnya saya menyerah…dan melipatnya baik-baik.

Ada lagi brosur entah apa…gambar dan warnanya menarik. Saya baca sekilas juga, kuatir kalau ditatap lama-lama saya akan tergoda untuk menyimpannya lagi…( saya pernah punya folder isi brosur wisata dan seminar segala macam…hi hi hi..). Dan seperti dokumen yang keriting tadi, yang ini pun akhirnya menjadi penghuni tumpukan yang disebut ‘sampah’. Ayooo…teruskan lagi…masih ada sobekan-sobekan kertas dengan catatan nomor telepon (pasti sudah saya salin ke buku atau ke phonebook ponsel), catatan pesan kecil , bon belanja yang terjepit di antara dokumen ( ini kesasar atau kenapa ?), tiket pesawat, kuitansi hotel dan restoran (termasuk tagihan cucian…he he he…).

Hmm…sekarang tarik nafas dulu. Hampir dua jam saya berkutat dengan semua dokumen dan sisa dokumen yang tergolong ‘sampah’ itu. Selain dokumen yang sekarang sudah mendapat tempat yang layak di sisi saya, juga ada dokumen yang dengan terpaksa harus diucapkan selamat jalan. Dan jumlahnya ternyata hampir seimbang. Masa lalu dan masa sekarang yang masih berkelanjutan.

Saya memandang tumpukan dokumen masa lalu itu dengan hati miris. Tumpukan dokumen yang pernah sangat berarti buat saya. Dari sekedar catatan dan coretan, hingga usaha berbagai kalangan untuk mewujudkan isi dan tampilan dokumen-dokumen itu. Contohnya saja brosur yang dilengkapi dengan foto-foto. Untuk membuat desain brosurnya saja sudah dibutuhkan satu tim kerja kreatif, belum lagi urusan fotografinya. Jadi ingat pengalaman saya sendiri ketika menjadi copywriter dan bagian kreatif serta produksi materi-materi promosi, termasuk brosur…hmm…Untuk selembar brosur kadang dibutuhkan waktu hingga 1 – 2 bulan, dari mulai proses penciptaan gagasan, proses kreatif hingga siap didistribusi. Sebuah perjalanan yang panjang dan tidak dapat dikerjakan dengan sebelah tangan.

Itu baru urusan kreatif. Belum lagi bicara tentang bahan baku, yang terbuat dari kertas dan tinta cetak. Kertas, dibuat dari bubur kayu. Kayu diambil dari pohon, yang proses penanaman serta penebangannya membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Tinta ? Pasti melalui proses kimia yang panjang. Semua itu berpadu dengan hasil pemikiran para kreator, agar gagasan-gagasan tentang suatu produk atau jasa dapat tersampaikan kepada audiens atau masyarakat.

Dan, dengan sengaja atau tanpa sengaja…kita berada di dalamnya !!!

Ngomong-ngomong soal dokumen yang berantakan di seantero kamar kerja, saya jadi tergelitik untuk melihat lembar demi lembar yang tadi sudah berbicara kepada saya. Yaah…mereka berbicara dalam diamnya. Mereka berbicara dengan segala penampilan dan isi yang terkandung di dalamnya. Bercerita tentang perjalanan panjang yang harus ditempuhnya.

Tumpukan dokumen dan kertas, telah menempuh perjalanan begitu panjang sebelum tiba di tas kerja saya. Sebelum menjadi bagian dari proses pengayaan diri saya. Sebelum menjadi sumber inspirasi dan penghibur hati saya. Datang dari berbagai sumber. Dari berbagai pemikiran. Dari berbagai rangkaian proses dan manajemen. Lalu terdampar di atas meja kerja saya, atau siapa pun. Mereka, dokumen-dokumen itu, kadang saya jadikan sebagai panutan, kadang saya buang. Itulah warna hidup saya. Hidup kita.

Begitu banyak interaksi dan proses yang terjadi. Dan bukan tidak mungkin, dari selembar dokumen itu sebelum menjadi kertas, sudah terjadi serangkaian unjuk rasa dari para aktivis lingkungan hidup yang memprotes penebangan liar di hutan-hutan tropis ( yang masih terjadi hingga hari ini). Juga bukan tidak mungkin, dari tinta yang mengalir dan menempel di kertas-kertas itu terjadi limbah produksi yang membahayakan lingkungan, dan berdampak pada kesehatan lingkungan.

Masih ada lagi. Dari rangkaian huruf dan kata-kata yang saling terkait satu sama lain, bukan tidak mungkin telah menggerakkan pemikiran kita, perasaan kita, motivasi kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Untuk mengembangkan diri kita dan orang lain.

Saya merenung.

Dari sekedar dokumen. Dari sekedar corat-coret di secarik kertas. Ternyata semua itu merupakan bagian dari langkah-langkah kita. Bagian dari jejak langkah kita. Jejak yang kecil, yang barangkali kita anggap hanya keseharian kita yang tidak penting. Yang kita anggap hanya sebagai bagian dari kewajiban dan warna kehidupan.

Hmm…apa pun…sekecil apa pun…ternyata hidup ini sangat berarti. Langkah kita, sekecil apa pun, ternyata sangat bermakna. Dan akan menjadi rangkaian panjang perjalanan kehidupan yang lain.

Saya meraih tumpukan dokumen dan kertas-kertas ‘sampah’ yang tadi sudah saya singkirkan. Menatapnya sekali lagi. Mengucapkan terima kasih atas semua informasi yang telah diberikannya kepada saya di waktu-waktu yang silam. Lalu, semua saya masukkan ke dalam kantong besar, untuk nanti dapat saya pilah lagi, entah sebagai kertas bungkusan…atau sesuatu yang masih punya arti.

Selamat jalan sisa dokumenku…selamat berpisah…terima kasih telah mengisi jejak-jejak langkahku…

♥♥♥

Jakarta, 18 Agustus 2008

Salam hangat dari sekeping hati yang ingin bermakna…

Ietje S. Guntur

Special note : Terima kasih buat sahabat-sahabatku di HR Opensources ( terutama para inspirator HOS University...Mas Bima, mas Iman, mas Vero, Mas Dwi, Nonce tersayang, Mega, Adith, mas Tyo, Pakdhe Djoko, Mas Bakri, mb Bea, Monik, Astruth , mas Faris, juga Cak Sun di mana pun berada…kalian adalah sumber inspirasi yang luar biasa)…terima kasih telah menggelitiki aku dan membuat aku kembali melihat jejak-jejak kecilku..

Serpih-serpih rindu...

Aiiiiihhhhh.....

Aku kangeeeen banget menulis di sini....Sungguuuuuhhhh...!!! Rasanya setelah berbulan-bulan mati angin dan mati rasa, hari ini mendadak aku ingat lagi dengan Blog Galeri Cintaku ini...Hmmm....

Selama ini...ada rasa rindu...ada rasa sedih...ada rasa ingin marah...tapi aku nggak bisa menuangkannya. Akhirnya aku berkelana saja dari blog ke blog...sambil memandang sendu ke Blog Cintaku ini...Galeri Cintaku...wujud cintaku pada banyak hal...

Setelah melalui pergulatan batin yang lama...setelah melakukan perjalanan ke berbagai negara yang ada di seberang benua...setelah merentang jarak dengan semua yang pernah melekat...setelah merenung sana sini...akhirnya aku bisa menulis lagi...

Ada satu puisi yang barangkali bisa membawa aku kembali pulang kembali ke pojok inspirasiku... Itu adalah puisi perjalananku...

Di sini aku ingin berbagi...dan dari sinilah aku akan memulai langkahku lagi...

Jakarta, 19 Agustus 2008
Salam sayang dari Galeri Cintaku,



Ietje

----------------------------------------------------------------------------------------

Merpati kembali pulang…

Merpati putih

Rentangkan sayap

Terbang tinggi

Mengukir langit

Berpaling jauh

Mencari sarang

Untuk kembali

Pulang….

Angin selaksa

Membawa warta

Setangkai ranting

Di ujung pulau

Memanggil merpati

Untik kembali

Dan

Memberi ruang

Untuk menelisik sayap

Yang lelah

Dan ingin berbaring

Pasrah…

Bologna, trip by Trenitalia – Eurostar

Jum’at 1 Agustus 2008


Ietje

------------------------------------------------------------------------------

KETIKA RINDU MERAIHMU

Tetaplah berdiri di sana

Ketika angin pagi

Menyapamu

Dan aku hanya

Melihat bayangmu…

Tetaplah berdiri di sana

Ketika merpati datang

Mengepakkan

Sayapnya…

Tetaplah berdiri di sana

Ketika aku rindu

Dan

Ingin meraih

Jemarimu….

In long journey from Milano to Rome

Firenze, 01 Agustus 2008

Ietje

Minggu, 22 Juni 2008

Spirit Reborn

SPIRIT REBORN.....


Pernah lihat kecambah ? Belum ? Waaaaww....sayang sekali. Pernah lihat tauge ? hehehe...mestinya sudah pernah, ya ? Hmmm...

Nah, hari-hari saya belakangan ini ya, seperti kecambah itu...seperti tauge.

Setelah beberapa waktu merasa gonjang-ganjing dengan kehidupan di sekitar saya...kadang seperti naik jet-coaster di Dufan, Ancol....mendadak saya tergulung dalam selaput perenungan. Seperti kepompong. Tapi saya tidak serta merta menjadi kupu-kupu yang dapat terbang kian kemari di antara helai-helai daun dan bunga-bunga.

Saya malah merasa seperti kecambah. Seperti sebutir benih yang sedang-sedang siap tumbuh kembali...melanjutkan perjalanan kehidupan.

Saat ini...setelah lama menghilang dari peredaran di dunia tanpa batas...di dunia tanpa jarak...hari ini saya kembali...seperti tauge ...eeeeh...seperti benih yang tumbuh di tanah subur dan siap bertarung dengan keindahan kehidupan di sekitar saya...

Semangat saya, yang sempat tertidur dalam kelelapan yang lena...kini bangkit kembali. Semangat cinta...semangat ingin berbagi...semangat ingin memberikan makna bagi kehidupan ini...

Saya datang...saya kembali...bersama spirit reborn....

Jakarta, 22 Juni 2008


Ietje

Special note : Terima kasih sebesar-besarnya...untuk sebuah hati yang terbuka di sore hari yang hangat di bulan Juni...thanks ya Nemo...

Minggu, 18 Mei 2008

Pecel Tanpa Genjer

Dear Allz…

Hehehe….setelah masa inkubasi beberapa saat lalu dan membakar lemak emosi akhirnya aku berhasil juga menenangkan diri…wekekeke…Kemaren aku ikut seminar HRD, dan mendapat pencerahan…bahwa kelas kayak gitu garing bangeeet…beda sama kelas Komunitas Lesehan yang cuawawakan mlulu. Itulah yang bikin aku kangen…

Pulang dari seminar aku digeret sama Nonce ke percetakan, dan dia paksa aku mendownload tulisan-tulisanku untuk segera di layout buat jadi buku. Terpaksalah…aku mengeluarkan tulisanku…ada 32 artikel. Dan langsung dimasukkan ke dalam mesin pemroses tata letak..hehehe…Abis itu makan sate padang sampe kelenger…

Hari ini tadinya aku mau detoks jiwa aja…tapi masih kangeeeen aja. Dan kebetulan si Nonce lagi kumat juga…dan mendadak dangdut dia udah nongol di rumahku sambil menjarah isi dapur…hahahaha…Dia makan dengan santai di tempat tidur di kamar kerjaku…sambil nungguin aku menyelesaikan tulisan Pecel Tanpa Genjer ini.

Kami sempat menggodai Mas Adith yang sedang tekun belajar. Tapi nggak tega untuk melanjutkan percobaan gangguan ke tempat lain…jadi ya sudah…kami mo jalan-jalan aja…

Udah yaaa…met menikmati genjer ini saja.

Kangen,

Ietje

Art-Living Sos 2008 (A-5.18.01

5/18/2008 2:24:18 PM

5/18/2008 5:34:36 PM

PECEL TANPA GENJER….

Saya sedang makan siang. Menyantap makanan kesukaan saya. Pecel sayuran… Hmmm….enaknyaaa…Pecel dengan daun singkong rebus, bayam rebus, kacang panjang rebus, kol rebus, tauge rebus….heeehhh !!! Ada yang kurang. Genjernya mana ? Iyaa…genjer !!! Tanaman asal-asalan dari sawah itu… Genjer.

Waaaah…kumpulan kol and the gang itu jadi kurang meriah, karena si genjer yang empuk-empuk eyup itu tidak menghadiri perjamuan kali ini. Bukannya nggak menghargai teman-temannya sesama tanaman lainnya yang sudah hijau royo-royo di atas meja makan, tapiiii….hmm….!!! Sepi. Gak rame…??? Tapi..yawda…sekali ini saya terpaksa merelakan impian saya menghablur tanpa genjer…hehehehe…

Bagi sebagian orang, pecel tanpa genjer sih oke-oke saja. Nggak penting-penting banget. Beda halnya kalau pecel sayuran tanpa tauge…rasanya memang kurang lengkap. Tapi kalau sekali sudah tahu sedapnya pecel dengan tambahan genjer…waaah…baru deh nagih…Asalkan nggak jadi ketagihan saja…hihihi…Kayak saya niiih…Yang bisa jadi kumat cerewetnya kalau Sang Genjer tidak ikut hadir dalam kumpulan sayuran itu.

Urusan saya dengan per-genjer-an ini sebetulnya bukan hanya di dalam kaitannya dengan pecel. Genjer direbus begitu saja juga enak. Dimakan dengan sambel yang pedessshh… …dicocol begitu saja….haaaahhh… nikmat sekali. Ada juga yang doyan ditumis. Tumisan genjer hanya dengan cabe atau tanpa cabe, atau dicampuri jamur dan sedikit udang ( iyalah…kalau kebanyakan nanti malah jadi tumis udang…hehehe)..juga uenaaakkk. Malah, kalau di Bandung sering dicampur dengan oncom Bandung yang legit dan cabe yang pedeees juga…wawawawa… mertua lewat pun bisa hanya dilirik sebelah mata… hahahaha..

Genjer….apaan siccchhh ?

Tanaman yang tumbuh liar di sawah-sawah berbentuk batang kotak hijau dengan ketinggian sekitar 20-40 cm ini adalah tanaman murah meriah. Tak heran kalau genjer seringkali dikaitkan dengan kemiskinan atau makanan kaum jelata…hikkss…Entah karena dia begitu gampang tumbuh, nyaris tanpa pemeliharaan dan tanpa proses rekayasa, sehingga siapa pun bisa mengambilnya dan memungutnya dengan gratis di sawah-sawah atau di tepi-tepi selokan di ladang yang airnya mengalir tenang .

Selain karena gampang tumbuh dimana-mana, nama genjer juga berkesan sederhana dan seadanya. Tapi coba begini…kalau saya menyebut nama Umnocharis Flava (L) Buch…naaah, pasti teman dan sahabat semua akan mengira itu nama penyanyi atau produk dari luar negeri ya ? Tapi sebenarnya itu adalah nama genjer dalam bahasa ilmiah di laboratorium…hehehehe… Alias sama saja…genjer dan genjer juga…

Menatap pecel yang tanpa genjer tadi saya jadi merenung. Sebetulnya apa yang salah dengan genjer sehingga dia selalu dikaitkan dengan kemiskinan dan kesengsaraan ?

Beberapa media di ibukota bahkan mengangkat topik kemiskinan dengan simbol genjer. Apakah itu adil buat Sang Genjer ? Apakah dia memang mau ditakdirkan menjadi simbol kemiskinan ? Sementara bagi saya, genjer adalah makanan penambah selera makan…hmmm…persis seperti yang saya baca di salah satu literatur. Itu sebabnya pecel saya tanpa genjer ibarat orkestra tanpa penyanyi soprano…hiks…hiks…hiks..Nggak ada yang menggigit-gigit…

Kita memang kadang suka mempolitisir sesuatu yang sederhana dan mudah diperoleh dengan penderitaan dan kesengsaraan. Seakan-akan sesuatu yang sederhana itu memang jatahnya orang yang menderita. Padahal apakah selalu demikian ? Nasib genjer memang nyaris sama dengan saudaranya Sang Kangkung…yang dulu dianggap makanan sederhana dan jatah orang miskin, tapi sekarang bisa naik kelas dan menjadi makanan mahal di restoran bintang empat dan lima

Di beberapa tempat sekarang pun genjer sudah menjadi makanan mahal. Tidak hanya disajikan di warung lesehan pinggir jalan di jalur jalan raya Bogor – Sukabumi, genjer sekarang juga mulai menjadi santapan pilihan di restoran kelas bintang. Dan harganya pun cukup kompetitif. Nahhh…mau dibilang sederhana lagi ? Mau dibilang makanan rakyat yang sengsara lagi ? Saya saja mengalami kesulitan untuk mendapatkan genjer muda yang masih kinyis-kinyis…dan terpaksa pesan jauh-jauh hari ke tukang sayur langganan agar pecel saya tidak kering kerontang tanpa genjer…

Ngomong-ngomong soal genjer…kadang bagi beberapa kalangan agak sensitif juga. Entah karena kesederhanaannya yang menjadi simbol kemiskinan, entah karena dia pernah dipolitisir oleh kalangan tertentu pada beberapa dekade lalu. Kadang kalau saya sedang bicara soal kecintaan saya pada genjer, ada mata yang melirik aneh…Kok saya doyan makanan sesederhana itu siiichhh ???

Yeaaccch…ini sih memang ada hubungannya juga dengan aktivitas saya semasa masih kanak-kanak dulu. Urusan main di sawah dan mandi di sungai sudah menjadi agenda sehari-hari. Nggak heran kalau dulu saya bisa hitam berkilauan seperti patung kayu mahoni…hehehe. Dan biasanya kalau sudah bosan main, pasti saya akan kelaparan. Pada saat itulah saya mulai mengetahui bahwa kangkung dan genjer adalah makanan yang nikmat sekali. Cukup dipetik langsung di pinggir pematang sawah, direbus seadanya di dangau-dangau yang ada di tengah sawah, lalu disantap begitu saja. Kadang dengan singkong rebus. Kadang tanpa apa-apa…

Dangau-dangau itu adalah milik petani yang sedang menjaga sawah, yang saya kenal sepintas lalu. Mereka membiarkan saya dan teman-teman bermain sepuasnya di tengah sawah, sambil membantu mengusir burung yang suka memakan padi. Imbalannya ya, itu tadi genjer dan singkong…hehehe…Kadang kalau sedang beruntung, kami juga bisa menangkap ikan sepat dan mujaer yang terjebak di antara selokan di antara pematang sawah. Dan genjer itu pun bertambah sedap dengan tambahan lauk yang bisa diperoleh begitu saja…seakan-akan tidak ada pemiliknya…

Bertahun-tahun setelah urusan genjer di tengah sawah itu. Saya selalu merindukan genjer di antara hari-hari saya. Ada saatnya saya tidak bisa mendapatkan makanan itu, karena stok di pasar agak terbatas. Ada juga saatnya orang yang saya minta untuk menyediakan atau memasak genjer untuk saya hanya menarik alisnya, dan memandang saya seolah-olah saya adalah mahluk ajaib dari langit. Seakan-akan bertanya : Hari gini masih makan genjer ???

Duuuh…kalau saja orang-orang itu memahami, betapa genjer bukan hanya nikmat rasanya, tapi juga mengandung zat kardenolin yang berguna untuk tubuh. Sama dengan kandungan yang terdapat pada bayam dan beberapa tumbuhan berkhasiat menenangkan lainnya. Barangkali kalau saja genjer dibudidayakan…dan diolah dengan teknologi pangan yang tinggi…hmmm…barangkali genjer akan naik derajat. Dan kita harus antri untuk mendapatkannya. Sssttt…jangan-jangan…pada saat ini sudah ada pabrik yang mematenkan hak tanam dan hak garap genjer ini. Siapa tahu ?

Saya kembali ke urusan pecel tanpa genjer itu.

Merenung lagi . Betapa naifnya kita ini. Mengabaikan sesuatu karena kesederhanaannya. Karena kemudahan mendapatkannya. Karena keterbukaannya. Bukan karena makna yang ada di balik kehadirannya.

Hmm…Seandainya saya hanya sepotong genjer…masih maukah teman dan sahabat berkenalan dengan saya ?

♥♥♥

Salam Umnocharis Flava….

Ietje S. Guntur

Special note : Thanks buat Atun…my kitchen cabinet assistant…yang selalu sigap mencari genjer kemana-mana…Kemana genjer itu hari ini ya, Tun ? Juga buat my twin sister Nonce…si Penikmat genjer juga…dan tidak lupa sahabat kami Kun-defix…Komunitas Lesehan tanpamu ibarat pecel tanpa genjer…sepi euy..

Minggu, 20 April 2008

Ada apa dengan Kartini....

Dear Allz…

Hallowww….apakabar ?? Hehehe…sudah lama nih saya nggak mengudara…hehe. Bukan sok sibuk, tapi gimana yaaa…ada tugas yang butuh konsentrasi sedikit…Gagasan sih banyak, tapi kalau menulis tanpa semangat dan roh…waaaah…rasanya jadi garing…

Beberapa hari lalu, saya sudah kepikiran untuk menulis tentang salah satu tokoh pembaharu wanita di Indonesia. Siapa lagi, kalau bukan Kartini. Tapi gagasan itu berebut tempat dengan tugas kantor yang sedang saya lakukan…(halaah…)…jadi terpaksa tertunda lagi. Tadi pagi, saya digelitik oleh seorang sahabat. Dan biasalah…kalau sudah disetrum begitu, biasanya saya akan melonjak…

Hari ini…sambil bermalas-malasan, saya membaca ulang buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dan memang…ada wawasan baru yang saya dapatkan. Rasanya jadi tidak enak, kalau wawasan itu saya simpan sendiri…kuatir ntar jadi beku…he he…

Jadi inilah sedikit cerita saya…Semoga berkenan..

Selamat menikmati….

Salam hangat,

Ietje

Art-Living Sos 2008 (A-4.20.01

Start : 4/20/2008 12:40 PM

Finish : 4/20/2008 1:39 PM

ADA APA DENGAN KARTINI ???

Sekarang bulan April. Bulannya Kartini, kata sebagian orang. Ada yang menyambut perayaan Hari Kartini dengan gembira dan gegap gempita, terutama anak-anak dan para panitia penyenggara acara. Tapi ada yang Cuma mencibirkan bibir : “Kenapa sih harus Kartini ? Ada apa dengan Kartini ?” Dengan pertanyaan lanjutan , “Masih perlukah perayaan seremonial dengan upacara dan pesta segala macam ? “

Halaaahgghh…iya juga ya ? Kenapa, ya ?

Saya yang beberapa hari ini mendinginkan kepala karena sedang ingin konsentrasi dengan pekerjaan merasa tergelitik juga. Apalagi ketika menerima SMS dari seorang sahabat saya seperti ini,” Hari Kartini nih…udah bikin tulisan blom ?” Dia tahu betul kalau saya suka gatel-gatel kalau mendengar atau mengamati suatu issue tertentu. Dan jelas SMSnya itu bikin saya ‘terbakar’ di pagi buta tadi…hmmm…

Perayaan Hari Kartini, barangkali sudah berpuluh-puluh kali kita lakukan. Dari yang lazim diadakan di sekolah, dengan perayaan yang meriah dan lomba busana daerah, sampai yang agak high-class dan intelek dengan acara seminar atau talkshow yang mengusung tema emansipasi dan hak-hak wanita.

Bagi saya, perayaan Hari Kartini dari jaman sekolah dulu, selalu saya sambut dengan gembira. Bukan karena harus pakai kain kebaya lengkap dengan sanggulnya (dan bikin saya selalu panik luar biasa…takut sanggulnya copot), tapi yang jelas pada hari itu biasanya libur belajar…hehehe…Soalnya pasti ada lomba macam-macam. Mulai dari lomba busana, lomba menulis tentang Kartini, lomba baca puisi, lomba cerdas cermat sampai lomba yang jelas nggak ada hubungannya dengan emansipasi dan Hari Kartini…seperti lomba masak untuk murid laki-laki…hmm…

Bagi saya…dan bagi anak-anak umumnya, urusan peringatan Hari Kartini itu memang nggak jauh-jauh dari lomba peragaan busana daerah. Terutama kebaya. Jadi pada hari itu akan tampil berbagai koleksi busana seluruh daerah Indonesia, sesuai dengan asal usul murid yang bersangkutan. Waaah…seru ! Pada saat itulah kita baru menyadari, bahwa Indonesia ini kaya dengan budaya busana tradisional yang beraneka.

Tapi…belakangan saya berpikir, apa hubungannya Hari Kartini dengan busana daerah ? Barangkali di seluruh dunia, hanya di Indonesia ada peringatan hari kelahiran seorang tokoh wanita yang dirayakan dengan lomba busana daerah. Entah siapa yang memulai tradisi ini, tapi kalau ada perayaan Hari Kartini tanpa kebaya dan busana daerah, kayaknya jadi nggak seru. Lucu juga…hehehe…

Padahal…sebetulnya, apa sih yang diperjuangkan oleh Kartini, sehingga ia begitu dikenal sebagai tokoh pembaruan di kalangan wanita Indonesia ? Apakah kala dia menuliskan gagasan-gagasannya seratus tahun yang lalu dia berpikir, bahwa namanya akan ngetop, paling tidak di kalangan pencinta busana kebaya , sehingga muncul istilah kebaya Kartini? Rasanya sih tidak begitu ! Walaupun secara sederhana, kebaya Kartini itu sendiri lambang pemberontakan Kartini terhadap model baju kebaya saat itu yang masih menggunakan kutubaru ( sambungan di dada) yang menunjukkan belahan dada kepada publik ! Kartini, dalam diamnya tidak mau memamerkan bagian dirinya secara fisik dengan cara berlebihan. Ia memiliki prinsip. Termasuk dalam berbusana.

Saya sendiri, yang beberapa kali diminta untuk menjadi narasumber dan urun rembug dalam berbagai acara peringatan Hari Kartini, kadang bingung juga. Mau mengangkat topik apa pada peringatan Hari Kartini itu. Bukan apa-apa, sebagai tokoh wanita, yang saya ambil dari Kartini adalah semangatnya dan inspirasinya. Bukan sekedar emansipasinya. Lha…mau emansipasi bagaimana ? Kita ini kan terikat oleh adat dan lingkungan. Selama adat dan lingkungan itu belum berubah, belum direformasi, ya para wanita yang hidup di dalamnya tetap dalam kedudukan sebagai warga ‘kelas dua’ yang hak dan kewajibannya ditentukan oleh para penguasa di lingkungan budaya tersebut.

Kartini yang saya amati adalah seorang inspirator. Seorang visioner. Kartini, yang tulisan-tulisannya kepada para sahabatnya di Negeri Belanda dibukukan dalam tajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang”, berisi gagasan-gagasan dan segala cita-citanya. Untuk kemajuan wanita. Untuk kemajuan bangsanya. Saya tidak akan membahas mengenai isi tulisannya. Tapi yang jelas, gagasan dan cita-citanya yang berani mendobrak pemikiran wanita ( bahkan para lelaki) pada jamannya itulah yang menjadi inspirasi banyak wanita ( dan mudah-mudahan juga para lelaki) untuk berani berpikir dan bercita-cita juga.

Barangkali ada yang bertanya : Kenapa sih orang bercita-cita saja bisa dijadikan seorang tokoh pembaruan ? Bahkan diresmikan menjadi pahlawan nasional !

Nah, ini dia ! Seorang pembaharu, akan memulai perjalanannya dari pemikiran, dari analisis, dari gagasan yang menerobos batas yang ada di lingkungannya. Gagasan itu kemudian menjadi cita-cita. Cita-cita inilah menjadi motor, menjadi penggerak untuk sebuah program atau pekerjaan. Gagasan dan cita-cita adalah visi. Dan Kartini sudah punya visi itu.

Barangkali ada lagi yang bertanya : Kenapa Cuma punya cita-cita ? Kenapa tidak direalisasikan ?

Memang sayang sekali. Pemikiran Kartini sebagian besar belum sempat diwujudkannya. Ia meninggal dalam usia sangat muda. Masih duapuluh lima tahun ! Usia 25 tahun, di dalam jaman yang serba terkungkung, di dalam tembok tradisi bangsawan Jawa yang sangat ketat. Apa yang bisa dilakukan oleh wanita pada jaman itu ? Yang hidup di dalam dunia yang sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh para lelaki.

Kalau kita mau jujur pada diri sendiri, dan merefleksi kondisi saat itu, maka sebetulnya yang harus beremansipasi dan direformasi bukanlah perempuan tetapi laki-laki. Kenapa ? Karena perempuan hanya bisa berkiprah kalau mendapat kesempatan dari laki-laki, baik ayah, maupun anggota keluarga laki-laki lainnya. Kartini yang dikekang oleh adat, hanya bisa bergerak sedikit setelah mendapat kesempatan dari ayahnya dan salah satu saudara laki-lakinya. Ia kemudian juga mendapat peluang mengembangkan gagasannya, dalam suatu perwujudan sekolah pemula yang sederhana, dari suaminya.

Dan ketika kehidupannya yang singkat diambil oleh Sang Pemilik Kehidupan, apakah gagasan, cita-cita dan visinya lantas harus berhenti ? Tidak khan ? Masih ada sahabat-sahabatnya. Masih ada keluarganya. Yang tahu betul, bagaimana harus mewujudkan dan melaksanakan cita-cita itu. Bukankah itu gunanya para sahabat ? Sebagai pendukung dan untuk mewujudkan visi serta cita-cita ?

Nah, sekarang kembali kepada diri kita sendiri. Apa yang terjadi dengan para wanita atau perempuan di abad ini ? Masihkah kita punya gagasan atau cita-cita seperti Kartini, wanita abad lalu itu ?

Kita yang hidup di alam kemerdekaan. Kita yang hidup di alam reformasi dan demokrasi, apa yang sudah kita lakukan ? Adakah kita memiliki hasil karya, yang berguna untuk kehidupan ini ?

Jangan hanya bertanya : Kenapa Kartini ? Kenapa harus dia ? Coba tanyakan pada diri sendiri : Kenapa bukan Ietje ? Kenapa bukan Nonce ? Kenapa bukan Tutsye ? Kenapa bukan Esti ? Kenapa bukan kita ?

Yaaah…kembali lagi…Beranikah kita memiliki gagasan ? Beranikah kita memiliki visi ? Beranikah kita berbagi untuk kemaslahatan kehidupan dan dunia ini ?

♥♥♥

Salam bervisi di hari Kartini,

Ietje S. Guntur

Special note : Thanks berat buat Aan Kecap Tjap Sawi …yang selalu menggelitik hidupku (pada jam yang tidak patut) …dan sahabat-sahabat wanita Esti Wungu yang sedang berjuang di Negeri Ginseng, Eva di Negeri McD, I’ie di Kutub, Nonce di Rawamangun (yang selalu gak nyambung dotcom) , Tutsye ( yang baru tiba di Negeri Walanda demi sebuah cita-cita )…Thanks sudah mengingatkan…bahwa masih ada hal yang kudu direnungkan…