Minggu, 20 April 2008

Ada apa dengan Kartini....

Dear Allz…

Hallowww….apakabar ?? Hehehe…sudah lama nih saya nggak mengudara…hehe. Bukan sok sibuk, tapi gimana yaaa…ada tugas yang butuh konsentrasi sedikit…Gagasan sih banyak, tapi kalau menulis tanpa semangat dan roh…waaaah…rasanya jadi garing…

Beberapa hari lalu, saya sudah kepikiran untuk menulis tentang salah satu tokoh pembaharu wanita di Indonesia. Siapa lagi, kalau bukan Kartini. Tapi gagasan itu berebut tempat dengan tugas kantor yang sedang saya lakukan…(halaah…)…jadi terpaksa tertunda lagi. Tadi pagi, saya digelitik oleh seorang sahabat. Dan biasalah…kalau sudah disetrum begitu, biasanya saya akan melonjak…

Hari ini…sambil bermalas-malasan, saya membaca ulang buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dan memang…ada wawasan baru yang saya dapatkan. Rasanya jadi tidak enak, kalau wawasan itu saya simpan sendiri…kuatir ntar jadi beku…he he…

Jadi inilah sedikit cerita saya…Semoga berkenan..

Selamat menikmati….

Salam hangat,

Ietje

Art-Living Sos 2008 (A-4.20.01

Start : 4/20/2008 12:40 PM

Finish : 4/20/2008 1:39 PM

ADA APA DENGAN KARTINI ???

Sekarang bulan April. Bulannya Kartini, kata sebagian orang. Ada yang menyambut perayaan Hari Kartini dengan gembira dan gegap gempita, terutama anak-anak dan para panitia penyenggara acara. Tapi ada yang Cuma mencibirkan bibir : “Kenapa sih harus Kartini ? Ada apa dengan Kartini ?” Dengan pertanyaan lanjutan , “Masih perlukah perayaan seremonial dengan upacara dan pesta segala macam ? “

Halaaahgghh…iya juga ya ? Kenapa, ya ?

Saya yang beberapa hari ini mendinginkan kepala karena sedang ingin konsentrasi dengan pekerjaan merasa tergelitik juga. Apalagi ketika menerima SMS dari seorang sahabat saya seperti ini,” Hari Kartini nih…udah bikin tulisan blom ?” Dia tahu betul kalau saya suka gatel-gatel kalau mendengar atau mengamati suatu issue tertentu. Dan jelas SMSnya itu bikin saya ‘terbakar’ di pagi buta tadi…hmmm…

Perayaan Hari Kartini, barangkali sudah berpuluh-puluh kali kita lakukan. Dari yang lazim diadakan di sekolah, dengan perayaan yang meriah dan lomba busana daerah, sampai yang agak high-class dan intelek dengan acara seminar atau talkshow yang mengusung tema emansipasi dan hak-hak wanita.

Bagi saya, perayaan Hari Kartini dari jaman sekolah dulu, selalu saya sambut dengan gembira. Bukan karena harus pakai kain kebaya lengkap dengan sanggulnya (dan bikin saya selalu panik luar biasa…takut sanggulnya copot), tapi yang jelas pada hari itu biasanya libur belajar…hehehe…Soalnya pasti ada lomba macam-macam. Mulai dari lomba busana, lomba menulis tentang Kartini, lomba baca puisi, lomba cerdas cermat sampai lomba yang jelas nggak ada hubungannya dengan emansipasi dan Hari Kartini…seperti lomba masak untuk murid laki-laki…hmm…

Bagi saya…dan bagi anak-anak umumnya, urusan peringatan Hari Kartini itu memang nggak jauh-jauh dari lomba peragaan busana daerah. Terutama kebaya. Jadi pada hari itu akan tampil berbagai koleksi busana seluruh daerah Indonesia, sesuai dengan asal usul murid yang bersangkutan. Waaah…seru ! Pada saat itulah kita baru menyadari, bahwa Indonesia ini kaya dengan budaya busana tradisional yang beraneka.

Tapi…belakangan saya berpikir, apa hubungannya Hari Kartini dengan busana daerah ? Barangkali di seluruh dunia, hanya di Indonesia ada peringatan hari kelahiran seorang tokoh wanita yang dirayakan dengan lomba busana daerah. Entah siapa yang memulai tradisi ini, tapi kalau ada perayaan Hari Kartini tanpa kebaya dan busana daerah, kayaknya jadi nggak seru. Lucu juga…hehehe…

Padahal…sebetulnya, apa sih yang diperjuangkan oleh Kartini, sehingga ia begitu dikenal sebagai tokoh pembaruan di kalangan wanita Indonesia ? Apakah kala dia menuliskan gagasan-gagasannya seratus tahun yang lalu dia berpikir, bahwa namanya akan ngetop, paling tidak di kalangan pencinta busana kebaya , sehingga muncul istilah kebaya Kartini? Rasanya sih tidak begitu ! Walaupun secara sederhana, kebaya Kartini itu sendiri lambang pemberontakan Kartini terhadap model baju kebaya saat itu yang masih menggunakan kutubaru ( sambungan di dada) yang menunjukkan belahan dada kepada publik ! Kartini, dalam diamnya tidak mau memamerkan bagian dirinya secara fisik dengan cara berlebihan. Ia memiliki prinsip. Termasuk dalam berbusana.

Saya sendiri, yang beberapa kali diminta untuk menjadi narasumber dan urun rembug dalam berbagai acara peringatan Hari Kartini, kadang bingung juga. Mau mengangkat topik apa pada peringatan Hari Kartini itu. Bukan apa-apa, sebagai tokoh wanita, yang saya ambil dari Kartini adalah semangatnya dan inspirasinya. Bukan sekedar emansipasinya. Lha…mau emansipasi bagaimana ? Kita ini kan terikat oleh adat dan lingkungan. Selama adat dan lingkungan itu belum berubah, belum direformasi, ya para wanita yang hidup di dalamnya tetap dalam kedudukan sebagai warga ‘kelas dua’ yang hak dan kewajibannya ditentukan oleh para penguasa di lingkungan budaya tersebut.

Kartini yang saya amati adalah seorang inspirator. Seorang visioner. Kartini, yang tulisan-tulisannya kepada para sahabatnya di Negeri Belanda dibukukan dalam tajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang”, berisi gagasan-gagasan dan segala cita-citanya. Untuk kemajuan wanita. Untuk kemajuan bangsanya. Saya tidak akan membahas mengenai isi tulisannya. Tapi yang jelas, gagasan dan cita-citanya yang berani mendobrak pemikiran wanita ( bahkan para lelaki) pada jamannya itulah yang menjadi inspirasi banyak wanita ( dan mudah-mudahan juga para lelaki) untuk berani berpikir dan bercita-cita juga.

Barangkali ada yang bertanya : Kenapa sih orang bercita-cita saja bisa dijadikan seorang tokoh pembaruan ? Bahkan diresmikan menjadi pahlawan nasional !

Nah, ini dia ! Seorang pembaharu, akan memulai perjalanannya dari pemikiran, dari analisis, dari gagasan yang menerobos batas yang ada di lingkungannya. Gagasan itu kemudian menjadi cita-cita. Cita-cita inilah menjadi motor, menjadi penggerak untuk sebuah program atau pekerjaan. Gagasan dan cita-cita adalah visi. Dan Kartini sudah punya visi itu.

Barangkali ada lagi yang bertanya : Kenapa Cuma punya cita-cita ? Kenapa tidak direalisasikan ?

Memang sayang sekali. Pemikiran Kartini sebagian besar belum sempat diwujudkannya. Ia meninggal dalam usia sangat muda. Masih duapuluh lima tahun ! Usia 25 tahun, di dalam jaman yang serba terkungkung, di dalam tembok tradisi bangsawan Jawa yang sangat ketat. Apa yang bisa dilakukan oleh wanita pada jaman itu ? Yang hidup di dalam dunia yang sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh para lelaki.

Kalau kita mau jujur pada diri sendiri, dan merefleksi kondisi saat itu, maka sebetulnya yang harus beremansipasi dan direformasi bukanlah perempuan tetapi laki-laki. Kenapa ? Karena perempuan hanya bisa berkiprah kalau mendapat kesempatan dari laki-laki, baik ayah, maupun anggota keluarga laki-laki lainnya. Kartini yang dikekang oleh adat, hanya bisa bergerak sedikit setelah mendapat kesempatan dari ayahnya dan salah satu saudara laki-lakinya. Ia kemudian juga mendapat peluang mengembangkan gagasannya, dalam suatu perwujudan sekolah pemula yang sederhana, dari suaminya.

Dan ketika kehidupannya yang singkat diambil oleh Sang Pemilik Kehidupan, apakah gagasan, cita-cita dan visinya lantas harus berhenti ? Tidak khan ? Masih ada sahabat-sahabatnya. Masih ada keluarganya. Yang tahu betul, bagaimana harus mewujudkan dan melaksanakan cita-cita itu. Bukankah itu gunanya para sahabat ? Sebagai pendukung dan untuk mewujudkan visi serta cita-cita ?

Nah, sekarang kembali kepada diri kita sendiri. Apa yang terjadi dengan para wanita atau perempuan di abad ini ? Masihkah kita punya gagasan atau cita-cita seperti Kartini, wanita abad lalu itu ?

Kita yang hidup di alam kemerdekaan. Kita yang hidup di alam reformasi dan demokrasi, apa yang sudah kita lakukan ? Adakah kita memiliki hasil karya, yang berguna untuk kehidupan ini ?

Jangan hanya bertanya : Kenapa Kartini ? Kenapa harus dia ? Coba tanyakan pada diri sendiri : Kenapa bukan Ietje ? Kenapa bukan Nonce ? Kenapa bukan Tutsye ? Kenapa bukan Esti ? Kenapa bukan kita ?

Yaaah…kembali lagi…Beranikah kita memiliki gagasan ? Beranikah kita memiliki visi ? Beranikah kita berbagi untuk kemaslahatan kehidupan dan dunia ini ?

♥♥♥

Salam bervisi di hari Kartini,

Ietje S. Guntur

Special note : Thanks berat buat Aan Kecap Tjap Sawi …yang selalu menggelitik hidupku (pada jam yang tidak patut) …dan sahabat-sahabat wanita Esti Wungu yang sedang berjuang di Negeri Ginseng, Eva di Negeri McD, I’ie di Kutub, Nonce di Rawamangun (yang selalu gak nyambung dotcom) , Tutsye ( yang baru tiba di Negeri Walanda demi sebuah cita-cita )…Thanks sudah mengingatkan…bahwa masih ada hal yang kudu direnungkan…

Senin, 07 April 2008

Eyang Goceng...

Dear Allz….

Cinta bisa datang dari mana saja, dan kapan saja. Sekali ini saya ingin berbagi tentang cinta seorang Nenek kepada Cucu...dengan caranya sendiri.

Mana tahu...suatu saat saya jadi nenek juga...dan saya bisa mengikuti jalan cinta eyang saya. Bukan karena amplop dan goceng-nya...tapi karena semua kasih sayang dan petuahnya...yang begitu melekat hingga hari ini...

Salam sayang dari Galeri Cintaku

Ietje

Art-Living Sos 2008 (A-4.05.01

Start : 4/5/2008 10:38 AM

Finish : 4/6/2008 12:11 AM

EYANG GOCENG

Nenek atau eyang adalah orang yang paling asyik. Apalagi kalau punya nenek seperti Eyang saya. Eyang Putri. Eyang yang di Medan, yang menemani saya sejak lahir hingga lulus SMA. Maupun Eyang Jogya, yang menemani saya sejak kuliah sampai punya anak…hehehe…Seru kan…estafet mengasuh cucu dari para Eyang.

Dua-dua eyang putri saya ini unik banget. Dan antik. Ya, iyalah…namanya nenek-nenek pasti antik. Naaah…saya mau cerita nih soal Eyang Putri saya yang di Jogya. Kami memanggilnya dengan sebutan sayang, Eyang Goceng. Pasti dong penasaran…kenapa kami menyebutnya demikian ?

Eyang Putri saya yang di Jogya ini, tepatnya tinggal di desa yang hijau royo-royo…di daerah Sanden, Bantul. Walaupun rumahnya tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Jogyakarta dengan pantai Samas, tetapi nuansa desa sangat terasa di rumah eyang saya yang berhalaman sangat luas. Jangan membayangkan rumah eyang seperti rumah gedung di kota, ataupun rumah beratap rumbia di tengah sawah. Untuk ukuran desa, rumah eyang saya yang dibangun entah jaman kapan sudah terbuat dari batu bata dengan joglo di depannya. Khas rumah Jawa Tengah.

Di rumah Eyang ada tiga kamar berjejer. Yang boleh dipakai tidur hanya kamar kiri dan kanan. Kamar tengah tidak pernah dipergunakan untuk tidur. Begitulah yang saya ketahui. Dan ketika saya tanya ke eyang, katanya sih untuk jaga-jaga saja. Menurut kepercayaan Eyang, itu adalah kamar untuk Dewi Sri, dewi padi dan penjaga kesuburan. Waaah…antik juga, pikir saya. Kamar itu lumayan besar, tapi saya tidak berani tidur disitu. Paling Cuma mengintip-intip saja sesekali…he he…

Cerita tentang pertemuan dengan Eyang pertama kali, adalah cerita yang lucu dan konyol juga. Saya yang lahir di Sumatra, dan dibesarkan dalam lingkungan yang biasa bersuara keras…(hmmm…)…pertama kali bertemu eyang ini ketika saya berusia 7 tahun. Saat itu saya sudah kelas 2 SD. Jauh hari sebelum kunjungan ke Jogya dan hari-H, Ibu saya sudah mengajarkan tatakrama Jawa yang rumit untuk dipergunakan pada saat bertemu pertama kali dengan eyang Jogya. Begitu juga Eyang Medan saya sudah mewanti-wanti agar nanti berperilaku ‘njawani’ dan ‘miyayeni’…alias bersopansantun sesuai tatakrama priyayi. Untuk berbahasa Jawa sedikit-sedikit, ya saya lumayan bisa. Dan itu nanti akan saya praktekkan kepada Eyang Jogya.

Tapi apa yang terjadi ?

Ketika kami tiba di desa, setelah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta (kami sempat tinggal beberapa minggu di Jakarta sebelum meneruskan perjalanan ke Jogya), eyang justru menyambut kami dengan gegap gempita. Eyang memeluk ibu saya ( sang mantu yang baru pertama kali dilihatnya), dan kemudian memeluk kami , cucunya yang berjumlah lima orang, satu persatu sambil menangis heboh…

Saya Cuma tersenyum bengong. Laaah…gimana mau sungkem sama eyang…wong semua sudah heboh seperti di pasar malam…hehehe…Jadi deh, urusan tata-krama yang sudah dipelajari itu buyar semua. Eyang malah berteriak dengan serunya ,”Yo..wis..sana…anak-anak Sumantrah main di halaman saja…sana ambil sawo sama kelapa !” Eyang menyebut kami, cucu-cucunya ini dengan sebutan Anak Sumantrah…hehehe.

Saya tertegun. Melihat pohon-pohon di rumah eyang yang banyak buahnya. ”Eyang…boleh naik pohon ?” tanya saya ragu-ragu. Di Medan sana, di rumah Eyang Medan, saya sering dimarahi dan kadang dicubiti kalau memanjat-manjat pohon ceri dan pohon rambutan di halaman. Di sini ?

“Yo…panjat yang puas…ambilin sawonya sekalian…,”sahut Eyang tak kalah serunya.

Dan tanpa disuruh dua kali, saya langsung lari ke halaman. Mencari pohon yang paling tinggi. Memanjat dan bergelantungan sambil berteriak-teriak seru. Adik-adik saya yang masih kecil hanya terbengong. Heran. Panik. Kok bisa-bisanya si Kakak ini jadi kalap begitu di antara dahan-dahan pohon.

Itu adalah saat saya ‘jatuh cinta’ pada Eyang Jogya, yang ketika itu masih kami sebut sebagai Eyang Sanden. Ini untuk membedakan dari Eyang Jogya lainnya…yang memang ada beberapa orang lagi.

Setelah berkangen-kangen beberapa hari, kami harus pulang. Kembali ke Sumatra. Kembali ke Medan. Dengan membawa kenangan yang begitu indah. Tentang pohon yang boleh dipanjat kapan saja. Tentang sawah yang menghampar hijau di sekitar rumah eyang. Tentang selokan di dekat sawah yang airnya jernih sekali, dan bisa dipakai untuk mandi-mandi…Tentang dapur eyang yang tak pernah berhenti berasap untuk menyiapkan makanan bagi anak, menantu dan cucu-cucu yang tidak pernah berhenti lapar.

Lama sekali saya tidak bisa ke Jogya. Antara lain karena situasi politik di Indonesia saat itu tidak memungkinkan kami bisa ke sana ke mari dengan leluasa. Selain itu juga penugasan ayah saya di kota-kota terpencil di Sumatra pasti menyulitkan kami untuk ‘mudik’ ke Jawa bersama keluarga. Cerita tentang eyang hanya ada di dalam kenangan. Dan belakangan, saya mulai rajin menulis surat untuk eyang. Menanyakan tentang sawah dan pohon sawo di halaman.

Kesempatan berkunjung baru datang lagi ketika saya duduk di bangku SMP. Saat itu saya sudah ABG, dan adik-adik saya sudah lumayan mengerti tentang sawah dan selokan. Seperti kunjungan beberapa tahun lalu, kali ini pun kami datang dengan segala kehebohan yang hiruk pikuk. Lagi-lagi eyang memeluk kami sambil menyuruh kami naik pohon dan ke sawah. Kali itu, eyang malah ikut mengantar kami melihat sawah yang luas terbentang. “Nasi yang tadi dimakan di rumah, ya dari sawah ini,” Begitu Eyang menjelaskan. Waaah…asyiknya…Pantesan rasanya begitu pulen dan mantaaap ! Apalagi dimakan dengan lauk tempe goreng…wooowww…tiada duanya deeeh !

Walaupun berlibur di rumah Eyang sangat menyenangkan, tetapi kami tak bisa berlama-lama di sana . Kami harus pulang lagi ke Sumatra. Kali ini saya dan adik-adik memiliki cerita yang lebih lengkap tentang rumah eyang. Pohon sawo. Sawah. Pantai yang tak jauh dari desa itu. Selokan. Makam Eyang Kakung dan leluhur lainnya. Juga meja makan eyang yang panjang dan berisi banyak stoples yang penuh dengan beragam penganan dan jajan pasar.

Lulus SMA. Tibalah saat saya harus meninggalkan kota kelahiran di Medan sana. Ceritanya mau melanjutkan kuliah ke Tanah Jawa. Saya seperti napak tilas perjalanan hidup keluarga saya sebelumnya. Tante-tante dan Oom-oom saya yang ketika lahir dan masih kecil dibawa merantau ke Sumatra bersama Eyang Medan, selalu ‘mudik’ ke Jawa untuk melanjutkan kuliah…hehehe. Gimana pulau Jawa nggak penuh lagi ?

Saya dan adik-adik saya termasuk salah satu contohnya. Lahir dan besar di Sumatra. Setelah lulus SMA, melanjutkan kuliah ke Jawa. Kerja di Jawa. Dan beranak-pinak dua kali lipat di Jawa ini juga…hihihi…Hampir tidak ada yang mau pulang ke Sumatra lagi. Halaaaah ? Pulang ke mana ? Asal usulnya kan dari Jawa ini juga ? Dari Sanden, di Jogyakarta sana ? hehehe….Bisa aja !

Dan begitulah…setinggi-tinggi terbang bangau, baliknya ke pelimbahan juga. Begitu kata orang bijak jaman dulu. Sejauh-jauh orangtua saya merantau, anak-anaknya dikembalikan lagi ke kampung halaman di tengah sawah Eyang Jogya…hehe. Untung saja saya tidak harus kuliah di Jogya juga. Kalau ada kewajiban seperti itu…alamaaak… betul-betul bangau pulang ke pelimbahan…hihihi…

Saya kuliah di Bandung. Di kota, tempat Eyang Kakung Medan dulu pernah bertugas. Hiikss… pelimbahan bangau juga niiih ? Pakdhe saya juga (kebetulan) ada di sana. Halaah…jadinya para bangau berkumpul lagi.

Kemudian setelah saya paham cara melakukan perjalanan ke Jogya, dengan menggunakan bis malam atau keretaapi kelas ekonomi ( yang murah meriah…maklum mahasiswa), saya jadi rajin ke rumah Eyang di Sanden. Awalnya saya ke sana karena kangen dengan suasana desa yang hijau royo-royo. Kangen dengan segala ketenteramannya. Kangen mendengar cerita eyang yang selalu heboh. Seru kalau ngobrol dengan Eyang, karena kami selalu pakai bahasa gado-gado. Jawa dan Indonesia. Dan kacau balau…hahaha….

Selanjutnya…seolah-olah…ada udang di balik batu ! Kalau saya lagi nggak punya duit…(maklum orangtua kan harus bagi-bagi kapling dana pendidikan…)…saya datang ke Jogya. Biasalah…cucu manis ini kan bisa jadi pelipur lara Eyang yang hanya tinggal sendirian di rumah sebesar itu. Biasanya saya kalau datang langsung menyapu halaman depan ( udah malu dong manjat-manjat pohon sawo…padahal masih pengen siiih…hehe). Abis itu menimba air di sumur untuk mengisi bak air yang besaaaaar banget. Abis itu ke dapur…mengangkuti kayu bakar buat masak…(eyang masih memasak pakai tungku kayu, walaupun sudah ada kompor minyak tanah). Abis itu duduk kelenger di amben depan, yang ada joglonya…sambil menyantap aneka jajanan dan gorengan buatan Eyang. Sedaaap !!!

Naaah…berkat kerajinan cucu manis ini biasanya hati Eyang langsung luluh. Kalau pulang lagi ke Bandung, selain dibawain oleh-oleh makanan khas Jogya yang muaaaaniiiiissssh sekali, saya juga selalu dibekali uang sangu…hehehe…sebesar lima ribu rupiah. Yang kata adik saya, goceng ! Tapi bukan karena itu saya jadi rajiiiiin banget berkunjung ke Jogya…hehe. Saya memang menjadwalkan datang ke Jogya dan langsung ke Sanden paling tidak dua bulan sekali. Atau kalau lagi sepi perkuliahan, ya sebulan sekali. Saya selalu kangen dengan Eyang. Saya ingin menebus kerinduan masa anak-anak saya dulu.

Ketika saya cerita ke ayah, ibu dan adik-adik saya, mereka semua bersyukur, akhirnya ada cucu yang bisa dekat dengan eyang. Jadi Eyang nggak terlalu kesepian lagi. Maklum dari berpuluh orang cucunya, jarang ada cucu yang bisa datang berkunjung. Jadi, saat itu saya termasuk cucu kesayangan…hmmm…

Suatu ketika liburan panjang tiba, adik-adik saya ikutan berlibur ke rumah Eyang. Waaah…eyang senang sekali dikunjungi setengah lusin cucu yang heboh semua. Selain menyediakan makanan seperti biasa ( yang seperti menjamu anak sekampung)…eyang juga membebaskan kami tidur di mana saja di seluruh area rumah. Lalu beraktivitas seperti yang saya lakukan. Rumah eyang yang biasanya tenang tentram, dalam sekejap menjadi ajang kerusuhan massal. Karena kami terus saja ngobrol, teriak-teriak, dan lari-lari kian kemari di dalam dan di luar rumah…hehehe…Pusing juga kan eyang ?

Tiba saatnya pamit lagi. Eyang menatap kami satu persatu dengan mata tuanya yang penuh rindu. Lalu kami semua diberi amplop. Masing-masing dapat lima ribu rupiah lagi. Sejak itulah…eyang kami resmi mendapat panggilan kesayangan Eyang Goceng !

Saya masih merasakan kasih sayang eyang…sampai saya lulus kuliah. Sampai saya menikah. Sampai saya punya anak. Bahkan anak saya pun belajar berjalan pertama kali, ya di rumah Eyang Goceng . Di halaman depan yang dipergunakan untuk menjemur padi. Anak saya bisa berkeliling lapangan…dengan tertatih-tatih…sambil membawa sebatang sapu yang diseretnya kian kemari. Dan Eyang Goceng tertawa sambil meneteskan airmata.

Rasanya hidup saya menjadi lengkap. Saya punya dua orang Eyang Putri. Satunya Eyang Medan. Satunya Eyang Sanden. Barangkali banyak cucu lain yang punya Eyang Medan, atau Eyang Sanden. Tapi mungkin di seluruh dunia hanya kami yang memiliki Eyang Goceng….hehehe…

♥♥♥

Jakarta, 4/6/2008 12:08 AM

Salam sayang di tengah kerinduan….

Ietje Djoemarno…(sebelum menjadi Ietje Guntur)

Special note : Terima kasih tidak terhingga untuk Eyang Goceng…yang selalu mendukung dan mendorong kami untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya…dan berbagi ilmu dan apa saja sebanyak-banyaknya…seperti kata Eyang selalu ,”Hidup ini Cuma titipan…”Jadi kenapa titipan itu tidak disalurkan kepada yang membutuhkan…?