Sabtu, 17 Oktober 2009

Surat untuk sahabat 2009 (A-10 Negeri Angso Duo

Start : 15/10/2009 15:26:30
Finish : 15/10/2009 17:00:12

Surat untuk sahabat 2009 ( Oleh-oleh dari Jambi


NEGERI ANGSO DUO


Ketika beberapa waktu lalu seorang sahabat mengundang ke Jambi, saya langsung bersorak-sorak dan bernorak-norak bergembira. Sudah cukup lama saya tidak berkunjung ke Negeri Angso Duo itu. Maklum, sebagai ‘Anak Sumantrah ‘ ( ini sebutan eyang saya bagi kami yang lahir di Sumatra), dan termasuk pelanglang-buana Bukit Barisan, perjalanan ke Jambi selalu menarik.

Seorang teman yang belum pernah ke Jambi ingin ikut bergabung. Dan dia tanya dengan rasa penasaran ,” Ada apa di Jambi ?” Saya terdiam. Tidak berani memberi komentar. Lalu melirik sahabat saya yang pernah lama tinggal di sana. Mencari jawaban.

Sahabat yang mengundang saya sempat terperangah sejenak. Lalu menjawab dengan nada ragu, “Apa, ya ? Di Jambi nggak ada apa-apa !”

Haaaahhh ? Tidak ada apa-apa ? Saya mengernyitkan kening. Tidak ada apa-apa menurut kacamata siapa ? Kalau dilihat dari kacamata pelancong Jakarta, dan dibandingkan dengan kota metropolitan itu, yaaaa...jelas dong ! Itu sama saja dengan membandingkan gajah dengan kura-kura....hehehehe...tapi kan tetap saja ada yang menarik di sana.

Salah satu diantaranya adalah legenda tentang Angso Duo !

Saya jadi ingat sebuah pantun lama tentang Angso Duo atau Angsa Dua seperti ini :

Pulau Pandan jauh di tengah
Di balik Pulau si Angsa Dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik terkenang jua...



Ngomong-ngomong tentang Jambi. Bagi kita penikmat siaran warta berita RRI pastilah tidak asing dengan berita harga bahan pokok di sejumlah pasar tradisional di Indonesia. Salah satu nama pasar yang selalu disebut–sebut oleh penyiar radio itu adalah Pasar Angso Duo, Jambi. Urusan tomat gondol, kol gepeng dan cabe keriting pasti dikaitkan dengan aktivitas transaksi di pasar Angso Duo .

Saya, yang sejak masih kecil dulu punya hobby mendengar warta berita pasar, tertarik juga dengan cerita Pasar Angso Duo ini. Dan akhirnya jadi penasaran, seperti apakah wujudnya si Pasar Angso Duo yang legendaris itu.

Jadi teringat. Bertahun-tahun lalu, ketika saya menginjakkan kaki ke Jambi, yang terletak di tepi sungai Batanghari. Yang pertama saya lakukan adalah berkunjung ke Pasar Angso Duo. Saya mondar mandir di lorong-lorongnya. Mencari keluarga tomat gondol, kol gepeng dan cabe keriting yang selalu dibacakan di dalam siaran warta berita RRI. Dan akhirnya, tak cuma tomat gondol and the gang yang saya temukan, tetapi juga berbagai jenis makanan dan barang pernak-pernik khas daerah Jambi.

Belakangan, dalam persinggahan berikutnya, saya pun menemukan berbagai bentuk peranti makan dan hiasan keramik serta kristal-kristal penghias ruangan . Semua dipajang di kios-kios kecil di dalam pasar. Bercampur dengan sayur-mayur dan kebutuhan pokok lainnya. 

Untuk kulinernya, sebagai penggemar berat martabak, saya juga menemukan makanan kesukaan itu. Terselip di antara para pedagang lainnya. Dan tanpa menunggu lama , saya langsung memesan seporsi martabak telur ala Mesir yang disiram dengan kuah kari yang kental dan gurih rasanya...Sedaaaapppp !!! Saat itu juga saya langsung jatuh cinta pada Negeri Angso Duo. Hmmmhh....



Rasa penasaran tentang si Angso Duo, masih melekat di benak saya ketika undangan dari sahabat itu saya terima.

Kenapa ya, nama pasar legendaris itu disebut Pasar Angso Duo ? Apakah itu ada hubungannya dengan pantun lama tadi, atau ada legenda lainnya ?

Setelah tanya kiri kanan, cari kesana kemari, saya menemukan sebuah hikayat turun menurun, legenda tentang asal usul nama Angso Duo. Mau tahu ceritanya ? Hmmm...begini...

Konon, pada masa Jambi masih merupakan bagian dari kerajaan Pagaruyung yang berada dibawah naungan kerajaan Majapahit, ada seorang putri cantik bernama Putri Selaras Pinang Masak. Ia bertempat tinggal di hulu sungai Batanghari, yang membelah wilayah Jambi.

Karena tidak mau tunduk kepada kekuasaan Majapahit, yang saat itu akan berpisah dari kerajaan Pagaruyung, maka ia pun melarikan diri dan dikejar-kejar oleh tentara Majapahit. Di dalam perjalanannya itu ia mendapat petuah, untuk mencari lokasi baru untuk tempat tinggalnya kelak . Lalu sesuai dengan petunjuk yang diperolehnya, ia melepaskan dua ekor angsa, jantan dan betina di sungai Batanghari. Dan melihat di mana kedua angsa itu berhenti berenang, sebagai titik lokasi untuk mendapatkan kepastian di mana ia harus membangun istana yang baru. Pengganti istana yang ditinggalkannya di Pagaruyung.

Akhirnya ia melihat kedua angsa berhenti, di sebuah daratan . Dan di sanalah ia membangun istananya kembali. Lalu sejak itu, legenda tentang Angsa Dua , atau Angso Duo dalam dialek Jambi, menjadi terkenal dan tercatat dalam sejarah berdirinya kerajaan Melayu Jambi . Benar tidaknya kisah ini, wallahu alam...karena ini adalah hikayat turun temurun yang tetap hidup dalam masyarakat di sana.

Sekarang....legenda Angso Duo ini pun telah diabadikan dalam corak batik lokal Jambi yang khas. Si Angso Duo ini tak hanya indah menjadi busana , tetapi juga banyak dimanfaatkan untuk properti lainnya. Gorden batik, sarung bantal, taplak...semua bernuansa sepasang angsa dengan warna-warni yang beraneka. Cantik menarik....



Bagi saya Jambi, atau Negeri Angso Duo ini memang masih menyisakan sejumlah pertanyaan dan rasa penasaran.

Selain terkenal dengan Pasar Angso Duo yang legendaris, Jambi juga tidak bisa dipisahkan oleh Sungai Batanghari yang mengalir dari hulunya di gunung-gunung Bukit Barisan di wilayah Sumatra Barat. Lalu, dengan pelahan sungai ini mengalir menuju Selat Sumatra atau dikenal juga dengan sebutan Selat Malaka di pantai timur Sumatra. Tak seperti sungai-sungai di Jakarta yang tidak seberapa lebarnya, sungai Batanghari di Jambi hampir satu kilometer lebarnya dari sisi kiri ke sisi kanan....wuiiiihh..

Penasaran dengan lebarnya sungai , akhirnya pada perjalanan ke Jambi kali ini, saya pun mencoba menyisir sungai dengan perahu pompong. Yaitu perahu panjang tanpa atap, dengan mesin motor ukuran kecil di belakangnya. Berlayar di sepanjang sungai, dari satu sisi sungai ke sisi lainnya saya memuaskan mata untuk melihat pemandangan kota dari tengah sungai yang mengalir tenang.

Sungguh....kota Jambi sekarang sudah memiliki banyak kemajuan. Tak hanya Pasar Angso Duo dengan cabe keriting dan kol gepeng yang mewarnai kota. Sekarang jejeran pertokoan dan mal mewah juga sudah menjadi bagian dari denyut kota. Nyaris tak berbeda dengan kota-kota di propinsi lain yang sedang bertumbuh. Jambi sekarang bukan tak ada apa-apanya, tapi justru sedang mengalami eforia pembangunan. Yang terkadang agak tertatih dan terkesan dipaksakan.

Meninggalkan Jambi di sore hari yang hangat, sekeping hati saya terasa miris.

Adakah Jambi, yang kata sahabat saya tidak ada apa-apanya itu, bisa mempertahankan identitas khas sebagai Negeri Angso Duo yang legendaris ?

Bisakah....hikayat lama tentang kejayaan masa lalu itu menjadi spirit pembangunan kota Jambi, tanpa meninggalkan roh budaya yang sudah melekat dan menyatu dengan nafas masyarakat setempat. Sehingga ketika kita menyebut nama Jambi, maka si Angso Duo tak hanya sekedar menjadi gambar di atas helai batik lokal yang indah. Tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan sejarah perkembangan sebuah kota yang memiliki prospek masa depan....

Semoga saja.....

♥♥

Jakarta, 15 Oktober 2009

Salam hangat,



Ietje S. Guntur

Tidak ada komentar: