Minggu, 26 September 2010

Art-Living Sos 2010 (A-9 Kolang-kaling

Dear Allz….

Apakabar sahabatku semua ? Semoga sehat-sehat, ya…Bagaimana dengan aktivitas di hari raya kemaren ? Ada yang ikutan mudik ? Ada yang tetap tinggal di kotanya masing-masing ? Ada yang masih di kampung halaman ? Alhamdulillah….di mana pun kita berada, yang penting hati kita ada di situ…sehingga semua terasa menyenangkan dan menenteramkan….Bahagia itu konon bukan dari tempat kita berada, tetapi dari hati yang menikmati suasana…hmm….

Mumpung sekarang masih dalam suasana lebaran dan hari raya, barangkali lebih asyik kalau kita ngobrol yang ringan-ringan saja. Seputar lebaran, atau pun seputar kenangan tentang lebaran.

Saya punya secuplik cerita…tentang hidangan yang sering hadir menyelinap di hari-hari bulan Ramadhan, dan juga di hari-hari gembira pada saat lebaran. Dialah si Kolang-kaling, buah bening yang bisa beralihrupa aneka warna.

Tanpa berpanjang kata, saya kirimkan hidangan teranyar untuk sahabat semua. Semoga hidangan saya kali ini cukup menyegarkan…dan menjadi santapan yang dapat dinikmati sambil bersantai bersama keluarga….

Oya, kalau mau mencoba….saya juga menyertakan sedikit resep untuk membuat manisan kolang-kaling…

Semoga berkenan…

Jakarta, 14 September 2010
Salam hangat,


Ietje S. Guntur

- di kantor….sambil menunggu hujan dan badai mereda di seputar bundaran HI…


♥♥♥








Art-Living Sos 2010 (A-9
Selasa, 14 September 2010
Start : 14/09/2010 11:11:50
Finish : 14/09/2010 15:46:09



KOLANG-KALING...

Bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri baru saja berlalu. Saya masih sibuk berbenah rumah yang sempat amburadul selama masa lebaran. Iyalah...namanya juga kumpul keluarga, sudah pasti semua tempat dan celah diisi dengan kehangatan acara. Ada wilayah yang tetap rapi, tapi ada kawasan di dalam rumah yang malah jadi berantakan tidak karuan....hehehe....Tapi saya bahagia, karena artinya rumah saya masih memiliki kehangatan dan kasih sayang yang melimpah di setiap sudutnya.

Sambil berberes, saya pun memeriksa isi kulkas dan lemari. Mencari-cari sisa hidangan hari raya yang masih layak santap...heh heh...Ada rendang daging, yang memang tahan awet . Ada semur lidah, yang tinggal sekerat. Ada juga kue bolu yang tinggal beberapa potong. Dan ohooooo...ada manisan kolang-kaling, yang tak pernah absen dalam setiap acara lebaran. Eeeheemm... lebaran kemaren ini si Kolang-kaling pun hadir dan berkolaborasi dengan bahan lainnya , menjadi minuman lezat yang menyegarkan.

Saya intip di dalam stoples penyimpannya, masih ada kurang lebih setengah bagian. Manisan kolang-kaling yang saya buat dua hari sebelum hari raya tampak berkilau dengan warna merah jambon dari sirup yang merendamnya....hmm...jadi ngiler juga nih. Mumpung masih libur...mumpung siang panas terik, saya mau membuat minuman segar dulu ya....hehehe...

Jadi deh, saya ambil beberapa butir buah kolang-kaling yang sudah terasa manis, ditambahi dengan biji selasih yang berwarna hitam, dituangi sirup merah jambon manyala, dan ditaburi pecahan es batu....glllhh....Saya duduk santai di ruang tamu, menikmati seteguk demi seteguk es sirup dan buah kolang-kaling yang kenyal-kenyal... rasanya segaaar sekali...aaaccch.....sedaaappp ....



Ngomong-ngomong soal manisan buah kolang-kaling ini, saya jadi ingat masa kecil saya ketika orangtua saya bertugas di kota Tanjung Balai, Asahan. Di kota yang terletak di tepi sungai Asahan ini buah kolang-kaling termasuk buah yang cukup banyak dijajakan pada bulan puasa dan dibulan liburan lainnya. Banyak pedagang, terutama dari etnis Tionghoa menjual manisan kolang-kaling berwarna merah jambon atau hijau manyala di dalam stoples yang mengundang mata untuk berhenti dan mencicipinya.

Saya yang biasanya kurang suka jajan, tapi melihat buah kolang-kaling yang besar dan menggiurkan ini, mau tak mau tergoda juga. Jadinya, hampir seluruh uang saku saya yang diperoleh dari upah membantu orangtua ( hihiiii...nanti saya ceritakan di lain episode, ya...) habis untuk jajan buah kolang-kaling. Ibu saya , yang biasanya rajin membuat penganan untuk jajanan anak-anaknya , yang sedang dalam masa pertumbuhan dan doyan apa saja, mulai merasa was-was. Akhirnya, beliau pun turun tangan dan membuat sendiri manisan kolang-kaling untuk kami santap setiap hari...heh heh...

Salah satu resep manisan kolang-kaling yang saya peroleh dari ibu saya cukup praktis prosesnya. Caranya begini : pilih buah atap atau kolang-kaling yang besar dan jernih, tanpa biji atau mata yang masih menempel. Kemudian buah kolang-kaling atau buah atap dicuci bersih, boleh juga direndam dengan air cucian beras. Setelah itu direbus hingga matang, dan ditiriskan hingga benar-benar kering tanpa uap air. Setelah dingin, buah kolang-kaling ini dimasukkan ke dalam stoples selapis, kemudian ditaburi gula pasir. Setelah itu dimasukkan lagi buah kolang-kaling, dan dilapisi lagi dengan taburan gula pasir .

Begitu berlapis-lapis hingga hampir menutupi stoples. Jangan terlalu penuh, karena kolang-kaling akan mengeluarkan air. Bila ingin kolang-kaling berwarna, beri tetesan pewarna cair sedikit pada bagian atas. Tutup rapat dan masukkan ke dalam lemari pendingin atau kulkas. Biarkan selama 2 x 24 jam, tanpa dibuka, hingga kolang-kaling tampak berkilat karena rembesan gula pasir dan manisan sudah dapat disantap. Kata ibu saya, selama proses perembesan gula ini, manisan tidak boleh dibuka karena oksidasi dari udara dapat menyebabkan timbulnya jamur atau gagalnya proses pengawetan . Saya sih nurut-nurut saja, dan sejauh ini, saya sudah sukses membuat manisan kolang-kaling dengan cara tersebut selama bertahun-tahun...hehehehe...



Hmmh...cerita tentang kolang-kaling tidak berhenti hingga di situ. Sekarang, kolang-kaling atau nama Latinnya adalah Arenga Piruiata MERR yang merupakan salah satu anggota famili Falmaceae sudah menjadi komoditi ekspor yang diperhitungkan. Nah....

Sekilas tentang buah kolang-kaling barangkali bisa mengungkapkan betapa perjalanannya untuk hadir menjadi hidangan istimewa di bulan puasa dan hari-hari raya. Buah kolang-kaling ini berasal dari tandan buah yang muncul dari tengah pohon yang termasuk golongan pohon palma mirip dengan pohon kelapa .

Sejauh yang saya ketahui, pohon kolang-kaling adalah pohon yang unik dan banyak gunanya . Selain buahnya yang diproses menjadi makanan, daunnya juga dapat dianyam untuk dibuat atap atau dinding. Selain itu juga hasil ijuk dari helai seludangnya juga dapat dibuat sisipan atap atau sebagai penahan getaran pada bangunan-bangunan dan keperluan konstruksi jalan raya . Ijuk juga bisa dibuat sapu, sikat dan lainnya. Itu sebabnya di beberapa daerah, pohon yang punya banyak nama seperti pohon aren, enau atau kawung ini juga disebut pohon buah atap. Masih ada lagi. Nira dari pohon enau ini pun bisa dibuat gula, yang dikenal dengan nama gula aren yang berwarna coklat keemasan.

Proses untuk menjadikan buah kolang-kaling menjadi buah bundar yang tipis pun tidak semudah memetik kelapa. Tapi ada proses yang agak rumit dan harus membutuhkan ketekunan. Buah yang tumbuh di tandan buah, dibakar terlebih dahulu agar kulitnya mengelupas. Kulit buah kolang-kaling ini mengandung bulu-bulu halus dan sejenis getah yang membuat kulit menjadi gatal bila tersentuh. Itu sebabnya buah ini harus dibakar untuk menghilangkan unsur yang membuat gatal. Buah kolang-kaling berbentuk lonjong, dan didalamnya ada biji buah yang tipis. Biji buah yang berwarna keruh ini bila sudah dibakar akan menjadi berwarna bening. Biji buah yang bening inilah yang diolah menjadi berbagai jenis makanan, terutama manisan kolang-kaling.

Tak hanya di hari raya saja buah kolang-kaling ini menghiasi meja hidangan dan memeriahkan acara. Di berbagai daerah di Indonesia, pada saat bulan puasa, atau pun dibulan-bulan lainnya, buah kolang-kaling sering juga dicampurkan ke dalam masakan kolak pisang atau pun kolak ubi dan singkong. Dengan cita rasa yang netral, rasa kenyal-kenyil buah yang mirip agar-agar ini membuat sensasi rasa yang berbeda dan menambah selera.

Berbentuk bulat, yang kadang dipotong kecil-kecil tipis, buah kolang-kaling bisa tampil sebagai pendamping, sekaligus penghias di dalam berbagai hidangan yang disajikan. Kolak, es campur, es buah, dan aneka minuman lainnya sungguh sedap bila ditambahkan kolang-kaling. Bahkan dimakan begitu saja sebagai manisan kolang-kaling pun tetap enak dan mengenyangkan.

Belakangan, popularitas kolang-kaling semakin meningkat. Tak hanya di negeri sendiri, yang memiliki area kebun dan hutan enau terluas di kawasan Asia Tenggara. Saya pernah menemukan, makanan dalam kemasan kaleng yang bahan dasarnya adalah kolang-kaling. Dan mirisnya, buah kalengan itu ternyata made in negara tetangga yang konon tak memiliki lahan luas untuk perkebunan atau hutan enau . Halaaah...

Ini seperti kata pepatah lama : “kambing punya susu, lembu punya nama“...dan sekarang dalam kaitannya dengan kolang-kaling : “Indonesia punya enau dan kolang-kaling , negara jiran yang punya nama”...hikss...

Selama ini kita memang kurang menghargai hasil bumi sendiri, kurang menghargai sumber daya yang kita miliki. Namun ketika bangsa lain mengambil alih dan meningkatkan daya jualnya, maka kita pun ribut berteriak-teriak. Ketika kita hanya menghargai kolang-kaling di bulan Ramadhan dan pada saat hari raya, orang lain dapat menghargainya sepanjang tahun dan memetik devisa dari perdagangannya . Sungguh ironis....



Menyantap kolang-kaling yang manis segar, saya merenung...

Dari buah sederhana yang kehadirannya dinanti setiap tahun dan menyemarakkan hari-hari besar, kita bisa belajar satu hal. Sederhana itu biasa, tetapi justru kesederhanaan itulah yang membuatnya menjadi istimewa.

Seandainya saja kita bisa menghargai hal-hal sederhana di sekitar kita, dan meningkatkan harkatnya dengan memanfaatkan potensi yang sudah kita miliki sejak semula. Maka kita tidak sekedar menjadi kaya, tetapi kita pun akan lebih bermanfaat dan menjadi lebih mulia...

Semoga saja....

♥♥


Jakarta, 14 September 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Terima kasih untuk Mama yang menjadi inspirasi tulisan ini...juga encik penjual manisan di Tanjung Balai yang mengajarkan ilmu berdagang kepada saya...thanks untuk semua kenangan yang membangkitkan semangat....


♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-9 Musang-spirator

Dear Allz...

Hallloooowwww....sahabat-sahabatku....lagi ngapain ? Heeemmm....lagi santai ? Atau sedang sibuk berbenah seusai lebaran ? Apa pun yang sahabatku lakukan, semoga semuanya dalam keadaan sehat dan segar bugar ya....

Hari ini...mumpung menjelang akhir pekan, kita bersantai dulu ya...Setelah hiruk-pikuk lebaran....setelah hiruk-pikuk suasana mudik...setelah heboh karena asisten di rumah juga mudik dan pulkam...pulang kampung....barangkali sudah saatnya kita menata kembali rutinitas dan melangkah ke depan.

Naaaah, mumpung sedang dalam suasana yang lebih santai, kita ngobrol yang berbeda dulu. Biasanya kita ngobrol tentang makanan dan kehidupan sekitar kita, kali ini saya mau cerita yang lain dari yang lain. Tapi tetap berkaitan dengan kehidupan yang cukup dekat dengan kita. Ceritanya adalah tentang musang...hehehe...

Ssstttt....jangan takut. Musang memang hewan yang bagi sebagian orang merupakan mahluk aneh dan menakutkan, tapi itu semua karena kita tidak terbiasa. Tetapi kalau kita sudah tahu apa gunanya musang di dalam kehidupan kita...barangkali kita akan punya pandangan lain mengenai salah satu mahluk unik ciptaan Tuhan ini....Tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu kalau tidak ada gunanya...dan di sinilah kita belajar, bahwa musang punya peran luar biasa bagi penggemar kopi dan kolang-kaling....halaaah....

Oke deeeh....agar tidak penasaran berkepanjangan, kita duduk santai dulu...siapkan secangkir kopi atau teh...atau es manisan kolang-kaling....dan selonjorkan kaki...

Hmmm....siap berpetualang bersama si Musang ? Ayoooooooo.....c’mooonnn.....


Jakarta, 17 September 2010

Salam sayang ,


Ietje S. Guntur


♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-9
Rabu, 15 September 2010
Start : 15/09/2010 16:47:32
Finish : 16/09/2010 8:46:29



MUSANG-SPIRATOR


Sore-sore, di kantor. Mata saya terasa berat. Ibarat lampu sudah nyaris tinggal 5 watt...hiks hiks...Saya menoleh ke jam besar yang tergantung di dinding. Olala...ternyata ini memang saatnya minum kopi....hehe...

Saya lantas ingat, masih punya persediaan kopi istimewa, yang saya beli beberapa waktu lalu. Kopi luwak asli....hmmmh...Jadi deeeeh....sore yang hangat semakin nikmat dengan hidangan secangkir kopi. Sambil duduk menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan hari itu, saya menyesap kopi dengan mata merem melek...ahaaaa....sedaaapp....

Saya memang penggemar kopi. Sejak kecil saya doyan meminum kopi, dengan aneka cita rasa dan campuran. Tapi tetap saja....kopi yang paling saya sukai adalah kopi tubruk yang diseduh tanpa disaring....Apalagi minumnya sambil nongkrong melamun, dan kopi tubruk mengalir pelan melalui tenggorokan. Rasanya dunia akan berhenti berputar sejenak, lalu inspirasi pun mengalir deras ke segala penjuru...hehehe...

Saya tidak sendirian . Bagi para pencinta kopi...atau para kopi-mania, kopi memang dipercaya bisa merangsang peredaran darah dan melancarkan inspirasi. Tapi ada juga sisi lain yang membuat saya harus menahan diri. Gara-gara keranjingan minum kopi, saya pernah sakit perut kebanyakan kopi. Pernah juga melek dua hari dua malam setelah meneguk bergelas-gelas kopi ketika nonton wayang kulit semalam suntuk . Sekarang, sejalan dengan pertambahan umur, saya pun agak bertobat sedikit...Minum kopi dikurangi, tapi untuk kopi luwak tetap ada tempat khusus di hati...hmm...



Berbicara tentang kopi luwak, barangkali ada beberapa orang yang tidak tahu bahwa luwak adalah musang.

Dan kopi luwak adalah kopi yang diproses dari biji buah kopi yang sudah dimakan oleh musang, lalu dikeluarkan bersama kotorannya. Setelah dibersihkan, kopi diproses seperti biasa. Dijemur, digongso atau digongseng tanpa minyak, dan kemudian digiling atau ditumbuk sesuai selera. Karena prosesnya yang panjang dan unik, jadinya kopi luwak berharga sangat mahal.

Tidak hanya itu yang menyebabkan kopi luwak mahal harganya. Si Musang yang menjadi ‘pabrik’ biji kopi ini adalah hewan pemilih. Dia tidak mau sembarang menyantap biji kopi. Dia akan memilih yang betul-betul matang, dan tentu saja kualitasnya sangat baik. Itu sebabnya, dahulu kopi luwak hanya dihasilkan oleh daerah-daerah yang memiliki lingkungan baik dan terjaga, karena musang pun tidak suka daerah yang berisik dan tidak ada makanan yang memadai untuk kehidupannya.

Belakangan, karena tuntutan industri , terutama dari para penggemar kopi seperti saya, musang-musang ini sengaja dipelihara dan diberi makan biji kopi pilihan. Musang itu seperti kebiasaannya yang alamiah , akan menyantap biji kopi, lalu mengeluarkannya lagi bersama dengan kotorannya. Begitulah....kita sebagai konsumen tinggal duduk santai menikmati secangkir kopi luwak, yang tak lain tak bukan adalah produksi akhir dari proses metabolisme Si Musang.

Sekarang, bukan hanya di dalam negeri, kopi luwak produksi si Musang ini pun terkenal di manca negara. Bahkan dalam sebuah film, nama kopi luwak disebut-sebut sebagai kopi paling enak di dunia...ahaaa...



Cerita tentang musang atau luwak, yang nama gaulnya di dunia ilmiah adalah Paradoxurus hermaphroditus tak berhenti hingga di industri kopi.

Musang pun erat hubungannya dengan kolang-kaling atau buah atap. Bagaimana bisa ?

Begini...Musang yang bisa hidup luwes di hutan, di ladang dan diperkotaan juga suka menyantap buah dari pohon enau. Dan ternyata pohon enau atau pohon kawung yang menghasilkan buah kolang-kaling dapat berkembang-biak berkat bantuan para balatentara musang, yang gemar mengemut buah-buah dari pohon enau atau pohon kawung . Bagi musang enak saja mengemut buah tersebut, padahal bagi kita kalau tidak berhati-hati bisa menimbulkan gatal-gatal bila tidak diproses sempurna. Ingat saja cerita saya tentang kolang-kaling...hmm...

Nah, berkat musang-musang ini maka biji-biji buah enau yang sangat keras dapat tumbuh di area yang luas. Maklum saja kan, musang itu sehabis makan biasanya juga sering berlompatan kian kemari. Mereka memiliki wilayah operasional dan pergaulan yang cukup luas, sehingga dengan bantuan mereka perluasan tanaman enau pun dapat berkembang dengan cepat.



Ngomong-ngomong tentang musang...ehhh...saya mau cerita sedikit nih. Walaupun tidak lumrah, boleh dikatakan keluarga kami cukup akrab dengan hewan ini, bahkan kami pernah punya peliharaan musang. Sungguh !

Ketika ayah kami ditugaskan di Sumatra dan bertempat tinggal di Tanjung Balai, halaman rumah kami cukup luas untuk memelihara berbagai jenis hewan. Ibu saya yang memang penyayang binatang, akhirnya menerima tawaran seorang kenalan untuk menerima hibah seekor musang untuk dipelihara. Sebetulnya kasihan, karena musang biasanya lepas bebas di pohon-pohon. Di halaman rumah kami pun banyak pohon yang dihuni oleh beberapa ekor musang. Itu diketahui dengan tersebarnya aroma mirip daun pandan bila ia menandai wilayah kekuasaannya.

Si Musang peliharaan kami yang hanya sendirian , cukup lama juga terkurung di kandang. Sampai suatu hari kami melepaskannya ke halaman dan dia lari ke atas pohon, bersatu dengan teman-temannya yang lain. Sejak saat itu, si Musang selalu hilir mudik, di antara pohon-pohon dan kadang turun ke halaman. Karena sudah merasa akrab, pernah juga dia masuk ke dapur, mencari makanan...Barangkali dipikirnya , dapur juga termasuk teritori kekuasaannya...hehehe...

Ibu saya mengajarkan, bahwa hewan seperti musang juga ada gunanya. Walaupun kadang ada musang yang silap mencuri anak ayam, tetapi selainnya musang dapat hidup dari makanan yang diperolehnya di alam bebas. Dia cukup doyan makan hewan-hewan kecil – termasuk tikus, dan buah-buahan. Itu sebabnya secara alamiah ia turut melestarikan pertumbuhan pohon buah-buahan di berbagai tempat yang dilaluinya.

Di sisi lain, mungkin karena mudah menyelinap kemana-mana, dan kadang dapat mengelabui induk ayam di kandangnya, timbul pula pepatah yang menyebutkan ‘bagai musang berbulu ayam’ ...aaah.. Padahal kan bukan salah si Musang, ya ?
Oya...satu lagi. Tak lengkap kita cerita tentang musang, kalau tidak mencuplik sedikit kisah keluarganya. Keluarga besar musang ini sebetulnya banyak jenisnya. Selain famili musang luwak yang kita kenal sebagai produsen kopi kelas satu, ada lagi musang akar yang tinggal di hutan ( kita pasti jarang melihatnya, kecuali para penjelajah hutan ), musang rase yang hanya ada di Sumatra dan Jawa ( ingat cerita si Rase...nah ini dia tokohnya ), musang tenggalung yang khas semenanjung Malaya dan Kalimantan, musang galing ( ini saya belum pernah lihat , barangkali ada di koleksi Kebun Binatang Ragunan ), musang binturung yang tubuhnya lebih panjang, dan lingsang...Nah yang terakhir ini ada di Ancol, menjadi bintang panggung di pentas aneka satwa.
Tidak dapat dielakkan saya jatuh cinta pada si Musang , dan sejak itu selalu merindukan musang yang hidup di pohon-pohon. Di mana pun berada, saya selalu berharap ada musang yang hidup di sekitar rumah saya . Beruntung, ketika pertama kali tinggal di kawasan selatan Jakarta, di rumah kami ada sepasang musang yang sering berlarian di atas atap dan di pohon. Sekarang pun di halaman rumah kami , selain tokek yang setiap malam selalu berbunyi dengan riangnya, juga ada musang yang sering hilir mudik di pohon buah-buahan dan atap rumah kami.

Tidak jarang, musang di rumah saya suka iseng. Ketika saya sedang bekerja atau menulis di malam hari dan duduk di depan komputer sambil membuka jendela ruang kerja, si Musang pun mengintip sambil mendengus-dengus. Kadang saya berikan pisang atau rambutan, kadang-kadang juga buah-buahan yang lain. Awalnya si Musang agak ragu-ragu, tapi ketika dirasanya situasi cukup aman, maka hidangan buah-buahan yang saya sediakan pun akan dibawanya ke tempat persembunyiannya...hehehe...



Menyesap segelas kopi luwak yang hangat, saya jadi merenung....

Musang atau luwak hanyalah hewan yang biasa hidup di alam bebas. Tetapi di dalam kebebasannya itu, dia tetap tunduk dan patuh pada hukum alam. Dia pun memiliki selera tinggi dalam memilih makanannya, sehingga hasil metabolismenya menjadi standar tinggi untuk seni minuman kopi.

Tak hanya itu, berkat kegemarannya menyantap buah-buah yang berkualitas, termasuk buah yang sulit ditanam dengan cara biasa, maka kita dapat menikmati kolang-kaling dan hasil lain dari pohon enau., seperti ijuk, lidi, atap, bahkan minuman nira dan gula aren. Sungguh, berkat aktivitas si Musang, maka sebuah mata rantai kehidupan terus berlangsung secara berkesinambungan.

Aaaah...seandainya saja kita mau belajar dari Si Musang-spirator...dia tidak pernah menebar janji, tapi dia selalu menjalankan amanah dan berperan aktif di dalam kehidupan ini....



Jakarta, 16 September 2010
Salam sehangat kopi luwak....


Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih buat Mama yang selalu mengajarkan tentang kehidupan dari hal-hal sederhana yang nyata...terima kasih atas inspirasi dan cinta kasih sepanjang perjalanan hidup ini...I love U, Ma...

♥♥♥

FB-Note 2010 (A-9 Adil dan Kambing

FB-Note 2010 (A-9
Jumat, 24 September 2010
Start : 24/09/2010 13:45:53
Finish : 24/09/2010 14:04:12


ADIL DAN KAMBING


Beberapa hari ini saya menerima beberapa email tentang adil. Lalu timbul berbagai diskusi. Dari mulai yang menggunakan logika awam, hingga yang membawa-bawa nama Tuhan sebagai pemilik keadilan. Seru ! Karena masing-masing mengusung argumentasinya dengan segala data dan informasi serta berbagai pemahaman lainnya.

Saya tidak hendak mengulas tentang adil dan keadilan, karena setiap orang pasti punya alasan yang kuat untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi saya tertarik, karena adil dan keadilan sebetulnya milik semua orang. Kebutuhan semua orang.

Semua orang butuh adil dan keadilan. Tapi setiap orang punya pandangan yang berbeda mengenai pemenuhan kebutuhan rasa adil dan keadilan ini.

Ketika kita terpenuhi kebutuhan hidup kita, maka kita merasa bahwa hidup ini adil bagi kita. Semua tercukupi, lahir batin, pikiran dan emosi, fisik dan spiritual...maka itulah keadilan yang kita nikmati. Tapi apakah itu cukup ?

Sama seperti kebutuhan kita akan makan, minum dan lainnya, maka kebutuhan akan rasa adil dan keadilan ini pun berkembang.



Ketika kita cukup dengan makan nasi dan sekerat ikan, kita merasa bahwa dunia dan lingkungan cukup adil. Tapi ketika kita melihat tetangga makan nasi dengan ikan, ayam goreng dan tumis kangkung yang disajikan di atas piring perak, maka rasa keadilan kita terusik.

“ Hidup ini tidak adil. Kenapa dia bisa makan di piring perak, sementara saya hanya makan di piring beling biasa ?”

Lalu kita mulai mencari-cari penyebabnya. Tidak ketemu ? Kita cari-cari lagi pembuat gara-garanya. Lalu kita menuduh, nasib sial sedang menimpa dan keberuntungan sudah berpaling dari kita.

Kita cari si kambing hitam, penyebab ketidakberuntungan kita. Kita cari biang kerok yang membuat kita diperlakukan tidak adil. Kambing hitam itu bisa bernama peraturan, bisa bernama nasib buruk, bisa bernama orangtua yang miskin, bisa bernama pemerintah yang kacau balau, bahkan dalam nada ekstrim kita bisa menyebut Tuhan sebagai kambing hitam yang tidak menorehkan nasib baik di atas buku besar perjalanan hidup kita.

Itulah adil dan keadilan dalam versi kita. Harus kita yang beruntung. Harus kita yang menikmati. Harus kita yang mengalami nasib paling baik.

Kapan kita pernah melihat adil dan keadilan dari sisi orang lain ?

Ketika kita beruntung mendapatkan nasib baik, dan orang lain menangisi nasibnya yang buruk. Ketika kita dengan mudah menyantap sepiring nasi dengan telor dadar, sementara di tempat yang hanya berjarak 3 meter dari kita ada orang yang menderita radang usus buntu sehingga tidak bisa menyantap makanan apa pun.

Di mana adilnya ?



Adil dan keadilan ibarat sebilah pisau yang bisa mengiris apa saja.

Dia bisa menjadi sesuatu yang baik bagi kita, tapi buruk bagi orang lain. Dia bisa menjadi adil bagi kita, tapi tidak adil bagi orang lain.

Kenapa ketika kita menerima nasib baik, kita tidak mencari kambing putih dan mengucapkan terima kasih kepadanya ? Kenapa kita hanya mencari kambing hitam untuk melampiaskan rasa ketidakadilan yang kita alami ?

Kapan kita mau bersikap dan berperilaku adil kepada para kambing : hitam dan putih, yang seakan menjadi tempat pelampiasan rasa adil dan tidak adil yang kita alami ?

Kalau kepada kambing pun kita tidak bisa bersikap dan berperilaku adil , bagaimana kita bisa menerima rasa adil yang berlimpah bagi kita dengan penuh syukur ?




Jakarta, 24 September 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur

Art-Living Sos 2010 (A-9 Tukang Sayur

Dear Allz...

Halllllooooowwww....pakabar semua teman dan sahabatku ? Bagaimana pegel-pegel selama liburan lebaran ? Sudah sembuh dan sudah pulih kembali ? hehe...Semoga semua sudah kembali normal, ya....

Biasa nih kita...sindrom tahunan. Lebaran seperti geger-gegeran...Ketika asisten dapur kita mudik, ketika suster penjaga balita kita pulang kampung, ketika driver yang mengantarkan kita ke segala penjuru kota ijin cuti...maka hidup kita seperti berantakan sejenak...Kita seperti kehilangan kemandirian...Kita seperti gamang dan kehilangan kenyamanan...hiks hiks..

Ada teman dan sahabat yang melarikan diri dengan berlibur juga, ke luar kota atau ke luar negeri...dengan harapan mereka tidak perlu melihat situasi berantakan di rumahnya, sekalian refreshing. Tapi ada juga yang bertahan di dalam Benteng Takeshi-nya...yang sekarang seperti penuh dengan jebakan Batman...heh heh...Rumah yang tadinya nyaman dan indah, sekarang mendadak kembali seperti belantara tak dikenal. Dan sering juga berubah menjadi seperti kapal pecah....

Itulah seninya hidup...Itulah seninya memiliki rumah dan keluarga...Ada masa indah dan hijau royo-royo...ada masa gersang dan pancaroba. Dan pada saat itulah kita bisa merenung, betapa sebuah pekerjaan yang semula kita anggap enteng dan anggap biasa, tetapi ketika kita jarang melakukannya, maka akan menjadi berat tidak terkira. Pekerjaan asisten dapur, pekerjaan yang hanya melakukan tugas-tugas domestik tanpa career plan seperti di organisasi perusahaan, pekerjaan mencuci piring dan memberi makan kucing, pekerjaan membereskan mainan dan pakaian anak-anak...ternyata menyita waktu dan energi kita....hhhggghhh....

Itu belum seberapa. Ketika stok logistik di rumah sudah menipis dan kita tidak punya waktu ke luar rumah untuk berbelanja, maka kita pun direpotkan lagi dengan situasi lain. Seperti pengungsi yang kelaparan, kita terpaksa menyantap makanan yang itu-itu lagi, tanpa variasi : telur goreng, goreng telur, orak-arik, ceplok, nasi goreng , mie instan, bubur instant dan sejenisnya.

Pada saat itulah kita akan sangat beruntung dengan adanya tukang sayur keliling...yang bagaikan dewa penyelamat datang membawa bahan pangan untuk memenuhi stok logistik kita. Dengan demikian, para pasukan dari Benteng Takeshi yang sudah hiruk-pikuk, kucing, kelinci, ayam , anak-anak dan suami yang mendadak selalu kelaparan...akan terselamatkan... hhhuuuhhhh...legaaaaa....

Nah...mumpung masih di suasana bulan Syawal dan masih beraroma hari raya...saya mau cerita sedikit tentang Si Tukang Sayur...Mau, yaaaa.....

Semoga cerita akhir minggu ini ada manfaatnya....

Salam hangat,

Ietje S. Guntur

♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-9
Start : 20/09/2010 9:43:16
Finish : 20/09/2010 11:57:53


TUKANG SAYUR


Lebaran baru saja usai. Sisa-sisa pesta hari raya sudah dibersihkan, termasuk sisa-sisa bahan baku di kulkas, sudah hampir habis. Maklum, stok seminggu yang biasanya awet, sekarang sudah licin tandas. Semua bahan dan sayuran sudah dimasak untuk sehari-hari, dan sisanya berbagi dengan kelinci peliharaan...hehehe...

Saya sedang memutar otak, untuk persiapan masakan berikutnya. Sebetulnya sih bahan keringan masih ada, tapi tanpa tambahan sayuran, rasanya kurang enak. Apalagi selama hampir seminggu lebaran, nyaris semua hidangan adalah masakan tinggi lemak. Bayangkan saja, opor ayam, rendang daging, semur lidah, keripik paru, sambel goreng ati...hhhgghh...itu belum termasuk soto daging dan mie baso...halaaaah...

Jadi kangen dengan hidangan sayuran...sayur asem, sayur bening, pecel, lalab-lalaban...ooooh... seandainya saja ada stok sayuran...

Baru saja saya melongok-longokkan kepala ke dalam rak-rak di kulkas, tiba-tiba terdengar deru sepeda motor yang diiringi dengan teriakan nyaring ,” Yuuuuuurrrrr....sayoooouuur....”...dan suara klakson motor yang khas...” teeett...teeett...preeettt.....teett...Halaaaah...itu kan si Mang Asep, tukang sayung langganan di kompleks...

Saya bergegas meninggalkan kulkas yang kosong melompong. Lalu lari ke pintu depan.

“ Maaaaaaannnggg....nanti ke sini, yaaaaaa....!!!!” seru saya, tak kalah heboh dengan teriakan si Mang Sayur...yang ternyata bukan mang Asep...



Setelah parkir di rumah tetangga, yang ternyata juga memborong banyak sekali, Mang Ade yang menggantikan Mang Asep mampir ke rumah saya. Saya lihat, dagangannya belum lengkap, seperti biasanya .

“ Belum banyak yang dagang di pasar, Bu. Jadi sedapatnya dulu deh. Yang penting ibu-ibu di kompleks bisa belanja buat dapur dulu,” kilah Mang Ade.

“ Iya, Mang...saya juga lihat di supermarket belum banyak sayuran. Eeeh, ada tauge ?”

“ Toge ada, Bu...masih segar. Tadi baru datang dari bandarnya. Kemaren-maren mah belum ada, makanya saya belum berani ngider di sini.”

“ Memang biasanya Mang Ade dimana ?” tanya saya , sambil tangan terus memilih-milih sayuran. Ada daun singkong, kangkung, genjer, kacang panjang, wortel...ahaaa...lengkap banget.

“ Biasa mah di kompleks sebelah, bu...sebelah sana. Udah ada langganan juga. Ini lagi gantiin Mang Asep, biar pelanggannnya gak kecewa. Eeeh, ibu mau tempenya berapa ? Mau tahu juga, Bu ? Ini ada kiriman dari Bandung....lumayan enak juga, walaupun bukan yang biasa.”

“ Oh...gitu, ya Mang. Terus Mang Ade gak pulang kampung ? Hmm...saya mau tempe dan tahunya juga. Kerupuk kampung satu bungkus ya, Mang.”

“ Gantian sama Mang Asep, Bu. Biar sama-sama bisa mudik, dan sama-sama bisa meladeni pelanggan. Waaah, kalau seminggu gak ada yang jualan, kita bisa diprotes sama ibu-ibu sini atuh...hehehe...”

“ Hehehe...betul...saya juga nih...untung aja Mang Ade datang, jadi saya dan kelinci di rumah bisa pesta sayuran hari ini...”

“ Hahaha...ibu bisa aja, kelinci disamakan sama orang...”

Kami pun tertawa tergelak-gelak di pagi yang cerah ceria itu. Saya senang, karena stok sayuran cukup tersedia. Kelinci saya juga senang, karena ada tambahan sayuran disamping pelet biasa. Mang Ade, tukang sayur keliling itu juga senang karena sepagi itu sudah laris manis dagangannya di kompleks perumahan saya...hmm....



Sepeninggal Mang Ade, saya membereskan sayuran.

Hmmm...memang sangat beruntung, tinggal di kompleks perumahan yang segalanya mudah dan gampang. Dari mulai pedagang sayuran, pedagang buah-buahan, tukang jual gas keliling, sampai segala jenis jajanan, roti, es krim, es podeng, mie ayam dan penjual kasur juga beredar di sini....hihi... Tapi dari semuanya, yang paling unik adalah tukang sayur seperti Mang Asep dan Mang Ade.

Tukang sayur....eh, kenapa sebutannya tukang sayur, ya ? Ini istilah yang agak salah kaprah sebetulnya. Tukang, konotasinya seharusnya adalah orang yang memiliki keahlian tertentu dalam bidang pertukangan. Tapi belakangan, kesalah-kaprahan ini malah menjadi sebutan yang enak diucapkan. Pokoknya semua aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan di luar perkantoran sering disebut sebagai tukang. Selain tukang sayur, kita juga menyebut tukang roti, tukang perabot, tukang jahit...dan yang paling konyol...tukang copet...hahahaha...

Sssttt....jangan terlalu jauh. Kita kembali ke tukang sayur dulu.

Tukang sayur di kompleks perumahan saya ada beberapa orang, dan mereka punya jam operasional yang agak berbeda. Mang Asep, tukang sayur langganan kami termasuk yang paling rajin dan paling lengkap dagangannya. Selain itu kualitas dagangannya juga paling baik, dan harganya sangat kompetitif. Dia pun bisa menerima pesanan khusus, misalnya sayuran yang tidak umum, atau daging dan ikan tertentu yang tidak biasa. Kadang-kadang saya juga memesan ikan pindang atau udang yang ukurannya lebih besar dari rata-rata yang tersedia. Atau, untuk sayuran, saya memesan daun pakis dan genjer yang jarang ada bila tidak sedang musimnya.

Selain Mang Asep, ada lagi beberapa orang yang lain. Tetapi mereka datang lebih siang, karena awalnya berjualan untuk langgangannya di kompleks RT lain. Tidak heran, bila tiba di kompleks saya, dagangannya sudah tidak lengkap lagi. Ada untungnya juga. Kalau saya kebetulan lupa membeli sesuatu, masih bisa ditanggulangi oleh tukang sayur yang berikutnya.

Dagangannya sendiri, selain sayuran standar, seperti yang ada di pasar, sesekali mereka juga membawa titipan dari kampung halamannya. Jadi tidak heran, kalau suatu saat ada rengginang, tape ketan yang dibungkus daun jambu, opak singkong dan penganan lain yang jarang-jarang ada di toko atau di warung.

Bukan hanya itu. Kadang-kadang mereka pun merangkap sebagai komunikator tenaga kerja...hmm...Ini yang unik. Seusai lebaran seperti sekarang, banyak orang-orang dari desa yang ingin bekerja di kota. Dan sering juga mereka menitip melalui para tukang sayur ini. Saya sendiri pun pernah mencoba mengambil tenaga pembantu rumahtangga untuk asisten di rumah melalui jasa Mang Asep . Sayangnya, karena mereka belum berpengalaman sama sekali, jadinya tidak bertahan lama.



Cerita tukang sayur, tidak hanya di kompleks perumahan saya saja.

Saya jadi ingat, dulu ibu saya punya langganan tukang sayur di Medan yang melayani kebutuhan kami selama bertahun-tahun. Kami memanggilnya Bibi Sayur ( sampai hari ini saya tidak tahu nama aslinya...hikkks...). Bahkan, ketika bebek-bebek peliharaan ibu saya bertelur banyak sekali, kami juga menitipkan kepada tukang sayur itu untuk dijualkan kembali kepada pembeli yang lain. Jadi kami tidak usah berkeliling, tinggal diam di rumah, dan sirkulasi perdagangan pun menjadi lancar...hehe...

Salah satu tukang sayur langganan kami, malah merangkap menjadi tukang pijet yang enak mantap pijetannya. Biasanya kalau ibu saya sedang ada pesanan makanan khusus yang agak banyak ( ibu saya yang kreatif itu adalah ahli masak yang sering menerima pesanan makanan) , kami juga meminta jasa Bibi Sayur dan teman-temannya untuk membantu di rumah. Setelahnya, dia masih meluangkan waktu untuk memijat ibu saya ( dan belakangan saya juga ikut-ikutan...hahahaha...) yang pegal di sekujur kaki dan badan.

Oya...masih ada lagi. Ketika ayah saya bertugas di kota Padang Sidempuan, di tengah-tengah Bukit Barisan, tukang sayur langganan kami biasanya langsung masuk ke dapur. Kami memanggilnya Mak Sayur, karena dia menyebut dirinya demikian. Bahan jualannya tidak banyak dan tidak lengkap seperti pedagang sayur keliling, tetapi semuanya segar dan langsung dari ladangnya. Kami bisa menikmati sayur daun singkong, kacang panjang, timun yang masih baru dipetik dan aromanya segar. Kami juga bisa memesan ikan mas atau ikan gabus yang diambil dari kolam atau sungai kecil di dekat rumah si Emak Sayur.

Saya punya pengalaman luar biasa . Ketika liburan, saya pernah ikut bermalam di rumah Mak Sayur di tengah sawah dan ladang. Pada malam hari, kami membakar jagung dan singkong untuk teman makan malam. Dan pada waktu menjelang tidur saya dihibur oleh suara berbagai jenis hewan malam yang bernyanyi-nyanyi serta suara angin yang dingin, yang bertiup melalui kisi-kisi dinding rumahnya. Di pagi hari, saya diajak ikut memetik sayuran, dan ke sungai untuk mengambil ikan yang terjerat di dalam bubu. Sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan bersama tukang sayur, yang sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri.



Menyimak aktivitas tukang sayur dan kiprahnya di kompleks perumahan, saya jadi merenung.

Mereka adalah orang-orang hebat yang berjiwa entrepreneur. Mereka adalah orang yang tangguh dan tidak cengeng. Selain berdagang sayuran dan kebutuhan dapur lainnya, mereka pun dapat menjadi penjalin silturahmi antar ibu-ibu kompleks, untuk saling bertukar resep masakan, atau sekedar bertukar cerita.

Mungkin di berbagai tempat di dunia, tukang sayur di Indonesia termasuk yang paling unik. Mereka tak hanya berjualan sayuran, tapi juga menjadi agen tenaga kerja. Menyalurkan saudara-saudara dan kenalannya, agar dapat memperoleh kesempatan juga di tempat lain.

Kita beruntung, ada kemudahan fasilitas dari para tukang sayur. Tak hanya itu tali silaturahmi pun dapat terjalin dengan indah dan penuh keakraban berkat kehadiran mereka.

Seandainya saja kita mau belajar dan berbagi pengalaman dengan mereka, barangkali kita tak hanya mendapatkan sayuran dan bahan pangan pengisi kulkas. Tapi kita pun mendapatkan cemilan dan pangan untuk hati dan pikiran kita...agar kita bisa berpikir lebih dalam , bergaul dengan lebih empati, dan membuka mata lebih luas saat memandang dunia ini...

Semoga saja...kita bisa dan mau belajar dari mana saja...

♥♥

Jakarta, 20 September 2010
Salam hangat,


Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk Mang Asep, mang Ade, Bibi Sayur, Mak Sayur dan semua corps tukang sayur di mana pun berada...kalian adalah mitra dan saudara ....terima kasih atas semangat entrepreneur yang telah ditularkan...Terima kasih juga buat sahabatku Teddi yang menceploskan ide ini di suatu pagi hari raya...Dan buat Nonce yang ada di Negeri Muka Pucat, bagaimana rasanya hidup tanpa tukang sayur ?

♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-9 Daun Musim Gugur

Dear Allz....

Apakabar di hari Minggu ini ? Hehe...asyiiikkk yaaa....libur-libur...bisa beristirahat...bisa berkumpul bersama keluarga...atau berkumpul dengan teman-teman...atau saatnya merenungi perjalanan selama seminggu...

Hari Minggu atau hari libur selain untuk mengistirahatkan tubuh, seyogyanya juga kita dapat mengistirahatkan jiwa...merenung...melihat ke dalam...mengajak diri kita berbincang dan bercakap-cakap...hehe...Aneh, ya...??? Kenapa mesti aneh ? Kita bisa ngobrol berjam-jam dengan orang lain, yang notabene jauh dari jangkauan kita. Tapi kenapa kita tidak pernah, atau enggan ngobrol dengan diri kita sendiri, yang begitu dekat ?

Padahal kalau kita mau, kita bisa ngobrol dengan diri kita...memahami keadaannya, mengakomodasi kebutuhannya. Tidak hanya kebutuhan fisik seperti menanyakan kepada jantung, apakah dia baik-baik saja di situ, apakah detaknya sesuai dengan peraturan. Juga bertanya kepada usus dan lambung, apakah dia tidak menderita ketika kita jejali dengan berbagai bahan makanan yang indah dilihat, enak di lidah, tapi membuat lambung harus bekerja ekstra keras.

Oya...pernahkah kita juga bertanya kepada batin kita, kepada pikiran kita, kepada emosi kita : apakah dia sedang senang atau sedih, apakah dia sedang memikul beban emosi karena benci dan marah, apakah dia memelihara seekor dendam yang selalu menyalak dan membuat batin kita menjadi bising ?

Oke...oke...tenaaaangg...di hari yang indah dan ceria ini memang saatnya kita kembali kepada diri sendiri. Kembali menengok atau membezuk diri. Mengakomodasi body, mind and soul kita...

Jadi...untuk hidangan di hari yang indah dan ceria ini saya hanya ingin cerita sedikiiiiiit saja. Cerita tentang daun. Iya, daun...hehehe...boleh, kan ?

Selamat menikmati...semoga berkenan....

Selamat menikmati hari Minggu, yaaaa...

Jakarta, 26 September 2010

Salam sayang,

Ietje S. Guntur

♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-9

IDE :Minggu, 26 September 2010

Start : 26/09/2010 7:10:29

Finish : 26/09/2010 8:20:56

DAUN MUSIM GUGUR

Hari libur. Saya sedang membereskan buku-buku catatan lama. Ada catatan yang sedang saya butuhkan. Dan biasanya itu saya tulis di dalam secarik kertas, atau di dalam buku bloknote yang sering saya bawa kemana-mana. Iya...walaupun sekarang sudah jamannya komputer, laptop, handphone, Ipad dan sebagainya, tapi saya lebih nyaman menulis sebaris dua baris ide di atas sehelai kertas di dalam buku catatan kecil itu...hehe...kayaknya ada emosi yang lebih dalam di sana.

Setelah bongkar sana bongkar sini dan menjelajah beberapa tas kerja yang penuh berisi segala harta karun doraemon, saya menemukan buku catatan lama tadi. Cari-cari...eeeeh...ketemu deh tulisan kecilnya. Syukur alhamdulillah...idenya masih klop dengan kondisi sekarang. Dan eeeeh...apa lagi ini ? Sehelai daun tiba-tiba jatuh dari salah satu lembarannya. Daun berjari lima, yang warnanya hijau agak kekuningan.

Saya tertegun. Sejenak hati saya berdebar. Itu daun maple. Daun maple pertama yang saya lihat seumur hidup. Ketika saya dalam perjalanan ke Negeri Utara beberapa tahun lalu. Hmm....kenangan membuncah. Daun itu adalah daun maple yang gugur di awal musim panas...belum terlalu kuning...karena saya memungutnya terlalu cepat. Saya membolak-balik daun maple itu. Daun yang indah...dan inspiratif. Daun yang tahu, kapan dia harus tumbuh hijau, dan kapan dia harus gugur ke bumi....

Saya tersenyum.

Urusan daun di dalam lembaran buku catatan atau buku pelajaran sekolah bukan yang pertama kali saya lakukan. Semasa masih kecil, sejak di Sekolah Dasar, saya gemar memetik daun-daun yang beraneka bentuk lalu menyimpannya di antara lembar-lembar buku. Bahkan kadang-kadang tanaman semak yang masih kecil saya cabut dari tanah, untuk melihat komposisi sebuah tanaman yang lengkap dari daun hingga akarnya.

Kebiasaan mengumpulkan daun-daun dan menyelipkannya di dalam lembar catatan terus berlanjut hingga saya di SMP, SMA bahkan setelah kuliah di perguruan tinggi. Dalam setiap perjalanan saya ke berbagai tempat, saya selalu tertarik melihat daun-daun yang berbeda dari tempat tinggal saya. Ada daun yang agak lebar, ada daun yang kecil-kecil. Beberapa jenis daun itu saya ketahui nama pohonnya, tetapi kebanyakan tidak. Jadi saya hanya menyimpannya, dan menuliskan di mana saya mendapatkan daun itu. Sekedar catatan, bahwa saya pernah ke satu tempat, untuk kenang-kenangan perjalanan...hehe...

Beberapa tahun kemudian, kala saya iseng seperti sekarang, kadang-kadang daun yang sudah gepeng dan kering itu muncul lagi. Seperti memberi peringatan, seperti seorang sahabat lama yang terlupakan, dan ingatan saya pun kembali ke saat saya mengumpulkan daun-daun itu. Kadang saya memungutnya ketika ia sedang berguguran...kadang saya memetiknya sambil minta ijin kepada pohonnnya ( biasanya saya berbisik begini ,” maaf, ya...daunmu aku petik, untuk koleksi dan kenangan...terima kasih , Pohon...). Lalu dengan hati-hati saya akan menyimpannya, untuk kelak dikumpulkan dengan koleksi daun-daun lain yang sudah saya miliki.

Ingat daun yang berguguran di Negeri Utara, saya jadi ingat daun-daun yang juga berguguran di sepanjang perjalanan saya saat masih kecil di Medan, saat saya kuliah di Bandung, dan saat saya bekerja di kawasan jalan Sudirman Jakarta. Dari semua daun-daun yang saya temukan, saya paling tertarik dengan daun pohon mahoni.

Daun pohon mahoni ini seperti memiliki siklus tersendiri, yang berbeda dengan daun-daun tanaman tropis lainnya. Dari pengamatan saya, pohon mahoni seperti tahu, kapan dia harus menggugurkan seluruh daun secara bersamaan di satu pohon, kapan mereka tumbuh bersemai kembali, dan kapan mereka akan tumbuh matang bersama-sama. Pada saat daun-daun mahoni mengering dan berguguran ditiup angin, saya sering tertegun memandangnya. Daun-daun itu seperti menari-nari di udara, berputar-putar dengan gembira, sebelum akhirnya terseret-seret di tanah dan diam menanti angin untuk beterbangan lagi.

Semasa masih kanak-kanak dulu, kami – saya dan sahabat-sahabat , akan berlarian di bawah pohon mahoni lalu berusaha menangkap daun-daun yang berjatuhan sebelum mendarat di tanah. Rasanya senang sekali bila kita mendapatkan daun yang masih utuh. Itu sebuah prestasi, karena untuk menjangkau daun mahoni langsung dari tangkainya agak sulit. Pohon mahoni umumnya tinggi-tinggi, dan sulit untuk dipanjat begitu saja. Daun-daun mahoni ( dan kadang buahnya) akan menjadi koleksi istimewa di dalam buku catatan kami. Tidak heran, kalau buku tulis dan buku berhitung saya jaman SD dulu penuh dengan koleksi daun dan juga...hmmh...bulu ayam. Eeeh, tapi koleksi bulu ayam kan sudah saya ceritakan dalam episode kemoceng...hehe...

Ketika saya kuliah di Bandung, daun-daun mahoni yang berguguran di jalan-jalan Bandung Utara mengingatkan saya akan masa kecil yang penuh semangat dan kegembiraan. Daun-daun itu seperti membisikkan keceriaan dan semangat yang sama pula. Membuat saya seperti ada di dekat rumah. Tempat saya akan kembali suatu hari nanti. Kemalasan dan keengganan yang kadang menggandol di dalam hati, mendadak akan bergolak penuh semangat ketika kenangan itu menyeruak seperti percik-percik air.

Begitu pula, ketika saya sudah bekerja di Jakarta. Melihat daun-daun pohon mahoni di Jalan Sudirman yang selalu berganti warna...hijau pupus yang muda, kemudian hijau yang lebih matang, berubah menjadi hijau tua, lalu hijau tua kehitaman karena polusi jalan raya...dan terakhir ketika daun-daunnya berguguran adalah pemandangan yang sangat menarik dan inspiratif. Tidak jarang saya pun berhenti sejenak, melihat daun-daun yang berganti warna, dan menyesap semangat yang selalu muncul dari daun-daun yang beterbangan bersama angin.

Melihat keindahan daun, melihat keceriaan daun, melihat daun-daun yang berguguran...saya sering merenung.

Daun ibarat siklus kehidupan manusia.

Ada daun yang masih hijau dan muda, ketika mereka dengan malu-malu membuka helai-helainya untuk disentuh sinar matahari. Ada daun yang lebih matang warnanya, ketika mereka telah berfungsi sebagai dapur tanaman yang bermetabolisme mengolah masakan dan memberi makan seluruh organ pohon, dan ada saatnya ketika daun-daun itu mulai mengering...lalu gugur ke tanah pada saat dihembus angin. Di tanah pun daun-daun ini tidak diam begitu saja. Banyak daun-daun pohon justru ditunggu ketika mereka sudah jatuh ke tanah, untuk kemudian dikumpulkan dan dimanfaatkan menjadi pupuk organik...pupuk alamiah. Untuk memberi kehidupan dan meningkatkan kesehatan tanaman generasi berikutnya....

Begitulah daun. Setiap saat dari hidupnya selalu bermanfaat. Tidak pernah ada satu masa pun dari sehelai daun yang tidak berguna . Tidak ada satu waktu pun dari daun yang tidak memberikan semangat. Daun selalu gembira. Pada saat hujan dia membuka mulutnya lebar-lebar sehingga seluruh pohon akan menikmati tetes-tetes air yang menyegarkan. Saat matahari terik, dia bekerja giat mengolah masakannya. Ketika senja turun dan malam memeluk sang waktu, dia pun menutup mulut daunnya, beristirahat agar proses metabolisme dilanjutkan oleh bagian pohon yang lain.

Mengamati sehelai daun di dalam lipatan buku catatan harian saya, membuat saya menundukkan kepala .

Bila daun pun memahami kapan mereka harus tetap berada di tangkainya, kapan harus meneduhi pohon dan orang-orang yang lewat di bawahnya, kapan harus gugur serta kembali ke asalnya dan bercampur dengan tanah menjadi pupuk....Bagaimana dengan kita ?

Sudah siapkah kita menjadi daun-daun kehidupan...yang walaupun suatu saat akan gugur pada musimnya, tapi tetap bermanfaat selamanya...

Jakarta, 26 September 2010

Salam selembut daun....

Ietje S. Guntur

Special note :

Terima kasih untuk sahabat-sahabat perjalananku...Neno, Koko, Mb Nuki, Mb Hapti....perjalanan ke Utara sangat inspiratif...Juga sahabat masa kanak-kanakku yang selalu ceria dan inspiratif...Ana, Tiar, Donti, Butet, Cicik, Yul, Evi, Ira, Eva Rabita, Ningsih, Nina, De’i, Erna, Dahlia....thanks sudah menjadi bagian perjalanan daun kehidupan yang hijau dan penuh semangat...

Sabtu, 04 September 2010

Art-Living Sos 2008 (A-10 Sepotong Sajadah Panjang

Dear Allz….

Apakabar teman dan sahabat semua ? Semoga sehat-sehat, ya….terutama bagi teman dan sahabat saya yang sedang menjalankan ibadah puasa, semoga semakin kuat lahir dan batin…

Puasa, bagi sebagian orang memang agak berat menjalankannya. Maklum, karena dilakukan setahun sekali, jadi awal-awalnya suka lupa lagi…dan jadi semacam kewajiban yang memberatkan. Padahal kalau sudah berlangsung 3 atau 4 hari, tubuh telah terbiasa…maka kita pun ringan saja menjalankannya. Tubuh, pikiran, emosi dan sisi spiritual memang perlu latihan. Dan ibadah puasa ini juga semacam latihan bagi keseluruhan diri kita.

Tak hanya puasa. Ibadah lain pun seyogyanya perlu dilatih, agar menyatu satu dengan lainnya. Semisal sholat. Kalau kita biasa berlatih, sesuai kewajiban, lima kali sehari semalam, lama-lama kita juga merasa ringan . Tidak lagi sekedar kewajiban, tapi sudah menjadi bagian dari gerak tubuh dan gerak jiwa. Bisa jadi, kalau kita tidak menjalankan satu kali kewajiban itu, seperti ada yang hilang dari diri kita….hmmm…idealnya begitu…Tapi selalu saja, sebagai manusia kita punya keterbatasan…terutama keterbatasan untuk mengendalikan hawa nafsu…Jadi deh, pas tiba waktunya beribadah…tiba waktunya sholat…kadang kita suka menawar-nawar waktunya….hehehe…

Aaah…maaf…saya sih bukan mau membahas soal sholat. Saya hanya teringat satu hal …Sholat selalu berkaitan dengan perangkat pendukungnya…diantaranya adalah sajadah…alas untuk melaksanakan ritual sholat. Agar kita bersih dan nyaman saat berhubungan dengan Sang Pemilik Kehidupan…Nah, mumpung lagi online…mumpung lagi ngobrol tentang sholat…sekalian saja saya mau cerita tentang sajadah…

Eeeh….teman-teman dan sahabat mau, yaaa…barangkali kita juga punya pengalaman yang serupa….

Selamat menikmati….semoga berkenan….


Jakarta, 23 Ramadhan 1431 H
Salam hangat,



Ietje S. Guntur

♥♥♥


Art-Living Sos 2008 (A-10
Start :10/27/2008 11:16 PM
Edit : 2/9/2010 10:15:22 AM
Finish :2/12/2010 9:43:27 AM


Sepotong Sajadah Panjang….


Siang hari. Setelah selesai sholat Zuhur.

Saya melihat sepotong sajadah, yang berbeda dari lainnya. Dari sekitar 9 buah sajadah yang terbentang di mushola kecil di kantor, dia memang paling tua dan tampak usang . Berwarna dasar biru tua dengan hiasan merah, tetapi sekarang sudah tidak jelas lagi warnanya. Ujung-ujung rumbainya pun sudah rontok sebagian, seperti digigit tikus. Tapi, sama seperti sajadah lainnya, dia tetap berfungsi. Menemani orang-orang yang menunaikan ibadah di ruang kecil itu.

Setiap kali melihat sajadah usang itu, hati saya bergetar.

Terbersit sejumlah pertanyaan yang menggelitik. Berapa lama sudah usianya ? Berapa banyak tempat yang sudah dikunjunginya, sebelum dia terdampar di ruang mushola ini ? Berapa banyak orang yang sudah berdoa di atasnya, menjalankan kewajiban maupun memohon harapan kepada Yang Maha Memiliki Hidup.

Melihat sajadah itu, saya seperti diingatkan, berapa jauh saya sudah berjalan dan berbuat untuk kehidupan ini. Dan terkenang dengan sejumlah sajadah yang menemani perjalanan batin saya hingga saat ini.



Saya jadi ingat sajadah saya semasa masih kanak-kanak dulu.

Itu adalah sajadah saya yang pertama, yang diberi oleh ibu saya. Berbeda dengan sajadah yang umum bergambar mesjid atau ornamen berbentuk bunga-bungaan, sajadah saya sebenarnya adalah hiasan dinding bergambar kucing. Semula sajadah itu tergantung di dinding kamar saya. Tapi karena jaman dulu agak sulit untuk mencari sajadah khusus untuk anak-anak, maka saya diberi sajadah bergambar unik itu untuk belajar sholat.

Jadilah…sajadah bergambar kucing itu menemani saya mengaji dan sholat di mushola atau mesjid di dekat rumah. Melihat gambar kucing yang lucu itu, tidak sekali dua kali teman-teman saya berebutan ingin meminjam sajadah yang unik dan tidak biasa itu. Tak hanya untuk sholat dan kadang-kadang kami menggunakannya juga untuk sekedar duduk-duduk dan ngobrol ala anak-anak. Maklum, bahannya memang lebih tebal dari sajadah biasa, karena terbuat dari tenunan yang padat dan rapat.

Kadang, kalau sedang menunggu waktu sholat di mushola, sajadah cap kucing ini ini pun saya pergunakan untuk tidur-tiduran. Panjang badan saya masih cukup untuk ditampung oleh sajadah. Enak juga. Selain empuk karena tenunan yang tebal, tidur dan melamun di mesjid dekat rumah juga lumayan asyik. Kita bisa terkantuk-kantuk dihembus angin sore yang hangat dan angin malam yang sejuk, saat menunggu waktu sholat Isya.

Sajadah bergambar kucing itu telah saya pergunakan cukup lama, dan saya lupa, kemana perginya setelah saya memperoleh sajadah baru bergambar standar. Ornamen pintu mesjid di bagian bawah, dan bagian atasnya adalah Masjidil Haram dengan Ka’bah di tengahnya. Ya, iyalah…saat itu saya hampir lulus SD. Menjelang remaja. Kan malu hati juga kalau sholat tetap pakai sajadah cap kucing. Walaupun tidak ada hubungan antara gambar kucing dengan kekusyukan berdoa, tetapi rasanya agak sungkan juga bila kita berbeda dari yang lain…hehehe…



Koleksi sajadah saya berganti-ganti selama beberapa tahun. Sejak jaman kuliah hingga saat ini , saya memiliki beberapa sajadah dengan banyak cerita di dalamnya.

Selain sajadah di rumah yang dipakai bergantian oleh kami semua, saya juga selalu menyediakan sajadah untuk travelling. Sajadah dari kain tenunan berwarna biru itu selalu saya selipkan di sisi tas atau di lapis atas tumpukan pakaian. Selain berfungsi untuk sholat, sajadah juga dapat menahan pakaian agar tidak berserakan kemana-mana.

Dari perjalanan ke banyak tempat, kadang saya membeli sajadah untuk oleh-oleh atau keperluan sholat. Saya punya sajadah yang dibeli di sebuah sudut pertokoan di Madinah, ketika saya menjalankan ibadah di sana. Ceritanya, bersama rombongan kami jalan-jalan di seputar tempat menginap. Ketika saya melihat sehelai sajadah yang menarik , seorang sahabat keluarga kami bersikukuh untuk membayar sajadah itu. Sebagai hadiah dan tanda mata, biar lebih rajin sholat, katanya. Saya senang, sekaligus terharu atas perhatiannya. Iya, sholat saya memang masih suka bolong-bolong…hiiikss….

Sajadah itu selalu saya pakai di rumah dan kadang-kadang dibawa juga di dalam perjalanan-perjalanan saya. Bergantian dengan sajadah biru yang tipis dan mudah diselipkan di sudut koper. Setiap kali sholat, sambil merenung, saya ingat perjalanan batin yang saya alami selama berada di Medinah dan sesudahnya.

Ketika sahabat tersebut meninggal dunia, sajadah itu mengingatkan saya akan beliau dan kenangan yang indah bersamanya. Itu memang hanya tanda mata sederhana, tetapi sangat bermakna ketika saya butuh tempat untuk menyendiri dan berdoa kepada Sang Pemilik Kehidupan.



Belakangan, saya juga punya sajadah berwarna hijau yang khusus saya beli untuk sholat di kantor. Semula hanya saya dan teman-teman dekat saja yang memakainya. Namun ketika kami pindah gedung kantor, sajadah itu saya bentangkan bersama dengan sajadah lainnya. Dan sekarang sepanjang siang hingga magrib, sajadah itu dipergunakan oleh seluruh karyawan yang sholat di mushola kecil di kantor kami . Itulah…sajadah yang mengilhami banyak renungan sepanjang hari-hari saya…

Oya…dari koleksi sajadah yang beraneka itu, saya juga punya satu sajadah lagi. Oleh-oleh dari sahabat saya ketika dia bertugas ke Pakistan. Sajadah berwarna coklat ini terbuat dari tenunan yang halus dan empuk. Membuat saya nyaman ketika sholat atau berdoa di atasnya. Kadang, ketika menunggu waktu antara sholat Isya dan sholat tengah malam , saya tertidur di atasnya.

Pernah juga, saat subuh saya sholat di teras terbuka di dak atas rumah saya. Sehabis sholat saya sering tidur berbaring beralas sajadah sambil menatap langit, dan melihat matahari naik perlahan memecah fajar. Itu adalah pengalaman batin luar biasa yang sering saya alami. Dalam keheningan waktu…banyak renungan mengalir. Dan tak jarang ucap Syukur pun melirih pelan dari bibir saya…melambung ke langit tinggi….




Cerita sebuah sajadah bisa jadi cerita panjang tentang perjalanan batin. Memang. Hanya kita dan sajadah yang tahu, apa yang terjadi dalam detik dan menit saat kita bersujud memohon sesuatu kepada Sang Maha Pemilik Kehidupan. Ketika di dalam sunyinya malam, di dalam heningnya kegelapan, kita meminta…dengan derai airmata…dan bulir-bulir air bening penyesalan serta Syukur membasahi permadani sajadah yang hanya bisa diam membisu.

Sajadah…atau permadani alas sholat memang hanya sekedar sarana…sekedar tempat untuk berbagi rasa…Namun, dengan sajadah ada rantai persahabatan yang mengikat erat penuh kehangatan. Dan banyak perenungan yang mengalir untuk bermuara pada ketenangan batin dan jiwa…

Saya jadi ingat sebait lagu lama dari Bimbo …


“Ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat Dikau sepenuhnya..”


Melihat sajadah yang terbentang…saya tertegun. Masihkah ada waktu untuk kita menyempatkan diri , merenung bersama sepotong sajadah yang semakin usang dimakan jaman…???

♥♥

Jakarta, 12 Februari 2010

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Thanks untuk Abah Apung yang mengilhami perjalanan sajadahku…juga Mas Wibi yang baik hati dan gak lupa dengan oleh-oleh dari negeri seberang…thanks sudah mengingatkan…dan tentu saja my lovely Mom yang unik dan yang pertama kali memberikan sajadah cap kucing untuk mengenalkan aku kepada Sang Maha Pencipta…thanks for all…



Ide :
1. Melihat sajadah usang di mushola
2. Siapa saja yang pernah sholat di atasnya ?
3. Doa siapa yang paling diterima ?




Sajadah Panjang

Ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati

ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi

Reff :
mencari rezeki mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara adzan
kembali tersungkur hamba

ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat Dikau sepenuhnya

Sajadah Panjang
Song : Djaka Bimbo
Lyrics : Taufiq Ismail