Sabtu, 31 Oktober 2009

Art-Living Sos 2009 (A-10.1 MIE ULANG TAHUN

Dear Allz....

Apakabaaaaarrrr ???? Sehat-sehat khaaannnn ??? Semoga begitu, ya...Sehat itu adalah harta yang tidak ternilai harganya. Dengan kesehatan yang prima, kita bisa melakukan apa saja...bahkan sehat itu akan membuat hari-hari kita menjadi lebih bergairah dan menyenangkan...

Di hari ini...ada yang spesial buat saya. Barangkali juga bagi teman dan sahabat-sahabat saya. Hari ini...ada yang berulangtahun...hayyoooo...siapa yaaaa ?

Salah seorang adalah dosen saya, Ibu Arlina Gunarya, guru kehidupan saya...Semoga hari ini beliau dilimpahi dengan berkah dan kesehatan, sehingga dapat menikmati hari ulang tahunnya dengan penuh kebahagiaan.

Untuk teman-teman dan sahabat-sahabat saya yang berulangtahun di bulan Oktober dan November, saya juga mengucapkan selamat ulang tahun...nggak apa-apa terlambat sedikit atau terlalu cepat...Doa saya selalu mengiringi perjalanan teman-teman dan sahabat sekalian...

Di hari yang berbahagia ini...saya akan menyajikan sepiring “Mie Ulang Tahun”...semoga berkenan...GBU Allz....I love U....mmwaaaaahhh....


Selamat menikmati...


Bintaro Jaya, 31 Oktober 2009
Salam sayang,


Ietje S. Guntur





Art-Living Sos 2009 (A-10.29.1
Serial : Food Psychology - culture
Kamis, 29 Oktober 2009
Start : 29/10/2009 9:13:50
Finish : 29/10/2009 10:19:57


MIE ULANG TAHUN


Hari ini sahabat saya ulangtahun. Setelah mengucapkan selamat, plus cipika cipiki...dan ada juga yang menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun”....maka tibalah saat yang ditunggu-tunggu oleh kaum omnivor. Kaum pemakan segalanya...hehe...

Jadilah...ucapan selamat berbaur dengan ucapan pamrih...khas banget kaum omnivor...
“ Met ulang tahun, yaa...Semoga sukses”.
“ Yang keberapa niiih ?”
“ Mana nih kuenya...mana makanannya ?”
“ Yeee...nggak sah ulang tahun kalau nggak pakai makan-makan...”.

Yang berulangtahun Cuma bisa diam, sambil tersenyum-senyum. Tradisi makan-makan yang mengiringi pertambahan umur ini memang tidak bisa dihindari. Walaupun hanya sekedar kue lemper, tempe goreng, kue donat, atau kue tart ulang tahun...semua jadi terasa enak karena dinikmati dengan gembira. Tapi dari semua makanan ulang tahun, yang paling digemari kaum omnivor adalah mie ulang tahun...hehehehe...

Iyaaaaa....mie !

Rasanya ulang tahun kurang mantap kalau nggak disuguhi mie. Apalagi di pagi hari. Untuk sarapan. Jadi sekalian...sarapan ulang tahun...Pas banget. Jadi deh, doa orang yang kenyang itu benar-benar tulus dan mantap...hmmm...



Tak hanya pada saat sarapan pagi di hari ulang tahun, tetapi dalam perjamuan ulang tahun di siang atau di malam hari pun hidangan mie ini sering muncul. Malah tampak menyolok ditempatkan di tengah sajian yang lain.

Kenapa harus mie ? Itu barangkali pertanyaannya.

Konon, menurut kepercayaan masyarakat Cina kuno , mie ini melambangkan panjang umur. Mie yang panjang tidak terputus-putus melambangkan usia yang panjang. Apalagi ditabur dengan telur puyuh...waaah...banyak simbol-simbol di dalam makanan mie ini. Kan telur juga awal kehidupan serta penuh dengan protein dan memiliki nilai gizi yang tinggi...Jadi barangkali mie goreng bertabur telur ini dimaksudkan agar selalu sehat dalam menempuh hidup selanjutnya...Wallahualam..

Sekarang, tak hanya ulang tahun pribadi saja yang menyajikan mie di antara hidangan yang tersedia. Ulang tahun perusahaan, yang kerap dirayakan secara besar-besaran, ulang tahun perkawinan, ulang tahun komunitas, atau ulang tahun apa saja yang dianggap penting. Semua boleh menggunakan mie, untuk mendampingi makanan sajian wajib lainnya. Kadang nasi goreng dengan mie. Kadang nasi tumpeng , plus mie. Pokoknya...ada mie dimana-mana...sebagai simbol panjang umur dan kesejahteraan.

Namun terlepas dari segala simbol-simbol kehidupan, mie sendiri memang makanan sepanjang hari. Sepanjang waktu. Buat saya dan sahabat-sahabat omnivor, yang sudah mendapat predikat Mie-mania...hihi...nyaris tidak ada hari tanpa mie. Sarapan pagi mie. Kadang mie ayam, kadang mie baso. Makan siang juga tak jarang diganjel dengan mie. Entah sebagai makanan utama, mie doang dengan segala variasinya, atau mie sebagai lauk pauk...hahahaha....ini khas Indonesia banget. Nasi dengan lauk mie goreng !

Belum cukup dengan sarapan dan makan siang, kadang di sore hari ketika perut keroncongan, maka yang terlintas di kepala adalah mie lagi...hehehe....Saya sendiri penggemar berat mie goreng demek-demek...ini sebutan saya untuk mie goreng, yang dilembabkan. Pada saat akan diangkat dari wajan, ditambahi air atau kaldu, sehingga mie terasa agak lembab. Demek-demek. Seperti baju yang lembab kena hujan...Rasanya lebih medok dan lebih mantap bumbunya... eheeemmm...

Dan malam hari, ketika kantuk belum menggoda, maka hidangan mie bisa juga menjadi penutup hari. Pengganti nasi. Maklum saja khan...walaupun para ahli gizi dan ahli kesehatan sudah menganjurkan untuk mengurangi asupan karbohidrat di malam hari, tetapi namanya ‘ Perut Melayu’ ini mana bisa kalau tidak diganjel nasi atau sejenisnya. Biasanya, kalau mau tidur dalam keadaan perut lapar, bisa-bisa terjadi mimpi buruk...hahahaha....Jadi semangkuk mie godok, atau sepiring mie goreng adalah penyelamat untuk menggapai impian indah di malam yang panjang...



Menyimak kebiasaan menyantap mie kapan saja, di hari ulang tahun pun paling enak menyantap hidangan mie. Sebagai negeri tempat persinggahan banyak budaya, Indonesia ini dengan gembira mengadopsi budaya makan mie dari negeri leluhurnya di utara sana. Bercampur dengan adat dan tradisi yang dibawa bersama mie, maka sebagai alternatif hidangan ulang tahun yang membumi, mie ini pun segera mendapat tempat yang tersendiri di dalam perut masyarakat Indonesia. 

Perayaan ulang tahun pun, terlepas dari pro dan kontra, tetap ingin dirayakan. Secara besar-besaran dengan pesta mewah, atau kecil-kecilan dengan acara yang sederhana. Dengan teman, relasi dan keluarga, atau...seperti seorang sahabat saya...justru di hari ulang tahun dia akan menyendiri... merenung memikirkan banyak hal yang sudah dicapai dan hal-hal yang belum tercapai. 

Sekarang apa hubungan ulang tahun dan mie ? Apakah ada perenungan yang bisa kita dapatkan dari sepiring atau semangkuk mie ?

Kita lihat saja. Tak hanya anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orangtua....semua suka makan mie. Ibaratnya, mie itu sudah menjadi keseharian kita. Jadi sepanjang hayat masih di kandung badan, maka tidak ada salahnya menyantap mie sebagai hidangan ulang tahun....Sebagai pengingat...bahwa mie itu, walaupun kusut, walaupun bergulung-gulung...tetapi tetap dapat diurai...Sama juga dengan masalah yang kita alami di dalam hidup ini...walaupun kusut, seakan tak berujung, tetapi selalu ada jalan keluar untuk pemecahannya.

Semoga, dengan renungan mie ulang tahun ini...tak hanya panjangnya yang melambangkan usia, tetapi juga melambangkan keuletan dalam menyelesaikan masalah...
 


Hari ini...

Sebelum menyantap mie ulang tahun pemberian sahabat saya, mari kita berdoa dan bernyanyi dengan gembira....Semoga usia yang diberikan kepada sahabat saya menjadi usia yang menyenangkan dan bermanfaat...
Selamat ulang tahun kami ucapkan
Selamat panjang umur kita kan doakan
Selamat sejahtera sehat sentausa
Selamat panjang umur...dan bahagia....

Horeeee....Selamat ulang tahun....

♪..♫..♪..♥


Jakarta, 29 Oktober 2009

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Thanks untuk Daud, yang berulangtahun hari ini....Selamat ulang tahun, ya...mie baso dan pangsitnya sangat inspiratif. Juga kenangan kepada Pak Iwan, yang selalu merayakan ulang tahun seluruh staf di Corplan dengan mie ulang tahun pakai telur puyuh yang berwarna merah...Thanks atas perhatian dan supportnya...Ulang tahun memang sebuah tonggak untuk merenung dan menapak ke perjalanan selanjutnya...GBU...


Catatan istilah dan singkatan :
1. Cipika cipiki : cium pipi kiri cium pipi kanan
2. Corplan : Corporate Planning, perencanaan perusahaan.
3. Lagu Selamat ulang tahun : anonim, biasa dinyanyikan pada saat ulang tahun.
4. Omnivor : pemakan segalanya.



MIE ULANG TAHUN...

Ide : 01/10/2009 10:03:35

1. Mie, tidak hanya makanan selingan atau makanan pengganti makanan pokok.
2. Mie , selain untuk makanan sehari-hari juga untuk hidangan khusus ulang tahun.
3. Ada kepercayaan Chinese yang mengatakan bahwa panjangnya mie ulang tahun yang tidak putus-putus melambangkan umur yang panjang.
4. Biasanya mie ulang tahun ditaburi oleh telur puyuh yang diberi warna merah sumba.

Art-Living Sos 2009 (A-10.1 MIE ULANG TAHUN

Dear Allz....

Apakabaaaaarrrr ???? Sehat-sehat khaaannnn ??? Semoga begitu, ya...Sehat itu adalah harta yang tidak ternilai harganya. Dengan kesehatan yang prima, kita bisa melakukan apa saja...bahkan sehat itu akan membuat hari-hari kita menjadi lebih bergairah dan menyenangkan...

Di hari ini...ada yang spesial buat saya. Barangkali juga bagi teman dan sahabat-sahabat saya. Hari ini...ada yang berulangtahun...hayyoooo...siapa yaaaa ?

Salah seorang adalah dosen saya, Ibu Arlina Gunarya, guru kehidupan saya...Semoga hari ini beliau dilimpahi dengan berkah dan kesehatan, sehingga dapat menikmati hari ulang tahunnya dengan penuh kebahagiaan.

Untuk teman-teman dan sahabat-sahabat saya yang berulangtahun di bulan Oktober dan November, saya juga mengucapkan selamat ulang tahun...nggak apa-apa terlambat sedikit atau terlalu cepat...Doa saya selalu mengiringi perjalanan teman-teman dan sahabat sekalian...

Di hari yang berbahagia ini...saya akan menyajikan sepiring “Mie Ulang Tahun”...semoga berkenan...GBU Allz....I love U....mmwaaaaahhh....


Selamat menikmati...


Bintaro Jaya, 31 Oktober 2009
Salam sayang,


Ietje S. Guntur





Art-Living Sos 2009 (A-10.29.1
Serial : Food Psychology - culture
Kamis, 29 Oktober 2009
Start : 29/10/2009 9:13:50
Finish : 29/10/2009 10:19:57


MIE ULANG TAHUN


Hari ini sahabat saya ulangtahun. Setelah mengucapkan selamat, plus cipika cipiki...dan ada juga yang menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun”....maka tibalah saat yang ditunggu-tunggu oleh kaum omnivor. Kaum pemakan segalanya...hehe...

Jadilah...ucapan selamat berbaur dengan ucapan pamrih...khas banget kaum omnivor...
“ Met ulang tahun, yaa...Semoga sukses”.
“ Yang keberapa niiih ?”
“ Mana nih kuenya...mana makanannya ?”
“ Yeee...nggak sah ulang tahun kalau nggak pakai makan-makan...”.

Yang berulangtahun Cuma bisa diam, sambil tersenyum-senyum. Tradisi makan-makan yang mengiringi pertambahan umur ini memang tidak bisa dihindari. Walaupun hanya sekedar kue lemper, tempe goreng, kue donat, atau kue tart ulang tahun...semua jadi terasa enak karena dinikmati dengan gembira. Tapi dari semua makanan ulang tahun, yang paling digemari kaum omnivor adalah mie ulang tahun...hehehehe...

Iyaaaaa....mie !

Rasanya ulang tahun kurang mantap kalau nggak disuguhi mie. Apalagi di pagi hari. Untuk sarapan. Jadi sekalian...sarapan ulang tahun...Pas banget. Jadi deh, doa orang yang kenyang itu benar-benar tulus dan mantap...hmmm...



Tak hanya pada saat sarapan pagi di hari ulang tahun, tetapi dalam perjamuan ulang tahun di siang atau di malam hari pun hidangan mie ini sering muncul. Malah tampak menyolok ditempatkan di tengah sajian yang lain.

Kenapa harus mie ? Itu barangkali pertanyaannya.

Konon, menurut kepercayaan masyarakat Cina kuno , mie ini melambangkan panjang umur. Mie yang panjang tidak terputus-putus melambangkan usia yang panjang. Apalagi ditabur dengan telur puyuh...waaah...banyak simbol-simbol di dalam makanan mie ini. Kan telur juga awal kehidupan serta penuh dengan protein dan memiliki nilai gizi yang tinggi...Jadi barangkali mie goreng bertabur telur ini dimaksudkan agar selalu sehat dalam menempuh hidup selanjutnya...Wallahualam..

Sekarang, tak hanya ulang tahun pribadi saja yang menyajikan mie di antara hidangan yang tersedia. Ulang tahun perusahaan, yang kerap dirayakan secara besar-besaran, ulang tahun perkawinan, ulang tahun komunitas, atau ulang tahun apa saja yang dianggap penting. Semua boleh menggunakan mie, untuk mendampingi makanan sajian wajib lainnya. Kadang nasi goreng dengan mie. Kadang nasi tumpeng , plus mie. Pokoknya...ada mie dimana-mana...sebagai simbol panjang umur dan kesejahteraan.

Namun terlepas dari segala simbol-simbol kehidupan, mie sendiri memang makanan sepanjang hari. Sepanjang waktu. Buat saya dan sahabat-sahabat omnivor, yang sudah mendapat predikat Mie-mania...hihi...nyaris tidak ada hari tanpa mie. Sarapan pagi mie. Kadang mie ayam, kadang mie baso. Makan siang juga tak jarang diganjel dengan mie. Entah sebagai makanan utama, mie doang dengan segala variasinya, atau mie sebagai lauk pauk...hahahaha....ini khas Indonesia banget. Nasi dengan lauk mie goreng !

Belum cukup dengan sarapan dan makan siang, kadang di sore hari ketika perut keroncongan, maka yang terlintas di kepala adalah mie lagi...hehehe....Saya sendiri penggemar berat mie goreng demek-demek...ini sebutan saya untuk mie goreng, yang dilembabkan. Pada saat akan diangkat dari wajan, ditambahi air atau kaldu, sehingga mie terasa agak lembab. Demek-demek. Seperti baju yang lembab kena hujan...Rasanya lebih medok dan lebih mantap bumbunya... eheeemmm...

Dan malam hari, ketika kantuk belum menggoda, maka hidangan mie bisa juga menjadi penutup hari. Pengganti nasi. Maklum saja khan...walaupun para ahli gizi dan ahli kesehatan sudah menganjurkan untuk mengurangi asupan karbohidrat di malam hari, tetapi namanya ‘ Perut Melayu’ ini mana bisa kalau tidak diganjel nasi atau sejenisnya. Biasanya, kalau mau tidur dalam keadaan perut lapar, bisa-bisa terjadi mimpi buruk...hahahaha....Jadi semangkuk mie godok, atau sepiring mie goreng adalah penyelamat untuk menggapai impian indah di malam yang panjang...



Menyimak kebiasaan menyantap mie kapan saja, di hari ulang tahun pun paling enak menyantap hidangan mie. Sebagai negeri tempat persinggahan banyak budaya, Indonesia ini dengan gembira mengadopsi budaya makan mie dari negeri leluhurnya di utara sana. Bercampur dengan adat dan tradisi yang dibawa bersama mie, maka sebagai alternatif hidangan ulang tahun yang membumi, mie ini pun segera mendapat tempat yang tersendiri di dalam perut masyarakat Indonesia. 

Perayaan ulang tahun pun, terlepas dari pro dan kontra, tetap ingin dirayakan. Secara besar-besaran dengan pesta mewah, atau kecil-kecilan dengan acara yang sederhana. Dengan teman, relasi dan keluarga, atau...seperti seorang sahabat saya...justru di hari ulang tahun dia akan menyendiri... merenung memikirkan banyak hal yang sudah dicapai dan hal-hal yang belum tercapai. 

Sekarang apa hubungan ulang tahun dan mie ? Apakah ada perenungan yang bisa kita dapatkan dari sepiring atau semangkuk mie ?

Kita lihat saja. Tak hanya anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orangtua....semua suka makan mie. Ibaratnya, mie itu sudah menjadi keseharian kita. Jadi sepanjang hayat masih di kandung badan, maka tidak ada salahnya menyantap mie sebagai hidangan ulang tahun....Sebagai pengingat...bahwa mie itu, walaupun kusut, walaupun bergulung-gulung...tetapi tetap dapat diurai...Sama juga dengan masalah yang kita alami di dalam hidup ini...walaupun kusut, seakan tak berujung, tetapi selalu ada jalan keluar untuk pemecahannya.

Semoga, dengan renungan mie ulang tahun ini...tak hanya panjangnya yang melambangkan usia, tetapi juga melambangkan keuletan dalam menyelesaikan masalah...
 


Hari ini...

Sebelum menyantap mie ulang tahun pemberian sahabat saya, mari kita berdoa dan bernyanyi dengan gembira....Semoga usia yang diberikan kepada sahabat saya menjadi usia yang menyenangkan dan bermanfaat...
Selamat ulang tahun kami ucapkan
Selamat panjang umur kita kan doakan
Selamat sejahtera sehat sentausa
Selamat panjang umur...dan bahagia....

Horeeee....Selamat ulang tahun....

♪..♫..♪..♥


Jakarta, 29 Oktober 2009

Salam hangat,


Ietje S. Guntur


Special note :
Thanks untuk Daud, yang berulangtahun hari ini....Selamat ulang tahun, ya...mie baso dan pangsitnya sangat inspiratif. Juga kenangan kepada Pak Iwan, yang selalu merayakan ulang tahun seluruh staf di Corplan dengan mie ulang tahun pakai telur puyuh yang berwarna merah...Thanks atas perhatian dan supportnya...Ulang tahun memang sebuah tonggak untuk merenung dan menapak ke perjalanan selanjutnya...GBU...


Catatan istilah dan singkatan :
1. Cipika cipiki : cium pipi kiri cium pipi kanan
2. Corplan : Corporate Planning, perencanaan perusahaan.
3. Lagu Selamat ulang tahun : anonim, biasa dinyanyikan pada saat ulang tahun.
4. Omnivor : pemakan segalanya.



MIE ULANG TAHUN...

Ide : 01/10/2009 10:03:35

1. Mie, tidak hanya makanan selingan atau makanan pengganti makanan pokok.
2. Mie , selain untuk makanan sehari-hari juga untuk hidangan khusus ulang tahun.
3. Ada kepercayaan Chinese yang mengatakan bahwa panjangnya mie ulang tahun yang tidak putus-putus melambangkan umur yang panjang.
4. Biasanya mie ulang tahun ditaburi oleh telur puyuh yang diberi warna merah sumba.

Selasa, 27 Oktober 2009

BUBUR MERAH PUTIH

Dear Allz...

Hellowww....hellloww...morning...mooooorniiiiiiinggg....met pagiiiiiiii......

Lagi ngapain ? Masih awal minggu niiiih...mestinya masih semangat, yaaa ? Semoga deeeh...Semangat itu kan harus dijaga...harus dipelihara...Ibarat tanaman, semangat itu juga harus sering disiram...dijaga kelestariannya...hehehehe...

Iya lho...menjaga kelestarian semangat itu perlu. Tak Cuma semangat masa kini, semangat masa lalu yang berguna pun perlu juga dilestarikan. Seperti sebuah budaya, walaupun sudah lama, tetapi kalau masih ada gunanya...ya, kita jalani dan lakoni saja. Tidak ada salahnya menjaga budaya....seperti salah satunya adalah menjaga budaya ‘bubur merah putih’.

Hmmm...pasti penasaran, yaa...???

Sekali ini saya ingin berbagi cerita tentang bubur merah putih. Mungkin kita pernah mendengarnya sepintas lalu. Mungkin juga kita pernah menyantapnya suatu kali. Tapi, seperti makanan-makanan lain yang kita makan, sering kali kita tidak memahami makna makanan itu bagi diri kita, maupun bagi lingkungan kita.

Semoga saja hidangan saya kali ini dapat menjawab rasa penasaran teman-teman dan sahabat semua….

Selamat menikmati…

Salam sayang…


Ietje S. Guntur



Art-Living Sos 2009 (A-10.1
Serial : Food Psychology – culture
Senin, 26 Oktober 2009
Start : 26/10/2009 10:02:59
Finish : 26/10/2009 12:26:55


BUBUR MERAH PUTIH


Suatu hari saya mendapat kiriman dari tetangga. Dua buah besek makanan , yaitu wadah berbentuk kotak terbuat dari anyaman kulit batang bambu. Isinya adalah makanan. Yang satu berisi sajian nasi dengan lauk ayam semur , urap sayuran, perkedel, telor bumbu, acar timun dan wortel , serta...hmm...kerupuk udang . Sedangkan besek yang satu lagi berisi bubur merah putih...woow...

Bubur merah putih ? Ada apa, ya ?

Saya melihat kartu yang menyertai kiriman besek tersebut. Tertulis, ‘Untuk memperingati kelahiran cucu pertama kami dan pemberian nama “. Ooooh....panteeeesss....

Saya baru ingat. Tetangga di dekat rumah baru memperoleh cucu, dan sebagai tanda kegembiraan diadakan selamatan kecil. Plus membagikan besek makanan yang disebut besek berkat buat tetangga kiri kanan . Sayang saya tidak bisa hadir. Mestinya ini acara keluarga dekat. Lalu sambil mengucapkan syukur atas pemberian itu...sayapun mengucapkan doa untuk si Kecil dan keluarganya. Semoga simbol bubur merah putih ini menjadi berkat juga buat semuanya.



Ngomong-ngomong soal bubur merah putih, sebetulnya ini bukan merah seperti merah cabe atau tomat gondhol . Tapi merah, yang diambil dari warna gula Jawa yang berwarna coklat. Gula Jawa, umumnya dibuat dari nira kelapa atau nira enau, disebut juga gula merah. Padahal warnanya nggak ada merah-merahnya....malahan cenderung berwarna coklat keemasan atau coklat tua kehitaman...hehehehe...

Warna gula jawa yang merah ini dicampur dengan beras yang dimasak bersamaan, sehingga menjadi bubur nasi yang rasanya manis. Dipadu dengan bubur nasi yang diberi santan gurih, jadilah bubur merah putih ini merupakan makanan yang seimbang rasanya.

Bubur merah putih ini dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai makanan yang mengandung unsur kekuatan dan meneguhkan jiwa. Itu sebabnya setiap upacara atau acara selamatan yang ditujukan untuk meningkatkan harkat, untuk kemajuan, untuk keselamatan, maupun untuk perubahan yang lebih baik selalu disajikan bubur merah putih ini. Pemberian nama, maupun mengganti dan menambahkan nama dan gelar biasanya juga dibarengi dengan sajian bubur merah putih.

Itu sebabnya kalau kita salah menyebut nama seseorang, dia akan mengatakan begini ,” Jangan ganti-ganti nama saya. Nanti saya perlu membuat sajen bubur merah putih !” Nah...

Tak hanya memberi nama dan mengganti nama saja disajikan bubur merah putih seperti ini. Bila ada kejadian yang penting dalam perjalanan hidup ini, di keluarga saya, terutama ibu masih taat menyajikan bubur seperti ini. Saya ingat, ketika pertama kali mendapat haid semasa remaja dulu juga dibuatkan bubur merah putih oleh ibu saya. Masih ada juga sih makanan lain-lain, yang masing-masing mengandung makna dan simbol tertentu, tapi yang jelas selalu ada bubur merah putih.

Ketika anak saya mendapat haid yang pertama kali juga, ibu saya mengingatkan, agar jangan lupa dibuatkan bubur merah putih. Saya sih ikut-ikut saja, manut pada tradisi yang sudah menjadi roh budaya Jawa. Toh nggak ada salahnya membuat bubur seperti itu. Bahan bakunya mudah diperoleh. Memasaknya gampang. Dan rasanya lezaaaatttttt.... Gurih dan manis berpadu secara seimbang...hmmm...

Oooh...mungkin juga itu inti sarinya. Keseimbangan...Wallahu alam...



Barangkali bagi masyarakat non Jawa, atau masyarakat Jawa yang sudah lama merantau dan meninggalkan tanah kelahirannya hal-hal seperti ini tidak menjadi perhatian dan menjadi asing . Misalnya, upacara yang berkaitan dengan budaya, seperti tujuh bulanan, kelahiran, selapanan atau empat puluh hari kelahiran, pemberian nama, turun tanah, mau ujian, lulus ujian sekolah, diterima kerja, naik pangkat, naik jabatan, sembuh dari penyakit yang serius dan lain-lain. Namun, bagi masyarakat Jawa yang masih memegang erat tradisi budaya ini, maka urusan bubur merah putih nyaris tidak bisa dilepaskan dari rangkaian upacara sepanjang hayat dikandung badan.

Sepintas ini memang hanya bubur biasa. Bubur nasi putih gurih dengan campuran santan dan sedikit garam. Bubur nasi berwarna merah coklat manis dengan campuran gula merah dari nira pohon kelapa. Tetapi lebih dalam lagi, sumber bahan bakunya semua berkaitan dengan kehidupan pokok bangsa Indonesia, terutama masyarakat Jawa.

Orang Jawa, dan Indonesia pada umumnya, tidak bisa dipisahkan dari beras sebagai makanan pokok. Dan kelapa, sebagai campuran hampir semua makanan. Sedangkan gula dari nira kelapa atau nira enau, adalah pemanis yang selalu digunakan dalam berbagai campuran makanan dan minuman orang Jawa. Tidak hanya untuk pemanis bubur atau kolak, tetapi juga untuk minum kopi dan teh. Bagi orang Jawa, terutama para kaum tua yang bertempat tinggal di desa-desa, lebih mudah membuat gula dari nira kelapa yang hampir selalu ada di halaman rumah atau kebun, daripada menggunakan gula pasir buatan pabrik. Bagi mereka, gula Jawa tak sekedar pemanis, tetapi juga penambah tenaga.

Belakangan, dari berbagai riset mengenai sumber pemanis, disebutkan bahwa gula Jawa – atau gula nira ini lebih baik bagi tubuh dibandingkan dengan gula pasir yang telah diproses sedemikian rupa, dan juga pemanis buatan dari bahan lain. Bahkan tak hanya baik untuk minuman, gula jawa atau gula merah ini pun lebih cocok untuk dipadu dengan ramu-ramuan tradisional yang dikenal sebagai minuman herbal atau jamu.

Mengingat bahwa beras, kelapa dan gula nira adalah bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, maka tidak heran kalau unsur-unsur inilah yang selalu diangkat dalam setiap upacara yang menyangkut kehidupan seseorang. Mulai dari kelapa muda, tunas kelapa, pohon kelapa, air kelapa hingga daging buahnya...semua bermakna bagi kehidupan.

Begitu menyatunya urusan selamatan, terutama dalam hal memberi nama kepada seseorang, maka tanpa kehadiran bubur merah putih, rasanya upacara itu terasa garing atau dalam istilah makanan menjadi cemplang. Bagi masyarakat Jawa, tak sekedar garing dan cemplang, tapi seperti ada roh yang hilang. Dan itu membuat tidak nyaman. Atau lebih jauh lagi...seperti seseorang yang kehilangan jati diri...waaaah...!!!

Nggak percaya, bahwa pengaruh bubur merah putih sejauh ini ?

Coba saja tanya kepada orang Jawa yang masih konvensional. Berani nggak mereka melakukan upacara pemberian nama tanpa menyajikan bubur merah putih ? Hhm...bisa-bisa mereka bahkan tidak berani menggunakan nama yang sudah diterakan di dalam akta kelahiran atau data administrasi tersebut, karena kuatir belum bersih dan bisa menimbulkan kesialan atau nasib buruk...




Menikmati semangkuk bubur merah putih, saya merenung.

Dari sekedar bubur beras, ternyata tersirat makna yang sangat dalam. Bubur tak sekedar makanan untuk mengenyangkan perut. Tetapi lebih dalam lagi, makanan adalah bagian dari kehidupan spiritual masyarakat. Jangan hanya dilihat dari sudut sajen-sajenannya, tetapi simbol-simbol yang terdapat di dalam sajian tersebut...yang menyatu dengan jiwa raga...itulah roh sebuah makanan.

Memang...makan tak sekedar untuk kenyang badan...tetapi juga kenyang jiwa. Segenap jiwa dan alam semesta haruslah saling mendukung dan saling bersinergi mendukung badan...Sehingga makan pun menjadi bagian dari keseluruhan kehidupan ini....Dari mulai lahir...tumbuh berkembang...dewasa...hingga nanti tiba saatnya kita harus mengakhiri kontrak dari dunia fana ini...eheeem...

♥♥♥

Jakarta, 26 Oktober 2009


Salam sehangat bubur merah putih,


Ietje S. Guntur

Special note :
Thanks untuk Ma dan eyang putri yang menanamkan nilai-nilai budaya yang mendasar kepadaku...ternyata filosofi bubur merah putih begitu dalam dan ekologis...

Sabtu, 17 Oktober 2009

Surat kepada sahabat 2009 (A-10 Shandyakala di Muaro Jambi

Start : 15/10/2009 21:56:17
Finish : 16/10/2009 10:36:04

Surat kepada sahabat 2009 (Oleh-oleh dari Jambi

SHANDYAKALA di MUARO JAMBI...

Jalan-jalan ke Jambi ? Mau ngapain ? Memangnya di Jambi ada apa ?
Barangkali itulah pertanyaan yang terbersit di benak kita, bila membicarakan tentang Jambi. Sebuah propinsi di pantai Timur Sumatra. Yang terletak agak terjepit diantara propinsi Riau dengan propinsi Sumatra Selatan. Selain posisinya yang terselip, Jambi kurang dikenal sebagai tujuan perjalanan yang menarik.
Ya, memang....Kita kan melakukan perjalanan mesti ada maksud dan tujuannya. Bahkan sebuah kawasan hutan belantara atau sebuah danau yang liar masih bisa dijadikan sebagai tujuan perjalanan. Ada nilai-nilai petualangan yang membuat rasa penasaran mencuat. Tapi kalau tidak ada apa-apanya ?
Hmmmhhh....justru karena alasan itulah saya jadi penasaran...hehehehe...
Masa sih, daerah yang saya sebut sebagai Negeri Angso Duo ini tidak punya apa-apa sebagai tujuan perjalanan ? Masa sih negeri yang pernah tersohor di abad-abad yang lalu tidak punya apa-apa sebagai jejak sejarah ? Yang benar saja....uuuuhhh....

Berangkat dari rasa penasaran itu, dalam perjalanan ke Jambi kali ini saya pun pergi mengunjungi sebuah situs sejarah masa lalu. Yaitu kompleks situs Candi Muaro Jambi. Hmmh...ternyata ini situs percandian yang sangat unik.
Tanpa saya sadari, setelah menyusuri jalan setapak dari candi ke candi yang terletak di kawasan itu saya telah menyingkap sedikit catatan dari masa lalu. Di kawasan candi yang konon terluas wilayahnya di Indonesia ini, saya menemukan jejak-jejak sejarah yang menjadi tonggak perjalanan kerajaan-kerajaan Nusantara yang berjaya di masa lampau. Dengan luas kawasan sekitar 12 kilometer persegi, situs ini memiliki 80 buah candi. Sembilan diantaranya adalah candi-candi yang besar.
Sebut saja seperti Candi Gumpung dan candi Tinggi...Ini tempat saya berdiri sekarang. Candi ini adalah dua diantara enam candi yang sudah dipugar. Kemudian Candi Gedong Satu dan Gedong Dua ...yang jaraknya 4 kilometer dari Candi Gumpung. Candi Koto Mahligai, Candi Kedaton atau Candi Kedatuan, Candi Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano yang tersebar di kawasan luas ini.
Tak hanya sekedar dipugar, kawasan candi ini pun dibuat seperti taman kebun dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang. Mirip dengan gambaran di komik-komik wayang karya R.A. Kosasih yang pernah saya baca semasa masih kanak-kanak dulu. Barangkali...R.A. Kosasih pun mendapatkan ide gambaran pohon-pohon dan tanah lapang yang luas dari penelusurannya di buku-buku sejarah lama...Wallahu alam.
Melanjutkan perjalanan di seputar kawasan situs Candi Muaro Jambi, saya melihat ada perbedaan material antara candi-candi di pulau Jawa dengan Candi Muaro Bungo ini. Jika candi di Jawa dibuat dari pahatan batu alam , yang tentunya berasal dari wilayah sekitarnya . Candi-candi di kawasan Muaro Bungo dibuat dari batu bata yang dibakar dengan teknik pembakaran keramik tempo dulu. 
Melihat hasil pembakaran keramik, termasuk batu bata dan beberapa artefak lainnya, saya menduga tentulah teknik pembakaran keramik dan gerabah tempo dulu telah tinggi sekali. Bahkan setelah terpendam selama ratusan tahun di dalam tanah berawa-rawa seperti halnya kawasan situs percandian tersebut, hampir seluruh batubata yang ada tetap utuh dan dalam kondisi yang kuat.
Tak hanya sekedar tumpukan batu bata. Hasil galian di kawasan situs ini juga menemukan beberapa stupa dan arca. Ada stupa yang terletak di halaman candi. Dan ada arca batu Dwarapala, yang ditemukan di gapura Candi Gedong pada tahun 2002 . Biasanya terletak sebagai penjaga pintu gerbang sebuah kerajaan. Masih ada lagi, yaitu arca Dewi Pradnjaparamita, yang dikenal sebagai dewi kesuburan. Sayangnya, arca Dwarapala yang seharusnya sepasang belum ditemukan pasangannya. Sedangkan arca Dewi Pradnyaparamita tidak utuh kepala dan tangannya.

Melihat situs yang berdiri di hadapan saya, rasanya seperti membuka buku pelajaran sejarah jaman SD. Dalam hitungan menit, saya membayangkan, di sinilah dulu kerajaan Sriwijaya yang terkenal dengan armada lautnya mulai mengembangkan jaringannya. Sungai Batanghari yang membelah propinsi Jambi , sungai Musi yang membelah kota Palembang, dan sungai-sungai besar lain di pantai Timur Sumatra adalah awal mula berdirinya kerajaan-kerajaan Nusantara yang mendunia.
Kita tentu masih ingat, betapa mesranya hubungan antara kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan kerajaan-kerajaan di India. Sehingga tidak hanya pertukaran budaya yang terjadi, tetapi juga saling pengaruh dalam kehidupan spiritual. Tidak heran kalau kemudian pengaruh agama Buddha dari India menjadi bagian dari kehidupan spiritual di Sriwijaya . Dan itu terlihat dari bukti sejarah yang terukir di situs Candi Muaro Jambi. Candi ini dulu memang merupakan kawasan peribadatan agama Buddha Tantrayana, salah satu aliran agama Buddha yang masih banyak penganutnya di Indonesia.
Penemuan tidak sengaja oleh seorang tentara Inggris bernama SC Crooke pada 1820, ketika ditugasi memetakan Sungai Batanghari , seakan membuka mata kita. Artefak yang berserakan ternyata adalah sebuah kawasan situs yang sangat berharga. Sebuah harta karun terpendam dari sebuah kerajaan besar yang menggetarkan dunia. Namun setelah berjaya ratusan tahun sebagai kerajaan maritim di abad tujuh hingga abad duabelas, kerajaan Sriwijaya pelahan-lahan mengalami masa suram .
Satu demi satu kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri. Kembali kepada kekuasaan lokal. Atau takluk di bawah pengaruh kekuasaan baru yang datang kemudian. Dan akhirnya...di abad ke tigabelas dan empat belas...kerajaan yang mengilhami armada laut Indonesia dengan slogan ‘Jalesveva Jayamahe’...di laut kita jaya... perlahan-lahan menyurut dan hilang pamornya...
Sungguh seperti sebuah Shandyakala...saat senja...dari terang menuju ke kegelapan malam...

Duduk di keremangan senja di antara reruntuhan situs candi yang sedang dipugar, saya merenung.
Di sekitar saya masih banyak serpih-serpih batu bata yang belum sempat dikumpulkan dan direkatkan. Di sekitar saya, barangkali bahkan di bawah tempat saya duduk saat ini masih banyak bukti sejarah yang belum sempat tergali. Atau bahkan tidak terlihat oleh kasat mata kita.
Tugas kita memang masih banyak. Tak sekedar menggali sisa-sisa kejayaan masa lalu. Tak sekedar menjadikan situs candi sebagai cagar budaya dan obyek wisata. Tetapi lebih jauh lagi adalah mempelajari filosofi dasar dari sebuah kehidupan, yang bergulir...dari sebuah kejayaan kepada sebuah shandyakala...
Saya jadi ingat sebuah lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi I’is Sugianto beberapa dekade lalu...
Kala senja kulihat mentari
Tiada lagi sinarnya memudar.. menghilang
Kuberjalan dalam kegelapan
Tiada lagi kawan menemani
Di senja yang sunyi kubernyanyi
Walau hati resah...menanti.

Seandainya saja kita bisa memetik pelajaran kehidupan dari sebuah situs masa lalu....
♥♥

Jakarta, 16 Oktober 2009
Salam sehangat mentari senja hari,

Ietje S. Guntur

Special note :
Terima kasih untuk sahabat-sahabat perjalananku...Kun, yang selalu cerewet tanya-tanya “Candi apaan sih ini, Mich ?”, Adith yang begitu excited melihat tumpukan batu dan berusaha mencari auranya, Tami yang heboh sendiri membuat sejarah masa kini, Ruby dan Bea yang penasaran, Kang Asep dan ibu yang menginspirasi tujuan perjalanan ini, Jo yang terus menerus dipaksa jadi fotografer ......Thanks ya Nonce, yang sudah mengundang dan membujuki kami datang ke Jambi...Kami jadi belajar banyaaaaak sekali dari perjalanan ini... pokoknya everybody happy deeh ...I love U full...

Surat untuk sahabat 2009 (A-10 Negeri Angso Duo

Start : 15/10/2009 15:26:30
Finish : 15/10/2009 17:00:12

Surat untuk sahabat 2009 ( Oleh-oleh dari Jambi


NEGERI ANGSO DUO


Ketika beberapa waktu lalu seorang sahabat mengundang ke Jambi, saya langsung bersorak-sorak dan bernorak-norak bergembira. Sudah cukup lama saya tidak berkunjung ke Negeri Angso Duo itu. Maklum, sebagai ‘Anak Sumantrah ‘ ( ini sebutan eyang saya bagi kami yang lahir di Sumatra), dan termasuk pelanglang-buana Bukit Barisan, perjalanan ke Jambi selalu menarik.

Seorang teman yang belum pernah ke Jambi ingin ikut bergabung. Dan dia tanya dengan rasa penasaran ,” Ada apa di Jambi ?” Saya terdiam. Tidak berani memberi komentar. Lalu melirik sahabat saya yang pernah lama tinggal di sana. Mencari jawaban.

Sahabat yang mengundang saya sempat terperangah sejenak. Lalu menjawab dengan nada ragu, “Apa, ya ? Di Jambi nggak ada apa-apa !”

Haaaahhh ? Tidak ada apa-apa ? Saya mengernyitkan kening. Tidak ada apa-apa menurut kacamata siapa ? Kalau dilihat dari kacamata pelancong Jakarta, dan dibandingkan dengan kota metropolitan itu, yaaaa...jelas dong ! Itu sama saja dengan membandingkan gajah dengan kura-kura....hehehehe...tapi kan tetap saja ada yang menarik di sana.

Salah satu diantaranya adalah legenda tentang Angso Duo !

Saya jadi ingat sebuah pantun lama tentang Angso Duo atau Angsa Dua seperti ini :

Pulau Pandan jauh di tengah
Di balik Pulau si Angsa Dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik terkenang jua...



Ngomong-ngomong tentang Jambi. Bagi kita penikmat siaran warta berita RRI pastilah tidak asing dengan berita harga bahan pokok di sejumlah pasar tradisional di Indonesia. Salah satu nama pasar yang selalu disebut–sebut oleh penyiar radio itu adalah Pasar Angso Duo, Jambi. Urusan tomat gondol, kol gepeng dan cabe keriting pasti dikaitkan dengan aktivitas transaksi di pasar Angso Duo .

Saya, yang sejak masih kecil dulu punya hobby mendengar warta berita pasar, tertarik juga dengan cerita Pasar Angso Duo ini. Dan akhirnya jadi penasaran, seperti apakah wujudnya si Pasar Angso Duo yang legendaris itu.

Jadi teringat. Bertahun-tahun lalu, ketika saya menginjakkan kaki ke Jambi, yang terletak di tepi sungai Batanghari. Yang pertama saya lakukan adalah berkunjung ke Pasar Angso Duo. Saya mondar mandir di lorong-lorongnya. Mencari keluarga tomat gondol, kol gepeng dan cabe keriting yang selalu dibacakan di dalam siaran warta berita RRI. Dan akhirnya, tak cuma tomat gondol and the gang yang saya temukan, tetapi juga berbagai jenis makanan dan barang pernak-pernik khas daerah Jambi.

Belakangan, dalam persinggahan berikutnya, saya pun menemukan berbagai bentuk peranti makan dan hiasan keramik serta kristal-kristal penghias ruangan . Semua dipajang di kios-kios kecil di dalam pasar. Bercampur dengan sayur-mayur dan kebutuhan pokok lainnya. 

Untuk kulinernya, sebagai penggemar berat martabak, saya juga menemukan makanan kesukaan itu. Terselip di antara para pedagang lainnya. Dan tanpa menunggu lama , saya langsung memesan seporsi martabak telur ala Mesir yang disiram dengan kuah kari yang kental dan gurih rasanya...Sedaaaapppp !!! Saat itu juga saya langsung jatuh cinta pada Negeri Angso Duo. Hmmmhh....



Rasa penasaran tentang si Angso Duo, masih melekat di benak saya ketika undangan dari sahabat itu saya terima.

Kenapa ya, nama pasar legendaris itu disebut Pasar Angso Duo ? Apakah itu ada hubungannya dengan pantun lama tadi, atau ada legenda lainnya ?

Setelah tanya kiri kanan, cari kesana kemari, saya menemukan sebuah hikayat turun menurun, legenda tentang asal usul nama Angso Duo. Mau tahu ceritanya ? Hmmm...begini...

Konon, pada masa Jambi masih merupakan bagian dari kerajaan Pagaruyung yang berada dibawah naungan kerajaan Majapahit, ada seorang putri cantik bernama Putri Selaras Pinang Masak. Ia bertempat tinggal di hulu sungai Batanghari, yang membelah wilayah Jambi.

Karena tidak mau tunduk kepada kekuasaan Majapahit, yang saat itu akan berpisah dari kerajaan Pagaruyung, maka ia pun melarikan diri dan dikejar-kejar oleh tentara Majapahit. Di dalam perjalanannya itu ia mendapat petuah, untuk mencari lokasi baru untuk tempat tinggalnya kelak . Lalu sesuai dengan petunjuk yang diperolehnya, ia melepaskan dua ekor angsa, jantan dan betina di sungai Batanghari. Dan melihat di mana kedua angsa itu berhenti berenang, sebagai titik lokasi untuk mendapatkan kepastian di mana ia harus membangun istana yang baru. Pengganti istana yang ditinggalkannya di Pagaruyung.

Akhirnya ia melihat kedua angsa berhenti, di sebuah daratan . Dan di sanalah ia membangun istananya kembali. Lalu sejak itu, legenda tentang Angsa Dua , atau Angso Duo dalam dialek Jambi, menjadi terkenal dan tercatat dalam sejarah berdirinya kerajaan Melayu Jambi . Benar tidaknya kisah ini, wallahu alam...karena ini adalah hikayat turun temurun yang tetap hidup dalam masyarakat di sana.

Sekarang....legenda Angso Duo ini pun telah diabadikan dalam corak batik lokal Jambi yang khas. Si Angso Duo ini tak hanya indah menjadi busana , tetapi juga banyak dimanfaatkan untuk properti lainnya. Gorden batik, sarung bantal, taplak...semua bernuansa sepasang angsa dengan warna-warni yang beraneka. Cantik menarik....



Bagi saya Jambi, atau Negeri Angso Duo ini memang masih menyisakan sejumlah pertanyaan dan rasa penasaran.

Selain terkenal dengan Pasar Angso Duo yang legendaris, Jambi juga tidak bisa dipisahkan oleh Sungai Batanghari yang mengalir dari hulunya di gunung-gunung Bukit Barisan di wilayah Sumatra Barat. Lalu, dengan pelahan sungai ini mengalir menuju Selat Sumatra atau dikenal juga dengan sebutan Selat Malaka di pantai timur Sumatra. Tak seperti sungai-sungai di Jakarta yang tidak seberapa lebarnya, sungai Batanghari di Jambi hampir satu kilometer lebarnya dari sisi kiri ke sisi kanan....wuiiiihh..

Penasaran dengan lebarnya sungai , akhirnya pada perjalanan ke Jambi kali ini, saya pun mencoba menyisir sungai dengan perahu pompong. Yaitu perahu panjang tanpa atap, dengan mesin motor ukuran kecil di belakangnya. Berlayar di sepanjang sungai, dari satu sisi sungai ke sisi lainnya saya memuaskan mata untuk melihat pemandangan kota dari tengah sungai yang mengalir tenang.

Sungguh....kota Jambi sekarang sudah memiliki banyak kemajuan. Tak hanya Pasar Angso Duo dengan cabe keriting dan kol gepeng yang mewarnai kota. Sekarang jejeran pertokoan dan mal mewah juga sudah menjadi bagian dari denyut kota. Nyaris tak berbeda dengan kota-kota di propinsi lain yang sedang bertumbuh. Jambi sekarang bukan tak ada apa-apanya, tapi justru sedang mengalami eforia pembangunan. Yang terkadang agak tertatih dan terkesan dipaksakan.

Meninggalkan Jambi di sore hari yang hangat, sekeping hati saya terasa miris.

Adakah Jambi, yang kata sahabat saya tidak ada apa-apanya itu, bisa mempertahankan identitas khas sebagai Negeri Angso Duo yang legendaris ?

Bisakah....hikayat lama tentang kejayaan masa lalu itu menjadi spirit pembangunan kota Jambi, tanpa meninggalkan roh budaya yang sudah melekat dan menyatu dengan nafas masyarakat setempat. Sehingga ketika kita menyebut nama Jambi, maka si Angso Duo tak hanya sekedar menjadi gambar di atas helai batik lokal yang indah. Tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan sejarah perkembangan sebuah kota yang memiliki prospek masa depan....

Semoga saja.....

♥♥

Jakarta, 15 Oktober 2009

Salam hangat,



Ietje S. Guntur

Jumat, 09 Oktober 2009

Art-Living Sos 2009 (A-10 Nyapu Yang Beneeeer.....

Dear Allz....

Sudah agak lama juga ya, kita nggak saling menyapa ...hehehe....Paling saya yang berkicau-kicau sendiri...hmmh...Rasanya kangen juga . Setelah lebaran, saya memang agak sibuk sedikit...sama seperti para ibu lainnya. Yang mengalami sindrom ‘back to basic’, atau kata seorang sahabat saya, terkena gangguan flu asisten...(mau ngomong terus terang, kok nggak enak ya...).

Akibat endemi flu asisten itu, kita-kita terutama kaum ibu, harus merubah ritme hidup. Yang tadinya bisa lebih lama berdandan di pagi hari, beberapa waktu sejak lebaran hingga hari-hari ini terpaksa meluangkan waktu lebih pendek untuk berdandan. Dan sebaliknya, menambah waktu untuk beberes ini itu, urusan domestik yang nggak pernah ada habisnya.

Salah satu urusan domestik yang tidak bisa dialihkan ke pihak lain, adalah menyapu... ya... M-E-N-Y-A-P-U.

Dari jaman saya masih kecil, sampai seumur sekarang...urusan sapu-menyapu itu belum sirna dari rangkaian job-description di dalam rumah tangga. Saya jadi ingin berbagi pengalaman sedikit dengan teman dan sahabat, mengenai sapu-menyapu ini. Mau khaaaan ???

Ya, harus maulah...hehehehe....kan giliran saya yang cerita sekarang...

Oke, yaaa....sambil menunggu kembalinya para ‘asisten’ rumahtangga ke dalam kehidupan kita, mari duduk bareng dulu...dan ngobrol sejenak tentang MENYAPU.

Selamat menikmati....Semoga menjadi inspirasi...


Pojok Bintaro, 9 Oktober 2009
Salam sayang,


Ietje S. Guntur




Serial : Perempuan-perempuan
Art-Living Sos 2009 (A-10
Jumat, 09 Oktober 2009
Start : 09/10/2009 8:42:18
Finish : 09/10/2009 11:08:57


NYAPU YANG BENEEEEERR.....!!!


Pernah dengar kalimat seperti ini ,” Nyapu yang beneeeerr....kalau nggak bersih nanti dapat suami brengosan !”

Kalimat itu, dalam nada bercanda hingga serius dengan volume rock and roll sering saya dengar semasa masih remaja dulu. Barangkali bukan hanya saya. Teman-teman, sahabat, saudara-saudara saya , yang perempuan, juga tidak asing dengan kalimat dan pernyataan-pernyataan mitos seperti itu.

Anehnya, tanpa bermaksud membandingkan, kenapa saudara saya yang laki-laki tidak pernah diteriaki dengan kalimat yang sama. Atau paling tidak seperti ini ,”Nyapu yang bersih, biar dapat isteri yang cantik !” hehehe....

Kenapa...ya, kenapa hanya perempuan yang diteriaki oleh keluarga, paling tidak ibu, bibi, nenek dan tetua-tetua keluarga lainnya ? Apakah urusan sapu menyapu hanya urusan perempuan ? Halaaah...!!!

Truuuuuusss...ini yang lebih aneh. Apa hubungan antara ‘nyapu yang bener’ dengan suami yang brengosan...hahahaha....Brengosan itu kan seperti orang yang tidak bercukur beberapa hari, sehingga sekujur wajah ditumbuhi bulu-bulu. Jadi kesannya tidak rapi dan agak menyeramkan barangkali...heh heh...

Dan entah karena takut terkena ‘kutukan’ punya suami yang brengosan, atau karena sebab lain, membuat para gadis jaman dulu akan menyapu dengan sebersih-bersihnya. Tidak sambil lalu saja.



Ngomong-ngomong soal mitos sapu-menyapu ini, saya jadi berpikir-pikir : mengapa ada perbedaan mitos untuk perempuan dan untuk anak laki-laki ? Kenapa lebih banyak mitos yang dikenakan kepada anak perempuan, khususnya yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah atau istilah sekarang pekerjaan domestik ?

Di rumah saya dulu memang ada pembagian tugas rumahtangga, dan itu bukan karena perbedaan jenis kelaminnya. Saya, biasanya mendapat tugas menyapu dalam rumah dan halaman. Adik saya yang laki-laki mendapat tugas mengepel di dalam rumah. Adik-adik saya yang perempuan ada yang kebagian tugas mengelap perabot di dalam rumah, dan ada yang mengelap kaca jendela. Ada juga yang tugasnya mengurus adik saya yang paling kecil. Jadi adil buat semua.

Tapiiiiiii....sekali lagi, yang paling sering diteriak-teriaki agar menyapu dengan benar, ya memang hanya saya sendiri...hhmmh...Barangkali karena saya suka menyapu sambil bernyanyi-nyanyi...jadi dikira bekerjanya nggak serius yaa....hahaha...Padahal, menyanyi itu kan untuk menghibur hati agar tugas tidak terasa berat dan membosankan . Yang penting hasil akhir tetap beres...hehe....

Bukan sekali dua saya mendengar seruan, teriakan, sindiran, bahkan canda-canda seperti itu. Di rumah teman saya, sering juga saya mendengar neneknya menyindir seperti itu , dengan kalimat manis ,” Anak gadis kalau menyapu harus bersih sampai ke kolong-kolong meja dan lemari...nanti kalau tidak bersih bisa dapat suami berjenggot...”

Beda kata, tapi sama artinya ! Hihihi....



Mitos dan perempuan, dari satu sudut pandang memang bagus. Artinya, perempuan, yang menurut kodrat dan nilai di dalam masyarakat adalah penguasa domestik rumahtangga sudah seharusnya menguasai tugas-tugasnya dengan baik dan benar. Jangankan urusan yang besar-besar, urusan yang kecil-kecil pun harus dilatih, diulang-ulang sampai bisa dilakukan dengan baik. Dalam bahasa kantoran harus jelas targetnya, dipahami prosedurnya, agar hasilnya optimal.

Pertanyaan berikutnya : Kenapa menyapu itu penting ?

Kalau kita bicara soal sapu menyapu ini , memang kegiatan itu adalah bagian paling dasar dalam urusan rumah tangga. Hal ini bisa kita bandingkan dengan kegiatan rumahtangga lainnya. 

Masak memasak makanan misalnya, masih bisa beli matang dari restoran atau dari pedagang yang lewat di depan rumah. Dari mulai yang mangkal di restoran atau warung, hingga jasa layan antar dari restoran terkenal. Segala rasa dan segala harga. Mencuci dan setrika baju masih bisa dilakukan di tukang binatu atau jasa laundry yang sekarang ngetrend. Bahkan seperti di beberapa kompleks perumahan ada jasa pencuci keliling, yang mengambil cucian beberapa hari sekali. Mirip jasa laundry modern.

Mau tidak mau, urusan bebersih rumah dan sapu menyapu ini memang harus dikerjakan sendiri. Entah oleh pemilik rumah, termasuk deretan anak gadisnya, atau oleh pembantu rumahtangga yang sudah seperti properti wajib di dalam rumahtangga Indonesia saat ini. Beda dengan mengurus taman dan halaman rumah yang bisa mempergunakan jasa layanan taman atau tenaga outsourcing, maka urusan dalam rumah ini rasanya tak layak kalau diserahkan kepada pihak ketiga...apalagi minta tolong kepada tetangga sebelah rumah..hiehehehe...

Jadiiiii...kembali lagi, urusan mitos tadi memang sedikit banyak memang ada gunanya juga. 

Antara lain, untuk memotivasi para penghuni rumah, agar rumah terjaga kebersihan dan keindahannya. Agar penghuni rumah menjadi nyaman, dan agar tamu yang datang juga tidak merasa risih berada di lingkungan yang kurang bersih. Hanya saja, karena jaman dulu itu orangtua belum memahami teori motivasi modern , atau supaya gampangnya saja ( karena urusan mendapatkan suami itu seperti target bagi setiap perempuan...hiks hiks..)...jadi memotivasi para perempuan agar mau bekerja dengan baik dengan iming-iming dan ancaman sekaligus.



Masalah yang kedua....kenapa mitos menyapu dihubungkan dengan suami yang brengosan alias berambut atau berbulu acak-acakan di wajahnya ?

Barangkali ini ada juga kaitannya dengan target suami idaman para perempuan. Tak dapat disangkal, penampilan para lelaki juga menjadi target sasaran dari kaum perempuan. Jangan dikira, hanya laki-laki yang boleh menilai penampilan dan kecantikan perempuan... hehehehe...

Lelaki yang bersih, entah itu memang berwajah tampan atau sekedar bernilai pas-pasan memang lebih menarik dibandingkan dengan lelaki yang jorok, tidak memperhatikan penampilan, apalagi dengan rambut wajah yang seperti ladang lupa dibersihkan. Penampilan memang menjadi etalase untuk menarik perhatian orang. Dan laki-laki yang bersih memang layak menjadi bonus bagi perempuan yang mampu menjalankan tata laksana rumahtangga secara baik.

Dan barangkali, bagi para ibu dan tetua keluarga jaman dulu, lebih ampuh memberikan ancaman dibandingkan memberikan hadiah , semisal begini ,” Nyapu yang bersih Neng, biar dapat suami ganteng, kaya, baik hati dan tidak sombong....” Karena ternyata, para perempuan memang lebih terbiasa ditindas dan diancam , walau hanya dengan kata-kata, dibandingkan dengan diberi penghargaan atas apa yang dilakukannya...hiikkksss....



Kembali ke urusan sapu-menyapu dan jenggot-brewok-brengosan....

Sebetulnya, maksud dan tujuan para ibu dan tetua jaman dulu itu baik adanya. Kalau bukan kita sendiri yang mengurus, mengatur dan memelihara, siapa lagi yang harus melakukannya ? Menjaga milik sendiri, rumah dan segala isinya, seyogyanya memang dilakukan oleh kita sendiri.

Hanya saja, seiring dengan perkembangan jaman dan terjadinya perubahan fungsi dan nilai-nilai di dalam keluarga, maka urusan sapu-menyapu ini pun bisa dialihkan kepada pihak lain, terutama pembantu rumahtangga. Seandainya pun dilakukan oleh anggota keluarga, maka anak perempuan dan anak laki-laki juga mendapat porsi dan perlakuan yang sama. Jika di jaman dulu hanya anak perempuan yang memiliki job description sebagai juru sapu, maka sekarang anak laki-lakipun tidak canggung mengambil alih tugas bebersih dan sapu menyapu di dalam rumah. 

Yang penting bukan lagi proses, tetapi tujuan akhir...agar rumah menjadi bersih. Jadi, tanpa ancaman jenggot-brewok-brengosan pun tata laksana rumah tangga sudah berjalan dengan baik. Dan para perempuan boleh bernapas lega karena hadiah dari semua perbuatan tidak melulu ‘suami yang brengosan’ atau ‘ pangeran yang tampan’, tetapi rasa nyaman dan rasa memiliki yang akan menjadi bagian dari penampilan dan kompetensi pribadi.

Saya termenung. 

Entah karena hadiah karena dulu kalau menyapu rumah selalu bersih, atau memang karena takdir jodoh....ternyata hadiah dari urusan sapu-menyapu saya jaman dulu itu adalah.... Pangeran Remote Control yang ganteng....hehehe...eheeem....


♥♥

Jakarta, 9 Oktober 2009

Salam hangat,


Ietje S. Guntur
  

Special note :
Thanks buat ibu-ibu jaman dulu kala yang inspiratif dan memiliki local wisdom yang tak lekang dimakan waktu...hehe...