Jumat, 17 Februari 2012

Art-Living Sos 2012 (A-1 Penjual Mainan

Dear Allz.....

Hallloooooow.....teman dan sahabatku tersayang...Apakabaaarr....??? Lagi ngapain niiiihhh ??? hehehe...Sebelumnya saya mengucapkan Selamat Tahun Baru 2012, ya....Eeeh, belum kelamaan khaaan ? Masih cukup segaar kok...hmmh...

Semoga di tahun ini lebih banyak berkah yang kita terima...lebih banyak kesempatan bagi kita untuk saling peduli, saling berbagi, saling menyayangi...sehingga hidup kita yang tidak tahu berapa lama kontraknya ini dapat lebih bermakna...

Saya yakin, beberapa di antara teman dan sahabat tersayang sudah memiliki resolusi dan rencana untuk tahun ini. Ada yang resolusi mengenai bisnis, karier, kehidupan keluarga, kehidupan pribadi, maupun kehidupan sosial dalam arti yang lebih luas. Tidak sekedar gaul, tapi juga gaul yang bermakna...gaul yang bermanfaat.

Betuuuull...kadang kita karena begitu ingin disebut gaul, maka kita bergaul tanpa arah. Seperti orang hanyut di sungai, tidak bisa berenang, jadi asal terbawa arus. Ini bisa berbahaya. Itu sebabnya walau pun kita bergaul seperti orang tercebur di sungai, tetapi seyogyanya kita mempersiapkan diri dulu...mau gaul yang seperti apa ? Mau bermakna seperti apa ? Kata orang tua jaman dulu, jangan sampai salah gaul. Bukan hanya kurang bermanfaat, tapi kadang kita pun tidak nyaman dengan lingkungan pergaulan yang bukan menjadi bagian dari diri kita.

Lhaa...baru awal tahun...sudah mulai deeeh...cerewet soal gaul-gaulan ini...hehehe...Saya sendiri tidak membatasi dunia pergaulan saya, sepanjang tadi...ada manfaatnya untuk saya. Dalam arti juga, pergaulan itu harus memberi nilai tambah bagi saya terutama dalam pengembangan diri dan memotivasi hidup saya. Barangkali itu juga sebabnya, tanpa saya sadar, saya punya sahabat-sahabat pergaulan yang membuat hidup saya lebih kaya makna. Salah satu diantaranya adalah penjual mainan. Ini terbersit begitu saja dari sebuah perjalanan saya di pagi hari...yang melontarkan saya ke masa silam dan hari ini...

Ide memang bisa datang di mana saja, dan dari mana saja. Jadi hari ini...di awal tahun ini...saya ingin berbagi tentang sahabat saya...Kakek Penjual Mainan...Semoga berkenan....

Jakarta, 9 Januari 2012

Salam persahabatan,


Ietje S. Guntur


♥♥


Art-Living Sos 2012 (A-1
Senin, 09 Januari 2012
Start : 09/01/2012 10:32:20
Finish : 09/01/2012 12:02:23



PENJUAL MAINAN


Pagi-pagi. Dalam perjalanan ke tempat tugas. Seperti biasa saya suka melihat keadaan di sepanjang perjalanan, di kiri kanan jalan. Melihat ketergesaan pagi. Yang meriah. Yang macet. Yang srudak-sruduk dengan kendaaraannya. Dengan berbagai tingkah polah yang menunjukkan dasar berperilaku para pengguna jalan. Kadang ada yang lucu. Kadang ada yang menjengkelkan. Kadang ada yang mengagetkan bila tiba-tiba memintas, memotong jalan...aachh...

Tiba-tiba kendaraaan di depan saya berhenti. Diikuti oleh beberapa kendaraan lain. Ada apa gerangan ? Bukankah belum waktunya berhenti di lampu pengatur lalu lintas ?

Dari balik kendaraan yang berada di depan saya, ternyata ada sebuah sepeda yang berusaha untuk menyeberang. Bukan sepeda biasa. Seorang bapak tua membawa keranjang berisi bola-bola plastik, mainan anak-anak, dan beberapa barang lagi yang bergantungan di keranjang di belakangnya . Ia akan menuju ke sebuah sekolah yang berada di sisi lain jalan itu. Ohlala...Saya tertegun. Memperhatikan si Bapak tua yang telah tiba di seberang jalan, dan kemudian memarkir sepedanya di bawah pohon.

Sejenak ingatan saya melayang. Jauh ke masa kecil. Jaman sekolah dasar.



Di depan sekolah saya, di luar pagar, hampir selalu ada penjual mainan yang mangkal dengan keranjang atau kotak kayu dan pikulannya. Ada penjual mainan yang masih agak muda, saya memanggilnya Abang Mainan. Dan ada seorang lagi yang agak tua, dan saya memanggilnya Kakek Mainan.

Si Abang dan si Kakek Mainan ini biasanya datang pada jam menjelang pulang sekolah kelas I dan II, atau jam istirahat kedua bagi kelas III hingga kelas VI. Kadang-kadang mereka juga datang di pagi hari, sebelum jam pelajaran dimulai. Pada jam-jam sebelum belajar, atau jeda di antara jam pulang sekolah, kami memang boleh ke luar dari halaman. Tentu saja tidak boleh lama-lama, karena sekolah kami cukup ketat peraturannya. Jaman itu belum ada kantin sekolah, sehingga kami harus jajan di luar pagar. Jajan dan keluar, termasuk melihat penjual mainan yang berjejal dengan penjual gula tarik atau gulali , es potong, sate kerang, tiwul, gorengan, brondong jagung warna merah jambu dan pecal sayuran pakai bihun goreng.

Bila si Abang menjual mainan yang agak mahal dan modern, maka si Kakek menjual mainan yang murah meriah dan kadang ada juga permainan tradisional. Saya lebih suka duduk dan nongkrong di dekat tempat si Kakek, karena dia bisa memainkan beberapa permainan tradisional dari mainan yang dijajakannya. Ada mainan yang dibuat dari bambu, kayu, kertas, tanah liat atau gerabah. Bahkan dia menjual ketapel dan benang layangan juga...hehehe...Selain itu dia juga menjual mainan yang tidak basi sepanjang jaman, yaitu kelereng dan bola karet serta bola plastik.

Walaupun saya hampir tidak pernah membeli mainan dari si Kakek, karena keterbatasan uang jajan masa itu...hiiikss...tapi saya tetap suka nongkrong memperhatikan si Kakek menjajakan mainan sambil menceritakan cara menggunakan permainan itu. Saya paling suka kalau ia memainkan boneka kertas yang mirip wayang. Dengan keahliannya ia bercerita sambil menggerak-gerakkan tangan dan kaki boneka kertas itu. Kadang-kadang cerita dan gerakan bonekanya sangat lucu, sehingga kami tertawa tergelak-gelak. Anak-anak yang memiliki uang akan tertarik, dan membeli boneka kertas lalu mencoba memainkannya sendiri.

Hampir setiap hari saya dan beberapa teman akan nongkrong di tempat penjual mainan itu. Karena sekolah kami dulu memisahkan anak laki-laki dengan anak perempuan, maka hak monopoli untuk nongkrong di depan Kakek penjual mainan itu jatuh pada orang yang pertama datang. Saya termasuk yang rajin datang ke sekolah, dan rajin nongkrong di depan Kakek penjual mainan...hehe...Jadi tidak heran, kalau saya pun jadi sering ribut dengan anak laki-laki yang ingin juga menonton pertunjukan boneka kertas dari si Kakek Mainan. Tidak jarang kami dimarahi oleh guru, karena terlalu asyik nongkrong di pinggir jalan. Tapi dasar namanya anak-anak, hari ini ingat dan patuh, besoknya sudah lupa . Dan nongkrong lagi....hahahaha...

Bagi saya sendiri, dan barangkali juga bagi anak-anak yang lain, kehadiran si Kakek Mainan ini tak sekedar menjual mainan. Kadang, bila tidak ada anak yang membeli, atau sambil menunggu jemputan, kami ngobrol dengan si Kakek. Semua pengalaman hari itu kami ceritakan kepada si Kakek. Tidak jarang pula ia menasehati kami dengan kata-kata yang sederhana, kadang diseling dengan cerita dan dongeng yang diselipkan diantara permainan boneka kertasnya. Kalau sehari atau dua hari si Kakek tidak muncul, kami merasa kehilangan. Selain kehilangan tempat nongkrong, kami juga kehilangan orang yang dapat berbicara dalam bahasa anak-anak, seseorang dengan siapa kami bebas menjadi diri sendiri. Sungguh, suatu rasa sayang yang tumbuh dari sebuah kepercayaan.



Jaman berganti. Kini giliran anak saya yang masuk sekolah dasar. Saya pikir, di jaman yang serba modern dan serba canggih seperti sekarang, tidak ada lagi penjual mainan di sekolah-sekolah. Tapi ternyata saya salah !

Penjual mainan dengan sepeda dan sebuah kotak di bangku belakangnya tetap mewarnai dunia sekolah di tempat anak saya menuntut ilmu. Saya perhatikan, mainan yang dibawa oleh penjual mainan itu, dan anehnya juga seorang bapak tua – mirip Kakek Mainan di sekolah saya dulu , juga tidak berbeda jauh dengan jaman saya dulu. Ada kelereng, bola karet dan plastik , kertas gambar yang sedang populer, kertas gambar yang bisa dilempar-lempar mirip kartu, gambar tempel, stiker, mainan berbentuk boneka dari plastik, boneka kertas – yang gambarnya berbentuk tokoh kartun, hiasan meja, keramik, dan pernak-pernik untuk boneka. Dan anehnya, kadang-kadang ada juga yang menjual anak ayam yang sudah dicat warna-warni, atau burung pipit dan gelatik yang biasanya ada di sawah.

Dan...seperti jaman saya sekolah dulu, anak-anak usia SD ini pun dengan gembira dan wajah yang penuh rasa ingin tahu selalu merubung bapak tua penjual mainan ini. Barangkali, dari semua pedagang di lingkungan sekolah ini penjual mainan adalah orang yang paling ditunggu dan paling sering dikerubuti oleh anak-anak. Bila mereka punya uang, mereka akan membeli satu mainan yang disukai. Namun bila sedang tak punya uang, mereka tetap bisa bergembira menikmati pajangan mainan yang ada di kotak belakang sepeda itu, sambil sesekali meraba dan merasakan keinginan untuk memiliki kegembiraan yang dipancarkan oleh mainan-mainan itu.

Kadang, di antara kerumunan itu terdengar suara-suara polos dan lugu seperti ini,” Pak, ini mainan apa ? Harganya berapa ? ”
“ Eeeh...lucu, ya...Boleh pegang, Pak ?”
“ Uang saya kurang, boleh besok sisanya, Pak ?”
“ Iiiih...kamu jangan pegang yang ini, aku sudah pesan dari kemaren !”

Lalu ada suara bisik-bisik ,” Kalau kita patungan beli mainannya , gimana ? Nanti kita gantian mainnya.”
“ Aaah...tapi nanti siapa yang duluan main ? Uangku Cuma segini. Belum buat jajan.”
“ Ya, udah...kamu belakangan aja. Kan uang kamu Cuma sedikit !”
“ Iya, deeeh...”
“ Paaaaakkkk...paaaakkkk...mau beli mainannya dong !”

Uang berpindah tangan. Si Bapak Tua tersenyum dengan gigi yang setengah ompong. Mainan yang tadi dibeli dengan patungan dibawa pergi. Tiga anak keluar dari kerumunan, dengan wajah berseri-seri. Diikuti dengan pandangan iri oleh teman-teman lain yang belum punya kesempatan untuk membeli . Hanya sebentar mainan itu dipermainkan oleh tiga anak yang asyik bersama-sama . Tidak lama, mainan patungan itu sudah berpindah tangan lagi. Tawa-tawa silih berganti . Semua anak bisa menikmati, walaupun belum memiliki.



Sambil meneruskan perjalanan, saya merenung.

Bapak tua penjual mainan. Dari jaman ke jaman, masih mewarnai dunia anak-anak. Mereka berjalan dari satu gang ke gang yang lain. Dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Membawa mainan yang murah meriah dan kadang tidak ada di toko. Mainan sederhana, kadang buatan sendiri, seperti terompet dan boneka kertas, tapi mampu menggugah rasa penasaran dan kegembiraan anak-anak.

Saya ingat, anak saya pernah mengorbankan uang jajannya yang sangat sedikit untuk membeli mainan gambar serial dan sebuah pajangan dari kulit kerang untuk diberikan kepada saya. Sungguh membuat saya terharu. Ia, dan penjual mainan di sekolah, telah mengantarkan kegembiraan dan kebahagiaan ke dalam hati saya.

Ketika dunia sekitar kita sudah hiruk pikuk dengan segala target dan materialisme, ternyata ada cara sederhana untuk menikmati kegembiraan dan kebahagiaan. Walaupun hanya menjajakan mainan sederhana, tapi penjual mainan telah berjasa mengantarkan kegembiraan ke banyak hati anak-anak di berbagai tempat di dunia ini. Dan suatu saat, kegembiraan dan kebahagiaan anak-anak ini akan membawa mereka ke dunia dewasa. Kenangan akan kebahagiaan itu membuat mereka juga lebih bijaksana dan lebih memahami dunia.

Barangkali kita bisa belajar dari penjual mainan...Tidak banyak yang mereka lakukan, tapi setiap hari ada satu atau dua orang anak yang tersenyum, ada satu dua anak yang memiliki harapan, ada satu dua anak yang memiliki cita-cita sederhana untuk menggembirakan orang lain... Dia memberi kegembiraan dan mengisi ruang hati anak-anak dengan kebahagiaan dan kepedulian.


Konon...membuat orang lain bergembira dan berbahagia adalah ladang pahala bagi kita...Semoga kita mampu melakukannya...walau dengan cara yang sangat sederhana...

Jakarta, 9 Januari 2012

Salam sayang,


Ietje S. Guntur


Special note :

Terima kasih kepada Kakek Mainan di SD Medan dulu....berkat Kakek, saya jadi suka main boneka dan bersandiwara dengan boneka-boneka itu. Saya pernah juga membeli mainan ikan-ikanan dari bahan mirip lilin, ketika saya potong, ternyata dalamnya kosong...hahaha...Sungguh pengalaman yang inspiratif, dan membuat saya bahagia hingga hari ini...:)...Terima kasih juga untuk teman-teman SD-ku yang suka nongkrong beramai-ramai di penjual mainan...Terima kasih sudah mengisi masa kanak-kanak kita dengan kegembiraan yang sederhana...I love U allz...



Ide :
1. Seorang kakek tua yang menjual mainan anak-anak di sekolah. Mainannya murah meriah, tapi sangat menggembirakan anak-anak. Ada peluit, kelereng, gambar tempel, gambar lempar, bola plastik, mainan yang ditiup dan di ujungnya ada bola, karet gelang yang bisa dibuat mainan lompat tali, kerajinan tangan yang bisa dibuat pajangan atau tempat pensil dll.
2. Kakek tua ini tidak sekedar menjual mainan, tapi dia juga suka bercerita dan memberi nasehat kepada anak-anak. Ia menjadi sahabat anak-anak, yang kadang kurang mendapat perhatian dari orangtuanya.
3. Walaupun ia hanya seorang penjual mainan, tapi dia memberikan persahabatan dan rasa kepercayaan terhadap anak-anak. Dia memberi kegembiraan dan mengisi ruang hati anak-anak dengan kebahagiaan dan kepedulian.

Art-Living Sos 2012 (A-2 Talenan

Art-Living Sos 2012 (A-2
Tuesday, February 07, 2012
Start : 2/7/2012 10:17:23 AM
Finish : 2/7/2012 11:30:19 AM



T.A.L.E.N.A.N


Hari libur. Hari keluarga. Saat yang sudah saya tunggu hampir seminggu penuh, untuk unjuk kebolehan…hehehe…Maklum, namanya Emak-emak karir, tidak bisa sepenuhnya hanya memikirkan urusan pekerjaan dan urusan kantor. Naluri untuk berkutat di dapur tetap menyala, walaupun kadang on-off…hiiikss…Jadi deeh…mulai tengah minggu sudah ada beberapa rencana untuk memasak makanan yang istimewa. Resep-resep andalan dari berbagai majalah dan tabloid sudah siap di dapur. Dicatat dengan baik, dan dihafal…Uuuh…rasanya tiap akhir pekan seperti mau ujian …hahahaha…

Resep sudah. Ada masakan pesanan si Cantiq-anak semata wayang saya, dan ada masakan pesanan Pangeran Remote Control-Sang Suami Tercinta . Dua orang, dengan kesukaan yang saling bertolakbelakang....hehe…Kebayang kalau sekeluarga anaknya setengah lusin, dengan selusin selera yang berbeda…ohlalaaa…

Jadi deh, di pagi hari yang ceria ini saya siap-siap dengan bahan yang sudah dibeli di Pasar Bidadari. Ada ikan segar, udang, ayam kampung, dan ikan pindang tongkol – special niiih…kesukaan Pangeranku. Sayuran pun sudah setumpuk. Siap untuk membuat sup campur, dan sayur ca. Halaah…sama-sama sayuran tapi beda aliran. Untuk saya sendiri, yaaaa…ikut sajalah dengan selera kiri-kanan anggota lain…hmmh…

Pisau dapur khusus, yang biasa saya pergunakan sudah tersedia. Piring-piring alas dan wadah sudah siap. Wajan, panci berbagai ukuran, centong, sutil…sudah berbaris rapi di meja dapur. Naaah…sekarang siap kerja. Eeeh…mana nih talenannya ? Biasanya sih talenan ada di rak piring. Lho…kok menghilang ?

Setelah dicari di sana sini, ternyata talenan saya sedang dijemur agar kering dan bebas jamur…ohoooyy…Untunglah ! Mana bisa saya bekerja, mempersiapkan dan memotong bahan tanpa bantuan talenan. Saya mengambil talenan kayu yang agak lebar, lalu mulai beraksi dengan pisau kesayangan. Gress…gresshh…Bahan terpotong rapi, lalu dibariskan sesuai dengan peruntukannya. Sebagian ditempatkan di piring, sebagian tetap berada di talenan, agar nanti mudah dicemplungkan ke dalam panci.



Ngomong-ngomong soal talenan…hmmh…kayaknya semua dapur dan semua ahli masak punya satu talenan kesayangan yang biasa dipergunakan untuk persiapan memasak. Saya punya tiga talenan. Dua terbuat dari kayu, dan satu dari plastik. Yang dari kayu, satu agak besar, dan satu agak kecil. Masing-masing ada fungsinya sendiri. Yang besar itu biasanya untuk alas kalau memotong sayur, daging, ikan, dan bahan yang agak besar. Sedangkan yang kecil biasanya untuk memotong bawang, tomat dan bahan-bahan atau bumbu yang lebih mungil bentuknya.

Yang plastik ? Itu jarang saya pergunakan. Paling untuk memotong bahan basah seperti tahu atau tempe. Tapi itu pun tidak mesti. Saya kurang suka memakai talenan bahan plastik, karena bila dicuci masih meninggalkan bekas dan agak bau apa gitu deh…Nggak enak. Barangkali ada yang Tanya : kenapa beli kalau jarang dipakai ? hehehe…ada 102 alasan ! Tapi yang jelas, talenan plastik ini bisa dibawa kemana-mana, kalau ingin masak di luar. Sedangkan si Talenan kayu, adalah properti rumah yang tidak boleh keluar dari area dapur.

Kalau cerita soal talenan, eeehh…apa, ya bahasa lainnya ? Ya, talenan deh…! Ibu saya adalah orang yang sangat fanatik terhadap talenannya. Ibu sayalah yang mengajarkan, bahwa setiap orang yang bekerja di dapur harus punya paling tidak dua buah talenan. Ya, itu tadi alasannya. Tapi ibu saya memang luar biasa. Selain talenan standar yang dua model tadi, beliau juga punya talenan yang besaaaaar sekali. Dibuat dari bahan kayu nangka yang bulat, tebalnya sekitar 10-15 cm, dan kalau menimpa kaki bisa gepeng seketika… hihihiiii…

Talenan super besar dan super tebal ini biasanya dipergunakan ibu saya untuk menjadi alas pemotong daging atau tulang-tulang. Dengan pisau besar seperti kampak, maka bekerja di talenan besar ini menjadi mudah dan cepat. Mirip deh dengan talenan penjual daging di pasar, atau penjual ayam yang memotong-motong dagingnya dengan tenaga dalam.

Selain itu ibu saya juga punya talenan super mini, dengan kaki penyangga. Modelnya hampir segitiga, dan kaki penyangganya juga tiga. Kalau saya bilang, ini talenan keramat milik ibu saya. Entah dibuat dari kayu apa, tapi kelihatannya kuat dan praktis. Dengan kaki penyangga itu, ibu saya bisa membawa talenan kemana-mana, bahkan sambil memotong sayuran di depan televisi pun bisa…hahaha…Saya pernah iseng meminta talenan ini, tapi dengan serta merta ibu saya mendelikkan matanya. Beliau bilang, lebih baik dia membelikan saya talenan baru di pasar, daripada talenan kaki tiga ini diberikan kepada orang lain…halaaah…!!!

Masih ada lagi. Tapi ini memang tidak umum. Yaitu talenan terbuat dari lempengan marmer. Betuuuulll…dari batu marmer yang biasanya untuk lantai rumah ! Ibu saya punya sekeping talenan marmer yang tebalnya kurang lebih satu inchi. Ini memang khusus untuk membuat roti dan tingting kacang. Jangan ditanya beratnya seperti apa. Dan saya tidak mau mencoba untuk menimpakannya ke atas kaki saya…uuuhh…

Berhubung saya tidak terlalu sering turun ke dapur, dan saya juga kurang ahli membuat roti ( baca : belum bisa bikin roti…hehehehe…), maka urusan pertalenan itu bagi saya cukup dengan tiga ukuran dan bahan saja. Bagi saya, perangkat kerja itu sudah sangat membantu . Apalagi kalau kadang-kadang saya masak di luar bersama teman-teman dan keluarga, salah satu talenan saya pasti ikut menemani. Itu semacam paspor juga untuk masuk ke dapur. Rasanya memang lebih nyaman menggunakan pisau kerja dan talenan sendiri, sehingga sudah hafal dengan lekuk-lekuk dan karakter bahannya.



Sekarang semua bahan sudah siap dipotong. Panci sudah dijerang di atas kompor. Wajan sudah siap sedia menerima bahan yang akan dimasak.

Dengan kelincahan tersendiri, saya mengayunkan talenan di atas panci, menggeser bahan-bahan di atasnya hingga masuk dengan pas ke dalam air yang sudah mendidih. Bawang putih yang tadi digeprek di atas talenan juga sudah ikut nyemplung ke dalam wajan yang telah diisi minyak, dan sekarang menebarkan aroma wangi yang menggelitik hidung.

Tidak lama. Hanya kurang lebih satu jam saja…* kok kayak lagu, ya ? *…semua masakan sudah selesai dan matang. Tinggal ditata di dalam mangkuk dan piring saji. Lalu dihidangkan….hmmh…Hari keluarga yang ditunggu seminggu pun sukses dengan cerah ceria…ahaaayyy…

Lalu…semua peralatan dibersihkan. Talenan dicuci bersih. Diangin-anginkan, dan dijemur sebentar. Agar tidak tumbuh jamur di permukaannya. Talenan bersih akan menjamin makanan sehat. Talenan kotor, menjadi sumber penyakit . Hmmh…siapa bilang talenan tidak harus mendapat perhatian khusus ?



Melihat dapur yang sudah bersih, dan talenan yang sudah berbaris rapi di rak piring saya tersenyum.

Berkat talenan, kerja saya menjadi cepat dan mudah. Padahal kalau dipikir-pikir, apa sih talenan itu ? Hanya sebilah papan, atau sepotong kayu. Tapi tanpa dukungannya, maka urusan persiapan makanan akan terganggu dan barangkali menjadi repot.

Di dalam hidup kita ini pun, kadang-kadang ada orang yang hanya berfungsi seperti talenan. Menjadi alas bagi aktivitas orang lain . Ia hanya pendukung sebuah proses. Tapi tanpa dukungannya, proses tidak akan berjalan lancar.

Kita pun seandainya bisa memilih, lebih baik menjadi seseorang yang berada di depan atau di atas. Namun, bila semua orang menjadi yang di atas, siapa yang akan mendukungnya ? Menjadi talenan bukanlah pilihan yang terakhir. Ia sama mulianya dengan pilihan lain. Yang penting, walaupun hanya menjadi talenan, ia tetap memiliki integritas di dalam menjalani hidup ini…

Semoga kita dapat belajar dari sebilah kayu yang bernama talenan…


Jakarta, 7 Februari 2012

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Terima kasih untuk Ma tersayang…begitu banyak ilmu dan cinta yang Mama berikan dalam hidup ini…I loveeeeee U …muuaachh…


Ide :
1. Talenan adalah alas untuk memotong sayuran atau daging di dapur. Talenan diperlukan agar bahan masakan yang akan kita potong dapat dipegang dengan posisi yang rata.
2. Talenan biasa terbuat dari kayu yang datar, tapi sekarang ada juga yang terbuat dari plastic atau marmer, khusus untuk membuat kue.
3. Talenan memang hanya pendukung di dapur, tapi tanpa talenan akan repot dalam persiapan bahan masakannya.