Sabtu, 20 November 2010

Art-Living Sos 2010 (A-3 Serba-serbi Serabi


Dear Allz…

Hmmmh…apakabaaaarr ? Semoga semua kabar baik, ya…Jangan ada yang sakit, baik sakit badan maupun sakit hati…hehehe…Iya, lho…sakit hati itu bisa jadi penyakit yang berlarut-larut. Makanya cepatlah sembuhkan hati yang sakit, agar kita segar bugar kembali…

Laaaah...kenapa hari gini membicarakan soal sakit hati sich ? aaaah...tidak apa-apa...Sakit hati itu bisa terjadi karena kita merasa tersinggung atas perlakuan orang terhadap kita. Kenapa ? Bisa jadi karena perbedaan pendapat. Boleh jadi juga karena perbedaan persepsi. Nah, urusan perbedaan persepsi ini yang bikin runyam...membuat kita berprasangka ( biasanya sih prasangka buruk...heh heh...) terhadap orang lain.

Kalau urusannya sudah prasangka, barangkali bisa kita urut lebih jauh sedikit. Kenapa sih kita harus berprasangka kepada si A, tapi tidak kepada si B, walaupun mereka melontarkan ide atau pernyataan yang sama ? Di sini memang ada perbedaan nilai dan kepentingan. Ketika kita sedang berusaha menjalin hubungan dengan si B, maka apa pun yang dilakukannya akan kita anggap baik dan sesuai dengan diri kita. Tetapi sebaliknya, ketika kita tidak berkepentingan dengan si A, maka sedikit saja dia berbeda pendapat dengan kita, akan jadi prasangka buruk yang berkepanjangan.

Hidup ini memang didasari oleh pengindraan dan interpretasi. Ketika kita memasukkan pengetahuan, pengalaman, keyakinan dan nilai-nilai di dalam interpretasi itu, maka akan terjadi perbedaan. Maunya sih, pada saat terjadi perbedaan kita cepat-cepat introspeksi dan bertanya : Ada apa dengan diriku ? Kenapa saya dan dia berbeda ?

Banyak sekali hal-hal di dalam kehidupan masyarakat, yang dalam wujudnya tampak sama, tetapi ternyata memiliki makna yang berbeda. Contohnya adalah serabi. Iya...serabi, yang bundar-bundar itu. Walaupun bentuknya sederhana, tetapi begitu banyak perbedaan makna bila kita sudah membahasnya lebih mendalam...

Hmmmh...kalau serabi dapat membuat interpretasi yang berbeda, seharusnya dia pun dapat mempersatukan ide dan pendapat. Naaaaaaahhh....agar tidak berpanjang kata, mari kita cerita saja tentang serabi. Kalau teman dan sahabatku punya secangkir teh atau kopi, boleh jugalah kita menyantapnya bersama sepotong serabi hangat...Asyiiiiikkkk....

Selamat menikmati....selamat berserabi-ria...

Jakarta, 19 November 2010
Salam hangat,

Ietje S. Guntur

♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-3
Serial : Food Psychology
Start : 10/13/2010 9:18:09 AM
Finish : 10/13/2010 11:57 AM

SERBA-SERBI..SERABI

Hari Sabtu. Pagi-pagi .
Saya sedang menikmati liburan di rumah. Biasanya pagi begini saya akan mempersiapkan sarapan yang khusus untuk keluarga. Tapi kali ini, suami saya, Pangeran Remote Control ingin sarapan serabi. Hmh…boleh juga tuh. Di pasar kompleks perumahan kami ada seorang ibu yang menjual serabi tradisional, yang terbuat dari adonan tepung beras dan dimasak dengan cara tradisional .
Serabi tepung beras ini dimasak satu persatu. Menggunakan anglo berbahan bakar arang, yang di atasnya diletakkan kuali kecil dari tanah liat, sambil dikipas-kipas agar serabinya matang secara merata. Kadang-kadang, kalau apinya terlalu besar, bagian bawah serabi agak gosong. Tapi justru aroma gosong inilah yang membuat rasa serabi menjadi unik dan enak…he he…
Selain pedagang serabi yang di pasar, masih ada lagi yang menjual serabi ala Bandung. Sama-sama berbentuk bundar, tetapi serabi Bandung dibuat dari campuran tepung beras dan tepung terigu, kemudian dicampur dengan daun suji sehingga berwarna hijau segar. Dimakannya dengan kuah kinca, gula merah yang dicampur dengan santan. Rasanya manis dan gurih, beraroma daun pandan. Serabi Bandung biasanya dijual dalam kemasan satu bungkus plastik, lengkap dengan kuah kinca. Sehingga praktis dan ringkas untuk dibawa pulang.
Kali ini saya memilih serabi tradisional, yang masih hangat . Baru diangkat dari kuali tempat memasaknya. Jadi deh…pagi itu kami menikmati sarapan istimewa, bundaran-bundaran serabi aneka rasa. Ada rasa manis yang diberi kuah kinca gula merah, dan ada serabi rasa asin yang ditaburi dengan sambal oncom. Dua-duanya enaaak…hangat dan lezat…hmmhh…yuummmyyy…

Saat lain. Saya sedang mengikuti acara kongres Himpunan Psikologi di Solo. Tapi kali ini saya bukan mau cerita soal kongresnya.
Ada sisi lain sebuah Solo yang membuat saya suka kangen dengan jajanan dan plesiran ala Solo . Ini bukan kali yang pertama saya datang ke Solo dan menikmati seni kuliner di sana. Dan setiap kali….saya selalu kangen dengan nasi liwet yang khas, serta…hmmm…serabinya. Serabi Solo yang manis gurih itu memang agak beda dibandingkan dengan serabi-serabi kerabatnya yang lain…Membayangkan rasanya saja… hmmh..sudah membuat air liur menetes-netes…wuuiihh…
Serabi Solo, proses pembuatannya hampir sama dengan semua serabi yang ada di kota lain. Dengan bahan dasar tepung beras dan santan, sehingga menjadi adonan yang kalis. Kemudian cara memasaknya satu persatu di kuali terbuat dari tanah liat. Yang membuat serabi Solo ini memiliki rasa yang istimewa adalah bentuknya yang nyaris datar, dengan pinggiran yang kering krispi tetapi tengahnya tetap lembut dan agak basah. Belakangan serabi Solo tidak hanya berasa manis, tapi sudah dimodifikasi dengan topping pisang, keju, coklat dan aneka tambahan lain sesuai selera.
Karena kelezatan dan kepopulerannya, sekarang serabi Solo banyak dijual di kota-kota lain, semisal di Jakarta. Di pertokoan yang tidak jauh dari kompleks perumahan saya ada juga yang menjual serabi Solo aneka rasa. Mereka membuka gerainya sejak pagi hari hingga malam. Dan di saat-saat tertentu, pembeli harus antri untuk menunggu serabi selesai dimasak…halaah…

Urusan serabi, memang tidak hanya monopoli Solo dan Bandung. Hampir semua kota dan budaya di Indonesia mengenal serabi, atau ada yang menyebutnya surabi atau serabai . Kue bundar berbahan dasar tepung beras ini mudah dibuat, tetapi uniknya setiap daerah memiliki ciri masing-masing.
Saya sendiri juga penyuka serabi. Semasa saya masih bertempat tinggal di Medan, saya suka makan serabi yang hanya berasa manis gurih, tidak pakai kinca atau siraman saus gula merah. Serabi yang besarnya seukuran tutup gelas, bisa dicubit-cubit sambil ngobrol iseng sepulang sekolah. Memang...serabi di masa sekolah dulu lebih sering disantap sebagai jajanan iseng, tidak mengenyangkan, tetapi asyik buat dikunyah-kunyah.
Kebiasaan makan serabi tetap berlanjut hingga kini. Apalagi ketika saya tinggal di Bandung, ada serabi asin yang ditaburi sambal ebi atau udang kering, dan sambal oncom. Dulu saya tidak suka serabi asin, karena rasanya aneh…Serabi seharusnya manis…hiiikss…Tapi setelah mencicipi serabi asin ala Bandung, sekarang saya jadi doyan dan hmm…agak tergila-gila dengan serabi model seperti itu…hihi…
Tidak salah, kalau kota Bandung disebut sebagai kota wisata kuliner. Setelah urusan serabi asin yang tradisional itu, sekarang muncul kreasi-kreasi baru serabi dengan berbagai topping dan campuran. Sekarang serabi tidak terbatas asin dan manis saja, tetapi semua rasa yang diperkirakan bisa dicampur atau ditempelkan di atas adonan akan dijadikan serabi…heu heu…Jangan heran kalau kita akan menemukan serabi rasa stroberi, durian, nangka, nenas…dan semua buah-buah tropis yang disukai…Serta yang asin berasa keju, kornet, daging asap, ayam jamur, dan lain-lain.
Untuk yang agak ‘modern’ serabi bisa juga diberi topping sirup caramel, sirup maple ( ini pasti sirup import…dari sari pohon maple), dan kalau mau coba…sirup markisa atau terong belanda…hehe..Ini jadi mirip dengan pancake. Makanan dari manca Negara yang adonannya mirip dengan serabi Bandung atau serabi Solo, tapi bentuknya lebih datar , tebal dan rata dari tengah sampai ke pinggirannya.

Cerita tentang serabi, sebetulnya tidak sekedar cerita wisata kuliner dan icip-icip di saat santai.
Di dalam budaya Jawa, serabi justru erat hubungannya dengan ritual budaya yang sering digelar terkait dengan upacara tertentu. Serabi, entah sejak kapan selalu ada di dalam acara-acara adat dan keagamaan , seperti acara Upacara Sekaten dan puncak acara yang disebut Grebeg Muludan . Acara Sekaten ini, di Solo maupun di Jogyakarta dikaitkan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Serabi bersama makanan lain seperti apem merupakan salah satu sajian, atau sering disebut sajen, yang melengkapi ritual acara Hari Maulid Nabi Muhammad.
Selain memeriahkan acara Sekaten, serabi juga sering disajikan bersama dengan makanan lain dalam berbagai acara selamatan . Upacara selamatan kelahiran, syukuran rumah baru, acara-acara yang berkaitan dengan musim tanam dan musim panen, serta berbagai upacara peringatan yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa. Serabi untuk sajen ini juga biasanya serabi biasa, kadang tanpa rasa manis atau asin , hanya terdiri dari adonan tepung beras dan santan kelapa saja. Konon serabi ini juga merupakan simbol kehidupan, karena beras dan kelapa merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat kita.

Melihat serabi yang tinggal remah-remahnya di piring, saya merenung .
Sepotong makanan sederhana itu ternyata mewakili banyak kebutuhan dalam strata makan. Memang, makan tidak sekedar memenuhi kebutuhan lapar belaka. Makanan di sebagian besar masyarakat telah menjadi gaya hidup dan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Demikian pula, di dalam masyarakat yang telah memiliki kehidupan spiritual yang tinggi, makanan pun sering dihubungkan dengan tata cara pemenuhan kebutuhan spiritual ini.
Sajen atau sesajian, tidak sekedar menyediakan makanan lahir, tetapi terlebih lagi adalah makanan batin. Serabi hanya salah satu jenis makanan yang mewakili simbol spiritual tertentu. Coba saja tanyakan kepada orang-orang yang biasa melakukan upacara seperti itu, untuk mengganti serabi dengan makanan lain. Pasti mereka menolak. Bukan karena sekedar serabi, tetapi karena serabi telah menjadi simbol yang mewakili keyakinan atau kepercayaannya terhadap sesuatu.
Begitulah....
Ketika sepotong serabi telah memiliki nilai budaya dan nilai spiritual, maka dia tidak lagi sekedar makanan biasa. Dia tidak lagi sekedar memuaskan keinginan icip-icip atau mengenyangkan perut . Lebih jauh lagi, ia telah memuaskan batin dan memberikan ketenangan jiwa untuk satu masa tertentu.
Aaaah…sungguh indah. Dari sesuatu yang sederhana kita bisa belajar begitu banyak. Dari warung di dekat rumah saya hingga Acara Sekaten di Solo dan Jogyakarta.
Ada yang mau menelusuri lebih jauh lagi ?

Jakarta, 13 Oktober 2010
Salam hangat,

Ietje S. Guntur
Special note :
Terima kasih untuk Pangeran Remote Control , serabi-mania yang menjadi Inspirasi tulisan ini..Juga para penggemar serabi Solo...Rudi, Neno, mb Nuki...hmh... hidup bertambah semarak dengan serabi...heu heu...

Tidak ada komentar: