Sabtu, 28 Agustus 2010

Art-Living Sos 2010 (A-8 ASPAL

Dear Allz...

Hmmmh....ssstttt....lagi ngapain ? Apakabar teman dan sahabatku ? Ada yang sedang menjalankan ibadah puasa ? Hmm...semoga puasanya lancar, yaaa...dan berkah juga buat semua, yang puasa maupun teman-teman dan sahabat di sekitar kita...

Hehehe...iya, puasa memang suatu ibadah...dan sama dengan ibadah lainnya, yang menjadi dasar ibadah adalah keikhlasan...dan hasil ibadah itu adalah perbaikan diri yang terus menerus. Ini sih nggak semata-mata buat ibadah puasa saja, tetapi juga untuk berbagai aktivitas kita yang lain...termasuk bekerja.

Ya, iyalah...kalau kita melakukan sesuatu nggak jelas dan nggak ikhlas, rasanya aktivitas itu pun terasa berat. Jadi seperti beban yang menggelayut di pundak. Tapi kalau kita melakukannya dengan ikhlas, dengan gembira...apa pun yang kita kerjakan akan terasa ringan...seperti kapas yang ditiup angin...hehehehe...

Bukan hanya itu....keikhlasan dan kegembiraan membuat kita jadi penasaran, dan jadi ingin berbuat yang lebih baik lagi. Minimal...kita ingin agar hidup kita berguna dan bermanfaat untuk lebih banyak orang. Tak hanya untuk diri sendiri, tak hanya sekedar numpang lewat...tapi terus melekat erat...hingga ke dalam hati. Yeah...mirip-mirip aspal gitu deechh...

Haaaaa....aspal...!!! Apa hubungan ikhlas dengan aspal ? Sekilas memang tidak ada hubungan. Tapi apa jadinya jalan raya tanpa aspal ? Bagaimana kalau aspal tidak ikhlas melicinkan jalan di jalur Pantura ? ohooooo....pasti jalan tidak akan mulus dan perjalanan tidak lancar...hmmh...menarik juga khan ?

Kalau begitu...kita bincang-bincang sedikit deh tentang aspal....Mau khaaan ???

Oke deeeh...selamat menikmati.....

Jakarta, 23 Agustus 2010

Salam erat yang selalu hangat,


Ietje S. Guntur

♥♥♥



Art-Living Sos 2010
Jumat, 20 Agustus 2010
Ide : 20/08/2010 15:07:53
Start : 21/08/2010 09:40:06
Finish : 21/08/2010 10:45:50


A.S.P.A.L


Pagi-pagi. Hari Senin. Hari yang biasanya dimulai dengan ketergesaan... hehehe...

Saya sedang dalam perjalanan ke kantor. Melewati jalan di kompleks perumahan, yang dulu muluuuuuusss dan rata. Sekarang, jalan itu sudah bopeng-bopeng, banyak lubangnya....granjul-granjul...gronjal-gronjal bila kita memacu kendaraan lebih cepat. Akibatnya, perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam waktu 5-10 menit bisa-bisa menjadi dua kali lipat.

Saya memandang sedih jalan yang sekarang nyaris tidak karuan bentuknya, dengan lapisan aspal yang mengelupas di sana sini. Membuka lobang-lobang yang sangat berbahaya bagi pengendara kendaraan bermotor. Duuuh...kenapa jadi begini, ya ?

Jalan di kompleks perumahan saya, yang konon pernah termasuk perumahan ‘kelas satu’ di kawasan Selatan Jakarta tidak sendirian. Dari banyak perjalanan saya ke berbagai penjuru kota Jakarta, kondisi jalan yang bopeng, bopak, berlubang-lubang bukan hanya milik kami sendiri. Bahkan yang lebih parah, jalan protokol sekelas Jalan Jenderal Sudirman sekalipun tak luput dari cacat lobang dengan aspal yang geripis di sana sini. Jangan kita bicara soal jalan negara antar kota antar propinsi. Terutama di luar Jawa, semisal jalur pantai Timur dan pantai Barat Sumatra. Kondisi jalan yang parah, seperti sudah menjadi cerita rutin sehari-hari. Selama bertahun-tahun...halaaahh...!!

Pembenahan atau pemolesan jalan, biasanya dilakukan setahun sekali menjelang hari raya Lebaran, untuk memperlancar arus kendaraan yang mudik ke kampung. Ohh..lalalala...kenapa begitu ya ?

Konon, kemajuan sebuah negara ditentukan oleh kondisi jalan rayanya ! Hmmh...kayaknya sih pameo itu bisa dibenarkan juga...hiks hiks hiks...Tapi apakah kita perlu membuktikan bahwa kita memang benar-benar tidak punya aspal untuk melapisi jalan raya yang merupakan infrastruktur pembangunan ? Wadoowww...




Ngomong-ngomong soal aspal, saya jadi ingat pelajaran jaman SD dulu. Kata buku saya, Indonesia memiliki tambang aspal yang terkenal di pulau Buton. Lalu ?

Kenyataannya memang demikian. Kita punya, tapi karena teknologi pengolahannya belum optimal, jadi biaya pengolahannya kalah ekonomis dibandingkan dengan aspal minyak yang diproduksi oleh Pertamina.

Begitulah...Ternyata urusan aspal ini sama rumitnya dengan urusan kecantikan wanita . Kalau wanita kan merasa kurang kinclong kalau wajahnya belum dipoles alas bedak dan ditaburi bedak. Tingkat kemulusan dan kekinclongan wajah wanita ini pun bisa berbeda-beda, tergantung dari perawatan dan modalnya...hehe...kata lainnya, tergantung dari bahan dan merek kosmetik yang dipergunakannya . Sama juga dengan aspal.

Dulu saya pikir aspal itu ya sama saja. Tapi dari pengamatan dan sedikit penelusuran saya, ternyata memang ada beda. Ada aspal yang hasil tambang seperti di Buton itu, yang disebut sebagai aspal alam. Dan ada aspal yang berasal dari pengolahan minyak atau aspal minyak. Hasilnya ada aspal padat dan ada aspal cair. Kedua aspal ini disebut bitumen , yang merupakan bahan pengikat pada campuran yang dimanfaatkan sebagai lapis permukaan lapis perkerasan lentur.

Konon aspal mulai digunakan untuk melicinkan dan me-make up jalan raya agar mulus pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Sebelumnya jalan raya dibangun dengan menyusun batu alam, atau cukup dari campuran batu yang dihancurkan dan diaduk dengan tanah alam sekitar. Namun sebetulnya teknologi pembuatan perekat seperti aspal ini sudah dikenal oleh bangsa Sumeria sejak 3000 tahun sebelum Masehi.... woow... 

Memang, tak hanya wanita yang perlu berdandan. Jalan raya pun perlu bersolek. Tidak heran sejak dulu orang sudah berusaha membuat jalan raya yang nyaman, walaupun dengan perekat tanah untuk memadatkan batu-batuan. Hingga saat ini, beberapa kota-kota di Eropa masih ada jalanan yang terbuat dari susunan batu-batu dengan perekat model aspal kuno berdampingan dengan jalan raya yang mulus licin bak kulit wajah anak perawan...hmm...

Kata aspal berasal dari bahasa Yunani asphaltos, yang berarti aman. Maksudnya, aspal merupakan bahan yang aman atau mampu mencegah rembesan air. Dengan kata lain, aspal adalah bahan yang kedap air. Sekitar 1500 Masehi, bangsa Inca di Peru mulai menggunakan aspal sebagai pengeras jalan. Di Amerika Serikat (AS), aspal mulai dipakai sebagai bahan pengeras jalan raya pada 1850-an.

Penggunaan aspal untuk jalan memang termasuk kemajuan, dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Itu sebabnya, kemajuan ekonomi suatu negara memang tercermin dari kemampuan mereka mengalokasikan dana untuk memuluskan jalan raya dengan aspal. Ya, iyalah...ada rupa ada harga...mana bisa kita tampil cantik kalau tidak mau keluar modal. Dan yang jelas, ada visi untuk maju dan mau berkembang lebih baik lagi.



Saya sendiri merindukan jalan yang mulus berlapis aspal. Tidak hanya untuk kemudahan perjalanan dari rumah ke kantor, atau ke manapun perjalanan saya, tapi juga untuk menjaga kebersihan lingkungan. Dengan adanya lapisan aspal pada jalan raya di depan rumah, maka kotoran, sampah, daun-daun akan lebih mudah dibersihkan...dan bebas debu serta limpahan air yang menjadi lumpur.

Tak hanya itu. Saya jadi ingat semasa kecil dulu, kami sering main sepatu roda atau sekarang dikenal sebagai roller blade dan skate board di jalan raya di depan rumah. Tentunya di dalam kompleks yang bebas kendaraan lalu lalang...hehe...Maklum, kalau mau main sepatu roda di halaman rumah mana seru...Selain sempit juga bisa menyambar tanaman yang ada di halaman. Bisa-bisa diomelin ibu dan orang rumah yang sudah cape-cape menanam dan merawat tanaman hias...hiiks...

Oya...kalau jalanan di depan rumah licin dan bersih, kita kan juga jadi semangat merapikan rumah...hehe...Dampak lingkungannya cukup besar juga khan ?




Kembali ke urusan aspal.

Saya jadi merenung sedikit. Aspal konon dibuat untuk melapisi dan memperkuat struktur jalan. Banyak hal terbantu dengan penggunaan aspal yang membuat perjalanan menjadi lancar. Aspal memang tidak menonjol, tetapi aspal dapat membuat perubahan dan pengembangan lingkungan sangat pesat.

Banyak hal terbantu karena kehadiran aspal. Dan banyak hal yang tertunda karena ketiadaan aspal.

Sama juga dengan kehidupan kita. Ketika kita mampu berbaur, mampu menjadi bagian dari sebuah infrastruktur, akan banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh oleh lingkungan kita. Namun kadang, kesombongan kita untuk menjadi yang utama dan diperhatikan secara khusus membuat kita lupa, bahwa kita punya potensi seperti aspal. Merekatkan.

Silaturahmi yang kita lakukan, mirip dengan apa yang dilakukan oleh aspal. Silaturahmi pun ada yang alamiah, seperti aspal Buton, tapi ada juga hasil olahan pergaulan yang dikemas dengan berbagai etika dan tata krama.

Apa pun...menjadi aspal tetaplah merupakan tindakan yang positif. Asalkan kita juga mawas diri...jangan menjadi ASPAL yang ASPAL...alias asli tapi palsu...Tetaplah bersikap wajar dan jujur, tanpa perlu memolesnya dengan kepura-puraan. Karena yang palsu itu tetap akan luntur dan membuat penampilan menjadi tidak alamiah . 

Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan...semoga siapa pun kita, dapat memanfaatkan momentum ini untuk menjadi aspal yang merekatkan hati dan merekatkan dunia sekitar kita... Semoga kita dapat menjaga diri, menjadi diri kita sendiri. 






Jakarta, 21 Agustus 2010

Salam erat yang hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :

Untuk sahabat-sahabatku di SDM Global yang seperti aspal perekat silaturahmi dan pengembangan ilmu berbatas langit...thanks buat mas Hamid Ho, mas Dwi, Nonce, Monik, Papih Ir, Adith, Kun, Bas, Boby, mas Agus, mas Irsad, Nia-Fitri-Tetta, mb Bea...Juga sahabat-sahabat di Trainersclub...mas Hendry, sis Lina, sis Ayu, sis Lila, kang Uu, Teddy, Mas Krisna KP, mas Saleh Lukas, mas Krishnamurti...sahabat di Profec, special mb Lies...dan semua-mua yang telah melimpahkan aspalnya untuk kehidupan yang lebih luas lagi...


Ide :
1. Aspal adalah materi pelapis jalan.
2. Aspal juga disebut asli tapi palsu
3. Hidup ini sebaiknya yang asli, karena yang palsu akhirnya akan luntur.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Art-Living Sos 2010 (A-8 Cicak di dinding

Dear Allz...

Halllloooowww.....teman dan sahabatku semua...Apakabaaaarrrr....??? Hmmm...semoga semua baik-baik, ya....Sudah beberapa hari nih puasa...semoga yang menjalankannya tetap dalam kondisi fit...lahir dan batin...

Konon puasa itu memang menyehatkan. Dan kalau diikuti prosedurnya, Insya Allah kita semakin sehat, karena ada waktu beristirahat bagi tubuh ini untuk mencerna makanan. Iya, makan memang perlu. Tetapi banyak sekali penyakit yang timbul justru dari makan dan makanan. Cara kita makan, dan jenis makanan yang kita pilih, kadang tidak cocok dengan kondisi badan kita....Akhirnya bukannya sehat, justru kita menjadi sakit.

Itulah...pilih-pilih makanan memang sangat perlu. Seorang ahli mengatakan, bahwa kita adalah apa yang kita makan. Hmm...maknanya bisa dalam sekali. Kalau kita makan daging, ya barangkali apa yang kita makan juga menjadi bagian dari diri kita. Kalau kita menyantap sayuran dan buah-buahan, kita pun bisa menjadi sesegar buah yang baru dipetik...eheeemmm...Seyogyanya kita memang bisa memilih makanan yang menyehatkan dan menghindari makanan yang merugikan, agar kita tidak sekedar panjang umur, tapi juga sehat terjaga sepanjang waktu...

Ngomong-ngomong soal makan, saya jadi ingat cicak di rumah saya. Lha....kok beloknya jauh sekali ya...hehehe...Iya, cicak atau cecak. Selama ini kita hanya tahu bahwa cicak makan nyamuk. Tapi ternyata ada cicak yang doyan nasi dan remah roti....he he...Tidak percaya ? Hmh...saya jadi ingin sharing tentang ‘piaraan’ saya yang satu lagi ini...Boleh, khan ?

Okelah...sambil menunggu waktu berbuka puasa atau waktu sahur...mari duduk dekat sini...dan hmm....buka mata, buka telinga, buka hati...barangkali kita bisa mendapat inspirasi dari kisah si Cicak ini...

Salam sayang buat semuaaaaa....

Jakarta, 20 Agustus 2010



Ietje S. Guntur


♥♥♥


Art-Living Sos 2010 (A-8
Jumat, 20 Agustus 2010
Start : 20/08/2010 11:21:27
Finish : 20/08/2010 13:52:47


CICAK DI DINDING

Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap
Datang seekor nyamuk
Haaappp...lalu ditangkap

( Lagu Ciptaan : A.T. Mahmud)



Bulan Ramadhan. Saya sedang mempersiapkan makan sahur. Nasi dan lauk pauk...hmmh...sebetulnya sih hanya menghangatkan makanan sisa berbuka...hehe...dan minuman. Tiba-tiba mata saya terusik oleh pemandangan lucu. Dua ekor cicak ( ada juga yang menyebutnya cecak atau cak-cak) sedang berebutan sesuatu di kredensa tempat saya meletakkan rice cooker.

Saya tertarik, dan memperhatikan dengan seksama. Olalaaaa...ternyata kedua cicak itu sedang berebutan remah nasi yang tadi terjatuh ketika saya sedang menyendoknya...

Saya perhatikan lagi. Cicak yang lebih besar segera melarikan sejumput nasi di mulutnya, dan dikejar oleh cicak yang lebih kecil. Yang besar segera menghilang di balik kredensa, sedangkan yang kecil diam, sambil napasnya terlihat ngos-ngosan. Ohhh...kasihan, batin saya. Cicak ini ternyata doyan nasi juga.

Lalu saya ambil sejumput nasi hangat yang menempel di sendok nasi, dan saya letakkan di ujung tatakan yang ada di atas kredensa. Cicak itu berpaling sejenak. Matanya yang besar tampak berkedip-kedip. Tidak takut melihat saya. Lalu terlihat ia mendengus. Mungkin menghirup aroma nasi hangat yang harum. Saya tinggalkan, tapi dalam jarak pandang yang terjangkau. Si Cicak tampak bergerak pelan. Kemudian mencomot nasi itu...diam lagi...seperti mengemut...lalu pelan-pelan bergerak ke pojokan, menikmati santapan nasi hangatnya...hmmmhh..



Urusan percicakan ini memang bukan baru sekali ini terjadi di rumah saya.

Semasa ibu saya masih ada dan sering berkunjung ke rumah saya, kami berdua memiliki ‘peliharaan ‘ cicak. Saya punya cicak yang sejak kecil tinggal di bawah pesawat televisi di ruang keluarga, dan setiap malam selalu menunggu sajian remah kue atau roti yang ditaburkan di lantai dekat lemari TV. Semula saya tidak menyadari kalau si Cicak kecil ini doyan remah roti.

Awalnya setiap malam, sambil tiduran membaca koran dan menonton TV kadang-kadang saya ngemil makanan kecil. Remahnya terjatuh, dan sebelum sempat saya bersihkan, si Cicak kecil datang mengendap-endap untuk mengambil remah-remah itu. Hampir setiap malam begitu. Hingga suatu hari, saya lihat si Cicak kecil sudah tumbuh semakin besar. Dan dia pun semakin lincah merayap ke sana kemari. Tapi selalu kembali lagi ke bawah lemari TV. Mungkin itulah teritori, daerah kekuasaannya...ck ck ck...

Dia pun seperti tahu, bahwa saya akan menyediakan remah roti setiap kali duduk di situ. Suatu ketika saya tidak memiliki remah-remah roti, tetapi dia sudah mulai nekad. Dia mendatangi saya, dan merayap tidak jauh dari kaki saya. Saya mencoba menggodanya, mengusirnya dan tetap tidak memberikan remah roti. Ketika saya berjalan, dia mengikuti sambil merayap dari belakang...walaaaah...dasar nih si Cicak...pikir saya, sambil terus berjalan. Si Cicak tetap mengikuti. Akhirnya saya tidak tahan dan tertawa sendiri. Bagaimana coba, kalau hewan sekecil itu terinjak oleh kaki saya yang jauh lebih besar ?

Sejak saat itu kami pun bersahabat.

Kalau saya nonton TV dia dengan leluasa akan mondar mandir di dekat saya. Bahkan ketika saya kecapean dan berbaring di lantai beralas karpet, dia tanpa sungkan merayap mendekati dan nyaris menyentuh wajah saya...Barangkali dia mau mencium saya, ya ? Yeeee....jadi ngelunjak juga nih cicak...hahahaha...



Ngomong-ngomong soal cicak, mereka dikenal juga dengan nama keren lizard. Hewan reptil berkaki empat dan berekor panjang ini mudah ditemukan di mana saja. Di negeri-negeri tropis hingga di negeri empat musim, kita dapat menemukan cicak sebagai bagian dari lingkungan. Beberapa jenis cicak di antaranya yang paling kita kenal adalah cicak tembok , cicak kayu dan cicak gula.

Cicak ini umumnya hidup di alam bebas, di rumah atau pun di kebun. Ada beberapa jenis cicak, dan masing-masing jenis serta spesies memiliki ukuran serta warna tersendiri. Di rumah, kita mengenal jenis cicak yang berwarna agak putih pucat. Sedangkan di alam bebas dan di pohon, umumnya cicak berwarna gelap . Karena termasuk reptil kecil yang suhu tubuhnya tergantung cuaca di sekitarnya, maka bila dipegang, dia seperti agar-agar yang dingin dan empuk. Belum lagi kulitnya yang pucat dan nyaris transparan, membuat orang kadang geli atau jijik ketika memandangnya.

Di beberapa budaya, kehadiran cicak dianggap sebagai hewan yang sakral dan membawa hoki. Di budaya Bali, cicak dianggap sebagai representasi Dewi Saraswati, yaitu dewi yang melindungi berbicara dan menulis. Tetapi di budaya lain, salah satunya budaya Jawa yang saya ketahui, kadang-kadang cicak dianggap sebagai hewan mitos pembawa bencana . Kejatuhan cicak di kepala atau di pundak, sering dianggap sebagai pertanda sial atau paling tidak ada musibah yang akan menimpa...halaaah....

Padahal kita tahu, cicak yang memiliki kaki berperekat juga bisa gugup ketika merayap terbalik di langit-langit rumah . Akibat gugup itu kadang-kadang cicak terjatuh, dan menimpa apa saja yang ada di bawahnya. Kadang cicak pun suka iseng. Dia melompat dari satu dinding ke dinding lain. Kalau luput, ya...jatuhlah dia. Bagi yang jijik melihat hewan berkulit pucat ini, rasanya memang sial banget. Tapi kan mendingan kejatuhan cicak dari pada kejatuhan saudara jauhnya....Sang Tokek atau Buaya...hehehehe....

Sebetulnya apa sih fungsi cicak di dalam kehidupan kita ini ?

Yang jelas, cicak doyan makan nyamuk. Jadi kalau ada cicak, alamat rumah kita cukup aman dari nyamuk. Kadang cicak berburu nyamuk sambil berlari-lari di dinding, dan sangat ribut bila menemukan mangsanya. Tapi ketika rumah bersih dan nyamuk tidak ada, maka cicak ternyata cukup fleksibel untuk beralih pangan...menyantap nasi dan remah roti...hehehehe...Ada jenis cicak yang bahkan sangat suka gula dan yang manis-manis, sehingga tidak jarang ia kecemplung di dalam gelas kopi kita. Tentu maksudnya terjun ke situ bukan untuk begadang menikmati kopi...hiks hiks...

Selain sebagai pembasmi nyamuk, cicak masih memiliki kegunaan yang lain. Beberapa kalangan percaya bahwa cicak merupakan obat penyakit kulit.

Eeeh, saya jadi ingat. Semasa masih kecil dulu, saya sering diajak oleh ayah saya untuk berburu cicak-cicak di dinding. Kadang cicak dijepret dengan karet atau dikagetkan dan disabet dengan sapu. Cicak yang sudah mati lalu dijemur hingga kering, dan kemudian daging kering itu ditumbuk sehingga menjadi bubuk. Konon bila dimakan atau diminum, bisa mengobati sakit kulit yang membandel....yiiiiii.....

Saya sih belum pernah mencobanya. Tetapi seorang sahabat keluarga telah mencobanya, dan katanya sih, hasilnya cukup efektif...hek hek hek...



Ngomong-ngomong soal reptil rumahan ini, saya jadi ingat juga semasa anak saya , Si Cantiq masih balita. Dia sering sulit tidur bila tidak didongengkan. Saya sudah membacakan banyak sekali cerita dari berbagai buku, dan kadang saya sampai jatuh tertidur ketika membacanya. Tapi dia belum cukup puas. Terpaksalah....saya harus mengarang sendiri cerita-cerita lain agar dia bisa tidur. Salah satu diantaranya adalah tentang keluarga cicak yang ada di rumah kami.

Saat kami berbaring di ranjang, dan kelihatan cicak mondar-mandir di plafon kamar , maka mulailah saya mengarang cerita. Malah cicak di kamar kami telah kami beri nama, yaitu Chici dan Choco. Dari cerita-cerita itu, saya pun bisa memasukkan nilai-nilai moral dan nilai disiplin untuk anak saya. 

Suatu ketika, saat kami sedang asyik berbincang tentang Chici dan Choco, si Cantiq bertanya dengan lugu ,” Kalau cicak mau bobo, mereka cuci kaki dulu nggak ?”

Haaaaaahhhh......????? 

Sampai hari ini, setiap melihat cicak, saya jadi tersenyum sendiri... Saya tidak bisa menjawab pertanyaan si Cantiq. Jadi saya terpaksa ngeles saja selama bertahun-tahun. Cicak cuci kaki ? Hmmm... Ada teman dan sahabat yang mau menjawab ???



Jakarta, 20 Agustus 2010

Salam hangaaaaaattt.....cak ...cak...cak...



Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk Mama dan si Cantiq semata wayang yang menjadi inspirasi tulisan ini. Ketika saya sedang sendirian, cicak-cicak inilah yang menjadi sahabat...dan membangkitkan semangat...cihuyyy....




♥♥♥

Ide : 
20/08/2010 11:20:42
1. Cicak atau cecak adalah hewan reptil kecil yang merayap. Cicak banyak hidup di sekitar kita, di rumah ataupun di kebun.
2. Cicak rumah umumnya bertubuh kecil, gepeng, dan berkulit pucat. Ada beberapa jenis cicak, tetapi yang paling banyak adalah cicak yang berkulit putih pucat dan nyaris transparan.
3. Cicak dikenal doyan makan serangga, tetapi ketika dia tinggal bersama manusia, dia pun beradaptasi menyantap makanan yang sama, misalnya nasi, roti dan lauk pauknya.
4. Ketika anak saya masih kecil, cicak ini juga menjadi inspirasi cerita menjelang tidur untuk anak saya.
5. Di rumah saya sering ada cicak yang sudah bersosialisasi dengan keseharian hidup kami. Ada cicak penguasa TV, ada cicak penguasa rice cooker, dan ada cicak perambah meja makan.
6. Perilakunya lucu, walaupun kadang agak menjengkelkan karena mereka suka menyelinap ke bawah tudung saji.
7. Apa yang bisa kita pelajari dari cicak-cicak ini ?

Selasa, 17 Agustus 2010

Art-Living Sos 2010 (A-8 Burung Phoenix

Dear Allz....

Hallllowwwww....apakabar ??? Semoga semua teman dan sahabatku dalam keadaan sehat dan ceria yaaa...Dengan sehat, kita bisa melakukan apa saja. Bahkan untuk sekedar ngobrol...hehehehe....Wuuuppppsss...kayaknya cukup lama ya kita nggak ngobrol, kita seperti digulung oleh kesibukan...Iya niiih...menjelang akhir semester, biasanya banyak kesibukan yang terjadwal...baik kesibukan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, maupun kesibukan yang mendadak...

Alhamdulillah kalau kita masih bisa sibuk atau paling tidak menyibukkan diri. Itu artinya, kita masih diberi kesempatan untuk mengisi hidup ini dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat...paling tidak untuk diri kita sendiri. Iyalah...kalau kita tidak dapat memanfaatkan kesempatan untuk diri sendiri, bagaimana pula kita dapat bermanfaat bagi orang lain.

Hmmh...di hari-hari yang ceria ini...saya ingin berbagi sedikit cerita tentang perjalanan saya...oleh-oleh kecil dari sedikit perjalanan ke sebuah kota di negeri tetangga. Apa oleh-olehnya ? hhhmmm...hanya sebuah cerita...

Mau ya, kita ngobrol dan berbagi ? Berbeda dengan cerita lainnya, kali ini saya cerita sedikit tentang sebuah mitos atau legenda. Yaitu tentang burung Phoenix...hmmh...belum pernah dengar ? Okelah kalau begitu...kita mulai saja yaaaa....

Sipppp...sippp...duduk manis dulu dong...dan olalaaaaaaa.....
Selamat menikmati....

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


♥♥♥









Art-Living Sos 2010 (A-6
Minggu, 13 Juni 2010
Start : 13/06/2010 19:32:37
Finish : 13/06/2010 21:42:22


BURUNG PHOENIX

Siang hari bolong. Di tengah Pasar Central atau nama lokalnya Phsar Thmey, di jantung kota Pnom Penh, Cambodia. Saya sedang berlibur bersama teman-teman jaman SMA dulu...hehehe...Jauh banget, yaaaa...Cambodia, atau ada yang menyebut Kampucha, negeri tetangga. Yang lebih kita kenal sebagai negara Norodom Sihanouk, sahabat negara kita.
Bukan tanpa alasan kami, saya dan teman-teman memilih Cambodia, khususnya Phnom Penh untuk tempat berlibur. Selain cenderamatanya yang unik dan menarik, harga di sana juga termasuk miring...alias murah meriah. Bukan emak-emak namanya kalau berlibur tanpa belanja. Apa pun itu bentuknya. Selain itu tentu ada cerita historis yang ingin dilihat dan dirasakan di sana. Dan seperti perjalanan lainnya, setiap kali selalu ada pengalaman batin yang dialami dan dihayati.
Kelenger kepanasan karena sengatan udara panas bulan Juni yang mencapai sekitar 36 derajat Celcius, saya pun duduk terengah di emperan kios. Dari tadi sudah mengubek-ubek pasar, mencari cendera mata untuk oleh-oleh. Dan sekarang saya duduk tenang, sambil memperhatikan orang yang lalu lalang dan belanja segala macam. Sahabat-sahabat saya masih banyak yang belum selesai bertransaksi, dan masih dua tiga putaran lagi berkeliling mondar mandir di depan hidung saya.
Entah bagaimana, tiba-tiba mata saya tertumbuk pada setumpukan cendera mata terbuat dari logam kuningan. Bentuk mungil dan unik. Dan mata saya terperangkap ketika melihat sebentuk hewan mirip ayam dan burung. Woooowww...ini dia yang saya cari. Burung Phoenix.
Akhirnya cenderamata itu pun berpindah tangan. Bersama dengan sebentuk kura-kura mungil dan gajah bertelinga lebar, ketiga cenderamata itu dihargai 2 dolar Amerika. Lumayan murah. Dan dengan hati-hati cenderamata itu saya masukkan ke dalam tas khusus leher yang tergantung di pundak saya. Ini adalah salah satu hewan dalam kisah mitologi, yang paling saya sukai.

Tiba di Jakarta, cendera mata burung Phoenix mungil itu saya tempatkan di atas meja kerja di rumah. Dan setiap kali memandangnya, saya teringat berbagai kisah inspiratif yang pernah saya dengar atau baca mengenai burung Phoenix ini.
Mungkin tidak banyak orang yang peduli dengan burung Phoenix. Apalagi konon, burung ini hanyalah mitos belaka. Tapi coba lihat...di banyak budaya burung phoenix ini menjadi contoh pembangkit spirit yang luar biasa.
Sebetulnya, siapakah burung Phoenix ini ?
Sebagai penggemar cerita silat (...hiiiyaaaaa...)...sejak jaman SMP dulu saya suka membaca dan menonton segala jenis film silat atau drama made in Hong Kong. Dan salah satu film yang berkesan bagi saya adalah kisah tentang burung Phoenix yang akan terbakar habis ketika tiba akhir hidupnya. Kemudian, dari abunya itu dia lahir kembali, dan menjadi muda lagi.
Bukan hanya di film silat Mandarin. Di dalam salah satu serial Harry Potter juga ada cerita tentang burung Phoenix. Menonton film tentang burung yang konon sangat cantik dan indah bulunya itu, saya jadi terkagum-kagum. Seandainya burung itu benar-benar ada, betapa dia akan menjadi raja atau ratu dari segala burung. Dia adalah primadona burung-burung. Namun, di tengah kejayaannya, di puncak kehidupannya, dia justru harus mati. Terbakar. Sebelum akhirnya dia muncul lagi...Begitu berulang-ulang...
Menurut legenda Cina kuno, konon burung Phoenix , dikenal juga dengan sebutan burung Hong atau Long Feng , dapat mencapai umur 500 – 1461 tahun...(wadduuh...siapa yang bisa mencapai umur segitu, untuk mencatatnya ya ?). Tak hanya dalam legenda Cina kuno. Di Mesir, burung Phoenix ini merupakan burung keramat berwarna merah dan emas, dan dipercaya sebagai representasi dewa Ra – Dewa Matahari, Penguasa tertinggi kehidupan ini. Juga di India, dalam kepercayaan Hindu burung Phoenix disebut juga sebagai burung garuda. Apakah dia bersaudara dengan burung garuda Indonesia ? Wallahu alam...

Melihat pajangan burung Phoenix di atas meja kerja , saya jadi merenung.
Sebetulnya banyak hal bisa kita pelajari dari kehidupannya. Lihatlah siklus hidupnya. Lahir...entah dari mana (telur atau kehidupan awal)...kemudian tumbuh dan berkembang. Selain cantik dan bermata jeli, burung Phoenix disebut-sebut juga sangat lincah bergerak dan terbang kian kemari. Benar-benar seekor burung ideal yang layak dikagumi di dunia perburungan.
Lalu...ketika dia sudah mencapai puncaknya, maka dengan segala kerendahan hati, ia pun mengundurkan diri dari dunia ini...dan pwsss...dalam sekejap terbakar habis oleh api suci yang muncul dari dirinya sendiri.
Lihatlah dalam kehidupan nyata sekarang. Saya suka mengamati banyak perusahaan-perusahaan dan organisasi yang besar dan berkembang indah seperti burung Phoenix. Begitu besarnya perusahaan itu, sehingga namanya dikagumi dan menjadi panutan bagi banyak organisasi dan perusahaan di seluruh dunia. Sebut saja beberapa nama di dunia komputer, dunia telekomunikasi, dan dunia otomotif.
Mereka adalah burung Phoenix yang pernah sangat jaya, namun kemudian di puncak kejayaannya mereka seakan-akan terbakar habis. Tapi tidak ! Tunggu beberapa saat. Mereka bangkit, dan dalam bentuk baru muncul kembali sebagai penguasa di bidangnya. Itulah...mereka tahu, kapan harus berkembang, kapan harus melakukan regenerasi dan reorganisasi di dalam bisnis dan perusahaannya.
Mengapa mereka dapat melakukan reinkarnasi dengan kemunculan yang lebih baik ?
Sama dengan burung Phoenix yang semakin tua, semakin bijaksana, mereka adalah organisasi-organisasi yang memiliki integritas. Mereka memiliki corporate culture yang sudah melekat dan mengalir di dalam setiap sel tubuhnya. Itu sebabnya, mereka tahu persis, apa yang terjadi dengan diri mereka. Dan sebelum pihak lain melakukan intervensi atau pun campur tangan di dalam kehidupannya, mereka dengan suka rela dan senang hati melakukan perubahan sendiri. Dari dalam dirinya...

Kembali kepada burung Phoenix, kembali kepada diri kita sendiri.
Sepanjang hidup dan karir saya, boleh dikatakan saya termasuk orang yang ‘berpengalaman’ masuk dan keluar berbagai perusahaan. Dimulai dari karir awal, ada yang terpaksa saya tinggalkan karena ada kepentingan lain yang harus saya dahulukan. Ada juga yang saya tinggalkan karena kontrak kerja sudah selesai. Bahkan, ada juga perusahaan yang terpaksa meminta saya mengundurkan diri dengan alasan kondisi organisasi yang labil . Semua itu membuat saya harus ‘membakar diri’, dan menjadikan diri saya orang yang baru setiap kali.
Belajar dari pengalaman masa lalu, belajar dari perjalanan hidup yang sangat beraneka, membuat saya bercermin pada burung Phoenix yang selalu legowo untuk terbakar pada saatnya. Burung Phoenix atau burung Hong tidak pernah takut untuk terbakar. Mereka tahu, bahwa dengan ketiadaan itu justru akan melahirkan pembaruan.
Hidup ini memang pilihan. Terbakar oleh kejadian atau kondisi di luar diri kita, atau membakar diri pada saatnya. Keduanya sama-sama terbakar, namun kesadaran membakar diri akan membuat kita lebih siap siaga dan siap sedia menerima segala resikonya. Berbeda dengan terbakar oleh keadaan lingkungan, sering membuat kita tidak siap untuk menerima keadaan.
Padahal bila kita bercermin pada siklus kehidupan...Kemarin, hari ini, dan besok...hidup akan selalu berganti. Sama seperti burung Phoenix yang cantik, suatu saat kita pun akan mengalami masa terbakar. 
Yang menjadi pertanyaan : siapkah kita untuk ‘membakar diri’ pada saat kejayaan kita, dan menjadi ‘orang baru’ dengan semangat baru di dalam kehidupan yang akan datang....
Semoga saja...

Jakarta, 13 Juni 2010
Salam hangat,

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk semua teman, sahabat serta seluruh organisasi dan perusahaan tempat aku mengembangkan diri...Juga untuk rekan dan sahabatku di BCA Beautiful Life...thanks atas kebersamaan kita... Serta sahabat-sahabat seperjalananku...Artha, Ninin, Anum, Linda, Yuka dan seluruh team ...semua kesempatan emas itu telah membuat aku berani menjadi orang yang baru....

Art-Living Sos 2010 (A-8 Keran...

Dear Allz...

Apakabaaaaaaarrrrr....hehe...lama ya, gak ketemu ? Lama juga ya kita nggak saling berkabar. Iya niiih...saya lagi berhibernasi...hehe...seperti beruang kutub di dalam goa es...Moga-moga, walaupun kita lama tidak saling bersapa, semua teman dan sahabatku dalam keadaan sehat dan gembira yaaa...

Betuuulll...hidup ini walaupun Cuma sebentar, seyogyanya kita nikmati dengan gembira. Alangkah sayangnya hidup bila hanya diisi dengan kemuraman. Padahal kata orang pintar, kemuraman dan kesedihan itu adalah persepsi kita sendiri. Orang yang mengalami hal sama, tapi karena pengalaman dan persepsi yang berbeda, akan menilai peristiwa itu dengan hasil berbeda....hehehe...

Sama juga dengan kehidupan kita ini secara keseluruhan...kadang gembira, kadang sedih...ya nikmati saja...Kitalah yang harus mengganti posisi dan memutar keran persepsi itu agar kita dapat menikmati saat terbaik yang kita miliki....

Haaaaa...keran ? Kenapa keran, ya ? Ngomong-ngomong soal keran, saya jadi ingin ngobrol soal keran...hihiiiii...sederhana banget ya ?

Nggak apa-apa sederhana. Mumpung lagi bulan puasa nih, jadi kita ngobrol yang sederhana dan ringan-ringan saja.

Okeee...sambil menunggu waktu berbuka dan waktu sahur....mari kita mulai...satu...dua...tigaaaa...siaaaaappp......

Selamat menikmati....semoga berkenan....


Jakarta, 16 Agustus 2010
Salam hangat full kangen,


Ietje S. Guntur

- Sambil menunggu saat perayaan hari Kemerdekaan RI ke 65..


♥♥♥




Art-Living Sos 2010 (A-8
Start : 04/08/2010 15:29:04
Finish : 16/08/2010 17:13:31


KERAN....


Di kantor. Sehabis jam makan siang. Seperti biasa saya akan membersihkan diri, mencuci tangan, dan dilanjutkan dengan menyikat gigi serta membasuh wajah dengan air. Masih dilanjutkan lagi dengan berwudhu, agar dapat langsung menunaikan ibadah sholat.

Ritual menyikat gigi baru dimulai, ketika air yang mengalir dari keran tiba-tiba berhenti. Walaaah...kenapa nih ? Padahal ini keran otomatis, yang menggunakan sensor untuk mengalirkan dan menghentikan air.

“ Kenapa kerannya, ya ?” tanya saya kepada petugas cleaning service yang sedang berdiri di dekat saya. Ia sedang asyik dengan tugasnya. Sejenak ia menoleh sambil tersenyum.
“ Mungkin baterainya habis lagi, bu. Padahal kemaren sudah dilaporkan kepada petugas, “ sahutnya. Menjelaskan. Ohoooo...ternyata ada masalah dengan baterai.
“ Oh...jadi ini kerannya pakai baterai, ya ?”
“ Iya, bu...biar aliran airnya terkontrol.”
“ Hmmh...kalau baterainya habis, dan mati begini, airnya nggak bisa mengalir dong ?” tanya saya setengah protes. Odol yang sudah berbusa terpaksa ditunda penggunaannya. Halaaah...Saya pun berpindah ke wastafel yang di sebelahnya. Setelah menempelkan ujung jari di bawah keran, air pun mengalir...tersendat-sendat...seperlunya.

Selesai urusan sikat menyikat gigi, dengan rasa penasaran ( dan sedikit sok tahu...hehe), saya mengintip ke bawah keran. Memang, keran ini beda modelnya dengan keran di rumah saya. Model keran di rumah saya sih biasa saja, model diputar dengan tombol logam berlapis plastik. Dan itu sudah cukup untuk mengatur pengaliran air.



Ngomong-ngomong soal keran air. Semasa saya masih kecil dulu, keran di rumah saya ukurannya cukup besar. Diameter mulutnya hampir 1 inci. Tekanan airnya juga besar, karena air mengalir dari sumber di pegunungan yang tidak terlalu jauh dari kompleks perumahan tempat tinggal saya . Perusahaan air minum jaman dulu memang mengutamakan kualitas air, termasuk kecepatan air mengalir. Jadi sebagai konsumen, saya suka banget main air dari keran. 

Repotnya keran air model lama ini kadang kalah kuat dari tekanan airnya. Jadi sebentar-sebentar jebol dan harus diganti penahan drat di dalamnya. Ayah saya dulu sering mengganti dalamnya dengan kulit sapi yang diambil dari sisa sandal...hehehe...konon katanya sih cukup kuat menahan tekanan air.

Selain keran-keran di rumah yang modelnya Cuma diputar kiri kanan, dulu di Medan ada juga keran air umum yang ditempatkan di pinggir jalan. Model kerannya ada yang mirip dengan setir mobil yang harus diputar searah jarum jam. Keran ini ditempatkan di lokasi umum, terutama di perumahan rakyat yang belum memiliki sumber air bersih yang memadai. 

Saya dan teman-teman sepulang sekolah sering juga mampir di keran umum seperti ini. Mencuci muka, kaki, tangan, dan kadang kami juga minum air mentah langsung di bawah keran...hhmmm...segaaarrr...!!! Herannya saya dan teman-teman belum pernah sakit perut. Mungkin karena kualitas airnya memang bersih dan layak minum. Tapi kalau di rumah, saya tidak berani menyorongkan mulut ke bawah keran....karena pasti akan diomeli oleh ibu saya...hiks hiks...

Yang paling saya sukai di rumah adalah keran untuk penyiram tanaman. Selain ukurannya lebih besar, ujungnya juga disambung dengan selang yang ada keran dengan pengatur kekuatan air. Bentuk kerannya juga macam-macam. Ada yang mirip pistol dengan pelatuk, ada juga yang diberi lobang-lobang kecil untuk pengatur air agar tidak terlalu deras menyemprot ke atas daun dan bunga-bunga. Soalnya kalau air terlalu keras, tidak jarang tanamannya justru kebanjiran dan bunganya rontok.

Bagi saya, tugas menyiram tanaman menjadi sangat menyenangkan. Selain bisa berbasah-basahan, saya pun bisa main perang-perangan air dengan anak tetangga....Dan jadilah semua basah kuyup. Tanaman, baju, bahkan jalanan di depan rumah...huehehehe...



Ingat keran di masa kecil, jadi ingat juga keran di desa-desa yang memiliki sumber air dari mata air yang mengalir deras. Karena tidak ada keran logam yang cukup besar untuk mengalirkan air, biasanya penduduk jadi kreatif. Mereka membuat keran-keran kecil dari bambu atau kayu yang dilobangi di tengahnya. Untuk mengatur airnya, cukup disumbat dengan potongan kayu atau bambu, kadang-kadang dengan ijuk enau yang digulung rapat.

Saya suka memperhatikan model keran-keran di desa-desa ini. Walaupun tidak ada fasilitas yang memadai, tapi mereka dapat memanfaatkan bahan-bahan yang ada untuk mengatur penggunaan air. Jadi kadang ada aliran air yang besar, yang sedang, dan yang kecil sesuai dengan keperluannya.

Kalau pergi ke desa-desa, kadang saya suka iseng . Saya memainkan lobang-lobang pengaturan air ini, dan mencipratkan air kemana-mana. Bukan hanya tangan dan kaki yang basah, tapi sering juga seluruh baju menjadi basah kuyup...Kayaknya sih saya kalau melihat air, langsung bersemangat...ciprat sana ciprat sini...yuhuuiii...



Belakangan, seiring dengan kemajuan jaman dan keterbatasan sumber air bersih, model keran pun semakin beragam. Fungsinya pun bermacam-macam. Keran kamar mandi untuk mengisi bak mandi, keran mandi untuk mengguyur tubuh, keran untuk mencuci tangan, keran untuk membasuh bila buang air...berbeda-beda bentuk dan ukurannya. Itu belum termasuk keran dapur untuk mencuci piring. Modelnya sering sangat unik dan sesuai ukuran bak cuci yang ada di dapur masing-masing rumah tangga.

Sekarang pun banyak botol penyimpan air atau yang biasa kita sebut dispenser mempergunakan keran untuk pengaturan pengambilan airnya.

Oya...cerita tentang keran pun tidak hanya ada di rumah tangga atau di kantor. Di dalam industri, di dalam bidang irigasi dan pertanian, di dalam pengendalian air sungai dan danau, fungsi dan peran si Keran tidak bisa dipandang sebelah mata. Coba perhatikan, apakah ada bendungan yang tidak mempergunakan keran untuk mengatur pengaliran airnya ?



Mencuci tangan di bawah keran, membuat saya merenung.

Keran di satu sisi hanyalah sebuah alat untuk mengatur pengeluaran air. Tapi coba perhatikan, apa yang terjadi bila tidak ada keran ?

Sumber air di gunung yang telah dialirkan melalui pipa dan tabung-tabung penampung akan mengucur begitu saja tanpa kendali. Bahkan bila kita sudah memiliki keran, dan kerannya jebol, maka bisa-bisa rumah kita kebanjiran karena air mengalir tidak tertahan lagi.

Bahkan di dalam industri minyak dan gas, kita juga tahu bahwa fungsi keran tidak sekedar mengatur pengeluaran bahan atau material cair, tapi juga gas. Keran berfungsi untuk mengatur volume dan tekanan. Bayangkan kalau keran itu tidak kuat dan jebol. Bukan sekedar kebanjiran air, tapi juga kebanjiran uap dan gas yang sangat berbahaya bagi keselamatan manusia...wuuuiiiihhhh.....

Barangkali salah satu teknologi kemajuan manusia, setelah penemuan api dan roda adalah penemuan keran ini...hmmm...



Melihat keran...saya melihat kehidupan yang mengalir di sekitar saya.

Sama seperti keran yang mengalirkan air, kita pun bisa belajar mengenai fungsi keran kehidupan. Seperti kata bijak jaman dulu, keran itu adalah rejeki manusia. Artinya, kalau kerannya besar, maka rejekinya lancar. Kalau kerannya kecil, barangkali rejeki yang mengalir juga menjadi kecil.

Kitalah yang harus bijaksana, walau sumbernya besar, tetapi kalau kita tidak bisa mengatur kelancaran rejeki dengan keran nafsu, maka sumber itu pun akan mudah mengering. Sebaliknya, keterbatasan rejeki tetapi dapat kita siasati dengan pengaturan keran nafsu yang sebaik-baiknya, maka kita dapat memanfaatkan rejeki itu dengan optimal...

Oya, kalau kita juga mau memanfaatkan keran ini di bulan Ramadhan juga bisa. Selain keran nafsu, bisa juga memakai keran maaf. Semoga kita bisa membuka keran maaf sebesar-besarnya, agar kita lebih legowo atau besar hati di dalam menjalani hidup ini...

Hmmmh...mau mulai belajar mengatur keran kehidupan kita masing-masing ? Ahaaaa.....semoga lancar dan sukses yaaaa....


Jakarta, 16 Agustus 2010

Salam hangat di sore hari yang mendung....


Ietje S. Guntur


Special note :
Terima kasih untuk Ibeth dan Lucy yang menjadi inspirasi tulisan ini...ketika saya sibuk dengan keran dan digelitik untuk menulis....hehehe...Terima kasih juga untuk keran-keran kehidupanku yang membuat hidupku semakin kaya makna...