Minggu, 27 Desember 2009

Art-Living Sos 2009 (A-12 Gereget Sambal...

Dear Allz...

Alllowwww....hellloww...heloouuu....lagi ngapain ? Hari-hari libur niiiih...loooong holiday, bagi yang holiday...uenaknya, yaa....hmmm...

Ya, buat yang sudah liburan akhir tahun, ya met liburan deeh. Yang belum libur, kan masih ada hari esok...hehehe...menyenangkan hati sendiri dong. Masing-masing ada jatahnya. Istirahat dari kerutinan. Bahkan yang hampir sepanjang tahun libur, seyongyanya perlu juga aktivitas selingan...entah apalah itu...agar hidup ini nggak membosankan. Memang kadang aneh juga, ya. Yang kerja, pengennya libur. Yang nggak kerja, pengennya aktivitas melulu...

Apa pun...selingan memang dibutuhkan. Kalau hidup maniiiiiiis saja, akan bosan juga. Cuma satu rasa. Aman tentram itu kadang berbahaya juga, karena kita jadi tidak waspada. Kita jadi terlena. Perlu sekali-sekali ada gejolak. Ada kejutan. Ada yang menggigit. Agar hidup ini jadi dinamis. Ada geregetnya gitu...

Ya, hidup seperti menyantap hidangan juga kan ? Perlu aneka rasa, yang seimbang. Agar panca indera kita terolah semua. Termasuk rasa pedas yang menggigit-gigit. Kita bisa memperoleh rasa pedas dari banyak sumber. Tapi paling enak, yaaaa...dari sambal.

Ahaaaaa....saya jadi kepengen cerita tentang sambal juga niiih...Waaah, kayaknya hot banget yaaa...semangat seperti berlimpah-ruah...hahahaha...Barangkali itu juga disebabkan oleh sambal-sambal yang menggugah selera dan semangat saya.

Mau menikmati sambal saya ? Okeeeeeh...met menikmati saja, yaaa....

Jakarta, 27 Desember 2009
Salam hangat,



Ietje S. Guntur



Art-Living Sos 2009 (A-12
Serial : Food Psychology
Minggu, 27 Desember 2009
Start : 27/12/2009 8:26:08
Finish : 27/12/2009 13:38:56


 GEREGET SAMBAL

Hari libur. Nggak jauh-jauh deeeeh...kalau lagi mood masak, ya saya masak. Seperti kali ini, dan banyak hari libur lainnya, saya kepengen masak kwetiaw goreng...hahahaha...Kayaknya ini sudah jadi pakem liburan. Kwetiaw goreng. Maklum deeeh...doyannya memang kwetiaw...jadi mau nggak mau umat serumah juga harus terbawa arus menikmati kwetiaw hasil olahan saya...heheeh....

Selesai masak kwetiaw...saya celingak-celinguk lagi. Sambalnya mana ? Ohoooo...lupa. Kalau kwetiaw goreng ala saya ini harus pakai sambal khusus. Kalau mau males sih bisa saja pakai sambal botolan, tapi sesuai dengan resep dari ibu saya, kalau kwetiaw goreng ala Medan, harus pakai sambal khusus. Bahannya adalah cabe rawit, bawang putih digerus agak kasar, ditambahi cuka, gula pasir dan kecap ikan. Rasanya pedas, asem kecut dan ada aroma ikannya. Ini akan memperkuat rasa bumbu kwetiaw goreng buatan saya...hmmm...

Bukan hanya kwetiaw goreng saya ini saja yang butuh sambal khusus. Saya punya beberapa resep sambal, yang khusus dipadukan dengan makanan atau hidangan tertentu.

Ada lagi sambal kesukaan saya. Yang pas dimakan dengan tempe goreng. Namanya sambal atau sambel penyet. Bahannya cabe merah keriting beberapa buah dan bawang merah dengan kulitnya. Langsung digoreng sebentar di dalam minyak panas, sampai cabe dan bawang agak layu. Kemudian dipenyet, sampai kulit bawang mengelupas. Cabe dan bawang diulek kasar, ditambahi garam secukupnya dan terasi udang kalau suka. Boleh juga ditambahi tomat merah potongan. Lalu...hmm..tempe goreng panas-panas langsung digeprek dan diulek bareng sambalnya... Rasanya...aaacchh...sedaaap....

Ini adalah salah satu makanan kegemaran saya . Disantap dengan nasi putih yang panas dan pulen. Kalau mau ditambahi, boleh dengan ikan pindang cuek atau kembung banjar yang kecil-kecil, atau kalau di Medan disebut ikan kembung rebus. Ditambah lagi dengan lalap timun dan daun kemangi...wwwooww...bisa bikin lupa diri deeeh...hahahaha...



Urusan sambal dan hidangan memang sangat akrab dengan lidah orang Indonesia. Tidak hanya wanita, yang katanya gemar makan yang pedas-pedas. Para pria tampan pun, termasuk suami saya, Pangeran Remote Control bisa dibilang rajanya sambal. Malahan dalam urusan pertandingan pedas-pedasan sambal, saya kalah jauh dibandingkan dengan beliau.

Kalau saya, sekarang paling kuat hanya makan sambal dari ulegan tiga buah cabe merah, atau dua cabe rawit merah. Itu pun sudah membuat lidah seperti digigit semut dan airmata bercucuran. Tapi Pangeran saya, kalau bikin sambel minimal sepuluh cabe rawit merah ditambah lima cabe merah keriting yang puedeeesss, hanya dengan tambahan garam dan sedikit terasi udang. Itu baru mantap, katanya.

Kadang mencium aroma sambalnya saja saya sudah mabok, apalagi kalau berani mencoba mencicipi. Alamat lidah saya jadi seperti terbakar rasanya. Boro-boro menambah selera, yang ada malahan dunia jadi banjir airmata saking pedasnya...haaahh...

Lain Pangeran saya, lain lagi ibu saya, yang ahli membuat sambal dengan gorengan udang. Cabe merah ditambah garam dan jeruk sambal, diadon dengan udang goreng besar...hmm...rasanya bikin air liur menetes dan tanpa sadar kita pun terus menambah porsi nasi lagi...hehehe...Sambal ini, walaupun resepnya sudah diwariskan kepada saya, tapi entah kenapa kalau saya yang membuatnya rasanya kurang mantap. Ada ‘roh’ yang tidak terbawa. Maklum sajalah...sebagai penikmat, ya lebih enak kalau ibu yang mengolah dan menyajikannya...hiks hiks..

Sementara itu, ayah saya, kurang suka sambal yang pedas-pedas. Sambal beliau dulu hanya cabe merah, garam, gula jawa sedikit, terasi sedikit. Kadang ditambahi tomat matang. Jadi sambalnya itu agak manis gurih rasanya. Dan sambal ini biasanya dipadu dengan sayur lodeh dan tempe bacem ala Jogya, yang moaaaniiiisss citarasanya...(ini hebatnya ayah saya, walau sudah puluhan tahun di Sumatera, tapi urusan tempe bacem tetap rasa Jogya asli...heh hehe...).

Jadi boleh dibayangkan, kalau kami berempat makan bareng, akan ada empat macam sambal. Setiap orang punya sambal favorit. Dan masing-masing sudah nikmat dengan sambal kesukaannya untuk menemani hidangan yang disantap dengan lauk-pauk lainnya. Itu bisa lebih ramai lagi kalau kami sekeluarga makan bersama...Bisa-bisa lebih banyak sambalnya daripada lauk-pauknya...hmm...



Ngomong-ngomong soal sambal, di Indonesia ini memang terkenal dengan aneka sambal sebagai padanan hidangan. Setiap daerah memiliki satu atau dua jenis sambal untuk hidangan yang berbeda. Dari mulai sambal uleg sederhana yang terdiri dari cabe merah atau cabe rawit plus garam saja, sampai sambal yang rumit dengan tambahan terasi, petis, tomat, atau buah-buah semacam gandaria, mangga, buah buni, buah ceremai, daun jeruk purut, jeruk nipis dan sebagainya.

Itu belum termasuk aneka sambal kecap, dengan berbagai merek kecap pula. Kecap asin, kecap manis, kecap ikan. Lihat saja, untuk makanan ikan bakar ala Manado , Makassar atau Kendari, ada sambal kecap yang khusus. Ikan bakar yang polos itu baru nikmat kalau dibaluri dengan sambal cabe rawit yang pedasnya menggigit-gigit lidah. 

Cerita soal sambal kecap untuk hidangan ikan ini , saya punya satu pengalaman tak terlupakan ketika diundang makan di sebuah kunjungan kerja di Kendari. Melihat ikan sejenis cakalang yang besarnya kurang lebih 50 cm terbujur di atas piring saji , saya sudah kelenger. Nyaris hilang selera. Jadi sayapun hanya mengambil sedikit saja. Tetapi ketika saya sudah mencicipi ikan dengan sambalnya... eeeh...mendadak nafsu makan saya meningkat. Dan jadilah saya mengambil lagi ikannya... tambah lagi...tambah lagi...sedikit lagi...sampai akhirnya saya sakaw ikan...hihihi... memalukan !

Ada lagi sambal yang khusus, yaitu sambal dadak untuk ayam goreng tradisional. Di kantin kantor saya dulu, ada pedagang nasi pecel ayam yang sambalnya luar biasa enak. Sambal segar yang diramu dari cabe merah plus tomat dan terasi udang, dimakan begitu saja dengan nasi panas, tempe goreng dan tahu sudah nikmat luar biasa. Apalagi kalau ditambah dengan ayam goreng atau ikan goreng yang warnanya agak kehitam-hitaman...aachhh...lupa deh sama urusan minyak goreng bekas dan karsinogen. Sambal pecel itu bener-bener bikin selera meningkat dua tiga kali lipat...hahahaha...



Bila dilihat betapa orang Indonesia sudah menyatu dengan sambal, tidak heran kalau ke mana pun kita pergi, kita selalu mencari cabe dan sambal untuk menemani hidangan makanan. Masih beruntung kalau perjalanan kita berada di wilayah Indonesia. Seminimalnya fasilitas penyediaan makanan, masih ada pasar yang menjual cabe segar atau warung yang menjual cabe dalam kemasan botolan atau sachet. Tapiiiii...kalau kita berkesempatan ke luar negeri, apalagi negara-negara Eropa, maka urusan cabe dan sambal ini bisa menjadi urusan yang krusial dan tidak bisa tersedia seketika. Padahal kita tahu, hampir semua makanan mereka kurang tajam citarasanya. Rasa asinnya kurang, rasa manisnya kurang, rasa asamnya kurang...Apalagi untuk rasa pedas. Mustahil banget...

Jadi untuk memanjakan lidah sendiri, dan untuk tetap bisa bertahan hidup di dunia tanpa rasa pedas itu, kitalah yang harus kreatif. Sedia payung sebelum hujan. Sedia sambal sebelum makan...hmmm...Saya pernah punya pengalaman, ketika berkesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Sesuai dengan pesan-pesan sahabat pecinta sambal, yang pertama saya ingat adalah membawa sambal yang sudah dimasukkan ke dalam sachet. Ini agak lebih mudah packingnya, dan untuk menghindari pemeriksaan imigrasi di bandara luar negeri. Agar aman, sambal cocol dalam kemasan sachet itu saya sebar di antara baju-baju, dan diselipkan juga diantara buku-buku yang dibawa...hihihi...

Maklum, namanya selera lidah orang Indonesia ini, mana bisa makan ayam goreng atau kentang french fries tanpa sambel cocol. Bahkan ketika kita sudah go internasional dan menyantap hidangan beef atau chicken steak, pizza, spaghetti dan lasagna di resto berskala internasional pun tetap saja jimat sambal itu harus menemani...Ibaratnya, nggak rame kalau nggak ada sambalnya... hehehehe...



Menyimak pentingnya sambal dalam jajaran kuliner dan selera orang Indonesia saya jadi merenung.

Sambal atau sambel memang hanya gerusan atau sekedar berupa potongan-potongan aneka cabe. Tapi tanpa kehadirannya, makanan yang lezat cita rasanya pun akan kurang ‘nendang’ dan kurang gereget .

Sambal sederhana itu seperti menggigit lidah, namun membuat semangat kita jadi melimpah. Di balik rasa yang ngos-ngosan itu, ada gairah yang muncul dan menambah kenikmatan makan.

Hidup kita pun membutuhkan sambal juga. Sedikit pedas yang menggigit dan menyengat, membuat kita agak tersentak. Dan hasilnya, kita menjadi lebih bersemangat. Kalau hidup biasa-biasa saja, lama-lama kita akan bosan. Kehadiran sambal, yang sedikit, akan memberi warna, dan membuat kita bisa menikmati rasa yang lebih kaya. Sambal, ibaratnya adalah variasi dalam hidup. Asalkan kita bisa mengendalikan diri, kehadiran sambal tidak akan membuat kita mules atau sakit perut. 

Kita memang perlu warna. Kita perlu sentakan. Kita perlu gereget. Sehingga jadi penasaran dan penuh semangat. Kita perlu sambal. Agar hidup lebih semarak dan penuh dinamika. Setujukah ?

Horeeee...Hidup sambal...uhuuuyyy.....




Jakarta, 27 Desember 2009-12-27
Salam hangat yang menyengat,



Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk my Pangeran Remote Control yang menjadi inspirasi tulisan ini...juga Budhe Iskandar di Bandung, yang memperkenalkan sambel penyet tempe yang jadi favorit hingga sekarang, juga sahabatku dulu Pedagang Cabe yang suka banget sambel picit...hiii...Thanks juga buat sahabat-sahabat sambal kehidupanku...walaupun pedas menggigit, kalian membuat hidup ini menjadi meriah dan penuh warna...





Art-Living Sos 2009 (A-12 Gereget Sambal...

Dear Allz...

Alllowwww....hellloww...heloouuu....lagi ngapain ? Hari-hari libur niiiih...loooong holiday, bagi yang holiday...uenaknya, yaa....hmmm...

Ya, buat yang sudah liburan akhir tahun, ya met liburan deeh. Yang belum libur, kan masih ada hari esok...hehehe...menyenangkan hati sendiri dong. Masing-masing ada jatahnya. Istirahat dari kerutinan. Bahkan yang hampir sepanjang tahun libur, seyongyanya perlu juga aktivitas selingan...entah apalah itu...agar hidup ini nggak membosankan. Memang kadang aneh juga, ya. Yang kerja, pengennya libur. Yang nggak kerja, pengennya aktivitas melulu...

Apa pun...selingan memang dibutuhkan. Kalau hidup maniiiiiiis saja, akan bosan juga. Cuma satu rasa. Aman tentram itu kadang berbahaya juga, karena kita jadi tidak waspada. Kita jadi terlena. Perlu sekali-sekali ada gejolak. Ada kejutan. Ada yang menggigit. Agar hidup ini jadi dinamis. Ada geregetnya gitu...

Ya, hidup seperti menyantap hidangan juga kan ? Perlu aneka rasa, yang seimbang. Agar panca indera kita terolah semua. Termasuk rasa pedas yang menggigit-gigit. Kita bisa memperoleh rasa pedas dari banyak sumber. Tapi paling enak, yaaaa...dari sambal.

Ahaaaaa....saya jadi kepengen cerita tentang sambal juga niiih...Waaah, kayaknya hot banget yaaa...semangat seperti berlimpah-ruah...hahahaha...Barangkali itu juga disebabkan oleh sambal-sambal yang menggugah selera dan semangat saya.

Mau menikmati sambal saya ? Okeeeeeh...met menikmati saja, yaaa....

Jakarta, 27 Desember 2009
Salam hangat,



Ietje S. Guntur



Art-Living Sos 2009 (A-12
Serial : Food Psychology
Minggu, 27 Desember 2009
Start : 27/12/2009 8:26:08
Finish : 27/12/2009 13:38:56


 GEREGET SAMBAL

Hari libur. Nggak jauh-jauh deeeeh...kalau lagi mood masak, ya saya masak. Seperti kali ini, dan banyak hari libur lainnya, saya kepengen masak kwetiaw goreng...hahahaha...Kayaknya ini sudah jadi pakem liburan. Kwetiaw goreng. Maklum deeeh...doyannya memang kwetiaw...jadi mau nggak mau umat serumah juga harus terbawa arus menikmati kwetiaw hasil olahan saya...heheeh....

Selesai masak kwetiaw...saya celingak-celinguk lagi. Sambalnya mana ? Ohoooo...lupa. Kalau kwetiaw goreng ala saya ini harus pakai sambal khusus. Kalau mau males sih bisa saja pakai sambal botolan, tapi sesuai dengan resep dari ibu saya, kalau kwetiaw goreng ala Medan, harus pakai sambal khusus. Bahannya adalah cabe rawit, bawang putih digerus agak kasar, ditambahi cuka, gula pasir dan kecap ikan. Rasanya pedas, asem kecut dan ada aroma ikannya. Ini akan memperkuat rasa bumbu kwetiaw goreng buatan saya...hmmm...

Bukan hanya kwetiaw goreng saya ini saja yang butuh sambal khusus. Saya punya beberapa resep sambal, yang khusus dipadukan dengan makanan atau hidangan tertentu.

Ada lagi sambal kesukaan saya. Yang pas dimakan dengan tempe goreng. Namanya sambal atau sambel penyet. Bahannya cabe merah keriting beberapa buah dan bawang merah dengan kulitnya. Langsung digoreng sebentar di dalam minyak panas, sampai cabe dan bawang agak layu. Kemudian dipenyet, sampai kulit bawang mengelupas. Cabe dan bawang diulek kasar, ditambahi garam secukupnya dan terasi udang kalau suka. Boleh juga ditambahi tomat merah potongan. Lalu...hmm..tempe goreng panas-panas langsung digeprek dan diulek bareng sambalnya... Rasanya...aaacchh...sedaaap....

Ini adalah salah satu makanan kegemaran saya . Disantap dengan nasi putih yang panas dan pulen. Kalau mau ditambahi, boleh dengan ikan pindang cuek atau kembung banjar yang kecil-kecil, atau kalau di Medan disebut ikan kembung rebus. Ditambah lagi dengan lalap timun dan daun kemangi...wwwooww...bisa bikin lupa diri deeeh...hahahaha...



Urusan sambal dan hidangan memang sangat akrab dengan lidah orang Indonesia. Tidak hanya wanita, yang katanya gemar makan yang pedas-pedas. Para pria tampan pun, termasuk suami saya, Pangeran Remote Control bisa dibilang rajanya sambal. Malahan dalam urusan pertandingan pedas-pedasan sambal, saya kalah jauh dibandingkan dengan beliau.

Kalau saya, sekarang paling kuat hanya makan sambal dari ulegan tiga buah cabe merah, atau dua cabe rawit merah. Itu pun sudah membuat lidah seperti digigit semut dan airmata bercucuran. Tapi Pangeran saya, kalau bikin sambel minimal sepuluh cabe rawit merah ditambah lima cabe merah keriting yang puedeeesss, hanya dengan tambahan garam dan sedikit terasi udang. Itu baru mantap, katanya.

Kadang mencium aroma sambalnya saja saya sudah mabok, apalagi kalau berani mencoba mencicipi. Alamat lidah saya jadi seperti terbakar rasanya. Boro-boro menambah selera, yang ada malahan dunia jadi banjir airmata saking pedasnya...haaahh...

Lain Pangeran saya, lain lagi ibu saya, yang ahli membuat sambal dengan gorengan udang. Cabe merah ditambah garam dan jeruk sambal, diadon dengan udang goreng besar...hmm...rasanya bikin air liur menetes dan tanpa sadar kita pun terus menambah porsi nasi lagi...hehehe...Sambal ini, walaupun resepnya sudah diwariskan kepada saya, tapi entah kenapa kalau saya yang membuatnya rasanya kurang mantap. Ada ‘roh’ yang tidak terbawa. Maklum sajalah...sebagai penikmat, ya lebih enak kalau ibu yang mengolah dan menyajikannya...hiks hiks..

Sementara itu, ayah saya, kurang suka sambal yang pedas-pedas. Sambal beliau dulu hanya cabe merah, garam, gula jawa sedikit, terasi sedikit. Kadang ditambahi tomat matang. Jadi sambalnya itu agak manis gurih rasanya. Dan sambal ini biasanya dipadu dengan sayur lodeh dan tempe bacem ala Jogya, yang moaaaniiiisss citarasanya...(ini hebatnya ayah saya, walau sudah puluhan tahun di Sumatera, tapi urusan tempe bacem tetap rasa Jogya asli...heh hehe...).

Jadi boleh dibayangkan, kalau kami berempat makan bareng, akan ada empat macam sambal. Setiap orang punya sambal favorit. Dan masing-masing sudah nikmat dengan sambal kesukaannya untuk menemani hidangan yang disantap dengan lauk-pauk lainnya. Itu bisa lebih ramai lagi kalau kami sekeluarga makan bersama...Bisa-bisa lebih banyak sambalnya daripada lauk-pauknya...hmm...



Ngomong-ngomong soal sambal, di Indonesia ini memang terkenal dengan aneka sambal sebagai padanan hidangan. Setiap daerah memiliki satu atau dua jenis sambal untuk hidangan yang berbeda. Dari mulai sambal uleg sederhana yang terdiri dari cabe merah atau cabe rawit plus garam saja, sampai sambal yang rumit dengan tambahan terasi, petis, tomat, atau buah-buah semacam gandaria, mangga, buah buni, buah ceremai, daun jeruk purut, jeruk nipis dan sebagainya.

Itu belum termasuk aneka sambal kecap, dengan berbagai merek kecap pula. Kecap asin, kecap manis, kecap ikan. Lihat saja, untuk makanan ikan bakar ala Manado , Makassar atau Kendari, ada sambal kecap yang khusus. Ikan bakar yang polos itu baru nikmat kalau dibaluri dengan sambal cabe rawit yang pedasnya menggigit-gigit lidah. 

Cerita soal sambal kecap untuk hidangan ikan ini , saya punya satu pengalaman tak terlupakan ketika diundang makan di sebuah kunjungan kerja di Kendari. Melihat ikan sejenis cakalang yang besarnya kurang lebih 50 cm terbujur di atas piring saji , saya sudah kelenger. Nyaris hilang selera. Jadi sayapun hanya mengambil sedikit saja. Tetapi ketika saya sudah mencicipi ikan dengan sambalnya... eeeh...mendadak nafsu makan saya meningkat. Dan jadilah saya mengambil lagi ikannya... tambah lagi...tambah lagi...sedikit lagi...sampai akhirnya saya sakaw ikan...hihihi... memalukan !

Ada lagi sambal yang khusus, yaitu sambal dadak untuk ayam goreng tradisional. Di kantin kantor saya dulu, ada pedagang nasi pecel ayam yang sambalnya luar biasa enak. Sambal segar yang diramu dari cabe merah plus tomat dan terasi udang, dimakan begitu saja dengan nasi panas, tempe goreng dan tahu sudah nikmat luar biasa. Apalagi kalau ditambah dengan ayam goreng atau ikan goreng yang warnanya agak kehitam-hitaman...aachhh...lupa deh sama urusan minyak goreng bekas dan karsinogen. Sambal pecel itu bener-bener bikin selera meningkat dua tiga kali lipat...hahahaha...



Bila dilihat betapa orang Indonesia sudah menyatu dengan sambal, tidak heran kalau ke mana pun kita pergi, kita selalu mencari cabe dan sambal untuk menemani hidangan makanan. Masih beruntung kalau perjalanan kita berada di wilayah Indonesia. Seminimalnya fasilitas penyediaan makanan, masih ada pasar yang menjual cabe segar atau warung yang menjual cabe dalam kemasan botolan atau sachet. Tapiiiii...kalau kita berkesempatan ke luar negeri, apalagi negara-negara Eropa, maka urusan cabe dan sambal ini bisa menjadi urusan yang krusial dan tidak bisa tersedia seketika. Padahal kita tahu, hampir semua makanan mereka kurang tajam citarasanya. Rasa asinnya kurang, rasa manisnya kurang, rasa asamnya kurang...Apalagi untuk rasa pedas. Mustahil banget...

Jadi untuk memanjakan lidah sendiri, dan untuk tetap bisa bertahan hidup di dunia tanpa rasa pedas itu, kitalah yang harus kreatif. Sedia payung sebelum hujan. Sedia sambal sebelum makan...hmmm...Saya pernah punya pengalaman, ketika berkesempatan jalan-jalan ke luar negeri. Sesuai dengan pesan-pesan sahabat pecinta sambal, yang pertama saya ingat adalah membawa sambal yang sudah dimasukkan ke dalam sachet. Ini agak lebih mudah packingnya, dan untuk menghindari pemeriksaan imigrasi di bandara luar negeri. Agar aman, sambal cocol dalam kemasan sachet itu saya sebar di antara baju-baju, dan diselipkan juga diantara buku-buku yang dibawa...hihihi...

Maklum, namanya selera lidah orang Indonesia ini, mana bisa makan ayam goreng atau kentang french fries tanpa sambel cocol. Bahkan ketika kita sudah go internasional dan menyantap hidangan beef atau chicken steak, pizza, spaghetti dan lasagna di resto berskala internasional pun tetap saja jimat sambal itu harus menemani...Ibaratnya, nggak rame kalau nggak ada sambalnya... hehehehe...



Menyimak pentingnya sambal dalam jajaran kuliner dan selera orang Indonesia saya jadi merenung.

Sambal atau sambel memang hanya gerusan atau sekedar berupa potongan-potongan aneka cabe. Tapi tanpa kehadirannya, makanan yang lezat cita rasanya pun akan kurang ‘nendang’ dan kurang gereget .

Sambal sederhana itu seperti menggigit lidah, namun membuat semangat kita jadi melimpah. Di balik rasa yang ngos-ngosan itu, ada gairah yang muncul dan menambah kenikmatan makan.

Hidup kita pun membutuhkan sambal juga. Sedikit pedas yang menggigit dan menyengat, membuat kita agak tersentak. Dan hasilnya, kita menjadi lebih bersemangat. Kalau hidup biasa-biasa saja, lama-lama kita akan bosan. Kehadiran sambal, yang sedikit, akan memberi warna, dan membuat kita bisa menikmati rasa yang lebih kaya. Sambal, ibaratnya adalah variasi dalam hidup. Asalkan kita bisa mengendalikan diri, kehadiran sambal tidak akan membuat kita mules atau sakit perut. 

Kita memang perlu warna. Kita perlu sentakan. Kita perlu gereget. Sehingga jadi penasaran dan penuh semangat. Kita perlu sambal. Agar hidup lebih semarak dan penuh dinamika. Setujukah ?

Horeeee...Hidup sambal...uhuuuyyy.....




Jakarta, 27 Desember 2009-12-27
Salam hangat yang menyengat,



Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk my Pangeran Remote Control yang menjadi inspirasi tulisan ini...juga Budhe Iskandar di Bandung, yang memperkenalkan sambel penyet tempe yang jadi favorit hingga sekarang, juga sahabatku dulu Pedagang Cabe yang suka banget sambel picit...hiii...Thanks juga buat sahabat-sahabat sambal kehidupanku...walaupun pedas menggigit, kalian membuat hidup ini menjadi meriah dan penuh warna...





Rabu, 23 Desember 2009

Art-Living Sos 2009 (A-12 The Map is not...a Tutup Cangkir

Dear Allz...

Apakabaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrr..........??? Kok sepi-sepi aja niiih ? Hmm...tau deeeh...udah menjelang akhir tahun, yaaa ?? Udah mulai kendor...hehe... semangatnya tuh udah semangat liburan...semangat packing dan lihat-lihat peta perjalanan. Iya khaan ? Ngaku ajalah...hahaha...sama doooong...saya juga kok...

Namanya kita kerja sepanjang tahun ini, tentu perlu istirahat. Perlu berhenti sejenak, untuk berdiri dan melihat perjalanan yang lalu. Apa yang sudah kita lakukan. Dan selanjutnya...apa yang akan kita lakukan...

Hmmh...sebetulnya gampang kok untuk bisa berjalan ke depan, asalkan kita mau membuka diri. Semua kembali kepada diri kita. Mau terbuka atau tidak. Membuka pikiran...membuka hati...hhmhh..walaupun ini memang sulit sekali. Maklum...kita yang sudah enak dan terbiasa dengan territori kita, dengan wilayah kita...memang sulit beranjak dari titik kenyamanan atau comfort zone yang kita miliki...

Kalau saja kita mau belajar...kepada apa saja yang ada di sekitar kita. Semisal...tutup cangkir...

Ahaaaaa....pssstt...psttt...pasti penasaran, yaaa ? Uhuuuy....jangan lama-lama penasarannya. Nikmati saja hidangan kali ini...Okeeeey ?

Semoga berkenan...dan selamat liburan....


Salam hangat di hari-hari yang sejuk basah,

Ietje S. Guntur


Art-Living Sos 2009
Rabu, 23 Desember 2009
Start : 23/12/2009 9:14:20
Finish : 23/12/2009 11:10:44



The Map is not...a Tutup Cangkir ...


Seandainya saja hidup kita hanya sebesar tutup cangkir,
maka kita pun hanya bisa melihat dunia
sebatas cangkir yang kita tutupi...



Di kantor. Saya sedang membuat secangkir teh untuk sarapan pagi. Hmm...pagi-pagi begini memang enaknya teh panas manis... hehehe...nasgitel...panas legi kentel . Hhmm...ini nih istilah dari Jawa, tempatnya minuman teh manis mengiringi setiap aktivitas. Makan nasi pakai nasgitel, makan baso pakai nasgitel, Cuma nongkrong sambil ngemil juga minumnya pake nasgitel. Serasa nasgitel forever...

Kali ini saya meramu teh nasgitel Nusantara. Tehnya dari perkebunan teh Kajoe Aro Jambi. Manisnya pakai gula batu Probolinggo . Airnya...uhuuuy...air mineral kemasan dari mata air di Sukabumi. Waaawww....mantap...ini baru namanya teh nasgitel lintas budaya...Dari segenap penjuru Indonesia, bersatu di cangkir saya. Yang berwarna putih polos.

Dalam sekejap, teh berwarna coklat bening keemasan itu pun meluncur lancar membasahi tenggorokan saya. Menghanyutkan singkong goreng dan tahu goreng yang tadi sudah lebih dahulu menemani sarapan pagi saya bersama teman-teman dan sahabat. Alhamdulillah...pagi yang indah. Teh yang enak. Persahabatan yang akrab.

Selesai menyeruput teh, sampai tandas , saya mencari penutup cangkirnya. Nah, ini dia...tutup cangkir spesial. Yang hanya cukup untuk menutup mulut cangkir saya yang lebar . Supaya nanti cangkir saya bisa dipakai lagi, dengan menambah air mineral atau teh jilid dua yang biasanya suka menyusul beberapa waktu kemudian.



Ngomong-ngomong soal tutup cangkir ini, memang seperti sebuah benda yang penting dan tidak penting. Boleh ada, boleh tidak. Bila kita menggunakan cangkir sekali pakai, atau sekali saji, barangkali kehadiran tutup cangkir tidak begitu diperlukan. Begitu minuman terhidang, kita nikmati secepatnya, maka cangkir pun bisa dipinggirkan. Tidak perlu isi ulang. Tak perlu ada yang ditutupi lagi.

Namun, bila dalam kondisi seperti saya, ketika cangkir harus dipergunakan berulang-ulang, dengan pengisian yang saling bergantian, maka kehadiran tutup cangkir sangatlah diperlukan. Tidak hanya agar sisa minuman terjaga dari debu atau kemungkinan hewan kecil seperti lalat , nyamuk dan mungkin keluarga kecoa yang salah mendarat , itu juga untuk menjaga pemandangan agar orang lain tidak melihat-lihat isi cangkir yang menjadi territori atau wilayah saya.

Ya, kebetulan sekarang saya sedang meminum teh nasgitel yang menyegarkan itu. Coba kalau saya memasukkan bahan lain ke dalam cangkir...misalnya hhmm...‘obat kuat’ (memangnya masih pengaruh ???) ...ahaaaay...akan terbukalah rahasia saya...hihihi...

Oya...sebelum memiliki tutup cangkir yang sekarang ini, saya sudah mencoba beberapa tutup cangkir. Ada yang terbuat dari bahan stainless steeel, berkilauan dan bunyinya nyaring banget kalau jatuh ke lantai. Ada yang dari plastik murahan yang cukup lebar seperti topi, tapi malah seperti melar di atas mulut cangkir. Dan ada yang dari bahan melamin warna-warni yang meriah.

Pokoknya kalau dari luar, tutup cangkir ini akan kelihatan sebagai perwakilan selera saya. Yang suka berubah mengikuti mood dan suasana hati...maklum khaaan...sebagai orang yang termasuk kategori sumbu pendek, gampang berubah, selera saya pun suka melenceng sewaktu-waktu...hihi...termasuk selera tutup cangkir...



Urusan tentang percangkiran dan tutup cangkir memang tidak berhenti di mulut cangkir saya. Lihat saja...

Seperti fungsinya sebagai penutup pengaruh dari luar, cangkir pun bisa menutup hal-hal yang tersembunyi di dalam cangkir. Tak hanya teh yang nasgitel tadi. Seandainya cangkir saya isi dengan kopi di sore hari, sirup markisa di siang hari, atau bandrek jahe saat cuaca dingin. Itu semua menjadi seperti sebuah territori atau wilayah kekuasaan yang ditutup oleh tutup cangkir.

Orang lain melihat tutup cangkir yang merentang di atas cangkir. Yang melihatnya sebagai sebuah kesatuan hidangan, entah di atas meja, entah di atas nampan. Sebuah dunia luas dengan segala pernak-perniknya. Tutup cangkir hanya melihat dunia ‘di bawahnya’. Dunia, yang menjadi wilayah kekuasaannya. Hmm...iyalah...kekuasaan tutup cangkir, ya memang sebatas itu. 

Seandainya cangkir hanya berisi nasgitel, maka tutup cangkir melihat dunia hanya berisi teh nasgitel. Kalau cangkir hanya berisi kopi atau bandrek jahe, maka tutup cangkir pun hanya melihat dunia sebatas kopi dan bandrek jahe. Kan jarang-jarang ada orang yang memasukkan paku, beling , biji nangka atau bahkan peta dunia ke dalam cangkir yang imut itu...hiks hiks...

Jadi dunia tutup cangkir, ya terbatas pada dunia cangkir serta isinya. Kecuali...ya, kecuali tutup cangkir mau melihat ke atas, dan terbalik dari tempatnya...



Melihat tutup cangkir yang menutupi Si Cangkir Putih , saya merenung.

Seandainya...seandainya saja niiiih....kita ini seperti tutup cangkir. Apa yang terjadi ? Menurut beberapa ahli, the map is not a territory....yang artinya, dunia ini tak selebar daun kelor. Dunia ini sangat luas. Namun yang kita ketahui hanya sebagian kecilnya. Yang kita kuasai, hanya sebesar noktah atau titik di daun talas.

Konon pula, seandainya dunia kita hanya sebesar tutup cangkir. Kita hanya tahu isi cangkir. Dan itu pun masih tergantung dari bagaimana kita mengisi cangkir itu dengan bermacam-macam minuman atau isian. Keterbatasan luas dan kedalaman cangkir, membuat Si Tutup Cangkir pun akan terbatas rentang pemandangannya. Dan akan terbatas pula territorinya.

Kalau itu yang terjadi...seperti Si Tutup Cangkir yang cukup puas dengan hanya menutup mulut cangkir dan melihat dunia di bawahnya, kita pun tidak akan pernah berkembang. Namun...kita tentu berbeda dengan si Tutup Cangkir yang dunianya sebesar petanya. Kita punya keleluasaan dan kebebasan untuk menebar pandangan ke segenap penjuru angin. Mencari ilmu dan pengalaman dari banyak situasi di sekitar kita.

Kita bisa menambah wawasan, walaupun dunia kita terbatas. Kita dapat melihat langit yang terbentang di atas langit, dan memandang jauh ke depan. Ke delapan penjuru angin.

Seandainya saja kita mau...Barangkali....kita bisa belajar dari tutup cangkir saya ini...bahwa dunia tak selebar tutup cangkir...bahwa the map is not a tutup cangkir... huehehehehe....

♥♥♥

Jakarta, 23 Desember 2009

Salam hangat seluas dunia tanpa batas,


Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks buat sahabat-sahabatku....Nonce (wk wk wk wk...), Adith ( masih banyak territori lain yaakkk ) , Kun (hayooo...mo ngomong apa lagi ?) , Ary ( inget cerita tutup gelas jaman dulu...hihihi...ini turunannya)...dan juga Kang Asep, Mas Krishnamurti, Mas Harry, serta Pakdhe Djoko-ku...Tutup Cangkir memang Cuma sebuah benda...tapi dia bisa membuat perbincangan kita jadi meluber seperti busa cappucino di cangkir yang penuh isinya...huehehehehe....

Minggu, 20 Desember 2009

Art-Living Sos 2009 (A-12 Lantas Lintas Tas...

Dear Allz...

Hari libur niiiih...lagi ngapain ? Lagi leha-leha...atau lagi mempersiapkan acara akhir tahun ? Waawww...asyik tuh...Akhir tahun, selain sebagai waktu mengevaluasi diri, juga waktunya untuk memberi imbalan atas hasil kerja sepanjang tahun.

Banyak cara yang bisa kita lakukan dalam proses evaluasi diri ini. Bisa dengan menyepi di atas gunung, atau menyelam di keheningan laut. Bisa juga dengan berkumpul bersama keluarga. Atau duduk saja sendiri di balik jendela sambil melihat ke langit biru...memandang awan-awan yang berarak sambil bertanya , “Dari mana mau kemana, Sahabat Awan ?”

Seperti awan yang berarak, meniti sebuah perjalanan. Hidup kita juga adalah sebuah perjalanan. Keberhasilan adalah tujuan. Dan tujuan itu sangat penting agar kita fokus dalam hidup ini. Tetapi proses untuk mencapai hasil juga penting. Kita hidup dan berkembang setiap hari. Kita hidup dan berinteraksi dengan berbagai orang setiap hari. Dan itulah yang membuat kita semakin matang. Membuat kepribadian kita semakin kuat dan mantap.

Oya...saya jadi mau berbagi cerita niiih...tentang sebuah sisi kepribadian. Yang dapat dilihat dari ‘apa yang kita pilih’. Di antaranya adalah ‘tas’....hahaha...iya, tas...penasaran ?

Hmmhh...supaya nggak penasaran berkelanjutan...silakan menikmati kiriman saya kali ini...
Selamat berlibur...selamat mengevaluasi diri...

Semoga berkenan,

Salam sayang yang selalu hangaaaaat....

Ietje S. Guntur


Art-Living Sos 2009 (A-12
Minggu, 20 Desember 2009
Start : 20/12/2009 6:25:00
Finish : 20/12/2009 8:47:52

LANTAS-LINTAS TAS....

Menjelang akhir tahun. Saya ingin memberi hadiah untuk...diri saya sendiri...hihihi...Ya, iyalah...sepanjang tahun saya bekerja. Boleh dong memberikan sesuatu untuk diri saya sendiri...hmmmm....

Saya sedang berpikir-pikir...hadiah apa, ya yang akan saya berikan ? Saya suka arloji, tapi arloji yang tahun kemaren dan kemarennya lagi masih ada. Sepatu ? Hm...dulu sih saya memang agak-agak sensitif kalau melihat sepatu...(nanti saya ceritakan ya..), tapi sekarang seiring dengan pertambahan usia ( lho apa hubungannya ?), saya jadi harus lebih selektif dan lebih suka pakai sepatu yang nyaman dipakai saja. Bukan yang asal indah dipandang. Oke..stop ! Hadiah apa lagi ya ?..ting tring ting....Saya suka tas ! Ahaaaa....tas...tas...tas...

Pssttt....jadilah...Saya membeli sebuah tas ! Ukuran besar. Warna merah ! Beeeughhh...merah. It’s not my color...not my favorite color. Tapi gak apa –apa khan ? Namanya juga hadiah...hahaha...

Setelah pulang ke rumah, tas ini saya bungkus baik-baik. Nanti...pada saatnya akan saya buka, sambil saya teriakkan ,” Horeeeee....aku dapat hadiah !”...hihi...ini memang kebiasaan saya. Ketika memberikan hadiah untuk diri saya sendiri. Seperti mendapat dari orang lain, tetapi yang ini ada lucu-lucunya dan lebih asyik, karena saya yang memilih hadiahnya sendiri...hehehe...

Ngomong-ngomong soal tas...Waaah...jadi malu hati juga. Bukan apa-apa...saya ini termasuk penggemar berat tas. Sangat berat. Dan sudah boleh dimasukkan ke dalam daftar tas-mania. Penggila tas. Dan saking ‘gila’nya, saya doyan segala tas. Dari yang harganya...hmm...lumayan mahal dibandingkan gaji bulanan saya ( dalam hal harga saya masih agak rasional)...sampai tas kelas kaki lima Malioboro yang harganya Cuma seribu sampai lima ribu rupiah...ahaa...dan semuanya akan saya pakai, sesuai dengan mood saya. Bukan hanya tas yang dibeli. Kalau perlu, saya buat sendiri. Jahit sendiri. Dari bahan katun yang tebal. Dengan model yang tentunya saya rancang sesuai dengan kebutuhan.

Nah, ini dia...tas saya memang hampir seluruhnya disesuaikan dengan kebutuhan ! Jadi kalau suami saya, Pangeran Remote Control, sudah panik melihat tas saya yang pabalatak ( berceceran – bahasa Sunda)...di seluruh penjuru rumah (kecuali dapur dan kamar mandi), saya bisa mempertanggungjawabkannya.

“Beli tas lagi ?” begitu biasanya dia membuka pertanyaan dengan pandangan tidak percaya, pada saat saya membuka bungkusan dari toko.

“Gini, lho Yah...tas ini buat bawa buku yang besar-besar. Kalau yang ini kan warnanya ungu, aku suka warna ungu. Jarang lho tas warna ungu, biar cocok sama baju yang ungu itu. Hmm...yang ini buat kalau jalan sebentar ke mal, nggak terlalu besar kan. Cukup pas dompet sama hape saja. Ohh...yang itu ? Kan kalau aku ngajar perlu tas yang bisa muat macam-macam, jadi sekali angkut bisa terbawa semua !” Saya memberi penjelasan dan argumentasi, yang standar.

 “Kalau yang ini kan bahannya katun, jadi nggak sayang kalau dibawa belanja ke pasar. Tuh, isinya besar, bisa buat menyimpan macam-macam. Yang putih itu ? Lha...lihat aja...lacinya banyak. Lagian kan aku jarang beli tas warna putih. Ini pas lagi diskon. Jadi nggak apa-apalah !” Saya menguatkan lagi...dengan alasan yang semakin tidak jelas...hihi...

Pangeran Remote Control biasanya Cuma bisa menatap nanar. Gemas. Karena dialah nanti yang harus mempersiapkan lemari atau rak untuk menyimpannya.


Saya sendiri tidak tahu sejak kapan saya jadi ‘penggila’ tas. Mungkin ini ada gen turunan juga, dari ibu saya yang kreatif itu...(piiiiis ya, Ma...hi hi). Dari jaman SD, ketika ayah saya membelikan tas sekolah wajib yang terbuat dari kulit berwarna hitam , yang kuat dan tahan lama, eeeh...ibu saya malah mengiming-imingi cara membuat tas dari plastik, rotan anyaman, dan kain sisa baju. Dan ternyata, tas buatan sendiri yang bentuknya beraneka itu asyik juga dibawa ke sekolah... hehehe...karena beda dari yang lain.

Jadilah...setelah itu, saya pun mulai suka dengan tas yang beraneka. Untuk sekolah, ya mau tidak mau saya terpaksa ikut pakem ayah saya. Sekolah adalah tempat yang serius. Jadi tas sekolah pun harus disesuaikan. Tas sekolah dari kulit, atau tas model kantoran echolac yang jaman dulu itu nge-trend banget. Hanya sesekali, ketika sudah SMA, saya berani pakai tas dari bahan jins dan ransel model tentara yang sudah afkir . Tapi di luar sekolah, saya pun membuat tas sendiri. Maklum, jaman itu belum banyak tas untuk ABG dan remaja seperti saya. Yang dijual adalah tas-tas gantung model tante-tante...hihi...mana cocok dengan kepribadian saya yang gagah jelita...

Memang, tas tidak bisa dilepaskan dari kepribadian ! Ini saya pelajari kemudian. Selain ukuran dan model tas, isi tas adalah cermin dari kepribadian kita.

Hmm...makanya...tas saya hampir selalu harus besaaaaaaaaarrrrr....supaya banyak isinya. Atau, kalau saya pakai tas kecil, pasti ada pendampingnya yang besaaaaaarrrr dan muat segala macam.

Coba saja dicermati.

Perhatikan, para wanita dan tasnya. Mulai dari ukuran dan modelnya. Ada yang suka model klasik dan isinya berukuran sedang. Biasanya orangnya juga tidak mau mengambil resiko besar. Hidupnya tenang, terarah, fokus, dan praktis. Isi tasnya biasanya juga selektif. Hanya yang penting dan perlu saja. Cukup untuk kebutuhannya sendiri, dan tidak merepotkan orang lain. Mereka juga lebih suka memilih warna-warna klasik, hitam atau coklat. Jarang sekali orang seperti ini akan nekad memilih tas warna merah, pink, apalagi ungu seperti saya.

Ada juga wanita yang lebih suka pakai tas kecil. Cukup memuat dompet kecil dan lipstik. Orangnya juga agak hati-hati, tidak gegabah. Tapi sayangnya kadang-kadang merepotkan orang lain. Karena dia lupa (atau malas) membawa sisir, jadi pinjam sisir orang lain. Lupa bawa bedak, jadi pinjam bedak orang lain. Lupa bawa tisu, jadi minta tisu orang lain. Yang paling aneh, suka lupa bawa uang kecil...hik hik..sehingga sering minta ditraktir orang lain...

Ada lagi...dan sekarang agak banyak, adalah wanita yang suka pakai tas besaaaaarrr...yang dua kali lipat badannya...hehehehe....Selain warna klasik, hitam , coklat, putih, abu-abu, juga suka warna-warni menyolok. Merah, ungu, pink, hijau ngejreng, kuning cerah dan warna permen lainnya. Isi tasnya...coba cek. Paling tidak ada 10 jenis isi, yang penting dan tidak penting bagi dirinya. Tapi selalu ada, karena mereka berprinsip ,” Mana tau ada orang lain yang membutuhkan !”

Jadi jangan heran, di dalam tas yang super besar ini, selain ada isi standar seperti dompet ( yang kadang tak kalah besarnya), lipstik, bedak, tisu, sisir. Juga akan mudah ditemui perabotan lain seperti gunting kuku (sebetulnya seberapa penting itu selalu ada di tas ?), obat-obatan (padahal belum tentu dia sakit kepala atau diare tiap hari), minyak gosok atau balsem, permen, coklat, cemilan, alat tulis (kayaknya nggak enak kalau tas tanpa pulpen dan secarik kertas), kacamata hitam ( memangnya mau kemana ?), scarf atau syal sutera (buat jaga-jaga kalau dingin atau untuk penutup rambut), gunting kecil , peniti, karet, korek api (bahkan bagi yang tidak merokok, karena korek api kan serba guna), pelembab kulit ( yeee...kenapa nggak sekalian di rumah, ya), parfum botol kecil ( ya untuk jaga penampilann dong), dan banyak lagi yang tersimpan di sana tanpa jelas maksud dan tujuannya... selain untuk meramaikan suasana...ha ha ha...

Nah, selain dari ukurannya bisa juga dilihat wanita yang membeli tas karena model tertentu dan mereknya.Wanita yang membeli tas ini bukan karena fungsi muatannya, tetapi fungsi sosialnya. 
Mereka membeli tas dengan merek dan model tertentu, untuk menunjukkan kelas sosialnya. Dan memang, secara ekonomi dan sosial mereka mampu atau dimampu-mampukan. Kelas sosial ini biasanya juga menjadi trendsetter, yang banyak pengikutnya. Itu juga sebabnya, jangan heran, kalau para follower ini akan rela memaksakan diri membeli tas bermerek tertentu agar sesuai dengan ‘tokoh’ panutannya. Paling tidak , ada rasa aman bahwa dia sudah bisa menyamai orang-orang yang dikaguminya. Bahkan, bila tidak mampu membeli dengan merek asli, mereka pun tidak sungkan membeli merek kelas dua, atau kalau di Pasar Mangga Dua Jakarta, dikenal dengan istilah KW 2, yang harganya pun sebetulnya masih di atas normal atau kurang normal...

Bila dikaitkan antara kepribadian dengan tas, saya setuju banget. Saya termasuk orang yang memiliki kepribadian ekstrovert, heboh, rada nekad...dan itu terlihat dari ukuran dan warna tas yang ‘saya banget’.

Lihat saja...dari segi ukuran tas, sudah pasti masuk ke dalam kategori pembeli tas super besar , yang kadang tidak seimbang dengan tubuh saya . Selain yang sudah disebutkan tadi, saya masih menambahkan lagi. Kamera ( ini wajib, dan tiap hari pasti saya bawa...untuk jaga-jaga...mana tau ada moment yang hanya sekali terjadi). Buku bacaan ( apa saja, yang sedang saya baca... setiap hari). Flashdisk (ini seperti dompet kedua buat saya...mana tau bisa kerja di jalan...ada ide yang bisa ditulis kalau saya sedang tidak bawa laptop). Dan...bila disesuaikan dengan kondisi... tentunya akan bertambah lagi...hehehehe....

Dan untuk warna....kan tadi saya sudah sebutkan, bahwa saya tidak membatasi warna tas saya. Warna apa saja, asal sesuai dengan mood. Yang terbanyak memang warna hitam, coklat dan ungu...hihi...tapi ada juga warna lain. Kecuali kuning ! Saya belum sanggup melihat kilauan warnanya, jadi yaaa...belum ada alasan untuk membelinya dan memilikinya.

Oya...tambahan lagi. Saya bukan pembeli tas yang brand-minded. Walaupun saya sudah kelayapan di pusat tas paling keren di dunia, Milan dan Paris, tapi saya tidak tergiur melihat pajangan tas di sana. Selain harganya yang masih belum cukup waras untuk dompet saya, modelnya juga kebanyakan ‘biasa-biasa’ saja. Saya masih cukup rasional untuk membandingkan, satu tas branded itu bisa dapat selusin tas dengan segala bahan dan ukuran di Bandung. Bahkan saat menghadiri sebuah kongres internasional di Berlin, dengan bangga saya memakai tas kain bersulam kristik buatan Bukittinggi...hmm...Buat saya, tas adalah ekspresi diri, untuk dinikmati sendiri...bukan untuk ajang pameran bagi orang lain...

Melihat banyaknya model tas, warnanya, serta mereknya, pasti para pihak sebelah wanita...kaum Pangeran Remote Control akan terheran-heran. Buat apa tas sebanyak itu ? Sementara para pria gagah ini Cuma butuh satu atau dua tas, yang kuat dan awet tanpa kenal peralihan jaman.

Pak...bro...jangan heran ! Justru ini peluang pasar. Wanita yang sehat, jarang sekali tidak tergoda untuk membeli tas lagi...dan lagi...dan lagi...walaupun lemarinya sudah penuh berjejal dengan tas segala model....he he he...

Kenapa ? Ya, karena itu tadi...tas adalah cermin kepribadian wanita... hiiiksss....

Sebetulnya...kembali kepada tas, kembali kepada diri kita sendiri .
Boleh saja kita mengikuti mode dan mengoleksi tas segala model dan merek, tetapi tetap harus kita perhatikan...bahwa kita harus yakin dengan pilihan kita...bahwa kita harus yakin dengan kemampuan kita...dan bahwa kita harus yakin, apa pun keputusan kita adalah bagian dari kepribadian kita yang akan dengan mudah dibaca oleh orang lain...

Jadi masih mau beli atau membuat tas sendiri ? Why not...!!! Let’s go madame....hehehehe...



Jakarta, 20 Desember 2009
Salam hangat yang ceria...

Ietje S. Guntur

Special note :

Thanks untuk teman dan sahabat-sahabat tas-mania...Kenyot, Sis Joe, Lisa, dan sangat spesial ...thanks juga buat Kuri yang menemani saat aku sakit kepala dan membutuhkan sebuah tas sebagai obatnya...hihi...juga mbak Irma, yang Cuma bisa geleng-geleng kepala dengan hadiah tas untuk diri sendiri...hahahaha...Oya, thanks buat My Pangeran Remote Control, yang rela berbagi lemari demi tumpukan tas-tas istimewa ini...dan untuk si Cantik yang sudah ketularan penyakit ‘tas-mania’ ...hmm...

Minggu, 06 Desember 2009

Art-Living Sos 2009 (A-12 Kami bukan hebat...

Dear Allz...
Apakabar ? Hari Minggu niiih...hari pelepasan energi dan rutinitas selama seminggu. Iya...ada yang menyebut hari ini sebagai hari body, mind and soul...Apa pun namanya, kita memang perlu sekali-sekali lepas dari rutinitas. Sesuatu yang rutin kadang membosankan, dan membuat kita menjadi malas...halaaaah...
Dengan beristirahat sejenak, berhenti satu detik, dan melihat apa yang telah kita lakukan, akan memberi kita kesempatan untuk mengatur langkah lagi. Dan langkah berikutnya akan lebih fokus, lebih terarah...dan dengan semangat yang lebih segar.
Kesegaran semangat inilah yang perlu kita jaga dan kita pelihara...sehingga kita tetap memiliki arah dalam mencapai tujuan. Semangat ini sangat perlu, terutama dalam pengembangan diri. Tanpa semangat, kita seperti kerupuk yang melempem... tidak kriuk-kriuk lagi...
Semangat ini juga kita perlukan di dalam menghadapi hidup ini. Sebagaimana kita ketahui, hidup bukanlah sesuatu yang instan atau dadakan. Perlu latihan, yang terus menerus...agar kita mencapai sebuah performance....
Eeeh...saya mau berbagi cerita sedikit tentang latihan ini...mau, ya ? Semoga berkenan....
Selamat berlibur...selamat menikmati...

Jakarta, 6 Desember 2009
Salam sayang,

Ietje S. Guntur

Art-Living Sos 2009 (A-12
Bandung, Saturday, December 05, 2009
Start : 12/5/2009 5:26:24 PM
Finish : 06/12/2009 11:18:59


KAMI BUKAN HEBAT, TAPI TERLATIH

Pagi-pagi. Dalam perjalanan ke kantor. Seperti biasa, saya suka celamitan. Lihat kiri, lihat kanan. Memperhatikan pedagang makanan di sepanjang jalan. Dan kadang-kadang mampir untuk membelinya…hehehe…melengkapi buntelan bekal yang setiap hari saya bawa dari rumah. Jadi jangan heran, kalau setiap hari, saya seperti orang pergi camping…buntelannya satu tas penuh…sarapan pagi, makan siang, dan cemilan…hihi…Masih ditambah dengan kudapan dari pinggir jalan…alamaakk…
Seperti banyak pagi yang lain, kali itu pun saya tergoda untuk membeli sebungkus gorengan. Khususnya singkong goreng mekrok…singkong yang digoreng hingga pecah..dan rasanya empuk gurih. Banyak pedagang gorengan yang menjajakan singkong model mekrok alias mekar ini, tetapi hanya satu dua pedagang yang dapat menggorengnya dengan tingkat kemekaran dan rasa empuk yang enak. Salah satu di antaranya adalah pedagang gorengan langganan saya ini.
Lalu, setelah membuka jendela kaca mobil, sambil menjulurkan leher saya memesan beberapa macam gorengan.”Pisang goreng dua, ubi dua, tahu isi dua, sisanya singkong ya, Bang.” Saya memberikan selembar uang sepuluh ribuan.
“Tidak pakai tempe,Bu ? Atau cireng ?” Si Abang , yang sekarang punya asisten marketing, menawarkan. Cireng itu adalah aci goreng, yaitu tepung sagu yang dicampur dengan bumbu dan daun bawang, lalu digoreng. Warnanya putih, rasanya kenyal seperti karet goreng…hehehehe…tapi uenaaakkss…
“Nggak deh, Bang…tempenye tipis banget…kayak kertas. Jadi nggak rasa tempe.” Saya mengomentari. Ya, iyalah…tempe diiris setipis kertas…rasanya Cuma tepung sama minyak…duuuh…bisa hilang selera kalau begitu. Padahal saya kan penggemar tempe, bukan tepung goreng !
Usai membayar dan mendapatkan sebungkus gorengan yang panas, mata saya terpaku pada sebaris tulisan, yang tertera di gerobak si Abang Gorengan. Di situ tertulis dengan huruf-huruf yang sederhana,” Kami bukan hebat, tapi terlatih”. Woowww…

Seketika saya termenung.
Sebaris kata yang sederhana, tapi sangat menyentuh. Mereka , entah memungutnya dari mana, tapi membuktikan bahwa latihan memang lebih perlu dibandingkan kehebatan. Dengan latihan, barangkali latihan menggoreng singkong mekrok, membuat rasa singkong mereka berbeda dibandingkan singkong di pedagang gorengan lainnya. Hmm…
Saya lalu teringat kepada pekerjaan saya di kantor. Saya berlatar belakang non ekonomi, bahkan dari jaman dulu saya kurang suka bekerja dengan angka…(seperti saya selalu katakan, bahwa angka hanya berarti bagi saya pada saat tanggal gajian dan diskonan di toko…hihihi…). Namun, berkat latihan bertahun-tahun, sekarang saya jadi terbiasa bekerja dengan angka. Bahkan saya mampu membuat sistem manajemen keuangan dan nomor perkiraan yang sesuai kebutuhan pekerjaan saya…eheem…plok plok plok…
Bukan hanya saya. Anak buah saya, yang semula hanya berlatarbelakang pendidikan SMA, berdasarkan latihan bertahun-tahun, sekarang sudah mahir membaca segala peraturan, lengkap dengan analisis dan interpretasinya. Dibandingkan dengan seorang pegawai yang baru masuk, membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari dan memahami beberapa segi dari peraturan pemerintah yang kadang agak njlimet dan penuh dengan bahasa-bahasa baku yang jarang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Masih ada lagi. Asisten Kitchen Cabinet saya dulu. Ketika pertama kali bekerja di rumah saya, dia hanya bisa memasak air. Sungguh ! Saya minta memasak sayur lodeh, dengan resep seadanya, jadinya seperti rebusan air cucian piring...hiiikss...!! Diminta membuat telor mata sapi, dia bingung...dan membuat telor berenang di dalam minyak goreng yang hampir memenuhi seperempat wajan. Tetapi dalam waktu kurang dari 2 tahun, dia menjadi kesayangan kami semua. Masakannya enak, bahkan untuk anak saya yang sangat rewel dalam soal selera makanan. Jadi dengan kemauan dan latihan yang berulang dan sistematis, seorang yang tadinya tidak bisa masak, bisa menjadi seorang juru masak yang handal.
Satu lagi. Supir saya sekarang. Semula dia adalah asisten rumahtangga. Tugasnya menyiram dan membereskan tanaman, memberi makan burung-burung peliharaan, kemudian meningkat mengumpulkan dan membuat file dokumen suami, mencatat appointment suami dengan relasinya, belanja kebutuhan barang-barang kantor, dan belakangan belajar menyetir mobil. Hasilnya...sekarang dia menjadi ajudan utama suami, merangkap supir yang sudah tahu kemana harus menuju tanpa perlu diberi tahu secara detail. Untuk urusan menyetir mobil, suami saya termasuk orang yang sangat cerewet, dan kali ini kami beruntung memiliki seseorang yang sangat paham bagaimana caranya membawa kendaraan dengan nyaman dan aman.

Itu baru sebagian cerita dan pengalaman saya dan orang-orang di sekitar saya. Masih banyak lagi pengalaman dari banyak orang yang bisa menjadi inspirasi. 
Salah satu yang saya ingat juga adalah para relawan medis dari berbagai negara, yang saya lihat membantu para korban bencana alam di Aceh dan Jogyakarta . Mereka begitu cepat dan cekatan. Membuat saya terkagum-kagum. Tapi setelah saya berbincang dengan mereka, sambil tersenyum mereka berkata ,”Kami terlatih !” Itu saja.
Masih ada lagi. Petugas pemadam kebakaran. Dengan peralatan yang rumit, dan kadang medan yang tidak kondusif, mereka tetap dapat bekerja dengan cepat dan efisien. Mampu mengelola air untuk memadamkan api. Mampu mengatasi situasi panik, sehingga dapat menguasai dan melokalisir agar bencana tidak menjadi lebih besar. Sungguh, mereka adalah orang yang telah terlatih dengan baik.
Oya satu lagi...orang-orang yang tak pernah lepas dari latihan. Olahragawan. Tanpa latihan, tidak ada seorang pun olahragawan yang mampu berlaga di medan pertarungan. Bahkan porsi latihan seorang olahragawan tidak main-main. Bukan hanya mengelola otot dan otak, tetapi mereka juga harus melatih porsi makan, porsi tidur, porsi disiplin...dan banyak lagi. Itu semua agar mereka memiliki tingkat reaksi yang cepat, dan berada di atas rata-rata orang lain. Untuk memiliki itu semualah mereka harus berlatih..berlatih...dan berlatih.
Berlatih. Terlatih. Berarti ada sebuah proses yang panjang sehingga mereka memiliki performance yang unggul dan berbeda dibandingkan dengan yang lain.
Hanya berkat latihan yang teratur dan disiplin. Serta fokus ke arah tujuan. Tidak mencla-mencle. Tidak mudah menyerah. Tidak pernah puas dengan kondisi yang ada sekarang.
Hebat, adalah salah satu hasil. Yang utama adalah performance. Bagaimana sebuah performance berkembang dari waktu ke waktu, dengan improvisasi dan kreativitas, dengan kekuatan penuh dan pengerahan konsentrasi. Sehingga suatu saat menjadi hebat !
Tanpa latihan, tidak ada kehebatan yang diperoleh. Sama seperti seorang penari, harus selalu latihan. Tidak ada penari handal yang instan. Perlu pengenalan lagu, perlu pengenalan komposisi, perlu mengetahui kelebihan dan kekurangan diri, dan perlu latihan untuk keserasian yang menyeluruh sehingga tarian itu menjadi hidup dibawakan oleh seorang penari yang hebat. Sama juga dengan seorang relawan medis yang selalu siap diterjunkan di lapangan. Atau seorang pemadam kebakaran yang memiliki sistematika kerja yang rapi dan efisien. Atau seorang olahragawan yang berprestasi. Itulah sebuah performance.
Latihan adalah bergerak. Latihan adalah disiplin. Latihan adalah kolaborasi dari semua kemampuan dan tuntutan yang ada di luar diri.

Kembali ke pedagang gorengan di pinggir jalan, saya belajar satu hal.
Kalau pedagang gorengan bisa menjadikan latihan sebagai performance yang terus berkembang, kenapa kita tidak ?
Kita bisa belajar dari mana saja. Bahkan dari sepotong singkong goreng mekrok di pinggir jalan.



Jakarta, 6 Desember 2009

Salam hangat, penuh semangat...

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk bapak penjual singkong goreng...thanks juga untuk semua asisten-asisten di rumah yang telah menunjukkan kemampuannya untuk belajar dan berlatih...juga buat Na, Wal, Wes, Daud, BT, Kuri, Kenyot...yang memiliki semangat belajar seperti sepotong singkong mekrok...thanks untuk semua dukungan dan inspirasinya...I proud of you Allz...

Art-Living Sos 2009 (A-12 Kami bukan hebat...

Dear Allz...
Apakabar ? Hari Minggu niiih...hari pelepasan energi dan rutinitas selama seminggu. Iya...ada yang menyebut hari ini sebagai hari body, mind and soul...Apa pun namanya, kita memang perlu sekali-sekali lepas dari rutinitas. Sesuatu yang rutin kadang membosankan, dan membuat kita menjadi malas...halaaaah...
Dengan beristirahat sejenak, berhenti satu detik, dan melihat apa yang telah kita lakukan, akan memberi kita kesempatan untuk mengatur langkah lagi. Dan langkah berikutnya akan lebih fokus, lebih terarah...dan dengan semangat yang lebih segar.
Kesegaran semangat inilah yang perlu kita jaga dan kita pelihara...sehingga kita tetap memiliki arah dalam mencapai tujuan. Semangat ini sangat perlu, terutama dalam pengembangan diri. Tanpa semangat, kita seperti kerupuk yang melempem... tidak kriuk-kriuk lagi...
Semangat ini juga kita perlukan di dalam menghadapi hidup ini. Sebagaimana kita ketahui, hidup bukanlah sesuatu yang instan atau dadakan. Perlu latihan, yang terus menerus...agar kita mencapai sebuah performance....
Eeeh...saya mau berbagi cerita sedikit tentang latihan ini...mau, ya ? Semoga berkenan....
Selamat berlibur...selamat menikmati...

Jakarta, 6 Desember 2009
Salam sayang,

Ietje S. Guntur

Art-Living Sos 2009 (A-12
Bandung, Saturday, December 05, 2009
Start : 12/5/2009 5:26:24 PM
Finish : 06/12/2009 11:18:59


KAMI BUKAN HEBAT, TAPI TERLATIH

Pagi-pagi. Dalam perjalanan ke kantor. Seperti biasa, saya suka celamitan. Lihat kiri, lihat kanan. Memperhatikan pedagang makanan di sepanjang jalan. Dan kadang-kadang mampir untuk membelinya…hehehe…melengkapi buntelan bekal yang setiap hari saya bawa dari rumah. Jadi jangan heran, kalau setiap hari, saya seperti orang pergi camping…buntelannya satu tas penuh…sarapan pagi, makan siang, dan cemilan…hihi…Masih ditambah dengan kudapan dari pinggir jalan…alamaakk…
Seperti banyak pagi yang lain, kali itu pun saya tergoda untuk membeli sebungkus gorengan. Khususnya singkong goreng mekrok…singkong yang digoreng hingga pecah..dan rasanya empuk gurih. Banyak pedagang gorengan yang menjajakan singkong model mekrok alias mekar ini, tetapi hanya satu dua pedagang yang dapat menggorengnya dengan tingkat kemekaran dan rasa empuk yang enak. Salah satu di antaranya adalah pedagang gorengan langganan saya ini.
Lalu, setelah membuka jendela kaca mobil, sambil menjulurkan leher saya memesan beberapa macam gorengan.”Pisang goreng dua, ubi dua, tahu isi dua, sisanya singkong ya, Bang.” Saya memberikan selembar uang sepuluh ribuan.
“Tidak pakai tempe,Bu ? Atau cireng ?” Si Abang , yang sekarang punya asisten marketing, menawarkan. Cireng itu adalah aci goreng, yaitu tepung sagu yang dicampur dengan bumbu dan daun bawang, lalu digoreng. Warnanya putih, rasanya kenyal seperti karet goreng…hehehehe…tapi uenaaakkss…
“Nggak deh, Bang…tempenye tipis banget…kayak kertas. Jadi nggak rasa tempe.” Saya mengomentari. Ya, iyalah…tempe diiris setipis kertas…rasanya Cuma tepung sama minyak…duuuh…bisa hilang selera kalau begitu. Padahal saya kan penggemar tempe, bukan tepung goreng !
Usai membayar dan mendapatkan sebungkus gorengan yang panas, mata saya terpaku pada sebaris tulisan, yang tertera di gerobak si Abang Gorengan. Di situ tertulis dengan huruf-huruf yang sederhana,” Kami bukan hebat, tapi terlatih”. Woowww…

Seketika saya termenung.
Sebaris kata yang sederhana, tapi sangat menyentuh. Mereka , entah memungutnya dari mana, tapi membuktikan bahwa latihan memang lebih perlu dibandingkan kehebatan. Dengan latihan, barangkali latihan menggoreng singkong mekrok, membuat rasa singkong mereka berbeda dibandingkan singkong di pedagang gorengan lainnya. Hmm…
Saya lalu teringat kepada pekerjaan saya di kantor. Saya berlatar belakang non ekonomi, bahkan dari jaman dulu saya kurang suka bekerja dengan angka…(seperti saya selalu katakan, bahwa angka hanya berarti bagi saya pada saat tanggal gajian dan diskonan di toko…hihihi…). Namun, berkat latihan bertahun-tahun, sekarang saya jadi terbiasa bekerja dengan angka. Bahkan saya mampu membuat sistem manajemen keuangan dan nomor perkiraan yang sesuai kebutuhan pekerjaan saya…eheem…plok plok plok…
Bukan hanya saya. Anak buah saya, yang semula hanya berlatarbelakang pendidikan SMA, berdasarkan latihan bertahun-tahun, sekarang sudah mahir membaca segala peraturan, lengkap dengan analisis dan interpretasinya. Dibandingkan dengan seorang pegawai yang baru masuk, membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari dan memahami beberapa segi dari peraturan pemerintah yang kadang agak njlimet dan penuh dengan bahasa-bahasa baku yang jarang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Masih ada lagi. Asisten Kitchen Cabinet saya dulu. Ketika pertama kali bekerja di rumah saya, dia hanya bisa memasak air. Sungguh ! Saya minta memasak sayur lodeh, dengan resep seadanya, jadinya seperti rebusan air cucian piring...hiiikss...!! Diminta membuat telor mata sapi, dia bingung...dan membuat telor berenang di dalam minyak goreng yang hampir memenuhi seperempat wajan. Tetapi dalam waktu kurang dari 2 tahun, dia menjadi kesayangan kami semua. Masakannya enak, bahkan untuk anak saya yang sangat rewel dalam soal selera makanan. Jadi dengan kemauan dan latihan yang berulang dan sistematis, seorang yang tadinya tidak bisa masak, bisa menjadi seorang juru masak yang handal.
Satu lagi. Supir saya sekarang. Semula dia adalah asisten rumahtangga. Tugasnya menyiram dan membereskan tanaman, memberi makan burung-burung peliharaan, kemudian meningkat mengumpulkan dan membuat file dokumen suami, mencatat appointment suami dengan relasinya, belanja kebutuhan barang-barang kantor, dan belakangan belajar menyetir mobil. Hasilnya...sekarang dia menjadi ajudan utama suami, merangkap supir yang sudah tahu kemana harus menuju tanpa perlu diberi tahu secara detail. Untuk urusan menyetir mobil, suami saya termasuk orang yang sangat cerewet, dan kali ini kami beruntung memiliki seseorang yang sangat paham bagaimana caranya membawa kendaraan dengan nyaman dan aman.

Itu baru sebagian cerita dan pengalaman saya dan orang-orang di sekitar saya. Masih banyak lagi pengalaman dari banyak orang yang bisa menjadi inspirasi. 
Salah satu yang saya ingat juga adalah para relawan medis dari berbagai negara, yang saya lihat membantu para korban bencana alam di Aceh dan Jogyakarta . Mereka begitu cepat dan cekatan. Membuat saya terkagum-kagum. Tapi setelah saya berbincang dengan mereka, sambil tersenyum mereka berkata ,”Kami terlatih !” Itu saja.
Masih ada lagi. Petugas pemadam kebakaran. Dengan peralatan yang rumit, dan kadang medan yang tidak kondusif, mereka tetap dapat bekerja dengan cepat dan efisien. Mampu mengelola air untuk memadamkan api. Mampu mengatasi situasi panik, sehingga dapat menguasai dan melokalisir agar bencana tidak menjadi lebih besar. Sungguh, mereka adalah orang yang telah terlatih dengan baik.
Oya satu lagi...orang-orang yang tak pernah lepas dari latihan. Olahragawan. Tanpa latihan, tidak ada seorang pun olahragawan yang mampu berlaga di medan pertarungan. Bahkan porsi latihan seorang olahragawan tidak main-main. Bukan hanya mengelola otot dan otak, tetapi mereka juga harus melatih porsi makan, porsi tidur, porsi disiplin...dan banyak lagi. Itu semua agar mereka memiliki tingkat reaksi yang cepat, dan berada di atas rata-rata orang lain. Untuk memiliki itu semualah mereka harus berlatih..berlatih...dan berlatih.
Berlatih. Terlatih. Berarti ada sebuah proses yang panjang sehingga mereka memiliki performance yang unggul dan berbeda dibandingkan dengan yang lain.
Hanya berkat latihan yang teratur dan disiplin. Serta fokus ke arah tujuan. Tidak mencla-mencle. Tidak mudah menyerah. Tidak pernah puas dengan kondisi yang ada sekarang.
Hebat, adalah salah satu hasil. Yang utama adalah performance. Bagaimana sebuah performance berkembang dari waktu ke waktu, dengan improvisasi dan kreativitas, dengan kekuatan penuh dan pengerahan konsentrasi. Sehingga suatu saat menjadi hebat !
Tanpa latihan, tidak ada kehebatan yang diperoleh. Sama seperti seorang penari, harus selalu latihan. Tidak ada penari handal yang instan. Perlu pengenalan lagu, perlu pengenalan komposisi, perlu mengetahui kelebihan dan kekurangan diri, dan perlu latihan untuk keserasian yang menyeluruh sehingga tarian itu menjadi hidup dibawakan oleh seorang penari yang hebat. Sama juga dengan seorang relawan medis yang selalu siap diterjunkan di lapangan. Atau seorang pemadam kebakaran yang memiliki sistematika kerja yang rapi dan efisien. Atau seorang olahragawan yang berprestasi. Itulah sebuah performance.
Latihan adalah bergerak. Latihan adalah disiplin. Latihan adalah kolaborasi dari semua kemampuan dan tuntutan yang ada di luar diri.

Kembali ke pedagang gorengan di pinggir jalan, saya belajar satu hal.
Kalau pedagang gorengan bisa menjadikan latihan sebagai performance yang terus berkembang, kenapa kita tidak ?
Kita bisa belajar dari mana saja. Bahkan dari sepotong singkong goreng mekrok di pinggir jalan.



Jakarta, 6 Desember 2009

Salam hangat, penuh semangat...

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk bapak penjual singkong goreng...thanks juga untuk semua asisten-asisten di rumah yang telah menunjukkan kemampuannya untuk belajar dan berlatih...juga buat Na, Wal, Wes, Daud, BT, Kuri, Kenyot...yang memiliki semangat belajar seperti sepotong singkong mekrok...thanks untuk semua dukungan dan inspirasinya...I proud of you Allz...

Sabtu, 31 Oktober 2009

Art-Living Sos 2009 (A-10.1 MIE ULANG TAHUN

Dear Allz....

Apakabaaaaarrrr ???? Sehat-sehat khaaannnn ??? Semoga begitu, ya...Sehat itu adalah harta yang tidak ternilai harganya. Dengan kesehatan yang prima, kita bisa melakukan apa saja...bahkan sehat itu akan membuat hari-hari kita menjadi lebih bergairah dan menyenangkan...

Di hari ini...ada yang spesial buat saya. Barangkali juga bagi teman dan sahabat-sahabat saya. Hari ini...ada yang berulangtahun...hayyoooo...siapa yaaaa ?

Salah seorang adalah dosen saya, Ibu Arlina Gunarya, guru kehidupan saya...Semoga hari ini beliau dilimpahi dengan berkah dan kesehatan, sehingga dapat menikmati hari ulang tahunnya dengan penuh kebahagiaan.

Untuk teman-teman dan sahabat-sahabat saya yang berulangtahun di bulan Oktober dan November, saya juga mengucapkan selamat ulang tahun...nggak apa-apa terlambat sedikit atau terlalu cepat...Doa saya selalu mengiringi perjalanan teman-teman dan sahabat sekalian...

Di hari yang berbahagia ini...saya akan menyajikan sepiring “Mie Ulang Tahun”...semoga berkenan...GBU Allz....I love U....mmwaaaaahhh....


Selamat menikmati...


Bintaro Jaya, 31 Oktober 2009
Salam sayang,


Ietje S. Guntur





Art-Living Sos 2009 (A-10.29.1
Serial : Food Psychology - culture
Kamis, 29 Oktober 2009
Start : 29/10/2009 9:13:50
Finish : 29/10/2009 10:19:57


MIE ULANG TAHUN


Hari ini sahabat saya ulangtahun. Setelah mengucapkan selamat, plus cipika cipiki...dan ada juga yang menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun”....maka tibalah saat yang ditunggu-tunggu oleh kaum omnivor. Kaum pemakan segalanya...hehe...

Jadilah...ucapan selamat berbaur dengan ucapan pamrih...khas banget kaum omnivor...
“ Met ulang tahun, yaa...Semoga sukses”.
“ Yang keberapa niiih ?”
“ Mana nih kuenya...mana makanannya ?”
“ Yeee...nggak sah ulang tahun kalau nggak pakai makan-makan...”.

Yang berulangtahun Cuma bisa diam, sambil tersenyum-senyum. Tradisi makan-makan yang mengiringi pertambahan umur ini memang tidak bisa dihindari. Walaupun hanya sekedar kue lemper, tempe goreng, kue donat, atau kue tart ulang tahun...semua jadi terasa enak karena dinikmati dengan gembira. Tapi dari semua makanan ulang tahun, yang paling digemari kaum omnivor adalah mie ulang tahun...hehehehe...

Iyaaaaa....mie !

Rasanya ulang tahun kurang mantap kalau nggak disuguhi mie. Apalagi di pagi hari. Untuk sarapan. Jadi sekalian...sarapan ulang tahun...Pas banget. Jadi deh, doa orang yang kenyang itu benar-benar tulus dan mantap...hmmm...



Tak hanya pada saat sarapan pagi di hari ulang tahun, tetapi dalam perjamuan ulang tahun di siang atau di malam hari pun hidangan mie ini sering muncul. Malah tampak menyolok ditempatkan di tengah sajian yang lain.

Kenapa harus mie ? Itu barangkali pertanyaannya.

Konon, menurut kepercayaan masyarakat Cina kuno , mie ini melambangkan panjang umur. Mie yang panjang tidak terputus-putus melambangkan usia yang panjang. Apalagi ditabur dengan telur puyuh...waaah...banyak simbol-simbol di dalam makanan mie ini. Kan telur juga awal kehidupan serta penuh dengan protein dan memiliki nilai gizi yang tinggi...Jadi barangkali mie goreng bertabur telur ini dimaksudkan agar selalu sehat dalam menempuh hidup selanjutnya...Wallahualam..

Sekarang, tak hanya ulang tahun pribadi saja yang menyajikan mie di antara hidangan yang tersedia. Ulang tahun perusahaan, yang kerap dirayakan secara besar-besaran, ulang tahun perkawinan, ulang tahun komunitas, atau ulang tahun apa saja yang dianggap penting. Semua boleh menggunakan mie, untuk mendampingi makanan sajian wajib lainnya. Kadang nasi goreng dengan mie. Kadang nasi tumpeng , plus mie. Pokoknya...ada mie dimana-mana...sebagai simbol panjang umur dan kesejahteraan.

Namun terlepas dari segala simbol-simbol kehidupan, mie sendiri memang makanan sepanjang hari. Sepanjang waktu. Buat saya dan sahabat-sahabat omnivor, yang sudah mendapat predikat Mie-mania...hihi...nyaris tidak ada hari tanpa mie. Sarapan pagi mie. Kadang mie ayam, kadang mie baso. Makan siang juga tak jarang diganjel dengan mie. Entah sebagai makanan utama, mie doang dengan segala variasinya, atau mie sebagai lauk pauk...hahahaha....ini khas Indonesia banget. Nasi dengan lauk mie goreng !

Belum cukup dengan sarapan dan makan siang, kadang di sore hari ketika perut keroncongan, maka yang terlintas di kepala adalah mie lagi...hehehe....Saya sendiri penggemar berat mie goreng demek-demek...ini sebutan saya untuk mie goreng, yang dilembabkan. Pada saat akan diangkat dari wajan, ditambahi air atau kaldu, sehingga mie terasa agak lembab. Demek-demek. Seperti baju yang lembab kena hujan...Rasanya lebih medok dan lebih mantap bumbunya... eheeemmm...

Dan malam hari, ketika kantuk belum menggoda, maka hidangan mie bisa juga menjadi penutup hari. Pengganti nasi. Maklum saja khan...walaupun para ahli gizi dan ahli kesehatan sudah menganjurkan untuk mengurangi asupan karbohidrat di malam hari, tetapi namanya ‘ Perut Melayu’ ini mana bisa kalau tidak diganjel nasi atau sejenisnya. Biasanya, kalau mau tidur dalam keadaan perut lapar, bisa-bisa terjadi mimpi buruk...hahahaha....Jadi semangkuk mie godok, atau sepiring mie goreng adalah penyelamat untuk menggapai impian indah di malam yang panjang...



Menyimak kebiasaan menyantap mie kapan saja, di hari ulang tahun pun paling enak menyantap hidangan mie. Sebagai negeri tempat persinggahan banyak budaya, Indonesia ini dengan gembira mengadopsi budaya makan mie dari negeri leluhurnya di utara sana. Bercampur dengan adat dan tradisi yang dibawa bersama mie, maka sebagai alternatif hidangan ulang tahun yang membumi, mie ini pun segera mendapat tempat yang tersendiri di dalam perut masyarakat Indonesia. 

Perayaan ulang tahun pun, terlepas dari pro dan kontra, tetap ingin dirayakan. Secara besar-besaran dengan pesta mewah, atau kecil-kecilan dengan acara yang sederhana. Dengan teman, relasi dan keluarga, atau...seperti seorang sahabat saya...justru di hari ulang tahun dia akan menyendiri... merenung memikirkan banyak hal yang sudah dicapai dan hal-hal yang belum tercapai. 

Sekarang apa hubungan ulang tahun dan mie ? Apakah ada perenungan yang bisa kita dapatkan dari sepiring atau semangkuk mie ?

Kita lihat saja. Tak hanya anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orangtua....semua suka makan mie. Ibaratnya, mie itu sudah menjadi keseharian kita. Jadi sepanjang hayat masih di kandung badan, maka tidak ada salahnya menyantap mie sebagai hidangan ulang tahun....Sebagai pengingat...bahwa mie itu, walaupun kusut, walaupun bergulung-gulung...tetapi tetap dapat diurai...Sama juga dengan masalah yang kita alami di dalam hidup ini...walaupun kusut, seakan tak berujung, tetapi selalu ada jalan keluar untuk pemecahannya.

Semoga, dengan renungan mie ulang tahun ini...tak hanya panjangnya yang melambangkan usia, tetapi juga melambangkan keuletan dalam menyelesaikan masalah...
 


Hari ini...

Sebelum menyantap mie ulang tahun pemberian sahabat saya, mari kita berdoa dan bernyanyi dengan gembira....Semoga usia yang diberikan kepada sahabat saya menjadi usia yang menyenangkan dan bermanfaat...
Selamat ulang tahun kami ucapkan
Selamat panjang umur kita kan doakan
Selamat sejahtera sehat sentausa
Selamat panjang umur...dan bahagia....

Horeeee....Selamat ulang tahun....

♪..♫..♪..♥


Jakarta, 29 Oktober 2009

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Thanks untuk Daud, yang berulangtahun hari ini....Selamat ulang tahun, ya...mie baso dan pangsitnya sangat inspiratif. Juga kenangan kepada Pak Iwan, yang selalu merayakan ulang tahun seluruh staf di Corplan dengan mie ulang tahun pakai telur puyuh yang berwarna merah...Thanks atas perhatian dan supportnya...Ulang tahun memang sebuah tonggak untuk merenung dan menapak ke perjalanan selanjutnya...GBU...


Catatan istilah dan singkatan :
1. Cipika cipiki : cium pipi kiri cium pipi kanan
2. Corplan : Corporate Planning, perencanaan perusahaan.
3. Lagu Selamat ulang tahun : anonim, biasa dinyanyikan pada saat ulang tahun.
4. Omnivor : pemakan segalanya.



MIE ULANG TAHUN...

Ide : 01/10/2009 10:03:35

1. Mie, tidak hanya makanan selingan atau makanan pengganti makanan pokok.
2. Mie , selain untuk makanan sehari-hari juga untuk hidangan khusus ulang tahun.
3. Ada kepercayaan Chinese yang mengatakan bahwa panjangnya mie ulang tahun yang tidak putus-putus melambangkan umur yang panjang.
4. Biasanya mie ulang tahun ditaburi oleh telur puyuh yang diberi warna merah sumba.

Art-Living Sos 2009 (A-10.1 MIE ULANG TAHUN

Dear Allz....

Apakabaaaaarrrr ???? Sehat-sehat khaaannnn ??? Semoga begitu, ya...Sehat itu adalah harta yang tidak ternilai harganya. Dengan kesehatan yang prima, kita bisa melakukan apa saja...bahkan sehat itu akan membuat hari-hari kita menjadi lebih bergairah dan menyenangkan...

Di hari ini...ada yang spesial buat saya. Barangkali juga bagi teman dan sahabat-sahabat saya. Hari ini...ada yang berulangtahun...hayyoooo...siapa yaaaa ?

Salah seorang adalah dosen saya, Ibu Arlina Gunarya, guru kehidupan saya...Semoga hari ini beliau dilimpahi dengan berkah dan kesehatan, sehingga dapat menikmati hari ulang tahunnya dengan penuh kebahagiaan.

Untuk teman-teman dan sahabat-sahabat saya yang berulangtahun di bulan Oktober dan November, saya juga mengucapkan selamat ulang tahun...nggak apa-apa terlambat sedikit atau terlalu cepat...Doa saya selalu mengiringi perjalanan teman-teman dan sahabat sekalian...

Di hari yang berbahagia ini...saya akan menyajikan sepiring “Mie Ulang Tahun”...semoga berkenan...GBU Allz....I love U....mmwaaaaahhh....


Selamat menikmati...


Bintaro Jaya, 31 Oktober 2009
Salam sayang,


Ietje S. Guntur





Art-Living Sos 2009 (A-10.29.1
Serial : Food Psychology - culture
Kamis, 29 Oktober 2009
Start : 29/10/2009 9:13:50
Finish : 29/10/2009 10:19:57


MIE ULANG TAHUN


Hari ini sahabat saya ulangtahun. Setelah mengucapkan selamat, plus cipika cipiki...dan ada juga yang menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun”....maka tibalah saat yang ditunggu-tunggu oleh kaum omnivor. Kaum pemakan segalanya...hehe...

Jadilah...ucapan selamat berbaur dengan ucapan pamrih...khas banget kaum omnivor...
“ Met ulang tahun, yaa...Semoga sukses”.
“ Yang keberapa niiih ?”
“ Mana nih kuenya...mana makanannya ?”
“ Yeee...nggak sah ulang tahun kalau nggak pakai makan-makan...”.

Yang berulangtahun Cuma bisa diam, sambil tersenyum-senyum. Tradisi makan-makan yang mengiringi pertambahan umur ini memang tidak bisa dihindari. Walaupun hanya sekedar kue lemper, tempe goreng, kue donat, atau kue tart ulang tahun...semua jadi terasa enak karena dinikmati dengan gembira. Tapi dari semua makanan ulang tahun, yang paling digemari kaum omnivor adalah mie ulang tahun...hehehehe...

Iyaaaaa....mie !

Rasanya ulang tahun kurang mantap kalau nggak disuguhi mie. Apalagi di pagi hari. Untuk sarapan. Jadi sekalian...sarapan ulang tahun...Pas banget. Jadi deh, doa orang yang kenyang itu benar-benar tulus dan mantap...hmmm...



Tak hanya pada saat sarapan pagi di hari ulang tahun, tetapi dalam perjamuan ulang tahun di siang atau di malam hari pun hidangan mie ini sering muncul. Malah tampak menyolok ditempatkan di tengah sajian yang lain.

Kenapa harus mie ? Itu barangkali pertanyaannya.

Konon, menurut kepercayaan masyarakat Cina kuno , mie ini melambangkan panjang umur. Mie yang panjang tidak terputus-putus melambangkan usia yang panjang. Apalagi ditabur dengan telur puyuh...waaah...banyak simbol-simbol di dalam makanan mie ini. Kan telur juga awal kehidupan serta penuh dengan protein dan memiliki nilai gizi yang tinggi...Jadi barangkali mie goreng bertabur telur ini dimaksudkan agar selalu sehat dalam menempuh hidup selanjutnya...Wallahualam..

Sekarang, tak hanya ulang tahun pribadi saja yang menyajikan mie di antara hidangan yang tersedia. Ulang tahun perusahaan, yang kerap dirayakan secara besar-besaran, ulang tahun perkawinan, ulang tahun komunitas, atau ulang tahun apa saja yang dianggap penting. Semua boleh menggunakan mie, untuk mendampingi makanan sajian wajib lainnya. Kadang nasi goreng dengan mie. Kadang nasi tumpeng , plus mie. Pokoknya...ada mie dimana-mana...sebagai simbol panjang umur dan kesejahteraan.

Namun terlepas dari segala simbol-simbol kehidupan, mie sendiri memang makanan sepanjang hari. Sepanjang waktu. Buat saya dan sahabat-sahabat omnivor, yang sudah mendapat predikat Mie-mania...hihi...nyaris tidak ada hari tanpa mie. Sarapan pagi mie. Kadang mie ayam, kadang mie baso. Makan siang juga tak jarang diganjel dengan mie. Entah sebagai makanan utama, mie doang dengan segala variasinya, atau mie sebagai lauk pauk...hahahaha....ini khas Indonesia banget. Nasi dengan lauk mie goreng !

Belum cukup dengan sarapan dan makan siang, kadang di sore hari ketika perut keroncongan, maka yang terlintas di kepala adalah mie lagi...hehehe....Saya sendiri penggemar berat mie goreng demek-demek...ini sebutan saya untuk mie goreng, yang dilembabkan. Pada saat akan diangkat dari wajan, ditambahi air atau kaldu, sehingga mie terasa agak lembab. Demek-demek. Seperti baju yang lembab kena hujan...Rasanya lebih medok dan lebih mantap bumbunya... eheeemmm...

Dan malam hari, ketika kantuk belum menggoda, maka hidangan mie bisa juga menjadi penutup hari. Pengganti nasi. Maklum saja khan...walaupun para ahli gizi dan ahli kesehatan sudah menganjurkan untuk mengurangi asupan karbohidrat di malam hari, tetapi namanya ‘ Perut Melayu’ ini mana bisa kalau tidak diganjel nasi atau sejenisnya. Biasanya, kalau mau tidur dalam keadaan perut lapar, bisa-bisa terjadi mimpi buruk...hahahaha....Jadi semangkuk mie godok, atau sepiring mie goreng adalah penyelamat untuk menggapai impian indah di malam yang panjang...



Menyimak kebiasaan menyantap mie kapan saja, di hari ulang tahun pun paling enak menyantap hidangan mie. Sebagai negeri tempat persinggahan banyak budaya, Indonesia ini dengan gembira mengadopsi budaya makan mie dari negeri leluhurnya di utara sana. Bercampur dengan adat dan tradisi yang dibawa bersama mie, maka sebagai alternatif hidangan ulang tahun yang membumi, mie ini pun segera mendapat tempat yang tersendiri di dalam perut masyarakat Indonesia. 

Perayaan ulang tahun pun, terlepas dari pro dan kontra, tetap ingin dirayakan. Secara besar-besaran dengan pesta mewah, atau kecil-kecilan dengan acara yang sederhana. Dengan teman, relasi dan keluarga, atau...seperti seorang sahabat saya...justru di hari ulang tahun dia akan menyendiri... merenung memikirkan banyak hal yang sudah dicapai dan hal-hal yang belum tercapai. 

Sekarang apa hubungan ulang tahun dan mie ? Apakah ada perenungan yang bisa kita dapatkan dari sepiring atau semangkuk mie ?

Kita lihat saja. Tak hanya anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orangtua....semua suka makan mie. Ibaratnya, mie itu sudah menjadi keseharian kita. Jadi sepanjang hayat masih di kandung badan, maka tidak ada salahnya menyantap mie sebagai hidangan ulang tahun....Sebagai pengingat...bahwa mie itu, walaupun kusut, walaupun bergulung-gulung...tetapi tetap dapat diurai...Sama juga dengan masalah yang kita alami di dalam hidup ini...walaupun kusut, seakan tak berujung, tetapi selalu ada jalan keluar untuk pemecahannya.

Semoga, dengan renungan mie ulang tahun ini...tak hanya panjangnya yang melambangkan usia, tetapi juga melambangkan keuletan dalam menyelesaikan masalah...
 


Hari ini...

Sebelum menyantap mie ulang tahun pemberian sahabat saya, mari kita berdoa dan bernyanyi dengan gembira....Semoga usia yang diberikan kepada sahabat saya menjadi usia yang menyenangkan dan bermanfaat...
Selamat ulang tahun kami ucapkan
Selamat panjang umur kita kan doakan
Selamat sejahtera sehat sentausa
Selamat panjang umur...dan bahagia....

Horeeee....Selamat ulang tahun....

♪..♫..♪..♥


Jakarta, 29 Oktober 2009

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Thanks untuk Daud, yang berulangtahun hari ini....Selamat ulang tahun, ya...mie baso dan pangsitnya sangat inspiratif. Juga kenangan kepada Pak Iwan, yang selalu merayakan ulang tahun seluruh staf di Corplan dengan mie ulang tahun pakai telur puyuh yang berwarna merah...Thanks atas perhatian dan supportnya...Ulang tahun memang sebuah tonggak untuk merenung dan menapak ke perjalanan selanjutnya...GBU...


Catatan istilah dan singkatan :
1. Cipika cipiki : cium pipi kiri cium pipi kanan
2. Corplan : Corporate Planning, perencanaan perusahaan.
3. Lagu Selamat ulang tahun : anonim, biasa dinyanyikan pada saat ulang tahun.
4. Omnivor : pemakan segalanya.



MIE ULANG TAHUN...

Ide : 01/10/2009 10:03:35

1. Mie, tidak hanya makanan selingan atau makanan pengganti makanan pokok.
2. Mie , selain untuk makanan sehari-hari juga untuk hidangan khusus ulang tahun.
3. Ada kepercayaan Chinese yang mengatakan bahwa panjangnya mie ulang tahun yang tidak putus-putus melambangkan umur yang panjang.
4. Biasanya mie ulang tahun ditaburi oleh telur puyuh yang diberi warna merah sumba.

Selasa, 27 Oktober 2009

BUBUR MERAH PUTIH

Dear Allz...

Hellowww....hellloww...morning...mooooorniiiiiiinggg....met pagiiiiiiii......

Lagi ngapain ? Masih awal minggu niiiih...mestinya masih semangat, yaaa ? Semoga deeeh...Semangat itu kan harus dijaga...harus dipelihara...Ibarat tanaman, semangat itu juga harus sering disiram...dijaga kelestariannya...hehehehe...

Iya lho...menjaga kelestarian semangat itu perlu. Tak Cuma semangat masa kini, semangat masa lalu yang berguna pun perlu juga dilestarikan. Seperti sebuah budaya, walaupun sudah lama, tetapi kalau masih ada gunanya...ya, kita jalani dan lakoni saja. Tidak ada salahnya menjaga budaya....seperti salah satunya adalah menjaga budaya ‘bubur merah putih’.

Hmmm...pasti penasaran, yaa...???

Sekali ini saya ingin berbagi cerita tentang bubur merah putih. Mungkin kita pernah mendengarnya sepintas lalu. Mungkin juga kita pernah menyantapnya suatu kali. Tapi, seperti makanan-makanan lain yang kita makan, sering kali kita tidak memahami makna makanan itu bagi diri kita, maupun bagi lingkungan kita.

Semoga saja hidangan saya kali ini dapat menjawab rasa penasaran teman-teman dan sahabat semua….

Selamat menikmati…

Salam sayang…


Ietje S. Guntur



Art-Living Sos 2009 (A-10.1
Serial : Food Psychology – culture
Senin, 26 Oktober 2009
Start : 26/10/2009 10:02:59
Finish : 26/10/2009 12:26:55


BUBUR MERAH PUTIH


Suatu hari saya mendapat kiriman dari tetangga. Dua buah besek makanan , yaitu wadah berbentuk kotak terbuat dari anyaman kulit batang bambu. Isinya adalah makanan. Yang satu berisi sajian nasi dengan lauk ayam semur , urap sayuran, perkedel, telor bumbu, acar timun dan wortel , serta...hmm...kerupuk udang . Sedangkan besek yang satu lagi berisi bubur merah putih...woow...

Bubur merah putih ? Ada apa, ya ?

Saya melihat kartu yang menyertai kiriman besek tersebut. Tertulis, ‘Untuk memperingati kelahiran cucu pertama kami dan pemberian nama “. Ooooh....panteeeesss....

Saya baru ingat. Tetangga di dekat rumah baru memperoleh cucu, dan sebagai tanda kegembiraan diadakan selamatan kecil. Plus membagikan besek makanan yang disebut besek berkat buat tetangga kiri kanan . Sayang saya tidak bisa hadir. Mestinya ini acara keluarga dekat. Lalu sambil mengucapkan syukur atas pemberian itu...sayapun mengucapkan doa untuk si Kecil dan keluarganya. Semoga simbol bubur merah putih ini menjadi berkat juga buat semuanya.



Ngomong-ngomong soal bubur merah putih, sebetulnya ini bukan merah seperti merah cabe atau tomat gondhol . Tapi merah, yang diambil dari warna gula Jawa yang berwarna coklat. Gula Jawa, umumnya dibuat dari nira kelapa atau nira enau, disebut juga gula merah. Padahal warnanya nggak ada merah-merahnya....malahan cenderung berwarna coklat keemasan atau coklat tua kehitaman...hehehehe...

Warna gula jawa yang merah ini dicampur dengan beras yang dimasak bersamaan, sehingga menjadi bubur nasi yang rasanya manis. Dipadu dengan bubur nasi yang diberi santan gurih, jadilah bubur merah putih ini merupakan makanan yang seimbang rasanya.

Bubur merah putih ini dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai makanan yang mengandung unsur kekuatan dan meneguhkan jiwa. Itu sebabnya setiap upacara atau acara selamatan yang ditujukan untuk meningkatkan harkat, untuk kemajuan, untuk keselamatan, maupun untuk perubahan yang lebih baik selalu disajikan bubur merah putih ini. Pemberian nama, maupun mengganti dan menambahkan nama dan gelar biasanya juga dibarengi dengan sajian bubur merah putih.

Itu sebabnya kalau kita salah menyebut nama seseorang, dia akan mengatakan begini ,” Jangan ganti-ganti nama saya. Nanti saya perlu membuat sajen bubur merah putih !” Nah...

Tak hanya memberi nama dan mengganti nama saja disajikan bubur merah putih seperti ini. Bila ada kejadian yang penting dalam perjalanan hidup ini, di keluarga saya, terutama ibu masih taat menyajikan bubur seperti ini. Saya ingat, ketika pertama kali mendapat haid semasa remaja dulu juga dibuatkan bubur merah putih oleh ibu saya. Masih ada juga sih makanan lain-lain, yang masing-masing mengandung makna dan simbol tertentu, tapi yang jelas selalu ada bubur merah putih.

Ketika anak saya mendapat haid yang pertama kali juga, ibu saya mengingatkan, agar jangan lupa dibuatkan bubur merah putih. Saya sih ikut-ikut saja, manut pada tradisi yang sudah menjadi roh budaya Jawa. Toh nggak ada salahnya membuat bubur seperti itu. Bahan bakunya mudah diperoleh. Memasaknya gampang. Dan rasanya lezaaaatttttt.... Gurih dan manis berpadu secara seimbang...hmmm...

Oooh...mungkin juga itu inti sarinya. Keseimbangan...Wallahu alam...



Barangkali bagi masyarakat non Jawa, atau masyarakat Jawa yang sudah lama merantau dan meninggalkan tanah kelahirannya hal-hal seperti ini tidak menjadi perhatian dan menjadi asing . Misalnya, upacara yang berkaitan dengan budaya, seperti tujuh bulanan, kelahiran, selapanan atau empat puluh hari kelahiran, pemberian nama, turun tanah, mau ujian, lulus ujian sekolah, diterima kerja, naik pangkat, naik jabatan, sembuh dari penyakit yang serius dan lain-lain. Namun, bagi masyarakat Jawa yang masih memegang erat tradisi budaya ini, maka urusan bubur merah putih nyaris tidak bisa dilepaskan dari rangkaian upacara sepanjang hayat dikandung badan.

Sepintas ini memang hanya bubur biasa. Bubur nasi putih gurih dengan campuran santan dan sedikit garam. Bubur nasi berwarna merah coklat manis dengan campuran gula merah dari nira pohon kelapa. Tetapi lebih dalam lagi, sumber bahan bakunya semua berkaitan dengan kehidupan pokok bangsa Indonesia, terutama masyarakat Jawa.

Orang Jawa, dan Indonesia pada umumnya, tidak bisa dipisahkan dari beras sebagai makanan pokok. Dan kelapa, sebagai campuran hampir semua makanan. Sedangkan gula dari nira kelapa atau nira enau, adalah pemanis yang selalu digunakan dalam berbagai campuran makanan dan minuman orang Jawa. Tidak hanya untuk pemanis bubur atau kolak, tetapi juga untuk minum kopi dan teh. Bagi orang Jawa, terutama para kaum tua yang bertempat tinggal di desa-desa, lebih mudah membuat gula dari nira kelapa yang hampir selalu ada di halaman rumah atau kebun, daripada menggunakan gula pasir buatan pabrik. Bagi mereka, gula Jawa tak sekedar pemanis, tetapi juga penambah tenaga.

Belakangan, dari berbagai riset mengenai sumber pemanis, disebutkan bahwa gula Jawa – atau gula nira ini lebih baik bagi tubuh dibandingkan dengan gula pasir yang telah diproses sedemikian rupa, dan juga pemanis buatan dari bahan lain. Bahkan tak hanya baik untuk minuman, gula jawa atau gula merah ini pun lebih cocok untuk dipadu dengan ramu-ramuan tradisional yang dikenal sebagai minuman herbal atau jamu.

Mengingat bahwa beras, kelapa dan gula nira adalah bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, maka tidak heran kalau unsur-unsur inilah yang selalu diangkat dalam setiap upacara yang menyangkut kehidupan seseorang. Mulai dari kelapa muda, tunas kelapa, pohon kelapa, air kelapa hingga daging buahnya...semua bermakna bagi kehidupan.

Begitu menyatunya urusan selamatan, terutama dalam hal memberi nama kepada seseorang, maka tanpa kehadiran bubur merah putih, rasanya upacara itu terasa garing atau dalam istilah makanan menjadi cemplang. Bagi masyarakat Jawa, tak sekedar garing dan cemplang, tapi seperti ada roh yang hilang. Dan itu membuat tidak nyaman. Atau lebih jauh lagi...seperti seseorang yang kehilangan jati diri...waaaah...!!!

Nggak percaya, bahwa pengaruh bubur merah putih sejauh ini ?

Coba saja tanya kepada orang Jawa yang masih konvensional. Berani nggak mereka melakukan upacara pemberian nama tanpa menyajikan bubur merah putih ? Hhm...bisa-bisa mereka bahkan tidak berani menggunakan nama yang sudah diterakan di dalam akta kelahiran atau data administrasi tersebut, karena kuatir belum bersih dan bisa menimbulkan kesialan atau nasib buruk...




Menikmati semangkuk bubur merah putih, saya merenung.

Dari sekedar bubur beras, ternyata tersirat makna yang sangat dalam. Bubur tak sekedar makanan untuk mengenyangkan perut. Tetapi lebih dalam lagi, makanan adalah bagian dari kehidupan spiritual masyarakat. Jangan hanya dilihat dari sudut sajen-sajenannya, tetapi simbol-simbol yang terdapat di dalam sajian tersebut...yang menyatu dengan jiwa raga...itulah roh sebuah makanan.

Memang...makan tak sekedar untuk kenyang badan...tetapi juga kenyang jiwa. Segenap jiwa dan alam semesta haruslah saling mendukung dan saling bersinergi mendukung badan...Sehingga makan pun menjadi bagian dari keseluruhan kehidupan ini....Dari mulai lahir...tumbuh berkembang...dewasa...hingga nanti tiba saatnya kita harus mengakhiri kontrak dari dunia fana ini...eheeem...

♥♥♥

Jakarta, 26 Oktober 2009


Salam sehangat bubur merah putih,


Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk Ma dan eyang putri yang menanamkan nilai-nilai budaya yang mendasar kepadaku...ternyata filosofi bubur merah putih begitu dalam dan ekologis...

Sabtu, 17 Oktober 2009

Surat kepada sahabat 2009 (A-10 Shandyakala di Muaro Jambi

Start : 15/10/2009 21:56:17
Finish : 16/10/2009 10:36:04

Surat kepada sahabat 2009 (Oleh-oleh dari Jambi

SHANDYAKALA di MUARO JAMBI...

Jalan-jalan ke Jambi ? Mau ngapain ? Memangnya di Jambi ada apa ?
Barangkali itulah pertanyaan yang terbersit di benak kita, bila membicarakan tentang Jambi. Sebuah propinsi di pantai Timur Sumatra. Yang terletak agak terjepit diantara propinsi Riau dengan propinsi Sumatra Selatan. Selain posisinya yang terselip, Jambi kurang dikenal sebagai tujuan perjalanan yang menarik.
Ya, memang....Kita kan melakukan perjalanan mesti ada maksud dan tujuannya. Bahkan sebuah kawasan hutan belantara atau sebuah danau yang liar masih bisa dijadikan sebagai tujuan perjalanan. Ada nilai-nilai petualangan yang membuat rasa penasaran mencuat. Tapi kalau tidak ada apa-apanya ?
Hmmmhhh....justru karena alasan itulah saya jadi penasaran...hehehehe...
Masa sih, daerah yang saya sebut sebagai Negeri Angso Duo ini tidak punya apa-apa sebagai tujuan perjalanan ? Masa sih negeri yang pernah tersohor di abad-abad yang lalu tidak punya apa-apa sebagai jejak sejarah ? Yang benar saja....uuuuhhh....

Berangkat dari rasa penasaran itu, dalam perjalanan ke Jambi kali ini saya pun pergi mengunjungi sebuah situs sejarah masa lalu. Yaitu kompleks situs Candi Muaro Jambi. Hmmh...ternyata ini situs percandian yang sangat unik.
Tanpa saya sadari, setelah menyusuri jalan setapak dari candi ke candi yang terletak di kawasan itu saya telah menyingkap sedikit catatan dari masa lalu. Di kawasan candi yang konon terluas wilayahnya di Indonesia ini, saya menemukan jejak-jejak sejarah yang menjadi tonggak perjalanan kerajaan-kerajaan Nusantara yang berjaya di masa lampau. Dengan luas kawasan sekitar 12 kilometer persegi, situs ini memiliki 80 buah candi. Sembilan diantaranya adalah candi-candi yang besar.
Sebut saja seperti Candi Gumpung dan candi Tinggi...Ini tempat saya berdiri sekarang. Candi ini adalah dua diantara enam candi yang sudah dipugar. Kemudian Candi Gedong Satu dan Gedong Dua ...yang jaraknya 4 kilometer dari Candi Gumpung. Candi Koto Mahligai, Candi Kedaton atau Candi Kedatuan, Candi Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano yang tersebar di kawasan luas ini.
Tak hanya sekedar dipugar, kawasan candi ini pun dibuat seperti taman kebun dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang. Mirip dengan gambaran di komik-komik wayang karya R.A. Kosasih yang pernah saya baca semasa masih kanak-kanak dulu. Barangkali...R.A. Kosasih pun mendapatkan ide gambaran pohon-pohon dan tanah lapang yang luas dari penelusurannya di buku-buku sejarah lama...Wallahu alam.
Melanjutkan perjalanan di seputar kawasan situs Candi Muaro Jambi, saya melihat ada perbedaan material antara candi-candi di pulau Jawa dengan Candi Muaro Bungo ini. Jika candi di Jawa dibuat dari pahatan batu alam , yang tentunya berasal dari wilayah sekitarnya . Candi-candi di kawasan Muaro Bungo dibuat dari batu bata yang dibakar dengan teknik pembakaran keramik tempo dulu. 
Melihat hasil pembakaran keramik, termasuk batu bata dan beberapa artefak lainnya, saya menduga tentulah teknik pembakaran keramik dan gerabah tempo dulu telah tinggi sekali. Bahkan setelah terpendam selama ratusan tahun di dalam tanah berawa-rawa seperti halnya kawasan situs percandian tersebut, hampir seluruh batubata yang ada tetap utuh dan dalam kondisi yang kuat.
Tak hanya sekedar tumpukan batu bata. Hasil galian di kawasan situs ini juga menemukan beberapa stupa dan arca. Ada stupa yang terletak di halaman candi. Dan ada arca batu Dwarapala, yang ditemukan di gapura Candi Gedong pada tahun 2002 . Biasanya terletak sebagai penjaga pintu gerbang sebuah kerajaan. Masih ada lagi, yaitu arca Dewi Pradnjaparamita, yang dikenal sebagai dewi kesuburan. Sayangnya, arca Dwarapala yang seharusnya sepasang belum ditemukan pasangannya. Sedangkan arca Dewi Pradnyaparamita tidak utuh kepala dan tangannya.

Melihat situs yang berdiri di hadapan saya, rasanya seperti membuka buku pelajaran sejarah jaman SD. Dalam hitungan menit, saya membayangkan, di sinilah dulu kerajaan Sriwijaya yang terkenal dengan armada lautnya mulai mengembangkan jaringannya. Sungai Batanghari yang membelah propinsi Jambi , sungai Musi yang membelah kota Palembang, dan sungai-sungai besar lain di pantai Timur Sumatra adalah awal mula berdirinya kerajaan-kerajaan Nusantara yang mendunia.
Kita tentu masih ingat, betapa mesranya hubungan antara kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan kerajaan-kerajaan di India. Sehingga tidak hanya pertukaran budaya yang terjadi, tetapi juga saling pengaruh dalam kehidupan spiritual. Tidak heran kalau kemudian pengaruh agama Buddha dari India menjadi bagian dari kehidupan spiritual di Sriwijaya . Dan itu terlihat dari bukti sejarah yang terukir di situs Candi Muaro Jambi. Candi ini dulu memang merupakan kawasan peribadatan agama Buddha Tantrayana, salah satu aliran agama Buddha yang masih banyak penganutnya di Indonesia.
Penemuan tidak sengaja oleh seorang tentara Inggris bernama SC Crooke pada 1820, ketika ditugasi memetakan Sungai Batanghari , seakan membuka mata kita. Artefak yang berserakan ternyata adalah sebuah kawasan situs yang sangat berharga. Sebuah harta karun terpendam dari sebuah kerajaan besar yang menggetarkan dunia. Namun setelah berjaya ratusan tahun sebagai kerajaan maritim di abad tujuh hingga abad duabelas, kerajaan Sriwijaya pelahan-lahan mengalami masa suram .
Satu demi satu kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri. Kembali kepada kekuasaan lokal. Atau takluk di bawah pengaruh kekuasaan baru yang datang kemudian. Dan akhirnya...di abad ke tigabelas dan empat belas...kerajaan yang mengilhami armada laut Indonesia dengan slogan ‘Jalesveva Jayamahe’...di laut kita jaya... perlahan-lahan menyurut dan hilang pamornya...
Sungguh seperti sebuah Shandyakala...saat senja...dari terang menuju ke kegelapan malam...

Duduk di keremangan senja di antara reruntuhan situs candi yang sedang dipugar, saya merenung.
Di sekitar saya masih banyak serpih-serpih batu bata yang belum sempat dikumpulkan dan direkatkan. Di sekitar saya, barangkali bahkan di bawah tempat saya duduk saat ini masih banyak bukti sejarah yang belum sempat tergali. Atau bahkan tidak terlihat oleh kasat mata kita.
Tugas kita memang masih banyak. Tak sekedar menggali sisa-sisa kejayaan masa lalu. Tak sekedar menjadikan situs candi sebagai cagar budaya dan obyek wisata. Tetapi lebih jauh lagi adalah mempelajari filosofi dasar dari sebuah kehidupan, yang bergulir...dari sebuah kejayaan kepada sebuah shandyakala...
Saya jadi ingat sebuah lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi I’is Sugianto beberapa dekade lalu...
Kala senja kulihat mentari
Tiada lagi sinarnya memudar.. menghilang
Kuberjalan dalam kegelapan
Tiada lagi kawan menemani
Di senja yang sunyi kubernyanyi
Walau hati resah...menanti.

Seandainya saja kita bisa memetik pelajaran kehidupan dari sebuah situs masa lalu....
♥♥

Jakarta, 16 Oktober 2009
Salam sehangat mentari senja hari,

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk sahabat-sahabat perjalananku...Kun, yang selalu cerewet tanya-tanya “Candi apaan sih ini, Mich ?”, Adith yang begitu excited melihat tumpukan batu dan berusaha mencari auranya, Tami yang heboh sendiri membuat sejarah masa kini, Ruby dan Bea yang penasaran, Kang Asep dan ibu yang menginspirasi tujuan perjalanan ini, Jo yang terus menerus dipaksa jadi fotografer ......Thanks ya Nonce, yang sudah mengundang dan membujuki kami datang ke Jambi...Kami jadi belajar banyaaaaak sekali dari perjalanan ini... pokoknya everybody happy deeh ...I love U full...