Sabtu, 20 November 2010

Art-Living Sos 2010 (A-3 Serba-serbi Serabi


Dear Allz…

Hmmmh…apakabaaaarr ? Semoga semua kabar baik, ya…Jangan ada yang sakit, baik sakit badan maupun sakit hati…hehehe…Iya, lho…sakit hati itu bisa jadi penyakit yang berlarut-larut. Makanya cepatlah sembuhkan hati yang sakit, agar kita segar bugar kembali…

Laaaah...kenapa hari gini membicarakan soal sakit hati sich ? aaaah...tidak apa-apa...Sakit hati itu bisa terjadi karena kita merasa tersinggung atas perlakuan orang terhadap kita. Kenapa ? Bisa jadi karena perbedaan pendapat. Boleh jadi juga karena perbedaan persepsi. Nah, urusan perbedaan persepsi ini yang bikin runyam...membuat kita berprasangka ( biasanya sih prasangka buruk...heh heh...) terhadap orang lain.

Kalau urusannya sudah prasangka, barangkali bisa kita urut lebih jauh sedikit. Kenapa sih kita harus berprasangka kepada si A, tapi tidak kepada si B, walaupun mereka melontarkan ide atau pernyataan yang sama ? Di sini memang ada perbedaan nilai dan kepentingan. Ketika kita sedang berusaha menjalin hubungan dengan si B, maka apa pun yang dilakukannya akan kita anggap baik dan sesuai dengan diri kita. Tetapi sebaliknya, ketika kita tidak berkepentingan dengan si A, maka sedikit saja dia berbeda pendapat dengan kita, akan jadi prasangka buruk yang berkepanjangan.

Hidup ini memang didasari oleh pengindraan dan interpretasi. Ketika kita memasukkan pengetahuan, pengalaman, keyakinan dan nilai-nilai di dalam interpretasi itu, maka akan terjadi perbedaan. Maunya sih, pada saat terjadi perbedaan kita cepat-cepat introspeksi dan bertanya : Ada apa dengan diriku ? Kenapa saya dan dia berbeda ?

Banyak sekali hal-hal di dalam kehidupan masyarakat, yang dalam wujudnya tampak sama, tetapi ternyata memiliki makna yang berbeda. Contohnya adalah serabi. Iya...serabi, yang bundar-bundar itu. Walaupun bentuknya sederhana, tetapi begitu banyak perbedaan makna bila kita sudah membahasnya lebih mendalam...

Hmmmh...kalau serabi dapat membuat interpretasi yang berbeda, seharusnya dia pun dapat mempersatukan ide dan pendapat. Naaaaaaahhh....agar tidak berpanjang kata, mari kita cerita saja tentang serabi. Kalau teman dan sahabatku punya secangkir teh atau kopi, boleh jugalah kita menyantapnya bersama sepotong serabi hangat...Asyiiiiikkkk....

Selamat menikmati....selamat berserabi-ria...

Jakarta, 19 November 2010
Salam hangat,

Ietje S. Guntur

♥♥♥

Art-Living Sos 2010 (A-3
Serial : Food Psychology
Start : 10/13/2010 9:18:09 AM
Finish : 10/13/2010 11:57 AM

SERBA-SERBI..SERABI

Hari Sabtu. Pagi-pagi .
Saya sedang menikmati liburan di rumah. Biasanya pagi begini saya akan mempersiapkan sarapan yang khusus untuk keluarga. Tapi kali ini, suami saya, Pangeran Remote Control ingin sarapan serabi. Hmh…boleh juga tuh. Di pasar kompleks perumahan kami ada seorang ibu yang menjual serabi tradisional, yang terbuat dari adonan tepung beras dan dimasak dengan cara tradisional .
Serabi tepung beras ini dimasak satu persatu. Menggunakan anglo berbahan bakar arang, yang di atasnya diletakkan kuali kecil dari tanah liat, sambil dikipas-kipas agar serabinya matang secara merata. Kadang-kadang, kalau apinya terlalu besar, bagian bawah serabi agak gosong. Tapi justru aroma gosong inilah yang membuat rasa serabi menjadi unik dan enak…he he…
Selain pedagang serabi yang di pasar, masih ada lagi yang menjual serabi ala Bandung. Sama-sama berbentuk bundar, tetapi serabi Bandung dibuat dari campuran tepung beras dan tepung terigu, kemudian dicampur dengan daun suji sehingga berwarna hijau segar. Dimakannya dengan kuah kinca, gula merah yang dicampur dengan santan. Rasanya manis dan gurih, beraroma daun pandan. Serabi Bandung biasanya dijual dalam kemasan satu bungkus plastik, lengkap dengan kuah kinca. Sehingga praktis dan ringkas untuk dibawa pulang.
Kali ini saya memilih serabi tradisional, yang masih hangat . Baru diangkat dari kuali tempat memasaknya. Jadi deh…pagi itu kami menikmati sarapan istimewa, bundaran-bundaran serabi aneka rasa. Ada rasa manis yang diberi kuah kinca gula merah, dan ada serabi rasa asin yang ditaburi dengan sambal oncom. Dua-duanya enaaak…hangat dan lezat…hmmhh…yuummmyyy…

Saat lain. Saya sedang mengikuti acara kongres Himpunan Psikologi di Solo. Tapi kali ini saya bukan mau cerita soal kongresnya.
Ada sisi lain sebuah Solo yang membuat saya suka kangen dengan jajanan dan plesiran ala Solo . Ini bukan kali yang pertama saya datang ke Solo dan menikmati seni kuliner di sana. Dan setiap kali….saya selalu kangen dengan nasi liwet yang khas, serta…hmmm…serabinya. Serabi Solo yang manis gurih itu memang agak beda dibandingkan dengan serabi-serabi kerabatnya yang lain…Membayangkan rasanya saja… hmmh..sudah membuat air liur menetes-netes…wuuiihh…
Serabi Solo, proses pembuatannya hampir sama dengan semua serabi yang ada di kota lain. Dengan bahan dasar tepung beras dan santan, sehingga menjadi adonan yang kalis. Kemudian cara memasaknya satu persatu di kuali terbuat dari tanah liat. Yang membuat serabi Solo ini memiliki rasa yang istimewa adalah bentuknya yang nyaris datar, dengan pinggiran yang kering krispi tetapi tengahnya tetap lembut dan agak basah. Belakangan serabi Solo tidak hanya berasa manis, tapi sudah dimodifikasi dengan topping pisang, keju, coklat dan aneka tambahan lain sesuai selera.
Karena kelezatan dan kepopulerannya, sekarang serabi Solo banyak dijual di kota-kota lain, semisal di Jakarta. Di pertokoan yang tidak jauh dari kompleks perumahan saya ada juga yang menjual serabi Solo aneka rasa. Mereka membuka gerainya sejak pagi hari hingga malam. Dan di saat-saat tertentu, pembeli harus antri untuk menunggu serabi selesai dimasak…halaah…

Urusan serabi, memang tidak hanya monopoli Solo dan Bandung. Hampir semua kota dan budaya di Indonesia mengenal serabi, atau ada yang menyebutnya surabi atau serabai . Kue bundar berbahan dasar tepung beras ini mudah dibuat, tetapi uniknya setiap daerah memiliki ciri masing-masing.
Saya sendiri juga penyuka serabi. Semasa saya masih bertempat tinggal di Medan, saya suka makan serabi yang hanya berasa manis gurih, tidak pakai kinca atau siraman saus gula merah. Serabi yang besarnya seukuran tutup gelas, bisa dicubit-cubit sambil ngobrol iseng sepulang sekolah. Memang...serabi di masa sekolah dulu lebih sering disantap sebagai jajanan iseng, tidak mengenyangkan, tetapi asyik buat dikunyah-kunyah.
Kebiasaan makan serabi tetap berlanjut hingga kini. Apalagi ketika saya tinggal di Bandung, ada serabi asin yang ditaburi sambal ebi atau udang kering, dan sambal oncom. Dulu saya tidak suka serabi asin, karena rasanya aneh…Serabi seharusnya manis…hiiikss…Tapi setelah mencicipi serabi asin ala Bandung, sekarang saya jadi doyan dan hmm…agak tergila-gila dengan serabi model seperti itu…hihi…
Tidak salah, kalau kota Bandung disebut sebagai kota wisata kuliner. Setelah urusan serabi asin yang tradisional itu, sekarang muncul kreasi-kreasi baru serabi dengan berbagai topping dan campuran. Sekarang serabi tidak terbatas asin dan manis saja, tetapi semua rasa yang diperkirakan bisa dicampur atau ditempelkan di atas adonan akan dijadikan serabi…heu heu…Jangan heran kalau kita akan menemukan serabi rasa stroberi, durian, nangka, nenas…dan semua buah-buah tropis yang disukai…Serta yang asin berasa keju, kornet, daging asap, ayam jamur, dan lain-lain.
Untuk yang agak ‘modern’ serabi bisa juga diberi topping sirup caramel, sirup maple ( ini pasti sirup import…dari sari pohon maple), dan kalau mau coba…sirup markisa atau terong belanda…hehe..Ini jadi mirip dengan pancake. Makanan dari manca Negara yang adonannya mirip dengan serabi Bandung atau serabi Solo, tapi bentuknya lebih datar , tebal dan rata dari tengah sampai ke pinggirannya.

Cerita tentang serabi, sebetulnya tidak sekedar cerita wisata kuliner dan icip-icip di saat santai.
Di dalam budaya Jawa, serabi justru erat hubungannya dengan ritual budaya yang sering digelar terkait dengan upacara tertentu. Serabi, entah sejak kapan selalu ada di dalam acara-acara adat dan keagamaan , seperti acara Upacara Sekaten dan puncak acara yang disebut Grebeg Muludan . Acara Sekaten ini, di Solo maupun di Jogyakarta dikaitkan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Serabi bersama makanan lain seperti apem merupakan salah satu sajian, atau sering disebut sajen, yang melengkapi ritual acara Hari Maulid Nabi Muhammad.
Selain memeriahkan acara Sekaten, serabi juga sering disajikan bersama dengan makanan lain dalam berbagai acara selamatan . Upacara selamatan kelahiran, syukuran rumah baru, acara-acara yang berkaitan dengan musim tanam dan musim panen, serta berbagai upacara peringatan yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa. Serabi untuk sajen ini juga biasanya serabi biasa, kadang tanpa rasa manis atau asin , hanya terdiri dari adonan tepung beras dan santan kelapa saja. Konon serabi ini juga merupakan simbol kehidupan, karena beras dan kelapa merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat kita.

Melihat serabi yang tinggal remah-remahnya di piring, saya merenung .
Sepotong makanan sederhana itu ternyata mewakili banyak kebutuhan dalam strata makan. Memang, makan tidak sekedar memenuhi kebutuhan lapar belaka. Makanan di sebagian besar masyarakat telah menjadi gaya hidup dan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Demikian pula, di dalam masyarakat yang telah memiliki kehidupan spiritual yang tinggi, makanan pun sering dihubungkan dengan tata cara pemenuhan kebutuhan spiritual ini.
Sajen atau sesajian, tidak sekedar menyediakan makanan lahir, tetapi terlebih lagi adalah makanan batin. Serabi hanya salah satu jenis makanan yang mewakili simbol spiritual tertentu. Coba saja tanyakan kepada orang-orang yang biasa melakukan upacara seperti itu, untuk mengganti serabi dengan makanan lain. Pasti mereka menolak. Bukan karena sekedar serabi, tetapi karena serabi telah menjadi simbol yang mewakili keyakinan atau kepercayaannya terhadap sesuatu.
Begitulah....
Ketika sepotong serabi telah memiliki nilai budaya dan nilai spiritual, maka dia tidak lagi sekedar makanan biasa. Dia tidak lagi sekedar memuaskan keinginan icip-icip atau mengenyangkan perut . Lebih jauh lagi, ia telah memuaskan batin dan memberikan ketenangan jiwa untuk satu masa tertentu.
Aaaah…sungguh indah. Dari sesuatu yang sederhana kita bisa belajar begitu banyak. Dari warung di dekat rumah saya hingga Acara Sekaten di Solo dan Jogyakarta.
Ada yang mau menelusuri lebih jauh lagi ?

Jakarta, 13 Oktober 2010
Salam hangat,

Ietje S. Guntur
Special note :
Terima kasih untuk Pangeran Remote Control , serabi-mania yang menjadi Inspirasi tulisan ini..Juga para penggemar serabi Solo...Rudi, Neno, mb Nuki...hmh... hidup bertambah semarak dengan serabi...heu heu...

Sabtu, 06 November 2010

Art-Living Sos 2010 (A-10 Gaya Roti

Dear Allz....

Met pagiiiiiiiiiiiiiiiii.....oooohooooooyyyyyy....hari Sabtu niiiih...week end, bagi yang sedang berlibur...dan hari beres-beres nasional, bagi yang mau membereskan segala sesuatunya...

Di tengah situasi negara dan bangsa kita yang memprihatinkan, saya berharap teman dan sahabat serta keluarga saya semua tetap dalam lindungan Yang Maha Memiliki Kehidupan...sehat wal’afiat tidak kurang suatu apa. Di dalam kelebihan dan kecukupan yang kita miliki, sudah seyogyanya kita bersyukur kepadaNya...dan mendoakan saudara-saudara serta sahabat kita di lain tempat agar mereka juga mendapatkan kecukupan dan kesehatan yang sama.

Di hari cerah ceria di seputar Jakarta ( semoga di tempat lain juga), saya ingin mengirimkan sedikit hidangan...sepotong roti, untuk santapan teman dan sahabatku sekalian. Barangkali dengan berbagi roti ini, saya juga dapat berbagi keceriaan yang akan menghangatkan hati kita semua.

Oya...jangan lupa sarapan...agar gula darah kita terjaga. Dan mari kita bersyukur, bahwa masih ada sepotong roti atau sepiring nasi yang menemani kita hari ini...

Selamat menikmati....semoga berkenan...


Jakarta, 6 November 2010
Salam sayang,


Ietje S. Guntur

♥♥♥



Art-Living Sos 2010 (A-10
Serial : Food Psychology
Start : 22/10/2010 12:06:23
Finish : 06/11/2010 7:23:31


GAYA ROTI


Di kantor. Jam makan siang. Saya sedang tidak berselera untuk menyantap makanan berat....hmmh...maksudnya nasi and the gang plus lauk-pauk...Biasanya sih, tanpa nasi hidup saya ada yang kurang.

Nggak tau nih...apa karena tadi pagi sudah menyantap nasi uduk plus tempe goreng ( hahahaha...tempe mania bangeeet), jadi perut masih terasa penuh. Saya sedang mempertimbangkan, mau makan siang sekedarnya, atau mencari pilihan lain. Sekilas melintas ide tentang segala jenis penganan yang dijual di seputar kantor. Gado-gado, ketoprak, siomay, soto mie, bakso, nasi goreng...halaaaaah...masih berat semua. Stop dulu ! Tapi, masa sih di siang hari bolong begini makan keripik doang ?

Tiba-tiba seorang teman nyeletuk. “ Makan roti aja, Mbak .”
“ Roti ? Siang hari begini ?”
“ Lha...memangnya kenapa kalau siang-siang makan roti ? Bukannya roti itu bisa dimakan kapan saja ? Pagi, siang, sore, malam ?”
“ Mhh...kalau ada roti bakar sih oke juga ,” sambut saya. Saya memang termasuk fans of roti bakar...hehe..
“ Mana ada roti bakar siang hari begini. Ada juga roti bakery . Ada tuh, di mal.” Teman saya menyebut satu merek roti yang sedang naik daun namanya. Gerainya pun tersebar di beberapa pusat perbelanjaan papan atas.
“ Aaaccch...gak doyan. Rasanya terlalu gurih. Enakan roti kampung yang agak-agak gosong ,” kilah saya. Memang saya tidak terlalu doyan makan roti, kecuali beberapa jenis yang biasa-biasa saja.
“ Mana ada roti di kampung...heh...heh..”, sambung teman saya lagi.
“ Iya...roti kan makanan orang kota.” Celetuk yang lain.
“ Hussyhh...! Kenapa jadi ada diskriminasi makanan orang kota dan orang kampung, sih ?”
“ Iyalah...dulu kan nggak ada orang kampung makan roti. Ada juga makan nasi, jagung, singkong, ubi, sagu.”
“ Orang kota kan juga makan nasi sama jagung, sama ubi.”
“ Tapi makan roti itu kan kesannya modern. Kayak makanan orang bule.”

Perbincangan jeda sejenak. Saya masih mempertimbangkan. Roti atau gado-gado ? Roti atau ketoprak ? Roti atau mie goreng ? Roti atau...???



Di saat lain. Di tempat lain.

Saya sedang berbelanja di pusat perbelanjaan di kompleks perumahan. Lumayan sih, ada mal di dekat rumah. Jadi kapan ada keperluan atau ingin rekreasi, bisa langsung nyelonong ke mal...hm...

Sambil belanja dan cuci mata melihat toko-toko yang berderet di dalam mal, saya melihat ada antrian yang mengular di sebuah gerai roti. Waduuuh...sampai segininya orang mengantri untuk membeli roti ?

Saya perhatikan, orang-orang memilih sendiri roti yang ditata indah di dalam rak-rak roti. Dengan penuh gairah dan rasa penasaran, mereka menikmati saat memilih, membalik-balik roti, dan kemudian meletakkannya di atas baki seperti mereka mengumpulkan harta karun. Wajah-wajahnya bahagia dan penuh kemenangan karena berhasil mendapatkan roti yang tampak mewah dan menguarkan aroma lezat.

Lalu ketika menjinjing bungkusan roti yang besar, mereka melangkah dengan gaya gagah dan gembira. Tidak sabar ingin segera pulang ke rumah dan mencicipi roti ala mal yang mewah itu.

Saya pernah ikut melibatkan diri, berbaur dengan antrian yang panjang. Rasanya tidak sabar, karena untuk membayar roti itu kita harus menunggu giliran. Berhubung saya tidak terlalu doyan roti, jadinya urusan antri itu menjadi pertimbangan utama untuk memilih dan membeli roti di tempat-tempat yang ramai.

Barangkali akan beda rasanya, kalau menyantap roti adalah urusan hidup dan mati, urusan lapar dan kenyang. Dalam kondisi seperti itu, maka sama seperti nasi, roti harus ada di dalam hidup ini.



Urusan roti memang tidak sekali dua kali itu saja menjadi perdebatan.

Selain roti bakar kesukaan saya, yang isinya Cuma gula pasir dan dipanggang di atas kompor, maka roti lain hanyalah sekedar selingan saja. Oya...saya juga doyan tawar , roti kelapa dan roti manis polos yang kecil-kecil, yang bisa dimakan sekali atau dua kali gigitan. Sekarang disebut roti unyil atau roti mungil. Roti manis ini bisa disantap sambil iseng, tidak harus dalam keadaan lapar. Jadi tidak ada beban untuk kenyang atau mengisi perut sampai padat...heu heu...

Tapi tiap orang kan punya selera berbeda-beda. Ada yang doyan roti manis polos ( saya juga sukaaaaa....), ada yang doyan roti pakai isi aneka rasa. Roti isian manis seperti kelapa, coklat, selai atau jam, gula, susu, kacang, buah-buahan kering . Atau juga roti isian asin seperti keju, daging olahan, ikan, abon, dan sebagainya.

Dulu roti memang serba terbatas variasinya. Sama seperti nasi, roti juga masih merupakan makanan utama dan makanan pokok bagi negara-negara empat musim atau negara penghasil gandum. Konon, sejarah roti pun sudah sangat amat panjang. Mungkin ribuan tahun lalu, ketika orang sudah dapat mengolah gandum dan membuat tepung. Tentu saja dengan bentuk dan rasa yang standar. Yang penting, roti itu mengenyangkan.

Perjalanan roti dari jenis dan rasa yang sederhana dan sekedar mengenyangkan perut semakin berkembang dari waktu ke waktu. Tidak hanya di manca negara yang memang pemakan roti, juga di negeri kita. Saya ingat. Semasa saya masih anak-anak dulu, jenis dan rasa roti memang agak terbatas. Di Medan yang paling populer adalah roti manis, roti isi kelapa, roti isi coklat dan roti isi kacang. Roti juga masih makanan terbatas yang hanya disantap oleh kalangan tertentu saja.

Roti yang dulu bisa dibuat rumahan, sebagai bagian dari pekerjaan ibu rumahtangga, semakin lama menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Mungkin, bagi bangsa pemakan roti, cukup repot bila sehari-hari harus membuat roti. Lebih baik membeli roti sesuai kebutuhan.

Rupanya peluang itu dilihat oleh para pengusaha makanan dan roti. Mereka pun berusaha memasuki pasar yang dibuka atas nama perut ini. Roti yang semula hanya sekedar mengenyangkan dan dibuat oleh ibu rumahtangga, sekarang dikembangkan menjadi lebih bervariasi. Roti pun tidak lagi hanya sebagai makanan pokok, namun sudah bergeser menjadi makanan selingan, entertaintment dan gaya hidup.

Barangkali itu juga sebabnya sekarang orang-orang mulai merasa, bahwa menyantap roti tertentu akan turut mendongkrak gengsinya. Roti merek tertentu mengambil kesempatan ini, dan menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup kelas tertentu.

Di Indonesia sendiri untuk diversifikasi pangan, presiden kita pernah mencanangkan gerakan mengganti nasi dengan roti. Sejak itulah booming roti sebagai pengganti makanan pokok. Tapi tentunya tidak mudah untuk merubah kebiasaan menyantap nasi dan menggantinya dengan roti. Salah satu cara adalah dengan merubah konsep pemasaran dan penampilan roti agar tampak berkelas.



Kembali kepada roti, kembali kepada gaya hidup.

Gaya hidup memang tegantung dari kebutuhan. Kalau mengikuti teori kebutuhan Maslow, roti memenuhi beberapa lapis kebutuhan. Mulai dari lapis paling dasar yaitu kebutuhan makan dan mengenyangkan untuk bertahan hidup. Hingga kebutuhan sosial, seperti pergaulan, dan kebutuhan pengakuan diri.

Bila sekedar untuk rasa kenyang dan memenuhi rasa lapar, bentuk roti dan rasanya hanya standar. Gurih atau tawar. Tapi sejalan dengan meningkatnya kebutuhan, maka variasi rasa dan bentuk pun mulai berkembang. Roti pun mengenal estetika atau rasa keindahan.

Bahkan di beberapa masyarakat, termasuk di Indonesia, ada yang menggunakan roti sebagai bagian dari adat istiadat. Di Jakarta, dalam masyarakat Betawi, kita mengenal adanya roti buaya – yaitu roti berbentuk buaya yang dipergunakan sebagai bagian upacara adat pernikahan. Roti buaya konon melambangkan keharmonisan buaya yang setia kepada pasangannya.

Selain dalam upacara adat, roti juga dipergunakan di dalam upacara ritual agama. Tentunya roti untuk ritual atau upacara agama berbeda dengan roti yang kita makan sehari-hari. Roti ini dikenal tanpa ragi, tetapi tetap disebut roti.

Eeeeh...ada satu lagi. Bahwa roti juga bisa mewakili kerinduan dan fanatisme. Contohnya roti isi kelapa ala orang Medan. Saking fanatiknya orang Medan dengan roti isi kelapa parut ini, di dalam setiap reuni akbar anak-anak Medan, maka Sang Roti Kelapa wajib ada. Pernah pula, ketika reuni diadakan di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta, Sang Roti Kelapa hadir dengan megahnya bersanding dengan makanan hotel internasional itu...Gubrak bangeeet deeh..!!...Hahaha...



Siang ini saya menyantap sepotong roti untuk pengganjel perut. Roti isi coklat dan sisiran keju, yang dijual di gerai dekat kantor. Melihat remah-remah roti yang tertinggal di dalam piring saji, membuat saya termenung.

Roti adalah makanan yang memiliki rentang fungsi yang cukup luas. Dari sekedar pengganjal usus hingga untuk acara-acara sosial dan upacara agama. Kadang demi sepotong roti, orang tega berebut dan berbuat suatu tindakan yang melanggar peraturan, seperti mencuri atau berbohong. Bahkan ada orang yang memaksakan diri, membeli sepotong roti demi gengsi dan status sosial.

Roti dalam skala yang lebih besar juga menjadi sebuah lahan bisnis yang memiliki rantai cukup panjang. Dari mulai gandum, menjadi tepung, dan menjadi roti. Roti semakin akrab dengan kehidupan kita, dan mewarnai banyak sisi kehidupan dengan berbagai kebutuhan dan gaya yang ditampilkan.

Dari sekedar roti tanpa ragi, hingga roti yang empuk dengan beraneka isi dan topping menggiurkan. Roti pun bisa ditemukan di sembarang tempat. Dari mulai warung pinggir jalan dan kios kecil di dekat rumah, hingga toko roti terkenal dengan jaringan internasional. Bahkan dari kantin sekolah hingga pedagang keliling yang menjajakan roti setiap pagi dan sore dan mewarnai kompleks perumahan kita.

Roti memang hanya makanan kecil. Tetapi ia telah mencukupkan kebutuhan kehidupan kita. Memenuhi kebutuhan untuk nafsu kehidupan . Membuat yang lapar menjadi kenyang. Membuat yang kurang percaya diri menjadi lebih bangga dan bergaya.

Mau belajar dari sepotong roti ? Mari sediakan secangkir teh atau kopi...Mari duduk dan menikmati sepotong roti bakar...hmmh...Semoga kita mendapat manfaat dari perut yang kenyang dan hati yang gembira...



Jakarta, 29 Oktober 2010

Salam hangat,



Ietje S. Guntur


Special note :

Terima kasih untuk tukang roti di Medan dan Jakarta, yang menjadi inspirasi cerita ini...Juga tukang roti keliling di Medan, dan roti keling di Pajak Pringgan yang rotinya sedap bukan main...oya...untuk roti di Toko Perwari yang sekarang sudah tidak ada lagi...thanks untuk kenangan indah di masa kanak-kanakku dulu...