Minggu, 24 April 2011

Art-Living Sos 2011 (A-4 Susahnya Ngomong...

Dear Allz…

Met pagiiii….Apakabaaarrr…??? Hari Sabtu ini, yaaa…hari libur bagi sebagian besar kita. Bahkan liburan panjang sejak kemarin…hehehe…asyiiiik, yaaa…

Liburan begini, enaknya ngapain ? Jalan-jalan ? Temu kangen dengan teman-teman dan sahabat ? Istirahat di rumah ? Atau kumpul keluarga ? Haaa…itu semua asyiiikk…Asalkan kita bisa menikmatinya.

Di hari Sabtu yang cerah ceria ini, dibuka dengan sapaan sinar matahari yang kinclong. Menerangi langit yang biru. Dan membuat hati kita pun ikut cerah ceria.

Keceriaan itu membuat saya, di pagi hari tadi sudah sempat melakukan banyak aktivitas, termasuk membaca buku yang menarik. Lalu…criiiiingg…muncullah ide ini. Mengenai ‘omong-omong’. Saya ingat teman dan sahabat-sahabat saya yang sering curhat * saya juga sih…hehehe..gantian…*. Dan kuncinya semua adalah komunikasi. Ada hambatan atau ketidaklancaran di dalam proses komunikasi, sehingga kita susah ngomong.

Sementara itu, di pihak lain…ada orang yang lancaaaaar banget kalau berbicara. Seakan-akan setelan bibir dan otaknya terkoneksi dengan baik dan tepat. Nah, ini dia nih yang kita perlu sharing di sini. Mau khaaaan ??

Iyalah…mumpung hari libur…kita ngobrol yang ringan-ringan saja dulu. Bukankah berkomunikasi dan ngomong itu adalah aktivitas rutin kita sehari-hari ? Mari kita lihat sejenak, apakah kita sudah berkomunikasi dengan nikmat dan bermanfaat.

Selamat menikmati…semoga berkenan…

Jakarta, 23 April 2011
Salam hangat,


Ietje S. Guntur

♥♥♥


Art-Living Sos 2011 (A-4
Sabtu , 23 April 2011
Start : 4/23/2011 7:26:46 AM
Finish : 4/23/2011 8:32:08 AM



SUSAHNYA NGOMONG…

Saya sedang ngobrol dengan seorang teman. Tepatnya dia sedang curhat…mencurahkan isi hati ( dan pikirannya) kepada saya. Sambil menyeruput teh hangat, dan sesekali mencomot pisang goreng di hadapan kami, saya pun mendengarkan dengan seksama.
Intinya dia bilang begini ,” Susah banget ngomong sama suamiku. Maunya dia kemana, maunya aku kemana. Belum lagi anak-anak…bahasanya tidak bisa dimengerti !”

Halaaahh…kalau nggak bisa ngomong. Kalau bahasanya tidak bisa dimengerti. Lhaaa…selama ini ngapain aja ? Begitu batin saya…hehehe…

Keluhan teman saya, barangkali juga suatu ketika pernah kita alami. Entah sekali, entah dua kali, entah berkali-kali. Dan biasanya kita akan menjatuhkan vonis : “Mereka memang tidak bisa dimengerti. Tidak bisa diajak ngomong !”
Sssttt…tunggu dulu…Sabaaaarrr…



Kita, keluarga kita, suami atau isteri, pasangan mesra atau kekasih, orangtua dan anak, pembantu rumahtangga, supir, tetangga, penjual ketoprak keliling, tukang sayur, tukang ojeg, satpam di lingkungan perumahan, ketua RT dan RW…dan sebagainya pastilah memiliki kemampuan berbahasa yang ‘sama’. Artinya, bisa mendengarkan, bisa mengucapkan, dan bisa berbicara satu dengan lainnya.

Nah, kenapa suami atau isteri kita bisa berbicara enak dan asyik dengan orang lain, sementara dengan kita seperti kucing dan tikus…Mau saling mengejar dan menyakiti ?
Atau, anak-anak kita. Ketika masih kecil, balita – di bawah umur lima tahun, mereka adalah anak-anak yang manis dan ‘mudah diajak ngomong’. Sementara sekarang, ketika mereka masuk ke usia remaja, kita merasa bahwa mereka seakan-akan mahluk aneh dari luar angkasa. Menjadi alien.

Lalu, pembantu, supir, dan segenap orang lain di sekitar kita, kadang menjadi orang-orang tidak dikenal yang tiba-tiba muncul dengan bahasa yang tidak kita pahami. Yang tidak bisa menerima dan menjalankan perintah kita sesuai dengan kehendak kita. Yang suka sok kreatif dan sok tahu, padahal salah melulu.

Ohlalaaaaaaa…kalau begini kehidupan kita, bagaimana kita berkomunikasi dengan dunia ? Apakah kita mau ngomong-ngomong sendiri saja, dan melakukan segalanya sendirian, tanpa interaksi dan bantuan orang lain ? Okeeee…selamat jalan kalau begitu. Pergilah ke laut…* memancing ikan maksudnya…hehe*

ADA APA DENGAN KOMUNIKASI KITA ?

Ini dia yang harus kita pertanyakan kepada diri sendiri. Ada apa dengan komunikasi kita ?

Banyak teori mengenai komunikasi. Namun intinya adalah, bagaimana kita menggunakan simbol bahasa, baik yang lisan maupun tertulis, baik yang berupa kata-kata maupun gerak tubuh, yang dipahami kedua belah pihak, untuk menyampaikan maksud dan menjalankan apa yang kita inginkan.

Sekarang coba kita cek diri sendiri. Seberapa jauh kita menggunakan simbol bahasa, termasuk gaya bahasa, dialek dan informasi, yang sama dengan orang lain ? Ambil contoh misalnya dengan suami atau isteri. Ketika kita akan berbicara dengan mereka, apakah kita sudah menyamakan simbol bahasa yang biasa digunakan oleh pasangan kita, untuk memulai suatu komunikasi ?

Kadang-kadang, entah kenapa, kita suka ‘malas’ untuk mempelajari simbol bahasa yang digunakan pasangan kita. Menurut kita, kalau bahasa atau kata-katanya sama, pastilah artinya sama. Padahal kadang-kadang ada orang yang berbicara atau berkomunikasi dengan bahasa hati dan pikirannya sendiri, dengan menggunakan perlambang. Ada orang yang mudah dan terbuka, ada orang yang hanya memiliki kosa kata terbatas atau istilah yang berbeda.

Kemalasan inilah yang pada awalnya kita abaikan, dan semakin lama akan membuat jurang komunikasi semakin lebar dan semakin dalam. Kita sering berpikir sendiri, bahwa apa yang diucapkan itulah yang menjadi arti sebenarnya. Namun sering terjadi, apa yang diucapkan mengandung arti ganda atau arti berbeda. Karena interpretasi kita sendiri, kita malas bertanya ulang atau mengecek maksud dan tujuan, akhirnya komunikasi yang kita harapkan tidak tersambung lagi.

PERBEDAAN GENERASI, PERBEDAAN PENGALAMAN

Hal yang sekarang semakin sering kita dengar, atau kita alami sendiri, adalah perbedaan bahasa antara orangtua dan anak.

Tidak jarang saya mendengar keluhan ,” Waaah…anak saya sekarang sulit dimengerti.” Sementara dari pihak anak, terutama remaja yang sedang tumbuh kembang ada juga keluhan seperti ini , “Mama sih payah. Nggak mau mengerti maunya kita. Apalagi Papa,
kalau ngomong maunya menang sendiri. Males deh ngomong sama mereka !”

Lha…kalau kedua belah pihak sudah merasa ada yang tidak beres dengan komunikasi antar mereka, kenapa salah satu pihak tidak mau mengerti ?

Orangtua sering tidak mau disalahkan, karena menurut mereka, mereka lebih berpengalaman. Dengan demikian, mereka berhak mengatur anak-anak mereka, dengan bahasa mereka.

Okeeee…berpengalaman ! Itu sebuah modal yang menarik. Kalau sudah berpengalaman, lalu apa ? Kita, sebagai orangtua, memang berpengalaman. Kita sudah melewati banyak tahun, di masa lalu. Kita sudah pernah menjadi remaja, sebelum kita tumbuh menjadi orang dewasa yang beranjak tua. Tapiiii…itu DULU ! Ingat ini.

Bahasa yang kita pakai dulu, berbeda dengan bahasa anak-anak dan remaja sekarang.
Oke, kita berbahasa atau berkata-kata dalam bahasa yang sama. Tapi seringkali maknanya berbeda. Contoh satu kata ,’ KENTANG ‘. Sebagai orangtua, dari generasi sebelumnya, barangkali kita memaknai kentang sebagai sebuah umbi, atau makanan yang enak digoreng. Namun, bagi sebagian besar remaja gaul, istilah kentang berbeda maknanya. Coba tanya pada mereka, apa arti kentang menurut bahasa remaja ? Anda, saya, kita pasti akan tercengang, karena maknanya sangat berbeda dan jauh dari makanan !

Itu baru urusan kentang. Belum lagi urusan kebutuhan remaja sekarang. Menurut kamus jaman kita , orangtua generasi sebelumnya, anak yang manis adalah anak yang duduk diam-diam di meja belajar sambil mengulang pelajarannya. Namun ternyata sekarang, anak yang duduk diam-diam di kamarnya, bisa jadi memiliki peluang untuk merambah dunia maya yang sarat dengan godaan. Dan ketika dia terjerumus ke dalam godaan itu, kita – orangtua, lagi-lagi dibuat tercengang, dan heran, bahwa anak kita sudah begitu jauh melangkah tanpa kita ketahui.

PERBEDAAN KEBUTUHAN, PERBEDAAN PERSEPSI

Dunia ini bergerak. Sangat dinamis dalam waktu beberapa dekade terakhir ini. Dan itu mempengaruhi bentuk komunikasi, penggunaan simbol bahasa dan kebutuhan interaksi lainnya.

Dulu…kita hanya bisa berinteraksi bila kita bertatap muka, atau paling jauh adalah berkirim surat dan menatap foto yang dikirim oleh orang lain. Lihat sekarang ! Dalam detik yang sama, kita bisa ngobrol dengan seseorang, menatap wajahnya, melihatnya bergerak ke sana ke mari, padahal dia jauh dari jangkauan kita.

Apa yang terjadi di belahan dunia lain, pada detik yang sama dapat kita lihat dan kita dengar di tempat kita berada sekarang. Dan itu semua berpengaruh terhadap pola komunikasi kita. Di dalam keluarga, di dalam organisasi dan pekerjaan, di lingkungan sosial, dan di mana pun kita berada.

Suami yang melek teknologi, akan menggunakan simbol bahasa teknologi tinggi dalam komunikasi dan pembicaraannya sehari-hari. Mereka, boleh jadi akan menganggap pasangannya sebagai mahluk aneh yang ketinggalan jaman, bila tidak memahami bahasanya. Begitu pula para isteri, yang memiliki dunia di rumah maupun di komunitasnya, punya bahasa sendiri yang eksklusif dan kadang tidak dipahami oleh pasangannya.

Ketika kedua orang ini berbicara, kadang-kadang timbul kesenjangan bahasa dan perbedaan persepsi. Lalu, daripada menimbulkan konflik lebih dalam, kedua belah pihak akhirnya menutup mulut, diam, dan menghentikan komunikasi. Tidak ada lagi curah pendapat, sharing, berbagi perasaan dan pemikiran, karena symbol bahasanya sudah berbeda. Kebutuhannya berbeda. Kepentingannya berbeda.

MEMAHAMI DUNIA ORANG LAIN

Lalu…apakah komunikasi itu ?

Komunikasi adalah interaksi antara dua orang atau lebih, dengan menggunakan ‘simbol bahasa’ yang dipahami kedua belah pihak, dan dilaksanakan dengan nyaman untuk perkembangan diri masing-masing. Dalam hal ini ada saling pengaruh-mempengaruhi yang membuat kedua belah pihak memiliki kesamaan pandangan.

Jadi kalau satu pihak hanya berbicara, atau berbunyi-bunyi, atau bergerak-gerak, sedangkan pihak yang diajak berkomunikasi tidak memahami maknanya, maka komunikasi itu tidak berjalan dengan lancar. Komunikasi tidak lancar, membuat kedua belah pihak tidak nyaman. Bisa jadi, salah satu pihak lantas menutup diri, dan enggan melanjutkan interaksi.

Belajar berkomunikasi adalah belajar memahami dunia orang lain. Bukan sekedar berbicara atau berkata-kata. Tetapi memaknai apa yang ada di dalam ‘dunia’ orang lain. Di dalam pikiran dan perasaannya.

Memahami dunia orang lain, dalam bahasa komunikasi adalah menyamakan pandangan.
Untuk menyamakan pandangan kita harus memahami posisi orang tersebut, informasi apa yang dimilikinya, kebutuhan apa yang hendak dipenuhinya, dan bagaimana dia menyampaikan kebutuhannya. Setelah kesamaan pandangan ini timbul, barulah kita secara bersama-sama memutuskan, siapa yang hendak memandu komunikasi. Siapa yang mendengarkan, dan siapa yang didengarkan. Saling mendengarkan, saling memahami, saling melengkapi informasi adalah bagian dari komunikasi.

Mudah ? Bisa ya, bisa tidak. Tergantung dari keinginan Anda, saya, kita…

Mau berkomunikasi dengan lancar ? Mau ngomong lancar ? Marilah buka hati…buka pikiran…tingkatkan kualitas hidup kita…dan terimalah dunia sekitar kita dengan cara pandang yang baru…

Semoga bermanfaat.

Jakarta, 23 April 2011

Salam hangat,

Ietje S. Guntur

Special note :

Terima kasih untuk anakku si Cantik, yang mengajarkan aku untuk mendengarkan sebelum berbicara…terima kasih juga untuk Pangeran Remote Control yang sering menggunakan simbol bahasa berbeda, sehingga aku harus terus belajar dan beradaptasi…Dan juga..semua teman, sahabat, asisten-asisten di rumah…yang membuat aku semakin banyak belajar cara ngomong yang bisa dipahami…hehehe…

Art-Living Sos 2011 (A-4 Kue Pancong

Dear Allz…

Selamat siaaaaannggg…selamat hari Minggu…selamat liburaaan…Hmmh…gembira sekali rasanya…Setelah libur dua hari berturut-turut…masih ada hari ini…untuk melanjutkan refreshing yang masih tertunda…hehehe..

Saya sendiri, cukup istirahat dan beraktivitas…dan Alhamdulillah…bisa menikmati saat-saat yang saya miliki. Ada jadwal yang bisa dipenuhi. Ada jadwal yang terpaksa ditunda atau disingkirkan dulu. Yeaaaah…hidup ini kan sebuah pilihan. Tidak bisa kita ambil semua. Yang penting bukan sekedar jumlahnya. Tetapi bagaimana waktu itu memiliki makna dan berarti untuk kita. Begitu khaaan ?

Hmmmh…di hari Minggu yang mendung-mendung empuk ini, saya sudah mengisi sebagian hari dengan kegiatan domestik…belanja dan memasak. Dan akhirnya…seperti biasaaa…saya jadi ingin berbagi cerita. Masih cerita sederhana, seputar kehidupan kita. Kali ini…saya ingin cerita tentang kue pancong.

Iya…barangkali kue pancong cukup akrab dengan kita. Bagi saya, kue pancong tidak sekedar jajan pasar. Tapi ada cerita lucu di baliknya. Dan banyak kenangan sepanjang jalan dengan si Kue Pancong ini.

Oke deeeh…tak berpanjang kata…saya langsung saja ya ? Oya…karena ini cerita kue pancong, tidak ada salahnya juga kita menikmatinya sembari menyeruput secangkir teh atau kopi. Bagaimana ? Sudah siaaaaapppp ???

Selamat menikmati…semoga berkenan…nyaaaam…nyaaaam….


Jakarta, 24 April 2011

Salam hangat di hari minggu…


Ietje S. Guntur

♥♥♥

Art-Living Sos 2011 (A-4
Minggu , 24 April 2011
Start : 24/4/2011 10:25:05
Finish : 24/4/2011 11:26:14 AM


KUE PANCONG…

Hari libur. Saya sedang menikmati waktu sendiri…’Me time’ gitu deeeh… Setelah hari-hari yang penuh dengan aktivitas yang menguras waktu dan pikiran…naaah, ini saatnya memanjakan diri. Termasuk di dalamnya merusak diet…hehehehe…dan memanjakan lidah dengan makan apa sajaaaaaa…sepanjang halal dan masih bisa diterima oleh tubuh…hmh…

Iyalah…kata seorang teman saya, kita – maksudnya emak-emak, yang sudah banting tulang bekerja setiap hari, kadang tidak sempat menikmati hasil kerjanya sendiri. Jalan-jalan…belanja…biasanya pasti ingat orang di rumah. Oleh-oleh…untuk orang lain biasanya lebih banyak daripada untuk diri sendiri. Bahkan makanan atau cemilan, mesti ingat orang di rumah, baru ingat diri sendiri. Sudah kebiasaan barangkali, ya ? Emak-emak cenderung mendahulukan orang di rumah, keluarga atau sahabatnya, daripada diri sendiri…eheeem…* sambil melihat ke diri sendiri…benar gak siiich ?...*

Begitulah. Hari libur yang lumayan cerah itu saya gunakan untuk merawat diri. Ahaaa…bukan mobil atau motor saja yang perlu masuk bengkel. Manusia juga. Perlu perawatan, dan barangkali membetulkan sekrup dan otot yang longgar…hehehe…Saya memilih pijat refleksi di dekat rumah. Langganan yang sudah terasa manjur pijatannya. Asyiiiikkk…Sembilan puluh menit berlalu. Dan saya ke luar dari tempat pijat dengan badan ringan, kepala segar…dan perut lapar…hahahaha…

Sambil berjalan terhuyung-huyung menuju tempat perawatan berikut di salon sebelahnya, saya melihat ada seorang penjual kue pancong. Gerobaknya mangkal di depan salon yang saya tuju. Halaaah…ini dia. Pucuk dicinta, ulam tiba…eeeh, lapar dicinta…kue pancong nongol…hehe…

Ini adalah salah satu kue tradisional kesukaan saya. Kue pancong kelapa, yang rasanya gurih karena adonan campuran kelapa dengan tepung . Saya membeli dua lonjor, yang masing-masing berisi lima potong kue berbentuk setengah lingkaran. Harganya murah meriah. Hanya lima ribu rupiah, untuk sepuluh potong. Dan sambil menunggu giliran rambut dipermak, saya pun mencicipi sepotong dua potong kue pancong kelapa itu…hmh…nyem…nyem…


Tidak hanya di depan salon langganan dekat rumah ada penjual kue pancong, yang bagi orang Bandung disebut kue bandros. Penjaja kue pancong, ada yang memikul dagangannya keliling kampung atau kompleks perumahan , dan kadang mangkal di sekitar sekolah-sekolah SD . Menjadi cemilan atau pengganjal lapar yang cukup mengenyangkan.
Belakangan, penjaja kue pancong juga mulai melebarkan sayapnya, ke daerah perkantoran.

Di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, ada beberapa penjaja kue pancong yang menggelar dagangannya dekat pusat perkantoran di pagi hari. Ada yang dipikul, ada yang didorong dengan gerobak. Kadang, selain kue pancong kelapa yang klasik ini, mereka juga menambah dagangannya dengan kue pukis yang terbuat dari adonan tepung terigu. Tapi tetaaaaaap…kue pancong kelapa menjadi primadona. Terutama buat saya…hehe…

Iya…perjalanan hidup saya, mau tidak mau diwarnai dengan kehadiran kue pancong kelapa ini. Sejak saya masih kanak-kanak di Medan, hingga kuliah di Bandung, dan mencari nafkah di Jakarta, saya sering mengisi waktu luang dengan ngemil kue pancong.

Saya ingat, di Medan dulu kue pancong ini sering berkeliling kompleks perumahan. Anak-anak tetangga saya dengan heboh dan gegap gempita selalu jajan kue ini. Biasanya mereka membeli satu lonjor berisi lima potong, lalu dibagi-bagi dengan saudara-saudaranya. Saya, yang jarang mendapat uang jajan hanya bisa gigit jari melihat kemeriahan itu. Dan sesekali, kalau ibu saya sedang berbaik hati, maka saya akan dibelikan satu lonjor…dibagi sekeluarga…hiks hiks hiks…

Suatu ketika, saat tukang jual kue pancong lewat di depan rumah, ibu saya sedang tidak di rumah. Padahal saya kepengeeeeen banget kue pancong itu. Mau minta kepada teman, mereka pun dapat jatah pas-pasan. Saat itu, satu lonjor kue harganya satu rupiah (..hmm..satu rupiah beneran !). Tapi kalau mau beli sepotong, harganya setalen atau dua puluh lima sen.

Mendengar penjelasan tukang jual kue pancong, saya langsung lari , pulang ke rumah. Mencari-cari di dapur, barangkali ada uang setalen sisa belanja yang tergeletak di sembarang tempat ( biasa khan, emak-emak suka lupa dengan uang kembalian belanja..). Untunglah…ada sekeping uang setalen, yang tersembunyi di dekat tempat bumbu dapur.

Secepat kilat uang setalen itu saya ambil, saya cuci bersih dulu biar kinclong, dan dalam sekejap bertukar dengan sepotong kue pancong yang wangi dan gurih…Saya menerima kue itu dengan hati berdebar-debar…dan pelan-pelan mengecapnya dengan ujung lidah, sebelum akhirnya saya kunyah selembut mungkin… Aaachh..sedaaaap ! Barangkali, dari semua kue pancong yang pernah saya makan, kue pancong yang setalen itu adalah kue pancong paling enak sedunia…hahahaha…


Ngomong-ngomong soal kue pancong. Kue yang terbuat dari adonan sederhana, tepung beras, air dan parutan kelapa, serta tambahan sedikit garam adalah jajanan yang sehat dan lezat cita rasanya. Adonan ini kemudian dimasak di dalam cetakan yang berbentuk lobang-lobang setengah lingkaran, lalu dipanggang di atas bara api atau arang. Cetakan kue ini, ada yang terbuat dari logam berwarna putih dan ada yang terbuat dari kuningan. Setelah matang, yang ditandai dengan aroma yang menguar dan keringnya bagian bawah kue, maka kue pancong siap disantap.

Ada orang yang suka menambahkan gula pasir pada saat masih panas, sehingga gulanya meleleh sedikit. Tapi ada juga yang tidak menambahkan apa-apa.

Saya sendiri suka menyantap kue pancong dengan serundeng kelapa atau abon daging. Kue pancong adalah kue dasar. Artinya bisa dimakan begitu saja, atau dibuat tambahan variasi yang lain. Mau manis, atau mau asin, atau bahkan rasa pedas juga tidak menjadi masalah. Kalau sedang dalam kondisi lapar, kue pancong ini sebetulnya bisa menjadi pengganti nasi, karena bahan bakunya tepung beras. Ditambah dengan parutan kelapa, maka sebetulnya sudah mencukupi untuk kebutuhan karbohidrat seketika.

Saya tidak tahu, dari mana asal usul kue pancong ini. Pun namanya ‘pancong’, apakah berasal dari kata ‘pancung ‘? Memancung ujung kue dengan sodetan, agar bisa keluar dari cetakannya…Kalau begitu, ..waaah..serem juga. Yang jelas, penyebaran kue pancong ini bisa ditemukan di kota-kota di Sumatra, di Jawa dan barangkali di pulau-pulau lainnya di wilayah Nusantara. Barangkali karena kemudahan proses pemasakannya, maka kue ini juga cepat menyebar ke seantero daerah. Apalagi bila dibandingkan antara modal bahan baku dan harga jual yang cukup menjanjikan, maka kue pancong ini tetap bertahan dari jaman ke jaman. Tidak minder atau rendah diri menghadapi berbagai kue import dengan segala variasinya.

Yang unik adalah satu hal…Kue ini jarang menjadi kue rumahan yang dimasak sendiri. Kue pancong ini khas menjadi kue jajan pasar yang dijual oleh pedagang khusus. Mungkin karena bentuknya yang seperti sol sepatu, atau karena lebih enak disantap saat panas, jadinya kue pancong ini lebih cocok untuk makanan pribadi. Jarang tampil di dalam jajaran kue jajan pasar di pesta-pesta atau acara keluarga. Yang pasti…dia selalu dirindukan, dan dinanti untuk sarapan pagi, cemilan atau makanan sela antara jam makan siang dengan sore hari.


Melihat kue pancong yang tersisa di piring, di atas meja makan di rumah saya, membuat saya merenung.

Apa sih kue pancong ? Siapa sih kue pancong ? Tapi coba tanyakan, berapa banyak orang yang kenal dan pernah mencicipi kue pancong ? Dan tanyakan juga, apakah mereka pernah bosan makan kue pancong ?

Sungguh…kue pancong hanyalah kue jajan pasar yang sederhana, yang bahkan belum naik kasta untuk menjadi hidangan pesta. Tapi apa yang sudah dilakukan oleh sepotong kue pancong dalam keseharian hidup kita ?

Barangkali, kue pancong juga sama dengan sebagian besar kita. Yang merasa diri ‘ hanya begini’ saja. Yang merasa belum cukup derajat untuk naik ke kasta lebih tinggi. Tapiiiii…seperti kue pancong sederhana yang punya makna dan selalu dirindukan, kenapa kita tidak belajar dari kehadiran kue pancong di dalam kehidupan kita ?

Biar saja kita jadi orang sederhana. Biar saja kita jadi orang yang ‘belum layak’ untuk bergaul di lingkungan atas atau sosialita kota. Tapi…dalam kebersahajaan, dalam kesederhanaan…kita tetap punya arti bagi dunia…

Begitu khaaaannn ???

Mau menikmati sepotong kue pancong kelapa ? Mau belajar tentang kesederhanaan yang bisa membaur dengan segala suasana ? Mareeee…kita icip-icip dulu….hhmmhhh…

Jakarta, 24 April 2011
Salam hangat,

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih kepada segenap jajaran penjual kue pancong kelapa…terutama kue pancong kelapa di Medan, yang memberi kesempatan untuk aku menikmati sepotong dunia kecil yang nikmaaaat…Aku belajar banyak dari kue pancong…tengkyuuuuuu…. Kue pancong juga kue persahabatan...yang mengingatkan aku pada hari-hari indah bersama sahabat-sahabat BCA...Uhuuyyy...sudah menjadi kue pancong-ku...hehe...