Minggu, 26 September 2010

Art-Living Sos 2010 (A-9 Daun Musim Gugur

Dear Allz....

Apakabar di hari Minggu ini ? Hehe...asyiiikkk yaaa....libur-libur...bisa beristirahat...bisa berkumpul bersama keluarga...atau berkumpul dengan teman-teman...atau saatnya merenungi perjalanan selama seminggu...

Hari Minggu atau hari libur selain untuk mengistirahatkan tubuh, seyogyanya juga kita dapat mengistirahatkan jiwa...merenung...melihat ke dalam...mengajak diri kita berbincang dan bercakap-cakap...hehe...Aneh, ya...??? Kenapa mesti aneh ? Kita bisa ngobrol berjam-jam dengan orang lain, yang notabene jauh dari jangkauan kita. Tapi kenapa kita tidak pernah, atau enggan ngobrol dengan diri kita sendiri, yang begitu dekat ?

Padahal kalau kita mau, kita bisa ngobrol dengan diri kita...memahami keadaannya, mengakomodasi kebutuhannya. Tidak hanya kebutuhan fisik seperti menanyakan kepada jantung, apakah dia baik-baik saja di situ, apakah detaknya sesuai dengan peraturan. Juga bertanya kepada usus dan lambung, apakah dia tidak menderita ketika kita jejali dengan berbagai bahan makanan yang indah dilihat, enak di lidah, tapi membuat lambung harus bekerja ekstra keras.

Oya...pernahkah kita juga bertanya kepada batin kita, kepada pikiran kita, kepada emosi kita : apakah dia sedang senang atau sedih, apakah dia sedang memikul beban emosi karena benci dan marah, apakah dia memelihara seekor dendam yang selalu menyalak dan membuat batin kita menjadi bising ?

Oke...oke...tenaaaangg...di hari yang indah dan ceria ini memang saatnya kita kembali kepada diri sendiri. Kembali menengok atau membezuk diri. Mengakomodasi body, mind and soul kita...

Jadi...untuk hidangan di hari yang indah dan ceria ini saya hanya ingin cerita sedikiiiiiit saja. Cerita tentang daun. Iya, daun...hehehe...boleh, kan ?

Selamat menikmati...semoga berkenan....

Selamat menikmati hari Minggu, yaaaa...

Jakarta, 26 September 2010

Salam sayang,

Ietje S. Guntur

♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-9

IDE :Minggu, 26 September 2010

Start : 26/09/2010 7:10:29

Finish : 26/09/2010 8:20:56

DAUN MUSIM GUGUR

Hari libur. Saya sedang membereskan buku-buku catatan lama. Ada catatan yang sedang saya butuhkan. Dan biasanya itu saya tulis di dalam secarik kertas, atau di dalam buku bloknote yang sering saya bawa kemana-mana. Iya...walaupun sekarang sudah jamannya komputer, laptop, handphone, Ipad dan sebagainya, tapi saya lebih nyaman menulis sebaris dua baris ide di atas sehelai kertas di dalam buku catatan kecil itu...hehe...kayaknya ada emosi yang lebih dalam di sana.

Setelah bongkar sana bongkar sini dan menjelajah beberapa tas kerja yang penuh berisi segala harta karun doraemon, saya menemukan buku catatan lama tadi. Cari-cari...eeeeh...ketemu deh tulisan kecilnya. Syukur alhamdulillah...idenya masih klop dengan kondisi sekarang. Dan eeeeh...apa lagi ini ? Sehelai daun tiba-tiba jatuh dari salah satu lembarannya. Daun berjari lima, yang warnanya hijau agak kekuningan.

Saya tertegun. Sejenak hati saya berdebar. Itu daun maple. Daun maple pertama yang saya lihat seumur hidup. Ketika saya dalam perjalanan ke Negeri Utara beberapa tahun lalu. Hmm....kenangan membuncah. Daun itu adalah daun maple yang gugur di awal musim panas...belum terlalu kuning...karena saya memungutnya terlalu cepat. Saya membolak-balik daun maple itu. Daun yang indah...dan inspiratif. Daun yang tahu, kapan dia harus tumbuh hijau, dan kapan dia harus gugur ke bumi....

Saya tersenyum.

Urusan daun di dalam lembaran buku catatan atau buku pelajaran sekolah bukan yang pertama kali saya lakukan. Semasa masih kecil, sejak di Sekolah Dasar, saya gemar memetik daun-daun yang beraneka bentuk lalu menyimpannya di antara lembar-lembar buku. Bahkan kadang-kadang tanaman semak yang masih kecil saya cabut dari tanah, untuk melihat komposisi sebuah tanaman yang lengkap dari daun hingga akarnya.

Kebiasaan mengumpulkan daun-daun dan menyelipkannya di dalam lembar catatan terus berlanjut hingga saya di SMP, SMA bahkan setelah kuliah di perguruan tinggi. Dalam setiap perjalanan saya ke berbagai tempat, saya selalu tertarik melihat daun-daun yang berbeda dari tempat tinggal saya. Ada daun yang agak lebar, ada daun yang kecil-kecil. Beberapa jenis daun itu saya ketahui nama pohonnya, tetapi kebanyakan tidak. Jadi saya hanya menyimpannya, dan menuliskan di mana saya mendapatkan daun itu. Sekedar catatan, bahwa saya pernah ke satu tempat, untuk kenang-kenangan perjalanan...hehe...

Beberapa tahun kemudian, kala saya iseng seperti sekarang, kadang-kadang daun yang sudah gepeng dan kering itu muncul lagi. Seperti memberi peringatan, seperti seorang sahabat lama yang terlupakan, dan ingatan saya pun kembali ke saat saya mengumpulkan daun-daun itu. Kadang saya memungutnya ketika ia sedang berguguran...kadang saya memetiknya sambil minta ijin kepada pohonnnya ( biasanya saya berbisik begini ,” maaf, ya...daunmu aku petik, untuk koleksi dan kenangan...terima kasih , Pohon...). Lalu dengan hati-hati saya akan menyimpannya, untuk kelak dikumpulkan dengan koleksi daun-daun lain yang sudah saya miliki.

Ingat daun yang berguguran di Negeri Utara, saya jadi ingat daun-daun yang juga berguguran di sepanjang perjalanan saya saat masih kecil di Medan, saat saya kuliah di Bandung, dan saat saya bekerja di kawasan jalan Sudirman Jakarta. Dari semua daun-daun yang saya temukan, saya paling tertarik dengan daun pohon mahoni.

Daun pohon mahoni ini seperti memiliki siklus tersendiri, yang berbeda dengan daun-daun tanaman tropis lainnya. Dari pengamatan saya, pohon mahoni seperti tahu, kapan dia harus menggugurkan seluruh daun secara bersamaan di satu pohon, kapan mereka tumbuh bersemai kembali, dan kapan mereka akan tumbuh matang bersama-sama. Pada saat daun-daun mahoni mengering dan berguguran ditiup angin, saya sering tertegun memandangnya. Daun-daun itu seperti menari-nari di udara, berputar-putar dengan gembira, sebelum akhirnya terseret-seret di tanah dan diam menanti angin untuk beterbangan lagi.

Semasa masih kanak-kanak dulu, kami – saya dan sahabat-sahabat , akan berlarian di bawah pohon mahoni lalu berusaha menangkap daun-daun yang berjatuhan sebelum mendarat di tanah. Rasanya senang sekali bila kita mendapatkan daun yang masih utuh. Itu sebuah prestasi, karena untuk menjangkau daun mahoni langsung dari tangkainya agak sulit. Pohon mahoni umumnya tinggi-tinggi, dan sulit untuk dipanjat begitu saja. Daun-daun mahoni ( dan kadang buahnya) akan menjadi koleksi istimewa di dalam buku catatan kami. Tidak heran, kalau buku tulis dan buku berhitung saya jaman SD dulu penuh dengan koleksi daun dan juga...hmmh...bulu ayam. Eeeh, tapi koleksi bulu ayam kan sudah saya ceritakan dalam episode kemoceng...hehe...

Ketika saya kuliah di Bandung, daun-daun mahoni yang berguguran di jalan-jalan Bandung Utara mengingatkan saya akan masa kecil yang penuh semangat dan kegembiraan. Daun-daun itu seperti membisikkan keceriaan dan semangat yang sama pula. Membuat saya seperti ada di dekat rumah. Tempat saya akan kembali suatu hari nanti. Kemalasan dan keengganan yang kadang menggandol di dalam hati, mendadak akan bergolak penuh semangat ketika kenangan itu menyeruak seperti percik-percik air.

Begitu pula, ketika saya sudah bekerja di Jakarta. Melihat daun-daun pohon mahoni di Jalan Sudirman yang selalu berganti warna...hijau pupus yang muda, kemudian hijau yang lebih matang, berubah menjadi hijau tua, lalu hijau tua kehitaman karena polusi jalan raya...dan terakhir ketika daun-daunnya berguguran adalah pemandangan yang sangat menarik dan inspiratif. Tidak jarang saya pun berhenti sejenak, melihat daun-daun yang berganti warna, dan menyesap semangat yang selalu muncul dari daun-daun yang beterbangan bersama angin.

Melihat keindahan daun, melihat keceriaan daun, melihat daun-daun yang berguguran...saya sering merenung.

Daun ibarat siklus kehidupan manusia.

Ada daun yang masih hijau dan muda, ketika mereka dengan malu-malu membuka helai-helainya untuk disentuh sinar matahari. Ada daun yang lebih matang warnanya, ketika mereka telah berfungsi sebagai dapur tanaman yang bermetabolisme mengolah masakan dan memberi makan seluruh organ pohon, dan ada saatnya ketika daun-daun itu mulai mengering...lalu gugur ke tanah pada saat dihembus angin. Di tanah pun daun-daun ini tidak diam begitu saja. Banyak daun-daun pohon justru ditunggu ketika mereka sudah jatuh ke tanah, untuk kemudian dikumpulkan dan dimanfaatkan menjadi pupuk organik...pupuk alamiah. Untuk memberi kehidupan dan meningkatkan kesehatan tanaman generasi berikutnya....

Begitulah daun. Setiap saat dari hidupnya selalu bermanfaat. Tidak pernah ada satu masa pun dari sehelai daun yang tidak berguna . Tidak ada satu waktu pun dari daun yang tidak memberikan semangat. Daun selalu gembira. Pada saat hujan dia membuka mulutnya lebar-lebar sehingga seluruh pohon akan menikmati tetes-tetes air yang menyegarkan. Saat matahari terik, dia bekerja giat mengolah masakannya. Ketika senja turun dan malam memeluk sang waktu, dia pun menutup mulut daunnya, beristirahat agar proses metabolisme dilanjutkan oleh bagian pohon yang lain.

Mengamati sehelai daun di dalam lipatan buku catatan harian saya, membuat saya menundukkan kepala .

Bila daun pun memahami kapan mereka harus tetap berada di tangkainya, kapan harus meneduhi pohon dan orang-orang yang lewat di bawahnya, kapan harus gugur serta kembali ke asalnya dan bercampur dengan tanah menjadi pupuk....Bagaimana dengan kita ?

Sudah siapkah kita menjadi daun-daun kehidupan...yang walaupun suatu saat akan gugur pada musimnya, tapi tetap bermanfaat selamanya...

Jakarta, 26 September 2010

Salam selembut daun....

Ietje S. Guntur

Special note :

Terima kasih untuk sahabat-sahabat perjalananku...Neno, Koko, Mb Nuki, Mb Hapti....perjalanan ke Utara sangat inspiratif...Juga sahabat masa kanak-kanakku yang selalu ceria dan inspiratif...Ana, Tiar, Donti, Butet, Cicik, Yul, Evi, Ira, Eva Rabita, Ningsih, Nina, De’i, Erna, Dahlia....thanks sudah menjadi bagian perjalanan daun kehidupan yang hijau dan penuh semangat...

Tidak ada komentar: