Sabtu, 28 Agustus 2010

Art-Living Sos 2010 (A-8 ASPAL

Dear Allz...

Hmmmh....ssstttt....lagi ngapain ? Apakabar teman dan sahabatku ? Ada yang sedang menjalankan ibadah puasa ? Hmm...semoga puasanya lancar, yaaa...dan berkah juga buat semua, yang puasa maupun teman-teman dan sahabat di sekitar kita...

Hehehe...iya, puasa memang suatu ibadah...dan sama dengan ibadah lainnya, yang menjadi dasar ibadah adalah keikhlasan...dan hasil ibadah itu adalah perbaikan diri yang terus menerus. Ini sih nggak semata-mata buat ibadah puasa saja, tetapi juga untuk berbagai aktivitas kita yang lain...termasuk bekerja.

Ya, iyalah...kalau kita melakukan sesuatu nggak jelas dan nggak ikhlas, rasanya aktivitas itu pun terasa berat. Jadi seperti beban yang menggelayut di pundak. Tapi kalau kita melakukannya dengan ikhlas, dengan gembira...apa pun yang kita kerjakan akan terasa ringan...seperti kapas yang ditiup angin...hehehehe...

Bukan hanya itu....keikhlasan dan kegembiraan membuat kita jadi penasaran, dan jadi ingin berbuat yang lebih baik lagi. Minimal...kita ingin agar hidup kita berguna dan bermanfaat untuk lebih banyak orang. Tak hanya untuk diri sendiri, tak hanya sekedar numpang lewat...tapi terus melekat erat...hingga ke dalam hati. Yeah...mirip-mirip aspal gitu deechh...

Haaaaa....aspal...!!! Apa hubungan ikhlas dengan aspal ? Sekilas memang tidak ada hubungan. Tapi apa jadinya jalan raya tanpa aspal ? Bagaimana kalau aspal tidak ikhlas melicinkan jalan di jalur Pantura ? ohooooo....pasti jalan tidak akan mulus dan perjalanan tidak lancar...hmmh...menarik juga khan ?

Kalau begitu...kita bincang-bincang sedikit deh tentang aspal....Mau khaaan ???

Oke deeeh...selamat menikmati.....

Jakarta, 23 Agustus 2010

Salam erat yang selalu hangat,


Ietje S. Guntur

♥♥♥



Art-Living Sos 2010
Jumat, 20 Agustus 2010
Ide : 20/08/2010 15:07:53
Start : 21/08/2010 09:40:06
Finish : 21/08/2010 10:45:50


A.S.P.A.L


Pagi-pagi. Hari Senin. Hari yang biasanya dimulai dengan ketergesaan... hehehe...

Saya sedang dalam perjalanan ke kantor. Melewati jalan di kompleks perumahan, yang dulu muluuuuuusss dan rata. Sekarang, jalan itu sudah bopeng-bopeng, banyak lubangnya....granjul-granjul...gronjal-gronjal bila kita memacu kendaraan lebih cepat. Akibatnya, perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam waktu 5-10 menit bisa-bisa menjadi dua kali lipat.

Saya memandang sedih jalan yang sekarang nyaris tidak karuan bentuknya, dengan lapisan aspal yang mengelupas di sana sini. Membuka lobang-lobang yang sangat berbahaya bagi pengendara kendaraan bermotor. Duuuh...kenapa jadi begini, ya ?

Jalan di kompleks perumahan saya, yang konon pernah termasuk perumahan ‘kelas satu’ di kawasan Selatan Jakarta tidak sendirian. Dari banyak perjalanan saya ke berbagai penjuru kota Jakarta, kondisi jalan yang bopeng, bopak, berlubang-lubang bukan hanya milik kami sendiri. Bahkan yang lebih parah, jalan protokol sekelas Jalan Jenderal Sudirman sekalipun tak luput dari cacat lobang dengan aspal yang geripis di sana sini. Jangan kita bicara soal jalan negara antar kota antar propinsi. Terutama di luar Jawa, semisal jalur pantai Timur dan pantai Barat Sumatra. Kondisi jalan yang parah, seperti sudah menjadi cerita rutin sehari-hari. Selama bertahun-tahun...halaaahh...!!

Pembenahan atau pemolesan jalan, biasanya dilakukan setahun sekali menjelang hari raya Lebaran, untuk memperlancar arus kendaraan yang mudik ke kampung. Ohh..lalalala...kenapa begitu ya ?

Konon, kemajuan sebuah negara ditentukan oleh kondisi jalan rayanya ! Hmmh...kayaknya sih pameo itu bisa dibenarkan juga...hiks hiks hiks...Tapi apakah kita perlu membuktikan bahwa kita memang benar-benar tidak punya aspal untuk melapisi jalan raya yang merupakan infrastruktur pembangunan ? Wadoowww...




Ngomong-ngomong soal aspal, saya jadi ingat pelajaran jaman SD dulu. Kata buku saya, Indonesia memiliki tambang aspal yang terkenal di pulau Buton. Lalu ?

Kenyataannya memang demikian. Kita punya, tapi karena teknologi pengolahannya belum optimal, jadi biaya pengolahannya kalah ekonomis dibandingkan dengan aspal minyak yang diproduksi oleh Pertamina.

Begitulah...Ternyata urusan aspal ini sama rumitnya dengan urusan kecantikan wanita . Kalau wanita kan merasa kurang kinclong kalau wajahnya belum dipoles alas bedak dan ditaburi bedak. Tingkat kemulusan dan kekinclongan wajah wanita ini pun bisa berbeda-beda, tergantung dari perawatan dan modalnya...hehe...kata lainnya, tergantung dari bahan dan merek kosmetik yang dipergunakannya . Sama juga dengan aspal.

Dulu saya pikir aspal itu ya sama saja. Tapi dari pengamatan dan sedikit penelusuran saya, ternyata memang ada beda. Ada aspal yang hasil tambang seperti di Buton itu, yang disebut sebagai aspal alam. Dan ada aspal yang berasal dari pengolahan minyak atau aspal minyak. Hasilnya ada aspal padat dan ada aspal cair. Kedua aspal ini disebut bitumen , yang merupakan bahan pengikat pada campuran yang dimanfaatkan sebagai lapis permukaan lapis perkerasan lentur.

Konon aspal mulai digunakan untuk melicinkan dan me-make up jalan raya agar mulus pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Sebelumnya jalan raya dibangun dengan menyusun batu alam, atau cukup dari campuran batu yang dihancurkan dan diaduk dengan tanah alam sekitar. Namun sebetulnya teknologi pembuatan perekat seperti aspal ini sudah dikenal oleh bangsa Sumeria sejak 3000 tahun sebelum Masehi.... woow... 

Memang, tak hanya wanita yang perlu berdandan. Jalan raya pun perlu bersolek. Tidak heran sejak dulu orang sudah berusaha membuat jalan raya yang nyaman, walaupun dengan perekat tanah untuk memadatkan batu-batuan. Hingga saat ini, beberapa kota-kota di Eropa masih ada jalanan yang terbuat dari susunan batu-batu dengan perekat model aspal kuno berdampingan dengan jalan raya yang mulus licin bak kulit wajah anak perawan...hmm...

Kata aspal berasal dari bahasa Yunani asphaltos, yang berarti aman. Maksudnya, aspal merupakan bahan yang aman atau mampu mencegah rembesan air. Dengan kata lain, aspal adalah bahan yang kedap air. Sekitar 1500 Masehi, bangsa Inca di Peru mulai menggunakan aspal sebagai pengeras jalan. Di Amerika Serikat (AS), aspal mulai dipakai sebagai bahan pengeras jalan raya pada 1850-an.

Penggunaan aspal untuk jalan memang termasuk kemajuan, dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Itu sebabnya, kemajuan ekonomi suatu negara memang tercermin dari kemampuan mereka mengalokasikan dana untuk memuluskan jalan raya dengan aspal. Ya, iyalah...ada rupa ada harga...mana bisa kita tampil cantik kalau tidak mau keluar modal. Dan yang jelas, ada visi untuk maju dan mau berkembang lebih baik lagi.



Saya sendiri merindukan jalan yang mulus berlapis aspal. Tidak hanya untuk kemudahan perjalanan dari rumah ke kantor, atau ke manapun perjalanan saya, tapi juga untuk menjaga kebersihan lingkungan. Dengan adanya lapisan aspal pada jalan raya di depan rumah, maka kotoran, sampah, daun-daun akan lebih mudah dibersihkan...dan bebas debu serta limpahan air yang menjadi lumpur.

Tak hanya itu. Saya jadi ingat semasa kecil dulu, kami sering main sepatu roda atau sekarang dikenal sebagai roller blade dan skate board di jalan raya di depan rumah. Tentunya di dalam kompleks yang bebas kendaraan lalu lalang...hehe...Maklum, kalau mau main sepatu roda di halaman rumah mana seru...Selain sempit juga bisa menyambar tanaman yang ada di halaman. Bisa-bisa diomelin ibu dan orang rumah yang sudah cape-cape menanam dan merawat tanaman hias...hiiks...

Oya...kalau jalanan di depan rumah licin dan bersih, kita kan juga jadi semangat merapikan rumah...hehe...Dampak lingkungannya cukup besar juga khan ?




Kembali ke urusan aspal.

Saya jadi merenung sedikit. Aspal konon dibuat untuk melapisi dan memperkuat struktur jalan. Banyak hal terbantu dengan penggunaan aspal yang membuat perjalanan menjadi lancar. Aspal memang tidak menonjol, tetapi aspal dapat membuat perubahan dan pengembangan lingkungan sangat pesat.

Banyak hal terbantu karena kehadiran aspal. Dan banyak hal yang tertunda karena ketiadaan aspal.

Sama juga dengan kehidupan kita. Ketika kita mampu berbaur, mampu menjadi bagian dari sebuah infrastruktur, akan banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh oleh lingkungan kita. Namun kadang, kesombongan kita untuk menjadi yang utama dan diperhatikan secara khusus membuat kita lupa, bahwa kita punya potensi seperti aspal. Merekatkan.

Silaturahmi yang kita lakukan, mirip dengan apa yang dilakukan oleh aspal. Silaturahmi pun ada yang alamiah, seperti aspal Buton, tapi ada juga hasil olahan pergaulan yang dikemas dengan berbagai etika dan tata krama.

Apa pun...menjadi aspal tetaplah merupakan tindakan yang positif. Asalkan kita juga mawas diri...jangan menjadi ASPAL yang ASPAL...alias asli tapi palsu...Tetaplah bersikap wajar dan jujur, tanpa perlu memolesnya dengan kepura-puraan. Karena yang palsu itu tetap akan luntur dan membuat penampilan menjadi tidak alamiah . 

Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan...semoga siapa pun kita, dapat memanfaatkan momentum ini untuk menjadi aspal yang merekatkan hati dan merekatkan dunia sekitar kita... Semoga kita dapat menjaga diri, menjadi diri kita sendiri. 






Jakarta, 21 Agustus 2010

Salam erat yang hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :

Untuk sahabat-sahabatku di SDM Global yang seperti aspal perekat silaturahmi dan pengembangan ilmu berbatas langit...thanks buat mas Hamid Ho, mas Dwi, Nonce, Monik, Papih Ir, Adith, Kun, Bas, Boby, mas Agus, mas Irsad, Nia-Fitri-Tetta, mb Bea...Juga sahabat-sahabat di Trainersclub...mas Hendry, sis Lina, sis Ayu, sis Lila, kang Uu, Teddy, Mas Krisna KP, mas Saleh Lukas, mas Krishnamurti...sahabat di Profec, special mb Lies...dan semua-mua yang telah melimpahkan aspalnya untuk kehidupan yang lebih luas lagi...


Ide :
1. Aspal adalah materi pelapis jalan.
2. Aspal juga disebut asli tapi palsu
3. Hidup ini sebaiknya yang asli, karena yang palsu akhirnya akan luntur.

Tidak ada komentar: