Selasa, 11 Oktober 2011

Art-Living Sos 2011 (A-10 Tak Ada Rotan

Dear Allz,

Sssttttt….apa kabaaarrr ??? Mumpung saya lagi rajiiiin nih…jadi sekarang mau ngobrol lagi. Menjelang hari Senin…menjelang awal minggu…Semoga teman dan sahabatku semua dalam keadaan sehat dan ceria, ya…

Biasanya nih…awal minggu, hari Senin, kita suka malas-malasan. Rasanya badan dan jiwa masih tertinggal di akhir pekan. Memang betul, beristirahat itu perlu setelah kita menggenjot tenaga selama sepekan. Tapi ingaaaat, tidak ada akhir pekan, kalau tidak ada hari Senin. Sama juga, tidak ada ada akar, kalau tidak ada rotan… Hehehe…itu pepatah nyeleneh. Aslinya sih bukan begitu, ya ?

Naaaaah, mumpung ini masih menjelang dan awal minggu, saya jadi ingin berbagi cerita ringan tentang rotan. Iya, kenal rotan kan ? Saya ingat juga ada satu lagu mengenai rotan . Hela rotan. Masih ingat ?

hela hela rotane rotane tifa jawa
jawae bebunyi
rotan rotan sudah putus sudah putus ujung dua
dua baku dapae
rotan rotan sudah putus sudah putus ujung dua
dua baku dapae


Sambil menyanyi lagu Hela Rotane, mari kita ngobrol sedikit tentang rotan. Setuju kah ?

Mariiiii…kita duduk rame-rame…dan kita nikmati bersama.

Jakarta, 9 Oktober 2011
Salam hangat,


Ietje S. Guntur

♥♥♥



Art-Living Sos 2011 (A-10
Start ; 10/8/2011 11:00:42 AM
Finish : 10/9/2011 4:57:00 PM


TAK ADA ROTAN


Hari Sabtu. Pagi-pagi. Setelah beberes urusan domestik, saya pun mengambil jeda . Me time ! Berleha-leha. Menikmati secangkir teh dan sekerat roti… hee…hee…asyiiiik nih. Tinggal cari bacaan saja. Majalah yang belum sempat dibaca . Ada beberapa . Saya bolak-balik sebentar. Tidak ada yang menarik. Lempar ke samping. Sekarang cari koran . Sudah beberapa hari saya hanya sempat menyapu judul-judulnya. Akhirnya mata tertambat pada berita tentang rotan. Halaah…ada apa lagi ini ? Pengrajin dari sentra rotan terbesar di Indonesia mengeluh karena kekurangan bahan baku rotan !

Degh !! Hati saya tergetar. Indonesia gitu loh ! Yang sudah menjadi salah satu penghasil rotan terbesar di dunia, bisa kekurangan bahan baku. Ada apa ?

Saya memandang berkeliling. Di rumah saya sekarang memang agak minim perabotan rotan. Hanya ada satu keranjang, satu tas, dan satu kursi kecil yang sudah lama. Padahal duluuuuu….

Ingatan saya melayang…jauuuh…ke masa kecil saya…

Ayah saya adalah penggemar berat perabotan dari rotan. Hampir seluruh ruangan di rumah kami selalu ada perabotan terbuat dari rotan. Sofa di ruang keluarga, kursi di teras, rak buku, buaian bayi ( saya pun pernah tidur di dalamnya ), bahkan ranjang tidur pun terbuat dari rotan. Itu belum termasuk keranjang, tikar anyaman yang menghampar di ruang keluarga dan menjadi alas untuk seperangkat kursi tamu , serta tempat duduk santai yang nyaris ada di setiap pojokan. Menurut ayah saya, rotan itu kuat dan ekonomis… hehehehe…( ini istilah ayah saya untuk mengatakan ‘murah’).

Saking hobbynya mengoleksi perabotan dari rotan, hampir setiap bulan ayah saya selalu mengajak saya ke tukang pengrajin rotan. Kadang hanya untuk melihat-lihat koleksi baru. Tapi tidak jarang juga beliau membuka dompetnya. Ada saja barang yang dibawa pulang. Entah kenapa, ayah saya selalu tergoda untuk membeli sesuatu dari rotan. Dan kalau tidak ada yang dibutuhkannya, maka beliau membeli pemukul kasur yang mirip dengan raket tennis, dari rotan juga…( seingat saya, di rumah ada tiga atau empat pemukul kasur…hihihiiii….).

Bila ibu saya menegur, karena rumah kami sudah mirip gudang penumpukan barang, ayah saya Cuma tersenyum dan berkomentar ,” Ya , kalau sudah kepenuhan, kasih saja sama siapa gitu !”…hihi…lucu bangeeett…Beli barang, akhirnya buat dibagikan lagi ke orang lain. Ya, memang begitulah keadaannya. Tidak jarang perabotan kami diangkut ke rumah teman atau sahabat ayah saya, karena di rumah sudah tidak ada tempat. Tapi tunggu…tidak sampai sebulan, saat ayah saya tergoda, maka perabot pengganti sudah muncul lagi di rumah kami !



Ngomong-ngomong soal rotan.

Tidak hanya di rumah kami saja rotan menjadi bagian dari perlengkapan rumah. Di banyak rumah, terutama di Sumatra pada era tahun enampuluh hingga tujuhpuluhan, banyak perabotan rumahtangga terbuat dari kerajinan rotan . Apalagi hutan di Sumatra cukup banyak menghasilkan rotan, sehingga bahan baku mudah didapat .

Selain bahan baku yang mudah didapat dan harganya ekonomis, bahkan dapat dikatakan murah sekali, sifat rotan yang lentur dan mudah dibentuk menjadikan rotan sebagai pilihan yang tepat untuk membentuk berbagai perabotan. Rotan yang besar-besar diameternya dapat dijadikan kerangka kursi atau tempat tidur, sedangkan rotan yang kecil dan halus dapat dianyam untuk menjadi lembaran yang dibentuk untuk berbagai keperluan.

Saya ingat. Di rumah kami ada kursi kayu terbuat dari jati, yang alasnya dibuat dari anyaman rotan. Kursi itu enak diduduki karena jok alas duduknya dibuat dengan anyaman renggang. Yang jadi masalah, di celah-celah anyaman itu sering bersarang laba-laba dan sahabatnya kepinding atau tumbila. Jadi deeeh…sejak saya bisa melakukan tugas domestik, maka urusan membasmi tumbila dan sarang laba-laba di jok kursi merupakan keahlian saya…hiiks…

Selain itu, perabotan yang paling saya kenal terbuat dari rotan adalah pemukul kasur. Hampir setiap hari saya beraksi dengan pemukul kasur itu. Selain untuk membuat kasur kapuk menjadi empuk dan gembur, pemukul kasur juga bisa dimanfaatkan untuk mengait buah jambu dan rambutan di halaman. Ujungnya yang berpilin cukup kuat untuk menjadi alat pengait, dan biasanya cukup aman sehingga rambutan dan jambu tidak rusak karena tersangkut.

Rotan ini memang murah meriah.

Ada satu masa, ketika rotan menjadi primadona karena model dan bentuknya sangat variatif. Saat saya dan seorang sahabat menjadi anak kos di Jakarta, kami membeli rak rotan berwarna coklat tua, untuk tempat menyimpan barang-barang di kamar kos kami yang tidak terlalu luas. Saya juga pernah membeli kaca cermin yang bingkainya terbuat dari rotan. Bentuknya unik dan artistik . Tapi sayang, bukan hanya saya yang menyukai bentuknya. Sekawanan pencuri yang menyatroni rumah saya juga berminat terhadap cermin itu. Jadi deeeh…dia membawa oleh-oleh cermin berbingkai rotan dari rumah saya.



Berbicara mengenai rotan, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai hasil hutan rotan merupakan salah satu pilar ekonomi bagi Indonesia. Hampir seluruh hutan belantara di Indonesia ditumbuhi oleh rotan. Bahkan di Kalimantan, di kalangan suku Dayak, rotan merupakan pilar ketahanan ekonomi rakyat. Rotan yang terdapat di hutan-hutan, menjadi penopang kehidupan rakyat, sekaligus menjadi bagian dari adat istiadat masyarakat setempat.

Ada lagi. Rotan tidak hanya kita kenal sebagai perabot rumahtangga. Di beberapa daerah dikenal juga masakan terbuat dari rotan. Halaaah !! Hebat betul . Tentu saja rotan yang diolah menjadi masakan, semacam sayur gulai ini terbuat dari rotan muda yang masih lunak. Dan konon kata yang sudah pernah mencicipinya, sayur rotan ini lezat cita rasanya. Saya sendiri belum pernah mencicipinya, tapi suatu saat bila saya berkesempatan berkunjung ke Kalimantan, saya akan berwisata kuliner, dan mencicipi sayuran rotan ini…hmh…nyam…nyam…

Yang sudah pernah saya cicipi dari rotan adalah buahnya. Memang tidak lazim orang menyantap buah rotan. Tetapi di beberapa daerah di Sumatra, buah rotan yang mirip salak ini memang dimakan. Rasanya agak asam kelat, mirip buah salak yang muda. Dicocol dengan garam dan irisan cabe rawit , atau digerogot begitu saja rasanya sudah mantap…hahaha…ketahuan banget kalau saya ini termasuk pemakan segala tanaman ya…hihi…Memang begitulah adanya, kalau menjadi anak yang dibesarkan di dekat rimba belantara. Apa saja yang berbuah dari pohon, pasti disantap dengan nikmat.

Di daerah lain, buah rotan ini tidak lazim menjadi buah santapan atau buah cemilan, karena memang agak sulit diperoleh. Jangan membayangkan pohon rotan seperti pohon kelapa atau pohon rambutan. Pohon rotan ini, walaupun termasuk keluarga besar palma jenis salak, atau nama kerennya adalah Calameae dari keluarga besar palma, tapi sama sekali tidak mirip pohon kelapa atau pohon salak. Hanya daunnya saja yang agak mirip pohon salak, dan buahnya juga berkulit agak bersisik seperti salak, tetapi caranya tumbuh sangat berbeda. Pohon rotan tumbuh bergelayut dan bergantung pada tanaman lain, seperti tali panjang berduri. Dengan duri inilah ia memanjat, kemudian tumbuh menjulur seperti tali yang kuat. Sebatang rotan dapat tumbuh hingga ratusan meter. Dan uniknya di dalam batangnya terkandung air, yang dapat kita minum untuk bertahan hidup di alam bebas. Itu sebabnya para petani rotan dapat masuk ke dalam hutan selama beberapa waktu tanpa kuatir kekurangan air minum….Luar biasaaa…!!



Melihat keranjang rotan di ruangan kerja saya, bekas wadah parsel lebaran, saya merenung.

Sebatang rotan yang sederhana, begitu banyak fungsi dan pengaruhnya bagi kita. Walaupun ada pepatah ‘Tak ada rotan, akar pun jadi’, namun tetap saja rotan menjadi primadona . Okelah, dalam beberapa hal akar dapat menjadi pengganti. Tetapi nilai keindahan, nilai budaya dan nilai ekonomis yang diusung oleh rotan belum terganti oleh akar maupun tanaman bahan baku lainnya.

Saya selalu kagum pada rotan. Ia membawa semangat, harus menjadi nomor satu. Menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sekitarnya. Bermanfaat, dari mulai batangnya, buahnya, bahkan air di dalam batangnya. Bukan tidak mungkin pula suatu saat ditemukan manfaat lagi dari duri dan daun-daunnya. Siapa tahu ? Masih banyak yang belum tergali dari dirinya.

Seperti kita juga. Masih banyak hal yang belum tergali dari diri kita. Masih banyak yang harus kita pelajari dari diri kita. Agar lebih bermanfaat bagi lingkungan. Agar lebih bermanfaat bagi kehidupan ini.

Bahkan sebatang rotan pun dihadirkan di dunia ini dengan begitu banyak manfaat. Bagaimana dengan kita ?


Jakarta, 9 Oktober 2011

Salam hangat,


Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk Pa tersayang…yang telah mengajak aku ke pengrajin rotan dan belajar dari rotan. Juga adikku tersayang Titun, yang menjadi peneliti dalam bidang rotan…Dan sahabatku Dini , teman senasib di tempat kos yang ajaib…ingat waktu beli rak rotan di Pancoran ??? hahaha…pengalaman yang lucu banget…Terima kasih sudah menjadi inspirasi kehidupan dan tulisan ini….I love U allz…

♥♥

TAK ADA ROTAN…
Ide :
1. Berita dari suratkabar mengenai pengrajin perabotan yang kekurangan bahan baku rotan. Sementara di sisi lain ada stok rotan yang menumpuk. Sebuah ironisasi.
2. Peraturan pemerintah mengenai ekspor rotan, pembatasan ekspor rotan mentah, karena tidak meningkatkan nilai jual.
3. Rotan adalah hasil hutan Indonesia yang sangat dibutuhkan terutama untuk industry perabotan.
4. Apa makna rotan bagi kehidupan ini ?
5. Seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Berarti rotan tetap menjadi primadona dibandingkan akar penggantinya.

Art-Living Sos 2011 (A-10 Nyanyi Sunyi Sang Elang

Dear Allz….

Awal bulan baru…awal semangat baru….Sebelum saya senyum-senyum lagi sendirian, saya mau menyapa dulu yaaa….Apakabar teman dan sahabatku semua ? Hmmh…biasanya tanggal muda seperti ini pasti senyumnya lebih lebar, ya…dan semoga semua sehat-sehat…… Alhamdulillah, kita masih diberi nikmat sehat…sehingga masih bisa tersenyum-senyum ….

Iya, lho…senyum itu pada dasarnya gratis. Tapi karena kadang kita masih berpikir-pikir, mau senyum atau mau memasang wajah dingin, yaaaa…jadinya senyum itu menjadi mahal…hehehe…

Nhaaa…daripada kita memikirkan senyum atau tidak, mendingan kita ngobrol saja, ya. Banyak hal di sekitar kita, yang bisa menjadi bahan obrolan yang bermanfaat. Lingkungan kita begitu kaya dengan berbagai makna, asalkan kita mau mencari dan menggalinya. Kita bisa terjun langsung di dalamnya, atau kita mau menjadi pengamat dari jauh. Keduanya dapat kita lakukan. Seperti ayam yang lebih suka melihat dari jarak dekat, atau elang yang dapat mengamati dan melihat dari jarak yang sangat jauh.

Sssttt…mumpung kita sedang ngobrol tentang elang, saya pun mau berbagi cerita mengenai elang. Barangkali ia merupakan satwa yang tak lazim bagi sebagian kita. Namun, lihat saja ….bagaimana elang menjadi bagian dari keseharian hidup kita…

Oya…bagi teman dan sahabat yang sedang menikmati akhir pekan saat ini, selamat menikmati liburan bersama keluarga…Dan bagi yang belum berlibur, selamat beraktivitas…semoga semua aktivitas dan langkah kita bermanfaat….

Selamat menikmati…semoga berkenan….

Jakarta, 7 Oktober 2011

Salam hangat,


Ietje S. Guntur

♥♥♥

Art-Living Sos 2011 (A-10
Friday, October 07, 2011
Start : 10/7/2011 12:09:42
Finish : 10/7/2011 14:39:18


NYANYI SUNYI SANG ELANG


Saya sedang berlibur. Tidak. Sebetulnya sedang ada waktu luang di tengah jadwal yang lumayan teratur…hehehehe…Biasalah…Ilmu jaman dulu, sambil menyelam minum air, itu wajib dijalankan. Terutama bila airnya memang enak untuk diminum…hihi…

Saat ini saya sedang melewati kawasan perkebunan teh di daerah Puncak. Sebetulnya ini di lereng-lereng perbukitannya, di antara gunung Gede, gunung Pangrango….dan di kejauhan gunung Salak, yang masih cukup sejuk segar hawanya. Tidak heran bila berpuluh tahun lalu orang Belanda membuat perkebunan teh di sini. Yang hasilnya masih dapat kita nikmati hingga saat ini.

Sambil menikmati pemandangan yang hijau royo-royo, menghirup udara yang-semoga-bebas polusi…mata saya dimanjakan oleh aneka pemandangan yang menyegarkan. Hijau di sana sini. Dan warna-warni pemetik teh yang bersiap untuk pulang dari tugasnya, setelah memetik pucuk teh sepanjang pagi.

Tiba-tiba mata saya terusik oleh pemandangan yang langka. Seekor elang tampak terbang tinggi di angkasa biru, dan sesekali berputar di dekat hamparan kebun teh yang menghijau. Elang itu kadang menukik, kadang mengepak sayap menyongsong angin. Sungguh indah. Seorang diri ia menguasai langit yang terbuka. Tanpa kuatir ada tangan iseng yang mengusik keasyikannya.

Saya terpana. Menikmati tarian elang yang indah. Menikmati kepakan sayapnya yang lembut. Memandang penuh kagum akan kemampuannya menguasai lingkungan sekitarnya.

Lama saya terpesona. Hingga akhirnya Si Elang perkasa terbang jauh. Dan menghilang di antara hutan lindung yang masih tersisa di puncak-puncak pegunungan sekitar kawasan Puncak. Hati saya pun seperti terbawa pergi. Entah kapan saya masih dapat melihat si Elang menari lagi…aachh…



Sepanjang sisa perjalanan berikutnya, saya masih terkenang akan si Elang.

Entah berapa banyak lagi elang gunung yang tersisa di kawasan itu. Mungkin suatu masa dulu, para elang ini sangat bahagia dan merdeka hidup di kawasan pegunungan di sekitar Puncak, Cisarua, dan Bogor. Namun belakangan, dengan semakin banyaknya pemukiman dan menjamurnya kawasan wisata, elang-elang ini pun semakin jarang menunjukkan pamornya di tengah kehijauan alam lingkungannya.

Saya jadi ingat masa kecil dahulu.

Ayah saya sering mengajak saya untuk melihat-lihat elang yang terbang di angkasa. Ayah saya selalu mengingatkan, untuk tidak pernah menangkap elang dengan cara apa pun. Karena elang adalah burung merdeka dan hanya bisa hidup di alam bebas. Hanya di alam luas, di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi burung elang dapat bermanfaat bagi lingkungan.

Ketika ayah saya ditugaskan di kota-kota kecil di tengah rimba belantara Sumatra, kami masih bertempat tinggal tidak jauh dari hutan dan alam yang liar. Saat itu burung elang merupakan pemandangan sehari-hari. Di siang hari bolong, elang-elang ini dengan berani akan memasuki wilayah pemukiman. Bahkan tidak jarang, di depan mata kami ia turun dengan cepat, menukik di lapangan terbuka, dan menyambar anak ayam atau tikus yang lengah.

Saya dan teman-teman semasa kecil dulu, akan segera memasukkan induk ayam dan anak-anaknya ke kandang bila melihat elang berkeliling mencari mangsa. Kami akan saling mengingatkan, dan mengejar anak-anak ayam yang masih berkeliaran tanpa menyadari bahaya yang mengintai.

“ Cepat…cepaaaat..ada elang ! Masukkan ayam ke kandang !” begitu teriakan kami sambil buru-buru menghitung jumlah anak ayam yang berkeliaran di halaman . Teman yang tidak memiliki peliharaan ayam tetap saja ikut beramai-ramai…ikut berteriak-teriak…dan kadang ikut membunyikan segala perabotan seperti kaleng agar elang menjadi takut dan tidak jadi turun ke tanah…Waaah…seru juga.

Saya pernah berpikir, bagaimana elang yang terbang tinggi di langit sana, dapat memilih anak ayam yang akan menjadi santapannya. Pasti ia memiliki mata yang sangat tajam sehingga dapat melihat dari kejauahan. Tidak heran kalau kemudian ada ungkapan yang mengatakan, bahwa matanya tajam seperti mata elang…hehe…Dan memang, kalau kebetulan tidak dijaga, ada juga satu atau dua ekor anak ayam yang disambar dan menjadi mangsa elang. Yah…kalau sudah begitu mau diapakan lagi. Sudah nasib ayam menjadi santapan elang.

Ternyata elang tidak hanya doyan makan anak ayam. Ia pun gemar menyantap tupai dan tikus, terutama tikus berukuran jumbo yang agak besar. Itu sebabnya di areal persawahan yang luas pun kadang kita melihat burung elang berkeliling seperti sedang berpatroli. Dan kalau dilihat kecepatannya menukik, menyambar, dan membawa mangsanya, kita tidak akan menduga bahwa ia bisa secepat itu. Sungguh luar biasa.

Bagi petani, kedatangan elang untuk membersihkan tikus yang menjadi hama di sawah tentu menguntungkan. Memang, dibandingkan dengan menyantap anak ayam, kelihatannya elang lebih suka memangsa tikus. Entah dagingnya lebih gurih, entah karena perlawanan tikus terhadap elang tidak seperti perlawanan ayam. Betul, kadang-kadang induk ayam atau bapak ayam tidak rela kalau anaknya disambar begitu saja. Mereka masih akan berjuang dan mematuk kaki elang untuk mempertahankan anak-anaknya. Biasanya kalau sudah begitu, elang memilih untuk mengalah, karena dia lebih suka di angkasa daripada berjalan-jalan di tanah…Rupanya elang pun paham, kalau itu bukan teritorinya…!!



Ngomong-ngomong soal elang.

Barangkali di masa sekarang kita tidak terlalu peduli dengan kehadirannya. Mau ada, mau tidak ada , hidup sudah bergulir tanpa kehadiran elang. Tapi lihatlah, apa yang sudah diberikan elang kepada kehidupan kita dan lingkungan sekitar kita.

Kalau boleh membongkar harta karun kita nih…Indonesia memiliki beberapa jenis elang. Yang telah dikenal luas dan memiliki nama tersendiri adalah Elang Hitam, Elang Brontok, Elang Merah dan Elang Jawa. Urusan per-elang-an ini memang bukan sekedar urusan burung-burungan. Bagi peminat dan ahli burung atau disebut ornithologist, urusan keberadaan satu jenis burung seperti elang ini membutuhkan penelitian yang lama dan referensi dari berbagai jenis yang mirip. Dan satu hal lagi, harus didaftarkan dengan jenis dan nama tersendiri agar diakui oleh dunia. Naaah, urusan nama saja pun ternyata ada lika-likunya. Simak saja !

Salah satu jenis elang yang cukup legendaris dan membutuhkan perjalanan sangat panjang untuk diakui dunia adalah Elang Jawa. Elang Jawa ini termasuk elang gunung, dan tidak begitu saja diakui keberadaannya. Semula elang ini dianggap sebagai keluarga elang brontok. Tapi setelah diteliti sejak tahun 1820, yang melibatkan dua ahli burung bangsa Belanda yaitu Van Hasselt dan Kuhl, kemudian seorang ahli burung bangsa Jerman yaitu O.Fissh dan seorang kolektor dan ahli burung Max Bartels maka akhirnya pada tahun 1924 Prof. Stresemann memberi nama mereka sebagai Spizaetus nipalensis bartelsi. Bayangkan, hampir seratus tahun untuk mendapatkan sebuah nama !

Tapi ternyata urusan nama tidak segampang itu, karena pada saat itu ia masih dianggap sebagai keluarga nipalensis. Masih ikut keluarga elang lain. Dan akhirnya….* ini betul-betul terakhir * pada tahun 1953 atas usulan D. Amadon untuk menaikkan peringkatnya dan mendudukkannya ke dalam jenis yang tersendiri, maka si Elang Jawa yang digolongkan sebagai elang gunung mendapat nama sendiri, yaitu Spizaetus bartelsi. Nama akhir bartelsi itu adalah salah satu penghormatan kepada Max Bartels .

Begitulah …betapa panjangnya urusan nama untuk seekor elang…!!!



Cerita elang tidak berhenti sampai di situ.

Konon si Elang ini pun menginspirasi para cerdik cendekia dan para petinggi di berbagai belahan dunia . Keanggunannya di angkasa. Keberaniannya, kejeliannya, kecepatan dan kecekatannya tidak sekedar mempesona, tetapi juga menjadi semacam lambang keberanian dan kekuatan. Ungkapan seperti gagah seperti elang, menjadikan elang sebagai ikon kepemimpinan. Bahkan sejak lama kita ketahui, bahwa elang sering dijadikan simbol kekuatan dan kekuasaan. Raja-raja jaman dahulu banyak yang memelihara elang, tidak sekedar sebagai hiasan, namun sebagai petunjuk jalan bila mereka mengadakan perlawatan.

Walaupun elang bukan termasuk burung migrasi, tetapi kemampuannya untuk menguasai teritori yang luas membuatnya menjadi semacam indikator mengenai suatu wilayah tertentu. Ia juga termasuk golongan ‘pejabat tinggi’, karena selalu tinggal di puncak-puncak pohon yang tinggi di atas gunung – yang kalau bisa paling tinggi pula. Mereka memang termasuk kelompok eksklusif dan penyendiri, mirip pertapa yang mengamati situasi dari kejauhan. Namun di sisi lain, ia pun merupakan petarung yang hebat. Elang akan mempertahankan teritorinya bila ada musuh yang menyerang. Bahkan pada jaman dahulu, elang yang telah dilatih oleh kerajaan akan membela tuannya hingga titik darah penghabisan bila ia melihat tuannya terancam.

Barangkali, karena alasan-alasan fisik maupun filosofis itulah burung garuda yang menjadi simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia diambil dari perwujudan burung elang gunung atau elang jawa.

Memang benar. Burung garuda, yang selama ini menjadi simbol kemerdekaan dan kekuatan bangsa Indonesia adalah elang Jawa. Ia tidak sekedar menjadi mitos, tetapi telah menjadi lambang persatuan Negara dan bangsa Indonesia. Dan sekarang, karena kelangkaan elang yang tergusur habitatnya, maka sejak tahun 1992 elang jawa dimasukkan ke dalam kelompok satwa langka. Artinya elang jawa ini dilindungi oleh undang-undang, dan tidak diijinkan untuk dipelihara secara pribadi, kecuali untuk tujuan penelitian.



Mengenang elang yang terbang di kawasan Puncak , membuat saya termenung.

Hanya seekor elang . Tapi kehadirannya mampu mempersatukan sebuah bangsa dalam satu Negara. Dalam kesunyiannya, seekor elang jawa yang gagah telah menjadi garuda. Dan ia mampu menjadi sebuah simbol Negara yang merdeka, yang berdaulat dan diakui keberadaannya oleh dunia.

Seandainya kita dapat belajar dari seekor elang. Yang tidak hanya berani terbang melayang dan menyambar tikus serta anak ayam, tetapi juga mengusung angin dan menjaga lingkungan agar tetap terjaga eksistensinya…

Semoga….!!

Jakarta, 7 Oktober 2011
Salam hangat,

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk Pa tersayang, yang telah mengajarkan kehidupan elang kepadaku…dan untuk teman-teman masa kecil yang telah bersama-sama menikmati hidup bersama elang…Terima kasih juga kepada my Pangeran Remote Control yang telah membawa aku dalam perjalanan menelusuri jejak elang…I love U allz…

♥♥
Ide :
1. Burung elang di daerah Puncak Pass…semakin langka.
2. Hari ini aku melihatnya berputar-putar di atas perkebunan teh Gunung Mas.
3. Apa fungsi elang bagi kehidupan kita dan ekologi ?

Selasa, 04 Oktober 2011

Art-Living Sos 2011 (A-9 Nyanyi Rindu Pohon Randu

Dear Allz….

Hehehe…belum menyapa, saya sudah nyengir duluan…Kebiasaan yang sulit dihilangkan niiih….Aaaah, mau Tanya-tanya dulu aja , ya : Apa kabar semua teman dan sahabatku ?

Semogaaaa…di hari baik dan bulan baik ini, semua teman dan sahabatku dalam keadaan yang sehat-sehat dan ceria. Sehat dan ceria itu kan artinya sehat lahir batin. Tidak hanya sehat di luar, sehat fisiknya, hatinya juga riang gembira….Kata para ahli, hati yang gembira membuat kita sehat dan awet muda. Percaya khaaan ? Jadi memang sebaiknya, kita berusaha untuk selalu gembira…paling tidak ya, tersenyumlah kepada saya…

Eeeeh, lama juga ya kita nggak ngobrol-ngobrol ? Seminggu…dua minggu…waaah, hampir sebulan saya tidak mengudara. Nggak usah pakai maklum-maklum deh…sudah ketahuan alasannya…hehehe. Alasan si kaki seribu yang suka pergi kemana saja…mengikuti arah angin…Hmmh…asalkan arah anginnya tetap terarah, tidak asal jalan dan asal terbang kian kemari…Seperti serat pohon randu yang diterbangkan angin…

Ahaaaa….mumpung ngomong tentang serat pohon…eh, maksud saya serat buah randu. Sudah pernah tahu ? Itu lhooo…si kapuk yang jadi teman tidur kita, pengisi bantal dan pengantar ke alam mimpi. Si kapuk randu ini punya banyak cerita, yang barangkali terlewatkan oleh kita. Kali ini, boleh saya sampaikan cerita tentang sebatang pohon randu ?

Kalau boleh….mariiiiiii…kita duduk-duduk dulu…santai dulu…sambil menunggu waktu bergulir. Sambil menunggu akhir pekan yang sudah di depan mata. Beginilah ceritanya….hehe…

Selamat menikmati…semoga berkenan….


Jakarta, 29 September 2011
Salam hangat,


Ietje S. Guntur



♥♥♥


Art-Living Sos 2011 (A-9
Thursday, September 29, 2011
Start : 9/29/2011 3:22:12 PM
Finish : 9/29/2011 4:57:39 PM


NYANYI RINDU POHON RANDU…


Saya sedang berlibur. Eeeh…tepatnya sedang bertugas, sambil menikmati suasana…Mirip liburan. Biasa begitu…sambil menyelam minum air…hehe… Menikmati kebersamaan dengan sahabat-sahabat saya. Sambil menjalankan tugas, kami pun dapat bersantai menikmati suasana dari atas bukit. Maklum tempatnya juga asyik untuk berlibur. Namanya Bukit Randu, di Lampung.

Sesuai dengan namanya, lokasi tempat saya dan sahabat-sahabat saya menginap memang merupakan kawasan yang banyak pohon randu. Pohon yang tinggi menjulang, dengan buah-buah yang bergantung seperti lampu hias berwarna kehijauan. Di bulan Agustus seperti ini, pohon randu atau dikenal juga dengan sebutan pohon kapuk, memang sedang musim buah. Tapi berbeda dengan pohon lain yang enak dimakan buahnya, justru pohon randu ini lebih bermanfaat serat buahnya untuk pengisi kasur dan bantal.

Entah kenapa, setiap kali melihat pohon randu, dengan buah-buahnya yang rapi berjejer di dahan dan rantingnya, saya selalu merasa terharu. Pohon yang tampak kokoh, tidak banyak berhias daun. Sekilas tampak gersang, namun selalu dipenuhi dengan buah yang bermanfaat. Angan saya pun melayang…melewati lembah dan bukit…melewati puncak bukit Randu yang temaram di dalam pelukan malam….




Ingat pohon randu, saya jadi ingat ketika pertama kali melihat buah randu pecah dan seratnya bertebaran seperti salju. Sebagai anak yang dibesarkan di Sumatra saya nyaris tidak pernah memperhatikan kehadiran pohon randu di sekitar saya. Maklum, di Sumatra terlalu sering musim hujan, sehingga buah kapuk selalu tampak hijau, tapi tidak menarik untuk dipetik. Bagi saya, dan sebagian besar anak-anak pada masa itu, pohon yang menarik adalah pohon yang bisa dipanjat dan dipetik buahnya. Pohon randu ? Apanya yang mau dipanjat ? Buah apanya yang mau dipetik ?

Ketika liburan sekolah saat masih SD, kami berkunjung ke kampung halaman ayah saya di Jawa . Saat itu bulan Agustus, dan sedang terik-teriknya cuaca di sebagian besar pulau Jawa. Saya melihat ada sebatang pohon yang tinggi sekali. Dan tiba-tiba ketika angin bertiup, buahnya seperti meledak…lalu serat kapuk itu bertaburan. “ Itu pohon randu. Pohon kapuk ! Yang isinya untuk bantal di rumah,” kata ibu saya menjelaskan, melihat saya terheran-heran.

Betul. Saat itu saya hanya terpana. Kagum. Belum pernah saya melihat pohon kapuk yang berbuah dan pecah seperti ini . Dalam hitungan detik, saya tersadar. Terbakar oleh kegembiraan. Lalu bersama dengan anak-anak kecil lainnya, kami berlarian mengejar serat-serat kapuk yang beterbangan kian kemari . Rasanya sangat senang ketika serat kapuk mendekat, lalu ketika hampir mencapai ketinggian yang terjangkau, ditiup lagi dengan sekuat tenaga….Serat kapuk akan terbang lagi semakin tinggi…dan kami tidak bosan mengejarnya sampai kelelahan sendiri…hehehe…

Begitulah…masa libur saya di Jawa, dan di sudut-sudut kota Jakarta yang kala itu masih mirip dengan kampung besar hampir setiap hari saya isi bersama teman-teman sebaya, sambil berkejar-kejaran dengan kapuk yang beterbangan. Saat itu juga saya baru tahu, bahwa kapuk yang setiap malam menemani saya tidur di dalam buntalan kasur dan bantal serta guling berasal dari buah pohon randu.



Memang kapuk, atau randu yang nama kerennya Ceiba pentandra adalah bahan utama pengisi kasur atau tilam untuk tidur. Kapuk ini memang tanaman tropis, dan berasal dari Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Karibia. Mungkin kedatangannya ke Indonesia juga berkat perjalanan para penjelajah samudra, yang kemudian mengembangkannya di Nusantara.

Seratnya yang empuk dan dapat menahan berat tubuh serta mengalirkan udara di antara tumpukan seratnya membuat kapuk menjadi pilihan utama yang cukup aman dan nyaman dibandingkan dengan bahan sintetis. Kapuk ini dapat bertahan cukup lama sebelum dia menjadi dingin atau mengeras. Biasanya, untuk membuat kasur dan bantal kapuk menjadi empuk dan gembur, maka kita harus sering menjemurnya di bawah sorotan panas matahari. Setelah kapuk di dalam buntalan atau sarung kasur menjadi kering, maka udara akan mengalir lagi di sela-selanya, dan kasur pun empuk kembali.

Jadi ingat juga niiiiih….duluuuu banget, jaman saya SMP dan SMA, tugas menjemur kasur setiap minggu adalah tugas saya. Kadang dibantu oleh salah seorang adik saya. Entah karena saya kelebihan tenaga, atau karena memang jatah anak sulung…( hahaha)…ayah saya selalu menyuruh saya mengangkut kasur kapuk itu untuk dijejer di halaman dan dijemur. Lalu…sambil menunggu kapuk mengering, maka kami akan memeriksa celah-celah jahitan buntelan atau sarung kasur. Biasanya di situ suka bersarang kepinding atau tumbila, yang mirip kutu, dan kadang iseng menggigiti manusia.

Sambil menjemur kami juga harus menebah-nebah kasur. Dipukuli dengan tebah terbuat dari jalinan rotan yang mirip dengan raket bulutangkis. Tujuannya agar debu yang melekat dan segala mahluk penghuni kasur akan pergi…hehe…Selain itu tentu agar kasur menjadi empuk. Memang…setelah dijemur dan dipukuli, malamnya saya akan tidur lebih nyenyak. Dengan kasur lembut dan hangat. Dan tentu saja…dengan mimpi yang lebih berwarna…hmh….

Dipikir-pikir, lucu juga yaaaa…rekreasi hari libur kok menjemur dan memukuli kasur kapuk…hahahaha…



Ngomong-ngomong tentang pohon randu , memang sekilas pohon ini biasa saja. Bukan pohon idaman produktif yang bisa diambil kayunya , semisal pohon jati atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk rumah dan perabotan lainnya . Atau seperti pohon beringin rindang yang sering menjadi tempat berteduh.

Pohon randu yang nyaris gersang, dan berdaun agak jarang, membuat dia hanya ditanam untuk dipanen sekali setahun. Sebagai pengisi kasur dan bahan pelapis lainnya. Baru belakangan, setelah diketahui manfaatnya, dia mulai ditanam secara komersial dan menjadi komoditi andalan untuk meningkatkan ekonomi. Di beberapa daerah di Jawa, kapuk merupakan salah satu penyumbang ekonomi bagi perkembangan daerah. Sehingga namanya pun dikenal sebagai kapuk Jawa.

Khusus di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, para petani sering memanfaatkan siklus pohon randu sebagai penanda musim. Yaitu musim tanam dan musim panen. Biasanya di bulan-bulan Januari-Maret pohon randu akan mulai berdaun hijau, karena dia banyak menyerap air dari musim hujan. Para petani yang mengamatinya akan mulai bercocok tanam, terutama padi mengikuti siklus daun pohon randu ini.

Dan ketika pohon randu mulai merontokkan daun-daunnya, saat buahnya mulai matang, maka pada saat itulah petani akan memanen hasil sawahnya. Musim panen biasanya dilakukan pada bulan Juli sampai September atau awal Oktober, pada saat kemarau, di mana matahari sedang memancar dengan teriknya .

Berabad-abad kebiasaan mengikuti siklus randu ini membuat para petani di Jawa juga menanam pohon randu di halaman rumahnya, atau di tegalan sawahnya. Bahkan hingga saat ini, ketika musim sudah berubah-ubah, dan jenis padi yang ditanam tidak membutuhkan waktu panjang, para petani masih bersahabat dengan pohon randu. Unik juga, ya…



Bertahun kemudian, selama tinggal di Jakarta, saya masih suka mengamati pohon randu. Memang sekarang jumlahnya tidak sebanyak bertahun-tahun lalu. Pohon randu dan banyak pohon lainnya harus berebut tempat dengan perumahan penduduk. Tapi seringkali, di sela-sela rumah yang berhimpitan, tampak sebatang pohon randu menjulang, dan sesekali melepaskan serat kapuknya yang mirip salju. Dan di antara ranting-rantingnya biasanya burung-burung akan berkicau riang, sambil mematuk ulat-ulat pohon randu yang konon cukup lezat cita rasanya…

Ahaaa…Barangkali juga, karena bentuknya yang gersang itu, pohon randu atau kapuk justru banyak member ilham bagi seniman. Banyak puisi dan lagu yang menceritakan tentang pohon randu ini. Kadang-kadang sisi jiwa seni saya pun tergerak melihat pohon randu. Entah mengapa, kegersangan pohon randu terkadang membuat hati tergelitik. Seperti melihat seseorang yang sedang kesepian di tengah keramaian. Aaachh…romantis sekali…

Itu sebabnya juga saya sering merasa sedih bila melihat pohon randu ditebang tanpa alasan yang jelas. Mungkin dia memang tidak produktif. Tapi saya yakin burung-burung masih suka bertengger dan bernyanyi di dahannya sambil mematuk-matuk ulat yang menjadi makanannya.

Seperti saat ini, ketika melihat sebatang pohon randu di Jakarta Selatan, yang ditebang dengan semena-mena. Hati saya rasanya teriris. Ingat burung-burung yang bernyanyi riang. Ingat petani yang mengandalkan siklus randu untuk penanda musim , ingat keceriaan masa kanak-kanak ketika berlarian mengejar serat-serat buahnya…oooh…

Menatap pohon randu yang telah rebah, hati saya pun tergugah. Usia perjalanannya memang telah usai. Tapi selama dia berdiri gagah di sana, dia telah memberikan kehidupan banyak sekali kepada mahluk lain di sekitarnya. Bahkan ketika dia telah menjadi potongan kayu-kayu kecil, ia masih kuat untuk dibuat pagar atau bahan bakar untuk masak.

Saya termenung. Sebatang pohon randu yang biasa-biasa saja telah memberi hidupnya dengan banyak manfaat. Sekarang…apa yang sudah kita berikan kepada kehidupan ini ? Apakah kita sudah memberikan kegembiraan kepada lingkungan kita ? Apakah kita sudah menjadi panutan bagi sekitar kita ? Apakah kita cukup kuat untuk menjadi pelindung dan pagar bagi orang yang kita sayangi dan kita cintai ???...

Aaaah…semoga saja…Ada ilmu yang dapat kita pelajari dari sebatang pohon randu yang bernyanyi rindu…


Jakarta, 29 September 2011

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Terima kasih untuk sahabat perjalananku…mb Irma dan Mey…Ingat saat yang lucu di Bukit Randu, ya….hehehehe…sangat inspiratif……Terima kasih juga untuk sebatang pohon randu di Senayan, yang menjadi inspirasi tulisan ini…