Selasa, 27 Oktober 2009

BUBUR MERAH PUTIH

Dear Allz...

Hellowww....hellloww...morning...mooooorniiiiiiinggg....met pagiiiiiiii......

Lagi ngapain ? Masih awal minggu niiiih...mestinya masih semangat, yaaa ? Semoga deeeh...Semangat itu kan harus dijaga...harus dipelihara...Ibarat tanaman, semangat itu juga harus sering disiram...dijaga kelestariannya...hehehehe...

Iya lho...menjaga kelestarian semangat itu perlu. Tak Cuma semangat masa kini, semangat masa lalu yang berguna pun perlu juga dilestarikan. Seperti sebuah budaya, walaupun sudah lama, tetapi kalau masih ada gunanya...ya, kita jalani dan lakoni saja. Tidak ada salahnya menjaga budaya....seperti salah satunya adalah menjaga budaya ‘bubur merah putih’.

Hmmm...pasti penasaran, yaa...???

Sekali ini saya ingin berbagi cerita tentang bubur merah putih. Mungkin kita pernah mendengarnya sepintas lalu. Mungkin juga kita pernah menyantapnya suatu kali. Tapi, seperti makanan-makanan lain yang kita makan, sering kali kita tidak memahami makna makanan itu bagi diri kita, maupun bagi lingkungan kita.

Semoga saja hidangan saya kali ini dapat menjawab rasa penasaran teman-teman dan sahabat semua….

Selamat menikmati…

Salam sayang…


Ietje S. Guntur



Art-Living Sos 2009 (A-10.1
Serial : Food Psychology – culture
Senin, 26 Oktober 2009
Start : 26/10/2009 10:02:59
Finish : 26/10/2009 12:26:55


BUBUR MERAH PUTIH


Suatu hari saya mendapat kiriman dari tetangga. Dua buah besek makanan , yaitu wadah berbentuk kotak terbuat dari anyaman kulit batang bambu. Isinya adalah makanan. Yang satu berisi sajian nasi dengan lauk ayam semur , urap sayuran, perkedel, telor bumbu, acar timun dan wortel , serta...hmm...kerupuk udang . Sedangkan besek yang satu lagi berisi bubur merah putih...woow...

Bubur merah putih ? Ada apa, ya ?

Saya melihat kartu yang menyertai kiriman besek tersebut. Tertulis, ‘Untuk memperingati kelahiran cucu pertama kami dan pemberian nama “. Ooooh....panteeeesss....

Saya baru ingat. Tetangga di dekat rumah baru memperoleh cucu, dan sebagai tanda kegembiraan diadakan selamatan kecil. Plus membagikan besek makanan yang disebut besek berkat buat tetangga kiri kanan . Sayang saya tidak bisa hadir. Mestinya ini acara keluarga dekat. Lalu sambil mengucapkan syukur atas pemberian itu...sayapun mengucapkan doa untuk si Kecil dan keluarganya. Semoga simbol bubur merah putih ini menjadi berkat juga buat semuanya.



Ngomong-ngomong soal bubur merah putih, sebetulnya ini bukan merah seperti merah cabe atau tomat gondhol . Tapi merah, yang diambil dari warna gula Jawa yang berwarna coklat. Gula Jawa, umumnya dibuat dari nira kelapa atau nira enau, disebut juga gula merah. Padahal warnanya nggak ada merah-merahnya....malahan cenderung berwarna coklat keemasan atau coklat tua kehitaman...hehehehe...

Warna gula jawa yang merah ini dicampur dengan beras yang dimasak bersamaan, sehingga menjadi bubur nasi yang rasanya manis. Dipadu dengan bubur nasi yang diberi santan gurih, jadilah bubur merah putih ini merupakan makanan yang seimbang rasanya.

Bubur merah putih ini dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai makanan yang mengandung unsur kekuatan dan meneguhkan jiwa. Itu sebabnya setiap upacara atau acara selamatan yang ditujukan untuk meningkatkan harkat, untuk kemajuan, untuk keselamatan, maupun untuk perubahan yang lebih baik selalu disajikan bubur merah putih ini. Pemberian nama, maupun mengganti dan menambahkan nama dan gelar biasanya juga dibarengi dengan sajian bubur merah putih.

Itu sebabnya kalau kita salah menyebut nama seseorang, dia akan mengatakan begini ,” Jangan ganti-ganti nama saya. Nanti saya perlu membuat sajen bubur merah putih !” Nah...

Tak hanya memberi nama dan mengganti nama saja disajikan bubur merah putih seperti ini. Bila ada kejadian yang penting dalam perjalanan hidup ini, di keluarga saya, terutama ibu masih taat menyajikan bubur seperti ini. Saya ingat, ketika pertama kali mendapat haid semasa remaja dulu juga dibuatkan bubur merah putih oleh ibu saya. Masih ada juga sih makanan lain-lain, yang masing-masing mengandung makna dan simbol tertentu, tapi yang jelas selalu ada bubur merah putih.

Ketika anak saya mendapat haid yang pertama kali juga, ibu saya mengingatkan, agar jangan lupa dibuatkan bubur merah putih. Saya sih ikut-ikut saja, manut pada tradisi yang sudah menjadi roh budaya Jawa. Toh nggak ada salahnya membuat bubur seperti itu. Bahan bakunya mudah diperoleh. Memasaknya gampang. Dan rasanya lezaaaatttttt.... Gurih dan manis berpadu secara seimbang...hmmm...

Oooh...mungkin juga itu inti sarinya. Keseimbangan...Wallahu alam...



Barangkali bagi masyarakat non Jawa, atau masyarakat Jawa yang sudah lama merantau dan meninggalkan tanah kelahirannya hal-hal seperti ini tidak menjadi perhatian dan menjadi asing . Misalnya, upacara yang berkaitan dengan budaya, seperti tujuh bulanan, kelahiran, selapanan atau empat puluh hari kelahiran, pemberian nama, turun tanah, mau ujian, lulus ujian sekolah, diterima kerja, naik pangkat, naik jabatan, sembuh dari penyakit yang serius dan lain-lain. Namun, bagi masyarakat Jawa yang masih memegang erat tradisi budaya ini, maka urusan bubur merah putih nyaris tidak bisa dilepaskan dari rangkaian upacara sepanjang hayat dikandung badan.

Sepintas ini memang hanya bubur biasa. Bubur nasi putih gurih dengan campuran santan dan sedikit garam. Bubur nasi berwarna merah coklat manis dengan campuran gula merah dari nira pohon kelapa. Tetapi lebih dalam lagi, sumber bahan bakunya semua berkaitan dengan kehidupan pokok bangsa Indonesia, terutama masyarakat Jawa.

Orang Jawa, dan Indonesia pada umumnya, tidak bisa dipisahkan dari beras sebagai makanan pokok. Dan kelapa, sebagai campuran hampir semua makanan. Sedangkan gula dari nira kelapa atau nira enau, adalah pemanis yang selalu digunakan dalam berbagai campuran makanan dan minuman orang Jawa. Tidak hanya untuk pemanis bubur atau kolak, tetapi juga untuk minum kopi dan teh. Bagi orang Jawa, terutama para kaum tua yang bertempat tinggal di desa-desa, lebih mudah membuat gula dari nira kelapa yang hampir selalu ada di halaman rumah atau kebun, daripada menggunakan gula pasir buatan pabrik. Bagi mereka, gula Jawa tak sekedar pemanis, tetapi juga penambah tenaga.

Belakangan, dari berbagai riset mengenai sumber pemanis, disebutkan bahwa gula Jawa – atau gula nira ini lebih baik bagi tubuh dibandingkan dengan gula pasir yang telah diproses sedemikian rupa, dan juga pemanis buatan dari bahan lain. Bahkan tak hanya baik untuk minuman, gula jawa atau gula merah ini pun lebih cocok untuk dipadu dengan ramu-ramuan tradisional yang dikenal sebagai minuman herbal atau jamu.

Mengingat bahwa beras, kelapa dan gula nira adalah bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, maka tidak heran kalau unsur-unsur inilah yang selalu diangkat dalam setiap upacara yang menyangkut kehidupan seseorang. Mulai dari kelapa muda, tunas kelapa, pohon kelapa, air kelapa hingga daging buahnya...semua bermakna bagi kehidupan.

Begitu menyatunya urusan selamatan, terutama dalam hal memberi nama kepada seseorang, maka tanpa kehadiran bubur merah putih, rasanya upacara itu terasa garing atau dalam istilah makanan menjadi cemplang. Bagi masyarakat Jawa, tak sekedar garing dan cemplang, tapi seperti ada roh yang hilang. Dan itu membuat tidak nyaman. Atau lebih jauh lagi...seperti seseorang yang kehilangan jati diri...waaaah...!!!

Nggak percaya, bahwa pengaruh bubur merah putih sejauh ini ?

Coba saja tanya kepada orang Jawa yang masih konvensional. Berani nggak mereka melakukan upacara pemberian nama tanpa menyajikan bubur merah putih ? Hhm...bisa-bisa mereka bahkan tidak berani menggunakan nama yang sudah diterakan di dalam akta kelahiran atau data administrasi tersebut, karena kuatir belum bersih dan bisa menimbulkan kesialan atau nasib buruk...




Menikmati semangkuk bubur merah putih, saya merenung.

Dari sekedar bubur beras, ternyata tersirat makna yang sangat dalam. Bubur tak sekedar makanan untuk mengenyangkan perut. Tetapi lebih dalam lagi, makanan adalah bagian dari kehidupan spiritual masyarakat. Jangan hanya dilihat dari sudut sajen-sajenannya, tetapi simbol-simbol yang terdapat di dalam sajian tersebut...yang menyatu dengan jiwa raga...itulah roh sebuah makanan.

Memang...makan tak sekedar untuk kenyang badan...tetapi juga kenyang jiwa. Segenap jiwa dan alam semesta haruslah saling mendukung dan saling bersinergi mendukung badan...Sehingga makan pun menjadi bagian dari keseluruhan kehidupan ini....Dari mulai lahir...tumbuh berkembang...dewasa...hingga nanti tiba saatnya kita harus mengakhiri kontrak dari dunia fana ini...eheeem...

♥♥♥

Jakarta, 26 Oktober 2009


Salam sehangat bubur merah putih,


Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk Ma dan eyang putri yang menanamkan nilai-nilai budaya yang mendasar kepadaku...ternyata filosofi bubur merah putih begitu dalam dan ekologis...

2 komentar:

Sayapola26 mengatakan...

Tapi apakah dalam islam ada yang seperti itu? Kalau ganti nama atau ngasih nama pake bubur merah putih gitu?

Sayapola26 mengatakan...

Tapi apakah dalam islam ada yang seperti itu? Kalau ganti nama atau ngasih nama pake bubur merah putih gitu?