Sabtu, 17 Oktober 2009

Surat kepada sahabat 2009 (A-10 Shandyakala di Muaro Jambi

Start : 15/10/2009 21:56:17
Finish : 16/10/2009 10:36:04

Surat kepada sahabat 2009 (Oleh-oleh dari Jambi

SHANDYAKALA di MUARO JAMBI...

Jalan-jalan ke Jambi ? Mau ngapain ? Memangnya di Jambi ada apa ?
Barangkali itulah pertanyaan yang terbersit di benak kita, bila membicarakan tentang Jambi. Sebuah propinsi di pantai Timur Sumatra. Yang terletak agak terjepit diantara propinsi Riau dengan propinsi Sumatra Selatan. Selain posisinya yang terselip, Jambi kurang dikenal sebagai tujuan perjalanan yang menarik.
Ya, memang....Kita kan melakukan perjalanan mesti ada maksud dan tujuannya. Bahkan sebuah kawasan hutan belantara atau sebuah danau yang liar masih bisa dijadikan sebagai tujuan perjalanan. Ada nilai-nilai petualangan yang membuat rasa penasaran mencuat. Tapi kalau tidak ada apa-apanya ?
Hmmmhhh....justru karena alasan itulah saya jadi penasaran...hehehehe...
Masa sih, daerah yang saya sebut sebagai Negeri Angso Duo ini tidak punya apa-apa sebagai tujuan perjalanan ? Masa sih negeri yang pernah tersohor di abad-abad yang lalu tidak punya apa-apa sebagai jejak sejarah ? Yang benar saja....uuuuhhh....

Berangkat dari rasa penasaran itu, dalam perjalanan ke Jambi kali ini saya pun pergi mengunjungi sebuah situs sejarah masa lalu. Yaitu kompleks situs Candi Muaro Jambi. Hmmh...ternyata ini situs percandian yang sangat unik.
Tanpa saya sadari, setelah menyusuri jalan setapak dari candi ke candi yang terletak di kawasan itu saya telah menyingkap sedikit catatan dari masa lalu. Di kawasan candi yang konon terluas wilayahnya di Indonesia ini, saya menemukan jejak-jejak sejarah yang menjadi tonggak perjalanan kerajaan-kerajaan Nusantara yang berjaya di masa lampau. Dengan luas kawasan sekitar 12 kilometer persegi, situs ini memiliki 80 buah candi. Sembilan diantaranya adalah candi-candi yang besar.
Sebut saja seperti Candi Gumpung dan candi Tinggi...Ini tempat saya berdiri sekarang. Candi ini adalah dua diantara enam candi yang sudah dipugar. Kemudian Candi Gedong Satu dan Gedong Dua ...yang jaraknya 4 kilometer dari Candi Gumpung. Candi Koto Mahligai, Candi Kedaton atau Candi Kedatuan, Candi Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano yang tersebar di kawasan luas ini.
Tak hanya sekedar dipugar, kawasan candi ini pun dibuat seperti taman kebun dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang. Mirip dengan gambaran di komik-komik wayang karya R.A. Kosasih yang pernah saya baca semasa masih kanak-kanak dulu. Barangkali...R.A. Kosasih pun mendapatkan ide gambaran pohon-pohon dan tanah lapang yang luas dari penelusurannya di buku-buku sejarah lama...Wallahu alam.
Melanjutkan perjalanan di seputar kawasan situs Candi Muaro Jambi, saya melihat ada perbedaan material antara candi-candi di pulau Jawa dengan Candi Muaro Bungo ini. Jika candi di Jawa dibuat dari pahatan batu alam , yang tentunya berasal dari wilayah sekitarnya . Candi-candi di kawasan Muaro Bungo dibuat dari batu bata yang dibakar dengan teknik pembakaran keramik tempo dulu. 
Melihat hasil pembakaran keramik, termasuk batu bata dan beberapa artefak lainnya, saya menduga tentulah teknik pembakaran keramik dan gerabah tempo dulu telah tinggi sekali. Bahkan setelah terpendam selama ratusan tahun di dalam tanah berawa-rawa seperti halnya kawasan situs percandian tersebut, hampir seluruh batubata yang ada tetap utuh dan dalam kondisi yang kuat.
Tak hanya sekedar tumpukan batu bata. Hasil galian di kawasan situs ini juga menemukan beberapa stupa dan arca. Ada stupa yang terletak di halaman candi. Dan ada arca batu Dwarapala, yang ditemukan di gapura Candi Gedong pada tahun 2002 . Biasanya terletak sebagai penjaga pintu gerbang sebuah kerajaan. Masih ada lagi, yaitu arca Dewi Pradnjaparamita, yang dikenal sebagai dewi kesuburan. Sayangnya, arca Dwarapala yang seharusnya sepasang belum ditemukan pasangannya. Sedangkan arca Dewi Pradnyaparamita tidak utuh kepala dan tangannya.

Melihat situs yang berdiri di hadapan saya, rasanya seperti membuka buku pelajaran sejarah jaman SD. Dalam hitungan menit, saya membayangkan, di sinilah dulu kerajaan Sriwijaya yang terkenal dengan armada lautnya mulai mengembangkan jaringannya. Sungai Batanghari yang membelah propinsi Jambi , sungai Musi yang membelah kota Palembang, dan sungai-sungai besar lain di pantai Timur Sumatra adalah awal mula berdirinya kerajaan-kerajaan Nusantara yang mendunia.
Kita tentu masih ingat, betapa mesranya hubungan antara kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan kerajaan-kerajaan di India. Sehingga tidak hanya pertukaran budaya yang terjadi, tetapi juga saling pengaruh dalam kehidupan spiritual. Tidak heran kalau kemudian pengaruh agama Buddha dari India menjadi bagian dari kehidupan spiritual di Sriwijaya . Dan itu terlihat dari bukti sejarah yang terukir di situs Candi Muaro Jambi. Candi ini dulu memang merupakan kawasan peribadatan agama Buddha Tantrayana, salah satu aliran agama Buddha yang masih banyak penganutnya di Indonesia.
Penemuan tidak sengaja oleh seorang tentara Inggris bernama SC Crooke pada 1820, ketika ditugasi memetakan Sungai Batanghari , seakan membuka mata kita. Artefak yang berserakan ternyata adalah sebuah kawasan situs yang sangat berharga. Sebuah harta karun terpendam dari sebuah kerajaan besar yang menggetarkan dunia. Namun setelah berjaya ratusan tahun sebagai kerajaan maritim di abad tujuh hingga abad duabelas, kerajaan Sriwijaya pelahan-lahan mengalami masa suram .
Satu demi satu kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri. Kembali kepada kekuasaan lokal. Atau takluk di bawah pengaruh kekuasaan baru yang datang kemudian. Dan akhirnya...di abad ke tigabelas dan empat belas...kerajaan yang mengilhami armada laut Indonesia dengan slogan ‘Jalesveva Jayamahe’...di laut kita jaya... perlahan-lahan menyurut dan hilang pamornya...
Sungguh seperti sebuah Shandyakala...saat senja...dari terang menuju ke kegelapan malam...

Duduk di keremangan senja di antara reruntuhan situs candi yang sedang dipugar, saya merenung.
Di sekitar saya masih banyak serpih-serpih batu bata yang belum sempat dikumpulkan dan direkatkan. Di sekitar saya, barangkali bahkan di bawah tempat saya duduk saat ini masih banyak bukti sejarah yang belum sempat tergali. Atau bahkan tidak terlihat oleh kasat mata kita.
Tugas kita memang masih banyak. Tak sekedar menggali sisa-sisa kejayaan masa lalu. Tak sekedar menjadikan situs candi sebagai cagar budaya dan obyek wisata. Tetapi lebih jauh lagi adalah mempelajari filosofi dasar dari sebuah kehidupan, yang bergulir...dari sebuah kejayaan kepada sebuah shandyakala...
Saya jadi ingat sebuah lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi I’is Sugianto beberapa dekade lalu...
Kala senja kulihat mentari
Tiada lagi sinarnya memudar.. menghilang
Kuberjalan dalam kegelapan
Tiada lagi kawan menemani
Di senja yang sunyi kubernyanyi
Walau hati resah...menanti.

Seandainya saja kita bisa memetik pelajaran kehidupan dari sebuah situs masa lalu....
♥♥

Jakarta, 16 Oktober 2009
Salam sehangat mentari senja hari,

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk sahabat-sahabat perjalananku...Kun, yang selalu cerewet tanya-tanya “Candi apaan sih ini, Mich ?”, Adith yang begitu excited melihat tumpukan batu dan berusaha mencari auranya, Tami yang heboh sendiri membuat sejarah masa kini, Ruby dan Bea yang penasaran, Kang Asep dan ibu yang menginspirasi tujuan perjalanan ini, Jo yang terus menerus dipaksa jadi fotografer ......Thanks ya Nonce, yang sudah mengundang dan membujuki kami datang ke Jambi...Kami jadi belajar banyaaaaak sekali dari perjalanan ini... pokoknya everybody happy deeh ...I love U full...

Tidak ada komentar: