Dear
Allz,
Apa
kabaaarrrr....teman-teman dan sahabat tersayang...:? Semoga semua sehat...penuh
kebugaran...keceriaan dan harapan...:)
Eeeh,
saya sudah lama ya, nggak ngobrol dan cerita-cerita tentang aneka pengalaman
saya...hehe...Iya, nih...agak-agak lemot . Padahal idenya sudah banyak yang
berhamburan. Nah, untuk membuka tahun 2014 ini saya sajikan saja sepotong
pisang goreng, ya...
Ini
pisang goreng khusus...pisang goreng cinta.
Selamat
menikmatiiiiiii....
Semoga
berkenan...
Salam
sayang,
Ietje S. Guntur
***
Art-Living Sos 2014(A-1.16.02
Kamis, 16 Januari 2014
Start : 16/01/2014 6:53:50
Finished : 16/01/2014 7:45:08
PISANG GORENG CINTA
Sore-sore. Hujan
gerimis. Udara dingin menggigit kulit. Perut terasa dingin dan agak berontak
minta diisi. Saat itu saya sedang berlibur...hmmh...mengambil jeda waktu dari
tugas sebenarnya...hehehe...di rumah seorang sahabat. Kami sedang berbincang,
melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu.
Mendadak tercium aroma
menyeruak, memenuhi udara yang semakin dingin. Aroma wangi. Hmmh...aroma
gorengan. Ahaaaaaa...tidak lama kemudian muncullah sepiring pisang goreng. Yang
panas dan agak mengepul. Yuhuuyy...air liur saya langsung
membanjir...hihiii...Lalu kami melanjutkan obrolan sambil mencicipi pisang
goreng, pisang kepok yang sedang matangnya, dan menghembus-hembus pisang yang
masih panas di tangan. Ohlala...sedapnya.
Sore itu pun menjadi
lebih hangat. Pisang goreng. Teh manis panas atau biasa disebut teh ‘nasgitel’
– singkatan dari Panas Legi Kentel (ini istilah di Yogya, atau Jawa pada
umumnya). Dan cerita yang serasa tidak ada habis-habisnya. Kami larut dalam
dimensi yang menghangatkan hati, sementara hujan rintik yang membawa udara
dingin di luar semakin deras.
*
Menyantap pisang
goreng, bagi saya bukan sekedar menggigit pisang, mengunyahnya, lalu
menelannya.
Setiap kali menyantap
pisang goreng, terutama pisang goreng kepok kuning, angan saya selalu melambung
ke masa kecil saya di Medan dulu. Entah sejak kapan saya doyan makan pisang
goreng. Tetapi saking doyannya menyantap pisang goreng, saya pernah diberi
gelar ‘Hantu Pisang Goreng’ oleh ibu saya...hihihi...
Bagaimana tidak
disebut ‘hantu’ – yang konon memang tidak jelas wujudnya . Kalau ibu saya
menggoreng pisang, biasanya paling sedikit 2 sisir yang segede gaban, malah
kadang lebih, maka saya sudah siap-siap berdiri di sebelah beliau. Tanpa
menunggu pisang goreng diletakkan di piring saji, saya sudah mencomot sebuah
pisang goreng yang masih panas, kadang meletakkannya di atas selembar daun
pisang. Lalu lari ke luar dapur sambil menghembus-hembus pisang dan
menggigitinya sekaligus.
Itu baru tahap
pertama.
Biasanya ada repeat order...alias bolak-balik. Mencomot.
Menggigit. Lalu lari ke sana ke mari. Jangan dibayangkan bolak-baliknya hanya
dua atau tiga kali datang dan pergi . Saya bisa bolak balik sepuluh kali !!!
Ini memang nyata. Dan
agak memalukan, ya...hehehe. Saya sendiri heran, kenapa bisa doyan banget makan
pisang goreng, khususnya pisang kepok yang digoreng dengan adonan tepung jagung
bercampur tepung beras. Benar, ini tepung jagung khas Medan, berwarna agak kuning
dan membuat gorengan menjadi kripsi dan renyah. Kalau sudah mulai makan pisang
goreng, biasanya sore hari , maka saya akan sulit berhenti. Makjaaanngg !!!
Ibu saya kalau membeli
bahan baku pisang di pasar tidak pernah sesisir atau dua sisir. Dengan enam
orang anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, maka beliau harus membeli
minimal enam sisir pisang kepok ukuran jumbo. Sampai pernah Abang Penjual
Pisang bertanya, apakah kami punya warung pisang goreng, karena ibu saya
belanja pisang seminggu 3 kali...hahaha.
*
Masih cerita pisang
goreng.
Bila ibu saya
kebetulan, atau tidak sempat, membuat penganan dan menggoreng pisang, maka kami
akan membeli pisang goreng di penjual pisang goreng langganan. Tempat
penjualnya di pojok jalan besar, di dalam halaman sebuah bengkel sepeda. Ia
menumpang di situ, berjualan pisang goreng dari sore hingga sekitar jam sepuluh
malam.
Saya, sebagai anak
sulung – sebetulnya bukan itu alasannya – dan penggemar pisang goreng biasanya
menjadi petugas pembeli pisang goreng. Sungguh , tanpa disuruh pun saya dengan
senang hati akan berangkat untuk membeli sebungkus pisang goreng. Biasanya kami
membeli sekitar 20 hingga 30 buah pisang goreng ! Eeiiit...jangan ketawa. Jatah
saya saja kan sudah 10...hihiiii.
Selain membeli pisang
goreng, kadang saya juga membeli tahu goreng yang diberi kuah kacang. Nah,
cerita tahu goreng ini nanti saya, ya. Tempat berjualannya memang jadi satu.
Penjualnya seorang ibu, bertubuh agak gemuk, selalu tersenyum, dan menggunakan
kain sarung untuk menutupi pakaiannya. Saya suka duduk , tepatnya berjongkok di
depan si Ibu , berlama-lama menunggu si Ibu Pisang Goreng mengupas pisang,
melemparkan pisang ke dalam adonan tepung yang putih agak kekuningan, lalu
mencemplungkannya satu demi satu ke dalam kuali yang berisi minyak panas.
Pisang itu akan berenang, terapung dalam kuali yang dipanaskan dengan kayu
bakar. Kadang-kadang saya juga suka membantu si Ibu meniup kayunya, agar api
terus menyala dengan stabil. Rasanya uap panas dari kayu yang terbakar dan dari
penggorengan membuat saya lebih bersemangat.
Saking seringnya
berbelanja pisang goreng dan penganan lain di gerai...eh, sebetulnya bangunan
itu hanya semacam pondok terbuka beratap anyaman daun nipah, si Ibu sampai
hafal wajah saya. Dia sering mendahulukan permintaan saya, dibandingkan dengan
pembeli lainnya...hihi...Rupanya ada unsur pilih kasih juga, ya. Kadang justru saya yang tidak mau
didahulukan. Karena tujuan saya ke gerai si Ibu bukan sekedar membeli pisang
goreng, tapi juga untuk bermain dengan anak-anak kampung di sekitar tempat itu.
Sambil menunggu pesanan, saya sering berlari-larian dulu, sampai bosan. Dan
kadang itu memakan waktu hingga satu jam. Bayangkan, orang di rumah sudah ngiler
menunggu pisang pesanan, sementara saya malah asyik bermain...hahaha...Ichh !!
*
Kisah pisang goreng di
rumah saya tidak berhenti sampai di situ.
Ada hal yang lucu,
yang selalu saya ingat sampai sekarang. Setelah menyantap sekian banyak
pisang goreng yang dibuat oleh Ibu saya,
seharusnya saya dan adik-adik akan kenyang. Tapi tunggu dulu. Lihat deh, ada sisa pisang goreng di piring saji, entah
dua atau tiga buah. Nah...biasanya kami hanya melirik-lirik saja, seakan tidak
berminat.
Ada satu kebiasaan di
antara saya dan adik-adik, bahwa kami tidak mau dituduh sebagai orang yang
paling akhir atau orang yang ‘menghabiskan’ sesuatu. Boleh saja kita makan
sebanyak-banyaknya, tapi jangan sampai ketahuan sebagai orang yang terakhir.
Orang yang terakhir ini sering disebut ‘congok’ atau rakus. Suka menghabiskan.
Padahal barangkali dia hanya mengambil satu atau dua saja, tapi yang terakhir .
Sial benar nasibnya. Sudah dikatakan si Congok, masih harus dapat tugas
tambahan membawa piring ke dapur dan mencucinya sekalian...hehehe...
Nah, pada saat
melirik-lirik pisang terakhir itu, kami akan mondar-mandir di dekat meja.
Seperti kucing yang akan berburu tikus. Mengintai kiri kanan. Siapa kira-kira
yang berani mengambil pisang terakhir itu. Kalau ada salah seorang adik kami,
biasanya yang agak kecil, mengulurkan tangannya, maka seperti segerombolan
predator kami pun akan berebut untuk ikut menyambar sisa pisang goreng tadi.
Persis seperti orang yang tidak pernah makan pisang goreng seumur
hidupnya...hiks hiks hiks...
Ibu saya sampai panik
berteriak melerai kami, karena pisang goreng sisa itu bisa jadi remuk tak
berbentuk. Tapi kami santai saja. Langsung mengunyah pisang remuk sambil
tersenyum-senyum penuh rasa kemenangan.
Ternyata bukan
pisangnya yang menjadi tujuan, tapi rasa nikmat pada saat berebut dan
menunjukkan ketrampilan menyambar...hahahaha...
*
Duduk di kursi ruang
tunggu bandara Adi Soetjipto Yogyakarta sambil memegang kotak bekal makanan
berisi pisang goreng buatan sahabat , membuat
saya tersenyum. Angan saya melambung ke sana kemari.
Sepotong pisang goreng
ternyata bukan sekedar pisang goreng.
Di dalam pisang goreng
itu banyak sekali kenangan. Perjalanan hidup sejak saya masih kanak-kanak,
hingga hari ini ketika usia beranjak lebih banyak. Pisang goreng sepanjang
jalan, menjadi jejak-jejak perjalanan hidup saya. Selalu ada cinta di dalam
pisang goreng yang dibuat di rumah. Selalu ada senyum di dalam wadah piring
saji berisi pisang goreng yang mengepul panas.
Betul sekali kata para
pakar Food Psychology. Bahwa makanan bukanlah sekedar rasa atau aroma. Tapi di
dalamnya ada kenangan.
Jadi buatlah catatan
kenangan yang indah dengan makanan yang kita santap. Agar makanan itu
membangkitkan semangat. Membangkitkan cinta. Membangkitkan inspirasi.
Dan untuk saya...jejak
perjalanan dengan pisang goreng mengantar saya kembali ke rumah. Kembali kepada
cinta Ibu saya kepada kami sekeluarga.
Semoga...teman-teman
dan sahabatku tersayang juga memiliki jejak kenangan dengan sepotong makanan
yang penuh cinta. Kalau mau pisang goreng saya boleh juga...Mareee...
♥♥♥
Jakarta, 16 Januari
2014
Salam sehangat pisang goreng,
Ietje S. Guntur
Special
note :
Terima kasih untuk sahabatku Datik, yang
telah menggorengkan khusus sekotak pisang goreng untuk bekal perjalananku.
Terima kasih juga untuk Mama yang telah menebarkan cinta melalui pisang goreng
yang luaaaar biasa sedapnya...dan juga terima kasih untuk Ibu penjual pisang
goreng di pojok jalan Abdullah Lubis Medan...serta Mbah Pungut yang tidak
bosan-bosannya memasakkan pisang goreng untuk kami semua...I love U Allz....<3 span="">3>
*
Ide :
-
Inspirasi di Jogya
-
Jadi ingat pisang goreng Mama dan pisang goreng
di pojok jalan Abdullah Lubis
-
Saya diberi gelar ‘hantu pisang goreng’.