Minggu, 20 Oktober 2013

'Rindu Semusim'

Biarlah musim berganti
tetapi di hatiku
musim bunga itu selalu bersemi

Biarlah kebersamaan itu berlalu
tetapi di hatiku
rindu itu selalu hadir di sini

-Ietje S. Guntur-

Rabu, 17 Juli 2013

Renungan tentang WAKTU

Secuil catatan tentang WAKTU...dari TEPI PENANTIAN@IetjeG:

WAKTU adalah pembatas antara HARAPAN dan KENYATAAN.

Ketika HARAPAN berwujud, maka waktu menjadi setipis kertas. Namun ketika HARAPAN masih dalam TANDA TANYA, maka waktu dapat terentang seluas samudera.

Semoga kita dapat menjadi orang yang dapat MENGHARGAI WAKTU...

‪#‎Waktu‬@ietjeguntur

Renungan Sahur...tentang Kelebihan dan Kekurangan

Hidangan penutup sahur...dari Tepi Piring@IetjeG:

Saat melihat KEKURANGAN orang lain, belajarlah BERSYUKUR...karena kita masih diberi kesempatan untuk memiliki KELEBIHAN, dan tidak terlena atas NIKMAT tersebut.

Saat melihat KELEBIHAN orang lain, belajarlah BERSYUKUR...karena kita diberi kesempatan untuk lebih MENINGKATKAN diri dan tak terlena oleh kekurangan yang ada.

Sesungguhnya KEKURANGAN dan KELEBIHAN yang kita lihat pada orang lain adalah CERMIN bagi diri kita untuk BERSYUKUR... MENIKMATI...dan BELAJAR untuk senantiasa terus MENINGKATKAN DIRI...

Semoga berkenan... Tetap cemangaaaattss....!!!

Salam hangat di Subuh yang sejuk,

Ietje S.Guntur

‪#‎renungansahur‬@ietjeguntur

Renungan Sahur...tentang Kejayaan Hidup

Sedikit catatan kecil...dari Tepi Subuh@IetjeG:

Kadang-kadang KEKUASAAN, KEKAYAAN, KEJAYAAN, KEPANDAIAN menjadi suatu label yang menakutkan !

Seseorang yang dianggap memilikinya seringkali menjadi BERJARAK dengan lingkungannya, karena kekuasaan, kekayaan, kejayaan, dan kepandaiannya membuat orang lain MENJADI KECIL di hadapannya. Orang yang merasa DIKECILKAN akan merasa TIDAK NYAMAN , dan memilih untuk MENGHINDAR.

Alangkah SUNYI hidup orang seperti itu.

Semoga kekuasaan, kekayaan, kejayaan, kepandaian yang DITITIPKAN kepada kita membuat kita TETAP RENDAH HATI , dan senantiasa MENDEKATKAN KITA pada lingkungan . Serta membuat hidup kita TETAP HANGAT dan PENUH BERKAH.

Salam hangat,

Ietje S. Guntur

‪#‎renungansahur‬@ietjeguntur

Selasa, 09 Juli 2013

Catatan FB - tentang UJIAN

Sarapan pagiiiiiii...Sekerat Hidangan tentang UJIAN dari BAKI KEHIDUPAN@IetjeG:

UJIAN yang SEBENARNYA bukanlah pada saat kita BERSIAP diri dengan berbagai strategi dan taktis untuk MENGHADAPI SATU MASALAH dalam SATU WAKTU TERTENTU !

UJIAN SEBENARNYA adalah saat DATANG suatu MASALAH yang diluar perkiraan kita, yang membuat kita harus mengambil KEPUTUSAN CEPAT dan TEPAT. Semua itu hanya dapat kita lakukan bila kita senantiasa MEMPERSIAPKAN DIRI, tidak HANYA TERPAKU pada satu satuan waktu belaka.

UJIAN membuat kita semakin HANDAL, karena kita dapat memanfaatkan berbagai pengetahuan , pengalaman dan ketrampilan , untuk lebih MENINGKATKAN KUALITAS DIRI KITA...

Yuukkss...kemooon... Mari bersiap-siap menghadapi UJIAN YANG MENGGEMBIRAKAN....

Salam hangat,

Ietje S. Guntur

‎#Ujian@ietjeguntur

Catatan FB 2 - Tentang Keunggulan

Bincang malam...tentang KEUNGGULAN...dari Tepi Selimut@IetjeG:

MAMPU dan MAU adalah saudara kembar yang dihubungkan oleh MP

MAMPU berarti menguasai ILMU dan memiliki KETRAMPILAN.
MAU berarti menguasai DIRI dan memiliki SEMANGAT.

MAMPU saja, tanpa MAU maka TIDAK menghasilkan APA-APA, atau hasil yang dikerjakan tidak OPTIMAL.
MAU saja, tanpa MAMPU maka sama seperti tidak menghasilkan sesuatu yang BERARTI, malah bisa berbahaya.
Yang paling BAIK tentu menggabungkan MAMPU dan MAU, sehingga kita menjadi MPU...yaitu orang bijak yang dapat menghasilkan karya yang optimal, cemerlang dan memiliki kualitas yang UNGGUL.

Jadilah seorang MPU...yang mumpuni...walaupun dalam skala yang kecil.
MPU menguasai ilmu, dan menguasai diri. Itulah yang menjadikan kita tidak sekedar manusia biasa...

Semoga kita dapat menjadi MPU-MPU yang luar biasa....

Salam hangat,

Ietje S. Guntur

‎#Mpu@ietjeguntur

Kumpulan catatan dari FB - Diary 1

Catatan perjalanan...dari BUKU HARIAN@IetjeG:

Jangan MELIHAT KE BELAKANG, kalau itu hanya membuat kita SEDIH atau BERDUKA !!

Lihatlah MASA LALU hanya dari kaca spion yang kecil...SEKEDAR untuk mengingatkan, bahwa pernah ada MASA SULIT di antara proses PENDAKIAN kita.

Bila MASA LALU MENYENANGKAN dan MEMBUAT BAHAGIA...Jadikanlah ia sebagai BUNGA WANGI yang menebarkan aroma semangat...

MASA LALU adalah GURU DAN PELAJARAN yang membuat kita lebih MATANG, BIJAKSANA dan lebih BERSYUKUR atas kesempatan yang telah kita lalui...

SENANG-SEDIH, GEMBIRA-DUKA, BAHAGIA-LARA....adalah rekam jejak kita. Menjadi BEKAL bagi KEHIDUPAN SELANJUTNYA...

Salam sayang,

Ietje S. Guntur

‎#Diary@ietjeguntur

Selasa, 26 Februari 2013

Nelayan dan Seekor Ikan

February 25, 2013 Art-Solusido 2013 NELAYAN dan SEEKOR IKAN Dear Teman dan Sahabat Tersayang, Biasanya di ruang ini saya menulis tentang pendidikan atau pengalaman yang langsung saya alami. Namun kali ini saya ingin bercerita sedikit, mengenai sebuah kisah inspiratif dari masa kanak-kanak saya. Mau khaaaan ? Duluuuuuu...sekali. Ketika saya masih kanak-kanak, saya diberi sebuah buku 'bekas'. Buku entah dari mana, sampulnya saja tidak ada. Tapi isi buku itu sangat bagus. Berupa kumpulan cerita-cerita dari seluruh dunia. Salah satu dari cerita itu adalah kisah tentang nelayan dan seekor ikan. Aslinya, cerita ini dari bahasa Belanda, tetapi karena ada gambarnya, dan ibu saya selalu membacakannya, lama-lama saya hafal isi ceritanya. Bahkan ketika saya sudah lebih besar, saya berani menceritakannya kepada orang lain...Hehehe... * Begini kisahnya : Pada jaman dahulu kala, di sebuah pantai yang sepi hiduplah seorang nelayan bersama isterinya. Nelayan ini sangat miskin, sehingga ia tidak mampu menyewa tempat di daerah pemukiman yang ramai. Ia tinggal di sebuah gubuk yang reyot, yang selalu bocor bila hujan. Ia pun hanya memiliki sebuah sampan tua, yang dipergunakannya sehari-hari untuk mencari ikan di sekitar perairan di dekat rumahnya. Ia tidak berani berlayar jauh, karena sampannya tidak memiliki layar, dan ada bagian yang bocor di salah satu sisinya. Ia harus selalu membuang air yang merembes masuk ke dalam sampan melalui celah-celah dindingnya. Ia memiliki sebuah jala kecil, tapi itu pun sudah banyak bagian yang rusak, sehingga ikan yang sudah masuk ke dalam jalanya masih dapat meloloskan diri. Jala itu dipergunakannya bila air laut cukup tenang, dan ia dapat berlayar di sekitar pantai di dekat rumahnya. Karena tidak pernah berlayar jauh, hasil penangkapan ikannya pun sangat sedikit. Kadang hanya cukup untuk makan sehari. Kadang-kadang bila angin kencang bertiup, ia tidak berani pergi ke laut, sehingga ia harus memakan makanan yang masih tersisa dari hari kemarin. Sesekali ia ikut berlayar dengan perahu besar milik seorang juragan kaya dari perkampungan. Bila nasib baik, ia memperoleh penghasilan lebih banyak dibandingkan dengan hasilnya menangkap ikan dengan sampannya. Ia selalu bersyukur, berapa pun ikan yang diperolehnya. Dan sambil bersiul-siul , ia menyerahkan hasil tangkapannya kepada isterinya. Kadang hanya ikan kecil-kecil, kadang ikan sedang dan sedikit udang. Isterinya adalah seorang wanita yang tidak pernah puas dengan kondisi yang ada. Semasa masih muda, katanya ia adalah seorang kembang di desanya. Tetapi sejak menikah dengan nelayan itu, nasibnya berubah drastis. Ia sering menyesali nasibnya, dan menyalahkan suaminya karena peruntungannya yang buruk itu. Seringkali ia mengeluh, meminta agar suaminya memperbaiki rumah mereka, membeli perahu - bukan sekedar sampan butut, dan menyediakan makanan yang enak-enak baginya. Nelayan itu hanya menatapnya dengan iba, karena ia sangat mencintai isterinya. Sudah beberapa kali ia berhutang kepada juragan kapal, untuk memenuhi kebutuhan isterinya. Dan hutang itu harus dicicilnya dengan memotong penghasilannya bila ia ikut dalam pelayaran dengan kapal juragan yang lebih besar. Kadang-kadang, karena besarnya hutang kepada juragan kapal, ia tidak bisa lagi membawa uang untuk isterinya. Tentu saja isterinya marah-marah, dan mengatakan bahwa ia menyesal telah menikah dengan seorang nelayan yang bodoh. Isterinya mengancam akan meninggalkannya, bila mereka tetap miskin seperti itu. Dengan hati yang sedih, nelayan itu pun pergi ke tepi pantai. Ia duduk menyendiri di bawah sebatang pohon, sambil mencucurkan airmata. Ia berdoa, agar diberi rejeki oleh Yang Maha Kuasa. Agar ia dapat memenuhi kebutuhan isterinya. Agar isteri yang dicintainya tidak meninggalkannya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara." Hai, nelayan. Mengapa kamu menangis di sini ? Bukankah seharusnya kamu pergi ke laut untuk menangkap ikan ?" Nelayan itu terperanjat. Ia menoleh ke kiri kanan. Tidak ada siapa-siapa di situ. Ia bangkit berdiri, dan siap-siap untuk melarikan diri. Ia kuatir ada hantu laut yang mengganggunya. " Hai, nelayan. Jangan takut. Jangan lari. Aku di sini." Suara itu sekarang seperti berada di dekatnya. Nelayan itu menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada seekor ikan, sangat besar berenang di ceruk yang agak dalam. Hati nelayan itu tergetar. Belum pernah ia melihat ikan sebesar itu. Bila dapat ditangkap dan dijual, tentu harganya sangat mahal. "Oh...engkaukah yang bersuara ?" tanya nelayan kepada ikan. Ikan itu mengangkat kepalanya, dan mengibaskan ekornya. Seakan mengatakan bahwa benar dugaan nelayan tersebut. "Betul. Aku yang berbicara. Aku adalah ikan penguasa lautan ini." " Haaaa...??? Mana ada ikan yang bisa berbicara seperti manusia. Jangan-jangan kamu hantu laut." Kata nelayan itu, sambil gemetar ketakutan. Ia ingin berlari, tapi kakinya seperti dipaku ke tanah. Akhirnya ia terduduk saja di situ. " Hohoho...aku bukan hantu laut. Aku benar-benar ikan, penguasa laut ini. Rumahku di dekat ceruk dalam di sebelah sana." Ikan itu menghempaskan ekornya, seakan-akan menunjuk ke suatu tempat. Nelayan itu tahu, bahwa tempat yang ditunjukkan ikan itu adalah ceruk yang selalu dihindari semua nelayan di pantai itu. Walaupun kadang ombaknya tenang, tetapi bisa tiba-tiba lautnya berbuih dan menghempaskan apa saja yang berada di dekatnya. Itu sebabnya tidak ada nelayan yang mau bertempat tinggal di sekitar situ. "Hmh...lalu apa maumu, Raja Ikan ?" tanya nelayan itu, takut-takut. Ia sudah pasrah. Mau dimakan oleh ikan itu pun ia sudah tidak peduli lagi. Toh isteri yang dicintainya sudah marah-marah melulu. Sebentar lagi ia akan ditinggalkan isterinya. Barangkali lebih baik ia dimakan ikan saja, pikirnya dengan sedih. " Justru aku yang bertanya, apa maumu ?" Raja ikan balik berkata. Ia menghempas-hempaskan ekornya lagi, sehingga air berhamburan kemana-mana. Nelayan itu menutup wajahnya. Air itu mengenai wajahnya, sangat keras. Seperti dilempar segenggam batu. "Aku ? Aku mau agar isteriku tidak meninggalkan aku." Bisik nelayan dengan suara lirih. " Kenapa dia meninggalkan kamu ?" tanya Raja ikan penasaran. " Karena kami sangat miskin. Aku sangat miskin. Sampanku kecil dan sudah butut. Tidak bisa melaut ke tempat yagn lebih jauh. Penghasilanku terbatas, sehingga tidak bisa memperbaiki gubuk tempat tinggal kami." Nelayan itu menunduk. Ia malu mengadukan nasibnya kepada raja ikan. " Ohhh...hanya itu ? Kamu ingin gubukmu menjadi rumah yang bagus ?" tanya raja ikan. Nelayan mengangguk. Membayangkan rumahnya yang hampir roboh. " Kalau itu gampang. Pulanglah sekarang ke rumahmu. Lihat saja nanti." Raja ikan menghempas-hempaskan ekornya lagi, lalu lenyap dari pandangan mata. Ia sudah menyelam melalui ceruk dalam itu. Dengan lunglai, nelayan pun bangkit dari tempat duduknya. Lalu berjalan pulang ke rumahnya. * Rasanya ia telah berjalan cukup jauh. Setelah melalui jalan yang biasa ditempuhnya, ia merasa berada di tempat asing. Di depannya tampak sebuah rumah yang sangat besar. Nelayan itu heran. Ia sudah berpuluh, atau beratus kali melalui pantai itu, tapi belum pernah ada rumah sebesar itu di sana. Apakah aku salah jalan ? Pikirnya dengan panik. Tiba-tiba dari dalam rumah itu muncul seorang wanita. Ia terperanjat. Ia mengenal wanita itu. Itu adalah isterinya. Tapi lihat, pakaiannya bagus sekali. Berbeda dengan isterinya sehari-hari. Ia menggosok-gosok matanya. Benar, tidak salah. Itu adalah isterinya. "Bu, apakah...apakah itu kamu ?" tanya nelayan dengan takut-takut. Ia masih berdiri di luar halaman rumah itu. "Paaaaakkkk...sini, Pak. Ini memang aku. Lihat...ini rumah kita sekarang. Lihat, bagus, ya ? Bajuku juga bagus sekarang. Ohhh...coba lihat bajumu. Kucel. Di lemari sudah ada pakaian yang bagus-bagus. Mari masuk, Pak. Jangan berdiri di situ saja." Isterinya berlari ke luar, menyeretnya masuk ke halaman. Lalu menuntunnya masuk ke dalam rumah. Ia ragu-ragu sejenak. Tetapi di depan pintu rumahnya ia melihat sebuah ember kayu yang sudah usang, yang biasanya dipakainya untuk menjemur ikan. Sekarang ia percaya, bahwa ini benar-benar rumahnya. Raja ikan itu betul, ia memiliki rumah yang bagus sekarang. Isterinya tampak berbeda. Tidak kucel lagi seperti biasa. Ia pun menghidangkan makanan enak-enak untuk nelayan. Lalu mereka duduk-duduk di ruang tamu, menikmati suasana yang mewah itu. Rumah mereka bahkan hampir sama besar dengan rumah juragan kapal. Setelah menikmati makanan, nelayan bercerita kepada isterinya. Bahwa tadi siang ia berjumpa dengan raja ikan. Raja ikan itu mengatakan, bahwa ia akan memperbaiki rumah mereka. Ternyata apa yang dikatakan raja ikan telah menjadi kenyataan. Nelayan itu sangat gembira. Ia bersyukur. Lalu mengajak isterinya untuk menemui raja ikan, agar mereka dapat berterimakasih atas pemberian yang luar biasa itu. Sekarang, walaupun hari hujan mereka tidak akan kebocoran lagi. Mendengar penuturan nelayan, isterinya tidak menunjukkan wajah gembira. Ia mulai merengut lagi. Lalu katanya," Kalau kamu memang bertemu dengan raja ikan, kenapa kamu tidak minta sekalian diberikan perahu atau kapal yang besar ? Jadi kamu bisa mencari ikan di laut yang lebih jauh. Masa sih rumah kita sebesar ini, tapi sampan kita tetap saja yang butut dan sering bocor." Nelayan terdiam. Ia menunduk sedih. Pemberian raja ikan itu tidak diterima dengan rasa syukur oleh isterinya. Ia tidak berkata apa-apa. Lalu beranjak ke luar rumah. * Beberapa hari itu nelayan tidak bisa pergi ke laut. Angin bertiup sangat kencang, dan hujan turun tidak berhenti-henti. Ia cukup senang, karena sekarang rumahnya tidak bocor lagi. Persediaan makanan pun masih cukup. Ia agak heran, karena dari lemarinya seperti tidak ada hentinya bahan makanan tersedia. Tentu ini pemberian raja ikan, pikir nelayan di dalam hatinya. Sebenarnya ia cukup senang berada di rumah. Dapat berduaan dengan isterinya. Namun karena biasa bekerja keras, lama-lama iapun tidak betah hanya berdiam diri saja. Ia ingin ke laut sejenak. Walaupun hanya dengan sampan kecil, tapi ia berharap dapat menangkap ikan untuk menambah penghasilannya. Paling tidak, ia dapat membayar hutangnya kepada juragan kapal. Sambil bersiul gembira, ia pun mengambil sampan yang ditambatkan di dekat pohon. Lalu pelan-pelan ia mulai mengayuh sampannya. Hari itu cuaca agak mendung, tetapi ombak tidak besar. Ia berharap ada beberapa ekor ikan yang terjaring di dalam jalanya. Namun, sudah hampir setengah hari ia berlayar, sudah berulang kali jala ditebar ke laut, ia belum juga mendapat ikan. Sesekali ia melihat seperti rombongan ikan mendekati sampannya. Tetapi ketika ia menuju ke sana, ikan-ikan itu pun menyembunyikan diri. Akhirnya ia membiarkan sampannya terapung-apung saja di atas gelombang. Ia memperturutkan arah sampan sesuai dengan tuntunan gelombang yang mengalun naik turun. Tiba-tiba dari salah satu sisi sampannya, ia melihat ada bayangan ikan yang berputar-putar. Ikan itu sangat besar. Nelayan terkejut bukan buatan. Tubuhnya gemetar ketakutan. Ikan apa lagi ini ? Pikirnya panik. Kalau saja ikan itu menabrak sampanku, tamatlah riwayatku, pikirnya. Ia membayangkan isterinya yang panik menunggunya pulang. Ia agak menyesal juga, karena tadi isterinya sudah melarangnya pergi karena cuaca belum baik dan cerah. Sekarang ia hanya bisa pasrah, lalu ia menutup matanya. " Haaaiiii, nelayan...lagi ngapain di sini ?" sebuah suara sayup-sayup menyapanya. Nelayan membuka matanya pelan-pelan. Ini di tengah laut yang sepi. Siapa yang memanggilnya ? Bisiknya ngeri. Ia lalu teringat cerita-cerita tentang hantu laut yang bergentayangan bila hari mendung seperti ini. Sambil berdoa mohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa, nelayan menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata seekor ikan. Persis seperti raja ikan yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu. "Kamu ? Raja ikan ?" tanya nelayan, takut-takut. Kalau ini bukan raja ikan, bisa saja dia akan marah. Tapi ternyata tidak. Ikan besar itu memukulkan ekornya ke air, lalu mengangkat kepalanya. "Yaaaa...kamu masih ingat ? Aku memang raja ikan. Apa kabarmu Pak Nelayan ?" Raja ikan bertanya ramah. Sekarang nelayan bersukacita. Ternyata ini raja ikan yang sudah dikenalnya. Ia tersenyum gembira. "Ohhh...raja ikan. Akhirnya kita bertemu lagi. Aku mau menyampaikan terima kasih kepadamu. Rumahku sekarang bagus sekali. Pakaian-pakaianku pun sangat indah. Makanan selalu tersedia dari lemari penyimpan. Sungguh luar biasa bantuanmu." "Aaaahh...itu biasa saja. Kamu orang baik dan sabar. Jadi aku ingin memberi hadiah untukmu. Kalau aku memberikan sesuatu lagi, kira-kira apa yang kamu inginkan ?" tanya raja ikan. Ia masih berputar-putar di sekitar sampan nelayan . "Hmmhh...apa, ya ?" pikir nelayan. Tepat pada saat itu sebuah gelombang agak besar menerpa sampan kecil nelayan. Ia tergoncang, dan hampir terjatuh ke laut. "Ooooh...sampanku !" teriaknya, spontan. "Apa ? Sampan ?" tanya raja ikan. Ia mengangkat kepalanya. " Ohh...maaf, bukan. Maksudku...iya. Sampanku hampir saja kemasukan air. Aku hampir terjatuh ke laut." Nelayan menarik nafas panjang. Ia sempat ketakutan tadi. "Ooo...begitu. Bagaimana kalau sampanmu yang kecil itu kuganti dengan perahu yang besar dan lengkap ?" tanya raja ikan. Suaranya terdengar serius. Nelayan terpana. Ini adalah permintaan isterinya. Tapi apakah benar raja ikan mau memberikan sebuah perahu yang bagus ? "Terserah kamu saja raja ikan. Kalau kamu mau memberikan sebuah perahu besar, tentu aku senang sekali. Aku bisa berlajar agak jauh, dan aku juga dapat mengajak beberapa nelayan lain agar kami mendapat hasil yang lebih banyak. Tapi apakah mungkin ?" Nelayan menatap ragu-ragu kepada raja ikan. Raja ikan menghempas-hempaskan ekornya lagi ke air. Sampan nelayan terguncang-guncang. "Hohoho...nelayan yang baik hati. Tentu saja semua itu mungkin. Pulanglah kamu sekarang. Dan lihat apa yang terjadi." Raja ikan lalu melompat ke atas air sekali, dan menyelam cepat ke dalam laut. Meninggalkan pusaran air yang bergelombang. Nelayan menutup matanya. Ia sudah pasrah. Sekali ini pasti sampannya akan tenggelam terkena pusaran air yang begitu besar. Ia menunggu. Satu menit. Dua menit. Sepuluh menit. Sampannya belum tenggelam. Ia malah merasa semua sangat tenang. Pelan-pelan ia membuka matanya. Waaaahhh...apakah ia bermimpi ? Siapa yang membawanya kemari ? Ia tidak lagi berada di dalam sampan kecil yang butut. Ia sedang berada di sebuah perahu, dengan layar besar yang terkembang indah. "Ini perahu siapa ?" pikirnya panik. Lalu ia berdiri, dan berjalan ke sisi perahu. Ia melihat ke arah lautan. Sekarang lautan tampak tenang dan cerah. Perahu itu pun berlayar dengan gagah, menuju pulang ke rumah. Tidak sabar rasanya nelayan kembali ke pantai. Sekarang ia harus mencari tempat yang lebih luas dan agak dalam untuk tempat sandar perahunya. Ia pun harus bekerja ekstra keras untuk menambatkan perahu. Tidak bisa lagi di pohon kecil yang biasa. Ia harus mencari pohon besar yang lebih kuat. "Bu...bu...aku pulang. Lihat ke pantai, Bu...," teriak nelayan dari pinggir pantai. Ia memanggil-manggil isterinya. Isteri nelayan keluar dari rumahnya, dan terpesona melihat sebuah perahu besar yang telah ditambatkan di tepi pantai. "Oooh...indah sekali," seru isterinya. Wajahnya berseri-seri. Perahu ini hampir sebesar kapal juragan. Dan lihat, layar yang telah terlipat tampak baru dan kuat. Tentu nelayan dapat pergi ke laut yang lebih jauh. "Iya...indah sekali. Ini perahu kita sekarang, Bu." Kata nelayan sambil menggandeng isterinya. Mereka melihat-lihat perahu besar yang sekarang benar-benar milik mereka. * Kabar tentang perahu itu pun sampai kepada nelayan-nelayan lain di pantai itu. Sekarang mereka dapat bergantian mengikuti nelayan atau juragan. Dan betul saja, hasil tangkapan mereka semakin baik akhir-akhir ini. Sehingga nelayan dapat melunasi hutangnya kepada juragan kapal. Minggu dan bulan berganti. Nelayan semakin terkenal karena kemurahan hatinya. Ia tidak sekedar memiliki perahu untuk dirinya sendiri, kadang-kadang ia pun meminjamkan perahunya kepada orang lain tanpa dipungut biaya. Ia merasa bahwa raja ikan memberikan hadiah untuk semua nelayan di pantai itu, melalui dirinya. Suatu hari, juragan kapal akan mengadakan pesta. Dan semua nelayan diundang untuk menghadiri pesta itu beserta isteri-isteri mereka. Selain juragan kapal datang juga kepala kampung, yang mengepalai seluruh wilayah pantai itu. Para isteri nelayan mengenakan pakaian dan perhiasan mereka yang terbaik, termasuk isteri nelayan yang tadi. Mereka seakan berlomba untuk memamerkan perhiasan mereka. Tetapi ketika kepala kampung dan isterinya datang, mereka semua terpana. Isteri kepala kampung sangat cantik, dan pakaiannya sangat indah. Perhiasan yang melekat di tubuhnya tampak berkilau-kilauan, menimbulkan rasa kagum yang melihatnya. Para isteri nelayan berdecak kagum, lalu datang mendekati isteri kepala kampung. Mereka berbincang akrab dan hangat. Sungguh, isteri kepala kampung mampu menebarkan pesona bagi siapa saja yang melihatnya. Kecuali isteri nelayan yang satu ini. Ia seperti terpuruk lagi di dalam kemiskinan. Penampilan isteri kepala kampung yang indah cemerlang seakan membuatnya tenggelam. Pakaian pemberian raja ikan tidak lagi tampak mempesona. Semua kalah oleh kemilau penampilan isteri kepala kampung. Ia pun mulai bersungut-sungut . Sepulangnya dari acara di tempat juragan kapal, isteri nelayan menjadi uring-uringan. Ia mulai lagi mengomeli suaminya. "Coba lihat tadi, bagaimana penampilan isteri kepala kampung. Dia luar biasa cantik dan mewah." "Tapi kamu juga cantik dan mewah. Malah kamu lebih cantik daripada isteri juragan kapal. Kamu tadi paling cantik di antara semua isteri-isteri yang hadir di situ." Sahut suaminya. Ia memang sangat mencintai isterinya. Bahkan ketika pakaian isterinya masih kumal dan pudar, ia tetap melihat isterinya sebagai wanita yang sangat cantik. "Tidak !" kata isteri nelayan dengan ketus. "Aku memang cantik. Tapi orang-orang tidak menghormati aku seperti mereka menghormati isteri kepala kampung." "Jadi, bagaimana maksudmu ?" tanya nelayan cemas. Jangan-jangan isterinya ingin menjadi isteri kepala kampung . Lalu, bagaimana dengan dirinya ? "Kamu harus menjadi kepala kampung !" sembur isterinya dengan mantap. Nelayan tertegun. Isterinya memang ingin menjadi isteri kepala kampung. Namun dialah yang harus menjadi kepala kampungnya. Astaga ! Bagaimana mungkin ? Pikirnya. Ia hanya nelayan. Buta huruf. Hanya bisa menangkap ikan. Sekarang dia harus menjadi kepala kampung ? "Siapa bilang tidak mungkin ?" teriak isterinya. Suaranya melengking tinggi. Ia seakan dapat membaca pikiran nelayan. "Bilang sama raja ikan, bahwa kamu mau menjadi kepala kampung ! Atau aku akan pergi, dan menjadi isteri kepala kampung." Sambil berkata demikian, isteri nelayan masuk ke dalam rumah, dan mengunci pintunya dari dalam. * Semalaman nelayan mengetuk pintu dan membujuk isterinya agar ia dapat masuk. Tapi isterinya seakan-akan tidak mendengar suara ketukan pintu itu. Ia diam di dalam rumah, dan tidak muncul hingga keesokan harinya. Dengan putus asa, ia pun melangkahkan kaki, menjauh dari rumah. Di pintu pagar rumahnya ia melihat ember kayu yang usang, tergeletak begitu saja. Diambilnya ember kayu tempat ia biasa menjemur ikan, lalu disimpannya baik-baik di bawah pohon di seberang rumahnya. Langkah kakinya semakin jauh, dan tanpa disadarinya ia telah tiba di pinggir pantai. Dekat dengan ceruk dalam yang sering disebut angker oleh nelayan di perkampungan itu. Ia termenung. Tidak tahu harus berbuat apa. Permintaan isterinya sungguh tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin ia dapat menjadi kepala kampung ? Pikirnya dengan sedih. Tapi membayangkan isterinya akan pergi, ia pun merasa was-was. Diambilnya segenggam kerikil, lalu dengan iseng ia mulai melempar-lempar ke arah ceruk di pantai itu. Mula-mula sesekali. Lama-lama ia merasa asyik mendengar suara kerikil yang tenggelam di air. Ia seperti kanak-kanak yang mendapat mainan baru. Entah berapa lama ia hanyut dalam permainan yang mengasyikkan itu. Ketika tiba-tiba didengarkan kecipak air yang membuat gelombang besar di sekitarnya. Nelayan terkejut, lalu menghentikan permainannya. "Haaaiiii...siapa itu yang main lempar-lemparan ?" sebuah suara terdengar menggelegar. Nelayan terhenyak. Itu suara yang dikenalnya. Suara raja ikan. "Ooohh...maaf raja ikan. Aku tidak sengaja. Aku tadi iseng saja melempar-lempar batu kerikil. " Nelayan langsung menuju ke tepi pantai, menemui raja ikan. "Lha...kenapa kamu iseng begitu ? Kenapa kamu tidak bekerja ? Kenapa kamu tidak pergi ke laut ?" tanya raja ikan, menyelidiki. "Hmmh...maaf, raja ikan. Hari ini hatiku kacau. Aku galau." "Kenapa galau ? Kamu seperti orang yang tidak bersyukur. Segala yang kamu inginkan sudah terpenuhi, kenapa masih galau ?" "Isteriku, raja ikan. Dia ingin menjadi isteri kepala kampung." Nelayan menangis sekarang. Ia tidak malu-malu lagi meneteskan airmatanya. "Isteri kepala kampung ?" tanya raja ikan, heran. "Kenapa dia ingin jadi isteri kepala kampung ? Bukankah kepala kampung sudah memiliki isteri ? " "Yaaahhh...begitulah, raja ikan. Ia ingin dihormati, seperti orang-orang menghormati isteri kepala kampung." Nelayan tertunduk lesu. Raja ikan terdiam. Biasanya ia suka menghempas-hempaskan ekornya. Kali ini ia hanya memandang nelayan. "Maksudnya bagaimana ?" tanya raja ikan, ingin kepastian. "Isteriku ingin agar aku menjadi kepala kampung. Kalau tidak, ia akan pergi." Nelayan menangis tersedu-sedu. Ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Raja ikan tidak bergeming. Ia berenang pelan, seakan tidak mau membuat ceruk itu bergelombang. "Nelayan yang baik hati. Aku sudah memberikan segala yang engkau butuhkan. Rumah yang bagus, makanan yang selalu cukup, pakaian yang indah, dan perahu besar untuk mencari nafkah. Apakah itu masih kurang ? Bahkan seandainya engkau tidak mau bekerja, makanan dari dalam lemari yang kuberikan akan terus mencukupi kebutuhanmu." "Iya, raja ikan. Aku tahu. Aku sangat berterimakasih atas segala yang telah engkau berikan. Tapi isteriku...ohh...aku sangat mencintai dia. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana aku hidup tanpa dia. Seandainya dia benar-benar pergi." Nelayan terus menangis. Membuat raja ikan terharu. "Nelayan, kamu tahu. Menjadi kepala kampung bukan sekedar untuk dihormati. Jabatan kepala kampung memiliki resiko dan konsekwensi lebih besar. Ia harus adil terhadap semua orang. Ia tidak boleh iri kepada orang lain, karena ia sudah menjadi yang terbesar dan tertinggi. Kamu lihat sendiri, apakah ia pernah dengan sengaja memamerkan jabatannya, kekayaannya, kemasyhurannya ? Tidak ! Ia adalah orang yang rendah hati dan sederhana. Ia bekerja untuk semua rakyatnya, didampingi oleh isterinya yang baik hati. Mereka menghormati kepala kampung dan isterinya bukan karena jabatannya, tapi karena mereka memiliki kepribadian dan hati yang baik." "Iya, raja ikan. Aku paham." Nelayan tertunduk malu. "Sekarang pulanglah, Nelayan. Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi." * Baru beberapa langkah nelayan beranjak dari ceruk, mendadak langit mendung dan gelap gulita. Hujan turun tiba-tiba. Mencurahkan air sebanyak-banyaknya dari langit. Nelayan terkejut. Ia ingat isterinya. Pasti isterinya akan ketakutan dengan cuaca seburuk ini. Iapun segera berlari kembali ke rumahnya. Menyusur pantai tempat ia menambatkan perahunya. Kilat sabung menyabung, dan petir menggelegar membelah angkasa. Sekelebatan kilat menyambar. Nelayan tertegun. Di tepi pantai tidak ada lagi perahunya. Kemana ? pikirnya panik. Ia terus berlari. Tiba di bawah pohon kakinya menabrak sesuatu. Ternyata ember kayu yang tadi disimpannya di situ. Cepat-cepat diambilnya ember kayu itu, lalu dibuatnya untuk penudung kepalanya agar hujan tidak menampar wajahnya. Selangkah lagi tiba di rumah, bisiknya. Ayo...ayo...angin terus menghambatnya. Ia maju pelahan-lahan. Sekilas lagi kilat menyambar. Ia menatap nanar di depannya. Tidak ada rumahnya. Hanya ada sebuah gubuk reyot. Gubuknya dahulu. Mana rumahnya ? Mana ? Tiba-tiba pintu gubuk terbuka. Isterinya tampak berdiri lesu di sana. Pakaiannya tidak lagi seindah kemarin. Ia sekarang memakai baju usang yang sudah pudar warnanya. Nelayan terkejut. Ia menatap gubuk dan isterinya. Lalu ia menurunkan ember kayu dari atas kepalanya. Pelan-pelan hujan berhenti, dan matahari bersinar kembali. Nelayan tertegun. Ia menatap dirinya. Ia masih memakai pakaian yang tadi dipakainya, tetapi isterinya memakai baju yang lama, yang sudah usang. "Kamu pulang ?" suara isterinya memecah keheningan. "Ya, aku pulang." Nelayan menyahut lemah. "Rumah kita bocor". Kata isteri nelayan. "Ya, rumah kita bocor." Nelayan mengikuti. "Tidak ada makanan." Suara isterinya lirih. Nelayan menatap isterinya. Lalu menatap ke arah pantai. Tidak ada perahu besar di sana. Hanya ada sampan kecil yang butut. "Kita masih bisa mencari ikan di tepi pantai. Aku masih bisa mengumpulkan ikan, aku bisa ikut kapal juragan." Kata nelayan, pasrah. Didekapnya ember kayu yang tadi melindunginya dari terpaan hujan badai. Ia tersenyum. "Masih ada ember kayu ini. Kita masih bisa menjemur ikan." Sekarang isterinya tersenyum. Nelayan menatap isterinya dengan takjub. Wajah isterinya sekarang berseri-seri. Tidak bersungut-sungut lagi. Di kejauhan ia mendengar suara ombak memecah di pantai. Ia sekarang menjadi nelayan biasa, seperti yang dulu lagi. Dengan sampan kecil yang sudah lapuk. Dengan gubuk yang reyot. Dengan ember kayu yang usang. Tapi sekarang ia bahagia. Ia telah memiliki isteri yang dapat tersenyum. *** Jakarta, 25 Februari 2013 Diceritakan kembali dengan versi sendiri...:) Salam sayang, Ietje S. Guntur